Anda di halaman 1dari 30

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien


Nama

: Tn. Tindyo

No. RM

: 838151

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 58 tahun

Tanggal Lahir

: 17 September 1958

Pekerjaan

: Wiraswasta

Agama

: Islam

Status Pernikahan

: Menikah

I.2 Anamnesis
Autoanamnesa pada tanggal 12 Juli 2016 pukul 17.00
Keluhan Utama :
Nyeri punggung sampai ke kaki sebelah kanan
Riwayat penyakit Sekarang :
Keluhan nyeri punggung sejak 9 bulan yang lalu, nyeri makin lama semakin parah,
awalnya hanya di bagian punggung kiri lalu menjalar ke kaki kiri lalu kaki kanan. Pasien
tidak bisa jalan, bila jalan terasa sakit. Pasien sudah pernah di fisioterapi namun nyeri
belum membaik, lalu di Rontgen di RS. Suyoto dan dikatakan bahwa tulang bergeser. Saat
ini demam, batuk, pilek, nyeri dada, sesak napas, mual, muntah, kejang disangkal oleh
pasien. Pasien memakai gigi palsu dan terdapat gigi goyang.

Riwayat operasi :
Pasien sudah 4 kali menjalani operasi dengan teknik anestesi spinal untuk operasi kaki
kanannya dan anestesi umum untuk operasi tangan kanannya yang patah.
Saat selesai operasi dengan teknik anestesi umum pasien mengeluh mual dan muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (+)
Diabetes Melitus (-)
Asma (-)
Alergi (-)
Penyakit Paru (-)
Penyakit Jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit keluarga
Riwayat Pribadi Sosial :
Merokok (-)
Minum Alkohol (-)
I.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

BB

: 58 Kg

TB

: 167 cm

2. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Suhu

: 140/90 mmHg
: 78 x/menit, regular, isi cukup
: 18 x/menit
: 36,5oC per axilla
2

3. Status Generalis
Kepala

: Normocephal

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Respon cahaya


(+/+), Pupil isokor, Diameter 3 mm

Telinga

: Membran timpani intak (+/+), Otorhea (+/+), Hiperemis


(+/+), Nyeri tekan mastoid (-/-)

Tenggorokan

: Faring hiperemis (-)

Mulut

: T1-T1tenang, Deviasi uvula (-), Mallampati 2, Gigi goyang


(-), Gigi ompong (+) graham kanan bawah, Gigi palsu (-), Buka
mulut maksimal 3 jari

Leher

: Tampak simetris, Jarak thyroid-mental 3 jari, Jarak hyoid


thyroid 2 jari, Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar
tiroid (-), Deviasi trakea (-), Retraksi otot bantu napas (-),
Ekstensi leher sempurna tanpa tahanan

Thoraks

Pulmo
Inspeksi

: Pergerakkan dada simetris saat statis dan dinamis

Palpasi

: Vocal fremitus simetris, Tactil fremitus simetris

Perkusi

: Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis sinistra

Perkusi

: Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : BJ I II normal, regular, murmur (-), Gallop (-)


Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Pinggang

:
: Cembung, Caput medusa (-), Spider navy (-)
: BU (+) N, Metallic sound (-)
: Supel, Nyeri tekan (-), Hepatosplenomegali (-), Ascites (-)
: Timpani seluruh lapang abdomen
: Nyeri ketuk CVA (-/-)
3

-Ekstremitas

: Akral hangat, CRT < 2 detik, oedem (-/-)

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Ritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin

Hasil
Saat ini
14
41
50
10300
309000
84
29
34

Nilai Rujukan
13-18 g/dL
40-52%
4,3 6,0 juta/uL
4,800 10,800/uL
150,000 400,000 /uL
80 96 fL
27 32 pg
32 36 g/dL

125
< 140 mg/dL
25
<35 u/I
30
<40 u/I
23
20 50 mg/dl
0,7
0,5 1,5 mg/dl
Tabel 1. Laboratorium Darah

EKG
Sinus rhytm, st elevasi (-), gelombang P normal, PR interval < 0,2 detik, QRS complex
< 0,12 detik.
Kesan : Normal EKG

