TINJAUAN PUSTAKA
1.
2.
saraf simpatis dan parasimpatis menyatu menjadi nervus kavernosa. Saraf ini memasuki
penis pada pangkalnya dan mempersarafi otot-otot polos.
Saraf sensoris yang membawa impuls (rangsang) dari penis misalnya bila
mendapatkan stimulasi berupa rabaan pada badan penis dan glans penis, membentuk
nervus dorsalis penis yang menyatu dengan saraf-saraf lain yang membentuk nervus
pudendus. Saraf ini juga berlanjut ke kolumna vertebralis melalui kolumna vertebralis
S2-4. Stimulasi dari penis atau dari otak sendiri atau bersama-sama melalui saraf-saraf
di atas akan menghasilkan ereksi penis.
Perdarahan untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu menjadi arteri penis
kommunis yang bercabang 3 yakni 2 cabang yang masing-masing ke korpus kavernosa
kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteri kavernosa atau arteri penis profundus,
cabang ketiga adalah arteri bulbouretralis untuk korpus spongiosum. Arteria memasuki
korpus kavernosa lalu bercabang-cabang menjadi arteriol-arteriol helicina yang
bentuknya berkelok-kelok pada saat penis lembek atau tidak ereksi. Pada saat ereksi,
arteriol-arteriol helicina mengalami relaksasi atau pembuluh darah dilatasi sehingga
aliran darah bertambah besar dan cepat kemudian berkumpul di dalam rongga-rongga
lakunar atau sinusoid. Rongga sinusoid membesar sehingga terjadilah ereksi.
Sebaliknya darah yang mengalir dari sinusoid keluar melalui satu pleksus yang
terletak di bawah tunica albugenia. Bila sinusoid dan trabekel tadi mengembang karena
berkumpulnya darah di seluruh korpus kavernosa, maka vena-vena di sekitarnya
menjadi tertekan. Vena-vena di bawah tunica albugenia ini bergabung membentuk vena
dorsalis profunda lalu keluar dari korpus kavernosa pada rongga penis ke sistem vena
yang besar dan akhirnya kembali ke jantung.
Fase 0
Yaitu fase flaksid. Pada keadaan lemas, yang dominan adalah pengaruh saraf
simpatis. Otot polos arteriola ujung dan otot polos kavernosa berkontraksi. Aliran darah
ke korpus kavernosa minimal dan hanya untuk keperluan nutrisi saja. Aliran darah vena
terjadi secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria.
2.
Fase 1
Merupakan fase pengisian laten. Setelah terjadi perangsangan seks, sistem saraf
pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada perubahan tekanan arteria sistemik.
Tahanan perifer menurun oleh berdilatasinya arteri helisin dan arteri kavernosa. Penis
memanjang tetapi tekanan intrakavernosa tidak berubah.
3.
Fase 2
Yaitu fase tumesens (mengembang). Tekanan intrakavernosa meningkat sangat
cepat karena relaksasi otot polos trabekula, daya tampung kavernosa meningkat
menyebabkan pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase ini, aliran arteri
berkurang.
4.
Fase 3
Merupakan fase ereksi penuh. Trabekula yang melemas akan mengembang dan
Fase 4
Yaitu fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet. Tekanan intrakavernosa
meningkat melebihi tekanan sistol sebagai akibat kontraksi volunter ataupun karena
refleks otot iskiokavernosa dan otot bulbokavernosa menyebabkan ereksi yang kaku.
Pada fase ini tidak ada aliran darah melalui arteri kavernosa.
6.
Fase 5
Yaitu fase transisi. Terjadi peningkatan kegiatan saraf simpatis yang mengakibatkan
meningkatnya tonus otot polos pembuluh helisin dan kontraksi otot polos trabekula.
Aliran darah arteri kembali menurun dan mekanisme venoklusi masih tetap diaktifkan.
7.
Fase 6
Merupakan
fase
awal
detumesens.
Terjadi
sedikit
penurunan
tekanan
Fase 7
Atau fase detumesens cepat. Tekanan intrakavernosa menurun dengan cepat,
mekanisme venoklusi diinaktifkan, aliran darah arteri menurun kembali seperti sebelum
perangsangan, dan penis kembali ke keadaan flaksid.
2.3.2. EPIDEMIOLOGI
Disfungsi Ereksi tidak dianggap sebagai bagian normal dari penuaan. Namun, ini
berkaitan dengan perubahan fisiologis dan psikologis berkaitan dengan umur. Pada
survey komunitas yang diadakan oleh Massachusetts Male Aging Study (MMAS) pada
laki-laki dengan rentang umur 40 70 tahun, 52% responder dilaporkan memiliki
beberapa derajat disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi sempurna terjadi pada 10%
responder. Disfungsi ereksi moderat terjadi pada 25% dan DE minimal pada 17%
responder. Insiden disfungsi ereksi moderat dan berat meningkat dua kali lipat pada
umur 40 dan 70. Pada National Health and Social Life Survey (NHSLS), dimana
menjadi sampel nasional mewakili populasi pria umur 18-59 tahun, 10% pria dilaporkan
tidak dapat menjaga ereksi (serupa dengan proporsi pria dengan disfungsi ereksi
sempurna pada survey MMAS). Insiden tertinggi adalah pria dengan umur 50-59 tahun
(21%) dan pria miskin (14%), perceraian (14%) dan kurang pendidikan (13%).
2.3.3. ETIOLOGI
Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya disfungsi ereksi ini.
Walaupun secara garis besar faktor penyebabnya dibagi menjadi penyebab psikogenik
dan organik, tetapi belum tentu salah satu faktor tersebut menjadi penyebab tunggal
disfungsi ereksi.
Yang termasuk penyebab organik adalah:
-
2.3.4. PATOFISIOLOGI
Penis memiliki dua corpora cavernosa yang memiliki banyak sinus yang saling
berhubungan yang terisi darah untuk menghasilkan ereksi. Penis juga memiliki satu
corpus spongiosum yang mengelilingi uretra dan yang membentuk glans penis.
Asetilkolin bekerja dengan neurotransmiter lain (cyclic monofosfat guanylate [cGMP],
Vaskulogenik
Penyebab organic paling sering untuk DE adalah gangguan aliran darah dari dan
Neurogenik
Adanya gangguan pada medula spinalis bagian saraf otonom menuju penis dapat
menghambat sistem relaksasi saraf pada otot polos penis sehingga menyebabkan
disfungsi ereksi. Hal tersebut dapat terjadi pada pasien dengan cedera pada bagian atas
sumsum tulang belakang, gangguan neurologik lainnya seperti multiple sclerosis dan
neuropati perifer, atau pasien yang mengkonsumsi alkohol berlebih. Operasi pelvis juga
dapat menyebabkan disfungsi ereksi akibat terganggunya suplai saraf otonom. Pasien
10
dengan lesi parsial atau cedera pada bagian atas dari medulla spinalis cenderung masih
memiliki kemampuan ereksi dibandingkan seseorang yang memiliki lesi sempurna atau
terdapat pada bagian bawah medulla spinalis. Walaupun sekitar 75% pasien dengan
cedera medulla spinalis memiliki kemampuan untuk ereksi, hanya 25% dari jumlah
tersebut yang memiliki ereksi yang cukup untuk penetrasi. Gangguan neurologis lainnya
yang umumnya berkaitan dengan DE termasuk multiple sclerosis atau neuropati perifer.
-
Endokrinologik
Peningkatan hormon prolaktin dapat menurunkan libido dengan cara menekan
Pengobatan
hiperprolaktinemia
dengan
agonis
dopamin
dapat
Diabetes
Disfungsi ereksi terjadi pada 35-75% pria dengan diabetes mellitus. Mekanisme
patologinya terkait dengan komplikasi vaskular dan neurologis yang terkait dengan
diabetes. Komplikasi makrovaskuler diabetes biasanya berkaitan dengan umur, dimana
komplikasi mikrovaskuler berhubungan dengan durasi lamanya diabetes dan derajat
pengendalian glikemia. Seseorang dengan diabetes juga memiliki penuruna nitric oxide
synthase pada jaringan endotel dan neural.
-
Psikogenik
Terdapat dua mekanisme yang berkontribusi terhadap inhibisi ereksi pada
11
kedua adalah adanya stimulasi simpatis berlebihan pada pria yang dapat meningkatkan
tonus otot halus penis. Penyebab paling umum dari psikogenik adalah kecemasan,
depresi, konflik hubungan, kehilangan daya tarik, penghambatan seksual, konflik atas
preferensi seksual, pelecehan seksual di masa kecil, dan takut akan terjadinya kehamilan
atau penyakit menular seksual. Kebanyakan pasien dengan DE yang sudah jelas
memiliki dasar penyebab organic, dapat terkena efek psikologis sebagai reaksi terhadap
DE, sehingga memberikan beban ganda.