Foto Thorax
Jantung tidak melebar, CTR < 50%

Aorta dan mediastinum superior tidak melebar


Trachea ditengah, kedua hilus tidak menebal
Corakan bronchovascular baik
Tidak tampak infiltrate dikedua paru
Sinus costofrenikus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal

I.4 Diagnosa Bedah


Canalis stenosis V L1-L2
I.5 Diagnosa Anestesia
ASA II dengan hipertensi grade I
I.6 Rencana Pembedahan
Dekompresi dan stabilisasi
I.7 Rencana Anestesia
General anesthesia dengan endotrakea tube napas spontan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Persiapan Anestesi
II.1 Persiapan pasien
1. Sebelum operasi

1. Pasien di konsultasikan ke spesialis jantung, spesialis paru, spesialis penyakit


dalam.
2. Setelah mendapatkan persetujuan pasien di periksa satu hari sebelum operasi
(kunjungan pre-operatif).
2. Di ruang perawatan
- Pasien dipuasakan 6 8 jam sebelum operasi.
3. Di ruang persiapan
Cek identitas pasien
Mengganti pakaian dengan pakaian yang telah disediakan sebelum masuk kamar
operasi.
4. Di ruang operasi
Pasien masuk ke kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi lalu dilakukan
pemasangan kanulasi vena, saturasi O2 (pulse oxymeter), manset tensimeter dan
pemasangan EKG.
II.2 Persiapan Alat
II.2.1 Persiapan alat
3. Monitor dan mesin HinfusHsia
4. MDM, manset
5. Saturasi oksigen (pulse oxymeter)
6. Sarung tangan (Handscoon)
7. Pack
8. Face mask
9. Gel lubrikasi
10. Spuit
II.2.2 Alat Kanulasi Vena
Abbocath No. 18G dan 20G
Alcohol swab
Tourniquet
Plester
Cairan Hinfus (Asering, RL)
II.2.3 Persiapan Intubasi (STATICS)
Stetoskop, laringoskop
Endotracheal tube No. 7 dan 7,5
Oropharingeal airway (OPA) / gudel
Plester (micropore)
Mandarin/stillet dan margil forcep

Konektor
Suction

II.3 Persiapan obat


1. General HAnestesia
Koinduksi : Midazolam 1 mg, Fentanyl 100 mcg
Induksi : Propofol 100 mg, Atracurium 30 mg
Obat tambahan : Ranitidin, Dexamethasone, Ondancetron, Tramadol, Ceftriaxone
Maintenance : Isoflurance, N2O, O2
2. Obat emergensi
Sulfas Atropin dosis 0.5 mg- 1 mg IV
Epinephrine dosis 1 mg atau 0.02 mg/kg larutan 1:10.000
Ephedrine dosis 5-20 mg
Dexamethason dosis 0.5- 25 mg/hari IV
Aminophylline dosis 5-6 mg/kg IV
Amiodarone dosis 150 mg IV dalam 10 menit (maks 2.2 gr)
Nalokson dosis 1-2 mcg/kgBB IV
Lidokain
Calcium Glukonas

BAB III
PELAKSANAAN ANESTESIA

III.1 Pra Induksi

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 150/80 mmHg

Nadi

: 70 x/mnt

RR

: 16 x/mnt

Suhu

: Afebris

TB

: 152 cm

BB

: 58 Kg

Saturasi O2

: 98 %

III.2 Teknik Anestesia


General anesthesia dengan menggunakan ETT cuff (+) dengan O2 2 L/menit.
III.3 Proses Anestesia
a. Pukul 09.20 WIB
1) Memasang infus RL
2) Memasang monitor EKG dan Pulse Oxymetri
3) Mengukur tekanan darah
4) TD 150/80 mmHg; Nadi 70 x/menit; saturasi O2 100%; pernapasan 16x/menit.