-
Penggunaan obat-obatan
Salah satu penyebab terjadinya disfungsi ereksi adalah adanya induksi karena
12
Manefestasi klinik
1. Tidak mampu ereksi sama sekali atau tidak mampu mempertahankan ereksi
penyalahgunaan narkotika
Penyakit kronis
Trauma dan operasi daerah pelvis / perineum / penis
Radioterapi daerah penis
Penggunaan obat obatan
Penyakit saraf dan hormonal
Penyakit psikiatrik dan status psikologik
berlebihan dan
Disfungsi ereksi dapat dibedakan dengan jelas dari masalah seksual lainnya
seperti ejakulasi, libido dan orgasme. Pada penelusuran riwayat penyakit harus
ditanya tentang hipertensi, hiperlipidemia, depresi, penyakit neurologis, diabetes
melitus, gagal ginjal, penyakit adrenal dan tiroid. Riwayat trauma panggul
pembedahan pemmbuluh darah tepi juga harus ditanyakan karena hal tersebut
merupakan faktor resiko impotensi.
13
4= Seringkali >50%
1 = Sangat rendah
2 = Rendah
sulitkah
3 = Cukup
4 = Tinggi
5 = Sangat tinggi
2= Sangat sulit
3= Sulit
4= Sulit sekali
5= Tidak sulit
2= Sesekali (<59%)
2= Sesekali (<50%)
4= Seringkali >50%
4= Seringkali >50%
anda,
seberapa
sering
anda
mampu
mempertahankan
ereksi
sampai
2= Sesekali (<50%)
Pemeriksaan Fisik
14
Gambar 2.2 Kuisioner SHIM digunakan untuk pasien dengan disfungsi ereksi
B. TERAPI FARMAKOLOGI
Hampir seuruh pasien penderita disfungsi ereksi responsif tehadap pemberian
obat-obatan yang telah tersedia saat ini meliputi golongan PDE5 inhibitor sildenafil,
tadalafil, dan vardenafil. Terapi intervensi lainnya adalah alat vakum, obat-obatan
itrakavernosum dan sebagainya. Beberapa pasien menggunakan obat-obatan yang
dikombinasikan dengan terapi psikoseksual.
1. Terapi Pengganti Hormon
16
3. Injeksi Intrakavernosa
Penggunaan terapi injeksi dengan vasodilator dengan Alprostadil
(caverject impulse) atau dengan kombinasi papaverine dan phentolamine yang
dapat membuat efek relaksasi pada arteri dan otot polos trabekuler sehingga
efektif untuk menangani impotensi. Terapi ini dapat digunakan pada pasien
yang tidak respon dengan pengoabatan oral.
Tingkat keberhasilan alprostadil dalam memunculkan efek ereksi pada
pria mencapai 72,6%. Efek samping utama yang sering dikeluhkan adalah
nyeri pada bekas suntikan, fibrosis pada corpus penis yang dapat menimbulkan
nodul atau kurvantura pada penis. Priapismus dilaporkan jarang terjadi, namun
dapat menimbulkan iskemia dan kerusakan reversibel pada korpus kavernosa
dan gangguan fungsi ereksi permanen pada penggunaan jangka panjang.Efek
samping lain yang jarang terjadi namun pernah dilaporkan terjadi pada
beberapa pasien adalah pusing, takikardia, dan hipotensi akibat terlepasnya
obat ke sirkulasi sistemik.
Penyuntikan obat harus dilakukan oleh dokter atau tenaga ahli lainnya.
Kontraindikasi relatif pada pasien yang sedang mengkonsumsi antikoagulasi,
18
seperti pada pasien penyakit myeloproliferatif dan anemia sel sabit (McMahon,
2014).
5. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan merupakan terapi invasif pada kasus impotensi.
Terapi ini banyak menjadi pilihan bagi pasien yang kontraindikasi dengan
penggunaan obat-obatan atau terapi injeksi lain. Beberapa pasien bahkan
memilih sendiri untuk pembedahan karena tingkat kepuasan yang amat tinggi.
Terapi pembedahan dilakukan dengan melakukan incisi dan pemasangan
protese pada penis yang dilengkapi dengan panel pengatur yang dipasang di
baahnya. Masalah yang dapat timbul adalah adanya infeksi paska tindakan
bedah dan resiko perdarahan saat pembedahan. Namun komplikasi infeksi dan
perdarahan jarang dilaporkan terjadi pada pasien pasca pembedahan.
Kegagalan alat dan pemasangan ulang alat juga hampir tidak pernah terjadi
(McMahon, 2014).
Pasien dengan gangguan sistem arteri dapat dilakukan dengan berbagai
macam bentuk rekonstruksi arteri, termasuk endarterektomi dan ballon
dilatation (pengembangan balon) pada sumbatan arteri dan teknik bypass
pada arteri menggunakan arteri (pada arteri epigastrik) atau bagian vena
(Vena dorsalis) pada penyumbatan di distal (dibawah) dari krura korpora
kavernosa. Pengalaman klinis dengan teknik rekonstruksi arteri masih
terbatas
20