b. Pukul 09.30 WIB


1) Pemberian obat sedatif miloz 2 mg (IV)
2) Pemberian obat analgesik fentanyl 100 mcg (IV)
3) Induksi dengan propofol 100 mg (IV)
4) Setelah kesadaran pasien menurun segera sungkup muka dirapatkan pada muka
dan diberikan O2 100% 6 liter/menit atau preoksigenasi.
5) Setelah refleks bulu mata menghilang diberikan nutrixum 25 mg (IV) pemberian
ini mengakibatkan apnoe karena itu napas dikendalikan dengan menekan balon
napas. Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan ETT No. 7,0 cuff (+), pack (-),
gudel (+), untuk memastikan ETT terpasang dengan benar dengarkan suara
napas dengan stetoskop bahwa suara napas pada paru kanan dan kiri simetris dan
dinding dada kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap inspirasi buatan.
6) Pastikan ETT terfiksasi dengan baik.
7) Pasang gudel.
8) Tutup mata pasien dengan plester.
9) ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit napas alat anestesia, kemudian Air
dibuka 2 liter/menit dan O2 2 liter/menit kemudian isofluran dibuka 1,5 vol%
10) Napas pasien dikendalikan dengan ventilator. Tidal volume (TV) yang diberikan
sebesar 400 (6-8ml/kgBB) dengan frekuensi napas 14 kali per menit.
11) Perhatikan apakah gerakan napas pasien simetris antara yang kanan dan kiri.
c. Pukul 10.00 WIB
1) Diberikan antibiotik Ceftriaxon 2000 mg (IV).
2) Pembedahan dimulai.
3) Diberikan Ondansentron 8 mg (IV).
d. Pukul 10.05 WIB
1) Mengganti botol infus RL pertama yang sudah habis dengan botol infus RL baru.
e. Pukul 10.30 WIB
1) Diberikan Nutrixum 10 mg (IV).
9

2) Diberikan Dexametason 2 mg (IV).


f. Pukul 10.40 WIB
1) Mengganti botol infus RL kedua yang sudah habis dengan botol Hinfus RL baru.
g. Pukul 11.30 WIB
1) Diberikan Tramadol 100 mg (IV).
h. Pukul 12.10 WIB
1) Diberikan Nutrixum 10 mg (IV).
i. Pukul 13.00 WIB
1)
2)
3)
4)
5)

Pembedahan selesai.
Anestesia diberhentikan.
Diberikan Tramadol 30 mg (IV)
Diberikan Ketorolac (IV).
Diberikan reverse SA 0,50 mg + Prostigmin 1 mg.

j. Pukul 13.10 WIB


1) Nadi 85 x/menit, TD 118/62 mmHg, SpO2 99%.
2) Lendir dikeluarkan dengan suction. Lalu pasien diberi oksigen murni selama 5
menit.
3) Pasien dibangunkan.
4) Monitor EKG, manset, pulse oximetri dilepaskan.
5) Pasien dipindahkan ke recovery room.
Terapi Cairan
Kebutuhan cairan pada pasien per jam dengan berat badan 58 kg adalah 116 cc/jam,
dengan lama puasa 6 jam membutuhkan terapi cairan pengganti sebanyak 696 cc. jenis
operasi yang dilakukan pada pasien ini tergolong operasi ringan, maka dibutuhkan
cairan sebanyak 232 cc perioperative. Maka dari itu jumlah cairan yang dibutuhkan
pada pasien ini adalah 1044 cc, pada pasien ini diberikan cairan sebanyak 1500 cc.
Pemberian cairan dilanjutkan di ruang pemulihan dan setelah pasien kembali ke
ruangan dengan instruksi dokter penanggung jawab pasien (DPJP).

10

III.4 Post operasi


Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 17.30 WIB, di ruang pemulihan dilakukan
penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya composmentis. Dilakukan
penilaian tanda-tanda vital, didapatkan hasil tekanan darah 118/62 mmHg, Nadi 86 x/menit,
laju pernapasan 18 x/menit, dan saturasi oksigen 99%. Pada pasien diberikan instruksi pasca
bedah selama di ruang pemulihan yaitu :
1. Pengelolaan nyeri dengan tramadol 100 mg diencerkan dalam NaCl 0.9% 10 cc
2.
3.
4.
5.

intravena, bolus secara perlahan.


Pengelolaan mual/muntah diberikan injeksi ondancetron 8 mg intravena bolus.
Obat-obatan lain diberikan sesuai TS operator (bedah).
Cairan infus dengan RL 10 tetes/menit.
Pemantauan tanda-tanda vital (tensi, nadi, laju pernapasa) setiap 15 menit selama 1 jam

post operasi,.
6. Pasien boleh makan dan minum bertahap bila sadar penuh, tidak ada mual dan muntah.
Sebelum dipindahkan ke ruang perawatan, dilakukan penilaian Aldrete Score di ruang
pemulihan dan didapatkan hasil :
Kesadaran

:2

Warna kulit

:2

Aktivitas

:2

Respirasi

:2

Kardiovaskuler

:2

Total score

= 10

Gambar 1. Aldrette Score

11

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

IV.1 Anestesia Umum


IV.1.1 Definisi
Anestesia berasal dari bahasa Yunani yang berarti hilangnya rasa. Anestesia
didefinisikan sebagai tindakan dan usaha meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat pulih kembali (reversible). Dahulu dikenal Trias Anestesia yaitu
hipnotis, analgesia dan arefleksia. Sekarang anestesia umum memiliki komponen yang lebih
luas :
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)
IV.1.2 Keuntungan dan Kerugian
A. Keuntungan Anestesia Umum
1. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung
2. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas dan
berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis
3. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien
B. Kerugian Anestesia Umum
1. Sangat mempengaruhi fisiologi hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul
dibawah anestesia umum.
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistic dan rumit.
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran.
4. Resiko komplikasi pascabedah lebih besar.
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.
IV.2 Fisiologi Hilangnya Kesadaran
Teori Meyer Overton menyatakan anestesia terjadi jika sejumlah molekul anestetika
inhalasi berdifusi dan larut dalam membrane lipid sel. Teori lain oleh Pauiling yang
12

menyatakan sejumlah molekul zat anestetik berinteraksi dengan molekul air membentuk
clathrates (mikrokistal yang terhidrasi). Molekul inilah yang menginhibisi reseptor-reseptor di
SSP.
Secara klasik, dipercaya bahwa hilangnya kesadaran melulai peningkatan tonus GABA
atau inhibisi reseptor yang diaktivasi glutamate. GABA bersifat menginhibisi impuls di otak,
sedangkan NMDA dan AMPA bersifat eksitasi.
Gamma Aminobutyric Acid (GABA)
GABA adalah neurotransmitter inhibitori di SSP, bekerja dengan cara berikatan dengan
reseptornya di membrane sel. Ikatan ini menyebabkan terbukanya kanal ion yang
memungkinkan masuknya ion Cl- atau keluarnya ion K+. Terjadi hiperpolarisasi sel. Obat yang
bekerja pada reseptor GBA (GABAergic / GABA analogue drugs) memiliki efek depresif di
SSP. Obat-obat ini biasanya bersifat antiansietas, antikonvulsif, menyebabkan amnesia dan
sebagainya.
Contoh obat tipikal GABA-ergik adalah golongan benzodiazepine, barbiturate, etomidat,
kloralhidrat dan zat-zat anestetik inhalasi. Selain itu ada juga glisin, neurotransmitter inhibitori
juga di medulla spinalis dan batang otak. Sebagian besar obat anestetik intravena juga bekerja
memodulasi GABA.
Reseptor yang Diaktivasi Glutamat
Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi utama pada SSP mamalia. Reseptornya
termasuk NMDA, AMPA dan kainat. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate receptor) adalah
satu dari dua reseptor utama yang diaktivasi glutamate. Reseptor lain adalah AMPA. Kedua
reseptor ini sering dijumpai pada sinaps yang sama meskipun mempunyai fisiologi yang
berbeda. Fungsi reseptor kainat dan hubungannya dengan anestesia belum diketahui jelas.
Antagonis reseptor NMDA umumnya digunakan sebagai obat anestetik. Salah satu efek yang
unik di SSP adalah disosiasi. Diantara antagonis NMDA yang terkenal adalh ketamin, N 2O,
dekstrometrofan, etanol dan xenon. Beberapa obat memiliki sifat antagonis NMDA bersama
dengan agonis opioid, misalnya tramadol.
IV.3 Stadium Anestesia
Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel, meliputi:
1.

Stadium 1 atau stadium induksi


13

Sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang ditandai dengan
hilangnya refleks bulu mata.
2.

Stadium 2 atau stadium eksitasi


Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan delirium. Pernapasan menjadi
irregular, dapat terjadi pasien menahan napas. Terjadi REM. Timbul gerakangerakan involuntary, seringkali spastic. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat
membahayakan jalan napas. Pada stadium ini aritmia jantung dapat terjadi. Pupil
dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium ini adalah stadium yang

berisiko tinggi.
3. Stadium 3 atau stadium pembedahan (surgical anestesia)
Dibagi atas 4 plana, yaitu:
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernapasan menjadi abdominal dan dangkal.
Pada stadium ini otot-oto skeletal akan relaks, pernapasan menjadi teratur.
Pembedahan dapat dimulai.
4. Stadium 4 atau stadium overdosis obat anestetik
Anestesia menjadi terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh,
termasuk batang otak. Stadium ini letal.
IV.3 Manajemen Perioperatif
1. Periode Preoperatif
Tujuan utamanya adalah untuk mencari kemungkinan penyulit anestesia. Salah satu
yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah kelainan anatomi, terutama
anatomi jalan napas. Kelainan fungsi tubuh dan penyakit penyerta juga perlu
diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan

obat anestetik.

Penyakit kardiovaskular adalah diantara kelainan perioperatif yang sering


menimbulkan komplikasi perioperatif. Penyakit lain yang sering menimbulkan
morbiditas bahkan mortalitas perioperatif adalah penyakit paru, ginjal dan diabetes.
Anamnesis
a. Identitas pasien penting untuk menghindari kesalahan pasien
b. Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan, riwayat alergi
yang dimiliki dan pencetus serta obat yang biasa digunakan untuk
mengatasinya.
14

c. Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alcohol atau
penggunaan obat-obat rekreasional (misalnya metamfetamin, heroin, kokain).
d. Riwayat kematian anggota keluarga diatas meja operasi.
Pemeriksaan Fisik
a. Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi leher pendek dan kaku, jarak
tiro-mental, lidah besar, maksila yang protrusive, gigi geligi yang goyang dan
sebagainya.
b. Pasien sesak napas dapat dilihat dari posisi berbaring (setengah duduk atau
menggunakan bantal yang tinggi), frekuensi napas, jenis pernapasan dan
tingkat saturasi oksigen dengan menggunakan oksimeter.
c. Auskultasi dada dengarkan bunyi napas dasar, napas tambahan, murmur
dan gallop.

Pemeriksaan Tambahan
Dilakukan sesuai indikasi:
11. Pemeriksaan laboratorium darah
12. EKG
13. Foto rontgen thorax
Status Fisik ASA
Klasifikasi status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologists Physical
Status Classification (ASA) :
-

ASA I

: Pasien tidak memiliki kelainan organic maupun sistemik selain


penyakit yang akan dioperasi.

ASA II

ASA III

ASA IV

: Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai sedang


selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya DM yang
terkontrol atau hipertensi ringan.
: Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang
akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya DM
yang tak terkontrol, hipertensi tak terkontrol.
: Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa

15

selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial


-

ASA V

berat, gagal jantung kongestif.


: Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan
anestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian

ASA VI

tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat.
: Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai
organ donor bagi yang membutuhkan.

Puasa
Lamanya puasa hendaknya disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisik dan
rencana operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6 8 jam
untuk mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4 6 jam.
Anak kecil dan bayi 4 jam. Clear fluid boleh diminum hingga 2 jam praoperasi.
Tujuan dari puasa adalah untuk mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang
dapat fatal. Jika pasien rentan terhadap kondisi dehidrasi, perlu dipertimbangkan
cairan intravena selama periode puasa ini.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1 2 jam sebelum induksi anestesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anestesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang
tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan
dan menenangkan hati pasien.
16

2. Periode Intraoperatif
Persiapan Anestesia
Hal pertama yang dilakukan ketika masuk ruang operasi adalah pastikan sumber
listrik terpasang pada peralatan elektronik. Dan pastikan peralatan elektronik
berfungsi dengan baik seperti lampu ruangan, mesin anestesia, berbagai alat pantau,
mesin penghangat tempat tidur / blanket roll, infusion pumps, syringe pumps,
defibrillator.
Sumber gas, terutama oksigen harus disambungkan dengan mesin anestesia.
Pengecekan dilakukan dengan cara melihat gerakan flowmeter. Flowmeter adalah
indikatorr fresh gas flow. Setelah semua gas diperiksa, harus dipastikan tidak ada
kebocoran pada sirkuit napas. Berikutnya adalah menyiapkan STATICS.
S = Scope
Laringoskop harus diperiksa lampunya cukup terang atau tidak. Stetoskop untuk
konfirmasi bunyi napas paru kanan-kiri setelah di intubasi.
T = Tubes
ETT harus disiapkan dengan ukuran yang sesuai, disertai satu ukuran dibawahnya
dan satu ukuran diatasnya.
A = Airway
Guedel disiapkan untuk menahan agar lidah tidak jatuh.
T = Tapes
Plester digunakan untuk memfiksasi ETT.
I = Introducer
Stillet dan margil forcep untuk memudahkan tindakan intubasi.
C = Connector
Penghubung antara ETT dengan sirkuit napas.
S = Suction
Untuk membersihkan jalan napas.
Pemantauan dan Pencatatan
Pemantauan dilakukan sejak pasien tiba di ruang operasi hingga keluar dari ruang
pulih. Pemantauan dan pencatatan yang dilakukan meliputitanda-tanda vital, obat
(dosis dan waktu pemberian) yang diberikan, jumlah dan jenis cairan yang
diberikan dan transfusi produk darah jika dilakukan.
3. Periode Pascaoperatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Di recovery room
dilakukan observasi menggunakan skor Aldrette.

17

IV.4 Manajemen Jalan Napas, Ventilasi dan Oksigenasi


Dalam keadaan anestesia, kemampuan pasien untuk mempertahankan patensi jalan
napasnya dapat terganggu. Sumbatan jalan napas tersering pada pasien tidak sadar adalah
akibat jatuhnya pangkal lidah. Selain itu juga dapat disebabkan secret jalan napas yang tidak
dapat keluar dengan mekanisme batuk. Sumbatan jalan napas, meskipun parsial dapat
menyebabkan penumpukan CO2 (hiperkarbia) dan gangguan oksigenasi (hipoksia).
Ventilasi
MV (Minute Ventilation) = TV (Tidal Ventilation) x RR (Respiratory Rate)
Alat Bantu Pernapasan
1. Endotracheal Tube (ETT)
Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui ETT atau melalui LMA
(Laryngeal Mask Airway). ETT memiliki berbagai macam tipe, yaitu :
ETT dapat terbagi menjadi yang memiliki manset dan yang tidak memiliki manset.
Manset pada endotracheal tube bertujuan untuk mengurangi kemungkinan bocornya gas
pada saat pemberian ventilasi kepada pasien yang diberikan anestesia umum. Pada tipe
tanpa manset memiliki keuntungan bila digunakan pada anak-anak dan bayi sehingga
kemungkinan untuk cedera akibat tekanan dari manset berkurang.
Selain itu juga, ETT memiliki varian pada mansetnya yang dibagi menjadi manset
dengan tekanan yang tinggi dan yang bertekanan rendah. Pada manset yang bertekanan
tinggi, sering dikaitkan dengan kerusakan iskemik pada mukosa trakeal dan kurang cocok
untuk digunakan pada penggunaan yang berkepanjangan. Pada manset dengan tekanan
yang rendah, sering dikaitkan dengan nyeri tenggorokan, aspirasi, ekstubasi spontan, dan
pemasukkan yang sulit (karena mansetnya yang terkulai) namun karena insidensi
kerusakan mukosa yang rendah, maka kateter dengan manset bertekanan rendah sering
digunakan.
Varian untuk ETT pada saat ini sangat banyak karena telah dimodifikasi sehingga
dapat memberikan keuntungan. Flexible, spiral-wound, dan reinforced ETT dimodifikasi
untuk menahan bentuk ETT sehingga tidak melentur. Ada juga double lumen
endotracheal tube yang memiliki keuntungan yakni mengisolasi paru-paru dan
memberikan ventilasi pada satu paru.

18

1. Indikasi penggunaan ETT :


-

Pasien dengan tingkat kesadaran yang menurun dengan penilaian glasgow


coma scale (GCS) < 8.

Pasien sadar yang tidak mendapatkan ventilasi atau oksigenasi yang adekuat.

2. Kontraindikasi penggunaan ETT :


-

Tidak dapat mengekstensi kepala : Artritis berat atau degenerasi spinal.

Trauma berat pada spinal servikal atau trauma pada leher anterior.

Infeksi epiglottal.

Fraktur mandibular.

Hemoragik orofaringeal tidak terkontrol.

3. Keuntungan penggunaan ETT :


Pengamanan total jalan napas (terutama jika menggunakan cuff) dan kemudahan
pengisapan secret.
4. Kerugian penggunaan ETT :
- Pemasangan ETT termasuk tindakan invasive yang pemasangannya dapat
menyebabkan traumatic dan bagi pasien dengan jalan napas yang hipereaktif
-

dapat mencetuskan asma.


Apabila pemasangan ETT terlalu dalam di salah satu bronkus dapat

menyebabkan hipoksia karena atelektasis satu paru.


- Pemasangan ETT terkadang dapat masuk ke esofagus
5. Komplikasi
- Trauma, baik karena tindakan langsung maupun karena penggunaan alat bantu
napas yang lama

19

Tindakan

laringoskopi

sangat

berisiko menyebabkan spasme laring


(laringospasme).

Gambar 2. Tindakan ETT

6. Klasifikasi mallampati
Klasifikasi

mallampati

berhubungan

dengan ukuran lidah hingga ukuran faring dan merupakan faktor penting dalam
menentukan derajat kesulitan untuk menggunakan laringoskop. Klasifikasi ini
memberikan pemeriksaan jalur napas atas berdasarkan visibilitas dari jarak faring
oral dari visualisasi yang lengkap termasuk pilar tonsil hingga tidak terlihat dengan
uvula tertekan melawan lidah. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pasien sedang
dalam posisi duduk, terbangun, dan koperatif. Pemeriksaan dengan meminta pasien
untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah mereka keluar dan periksa
berdasarkan struktur faring yang terlihat.

Gambar 3. Class Mallampati

20

Grade 1 : Tampak pilar faring, palatum mole, dan uvula

Grade 2 : Tampak hanya palatum mole dan uvula

Grade 3 : Tampak hanya pallatum mole

Grade 4 : Pallatum mole tidak tampak

Bila pada pemeriksaan mallampati menunjukkan grade I dan II, maka tidak ada
kesulitan atau kesulitan yang dihadapi adalah minimal dalam mengamankan jalur
napas, namun bila pemeriksaan mallampati menunjukkan grade III atau IV, maka
perlunya antisipasi bila menghadapi kesulitan dalam mengamankan jalur napas.

2. Laryngeal Mask Airway (LMA)


Ujung LMA yang terbuat dari karet akan berada pada posterior laring, menutup pangkal
esophagus. Lubangnya dibagian anterior akan berada tepat didepan rima glottis. Oleh karena
LMA tidak dimasukkan melewati pita suara, sehingga LMA tidak bersifat iritatif dan traumatic.
Kerugiannya adalah jalan napas tidak sepenuhnya terlindungi.
Perbedaan ETT dan LMA
Keuntungan
Berguna pada intubasi sulit
Trauma pada gigi dan laring rendah
Mengurangi kejadian bronchospasme dan
laryngospasme

Kerugian
Meningkatkan risiko aspirasi gastrointestinal
Harus dalam posisi prone atau jackknife
Tidak aman pada pasien obesitas berat

21

Tidak membutuhkan muscle relaxan


Mengurangi efek pada tekanan
intraokulat
Mengurangi risiko intubasi ke esophagus

Maksimum positive pressure ventilation (PPV)


terbatas
Keamanan jalan napas kurang terjaga
Risiko kebocoran gas dan polusi ruangan lebih

atau endobronkial

tinggi
Dapat menyebabkan distensi lambung
Tabel 2. Keuntungan dan Kerugian LMA terhadap ETT

IV.5 Ventilator mekanik


Ventilator mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi memberikan
bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru melalui
jalan nafas buatan.
Mode ventilator mekanik :
1. Mode control (pressure control, volume control, continuous mode)
Pasien mendapat bantuan pernafasan sepenuhnya, pada mode ini pasien dibuat tidak
sadar (tersedasi) sehingga pernafasan di kontrol sepenuhnya oleh ventilator. Tidal
volume yang didapat pasien juga sesuai yang di set pada ventilator. Pada mode control
kelasik, pasien sepenuhnya tidak mampu bernafas dengan tekanan atau tidal volume
lebih dari yang telah di set pada ventilator. Namun pada mode control terbaru,
ventilator juga bekerja dalam mode assist-control yang memungkinkan pasien
bernafas dengan tekanan atau volum tidal lebih dari yang telah di set pada ventilator.
2. Mode Intermitten Mandatory Ventilation (IMV)
Pada mode ini pasien menerima volume dan frekuensi pernafasan sesuai dengan yang
di set pada ventilator. Diantara pernafasan pemberian ventilator tersebut pasien bebas
bernafas. Misalkan respiratory rate (RR) di set 10, maka setiap 6 detik ventilator akan
memberikan bantuan nafas, diantara 6 detik tersebut pasien bebas bernafas tetapi tanpa
bantuan ventilator. Kadang ventilator memberikan bantuan saat pasien sedang bernafas
mandiri, sehingga terjadi benturan antara kerja ventilator dan pernafasan mandiri
pasien.

22

3. Mode Synchronous Intermitten Mandatory Ventilation (IMV)


Sama dengan mode IMV hanya saja ventilator tidak memberikan bantuan ketika
pasien sedang bernafas mandiri. Sehingga benturan terhindarkan.
4. Mode Pressure Support atau Mode Spontan
Ventilator tidak memberikan bantuan inisiasi nafas lagi. Inisiasi nafas sepenuhya oleh
pasien, ventilator hanya membantu pasien mencapai tekanan atau volume yang di set
di mesin dengan memberikan tekanan udara positif.
Istilah dalam ventilator mekanik
1. FiO2 dan PaO2
FiO2 adalah fraksi atau konsentrasi oksigen dalam udara yang diberikan kepada pasien.
Sedangkan PaO2 adalah tekanan parsial oksigen yaitu perbedaan konsentrasi antara
oksigen di alveolus dan membran.
2. I : E Ratio
Perbandingan antara waktu inspirasi dan ekspirasi. Nilai normal 1:2.

3. Volume Tidal
Jumlah udara yang keluar masuk paru dalam satu kali nafas, atau sama dengan jumlah
udara yang diberikan ventilator dalam satu kali nafas. Nilai normal 10 15 ml/kgBB
untuk dewasa dan 6 8 ml/ kgBB untuk anak.

23

4. Minute Volume
Jumlah udara yang keluar masuk dalam satu menit, atau jumlah udara yang diberikan
ventilator dalam satu menit. Nilainya = volume tidal x RR.
5. PEEP dan CPAP
Positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir ekspirasi digunakan
untuk mempertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi untuk mencegah
terjadinya kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli. Nilai antara 5
15 mmHg, maksimal 12 mmHg untuk anak. Continuous positive airway pressure
(CPAP) identik dengan PEEP, yaitu pemberian tekanan positif pada saluran nafas
selama siklus pernafasan.
6. Pressure atau Volume Limit
Batas atas tekanan atau volume yang diberikan pada pasien. Volume limit yang terlalu
tinggi dapat berakibat trauma paru.

IV.6 Obat-obat Anestesia Umum


1.

Sedatif
-

Midazolam (Miloz) : Obat penenang (tranquilizer)


Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi, induksi, dan
pemeliharaan anestesia. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat
karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang
tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan pernapasan,
dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah
penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0.07 0.10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan
keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah dosisnya
0.025-0.05 mg/kgBB.

24

Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan
pernapasan, umumnya hanya sedikit.
2. Analgesik
-

Fentanyl
Fentanyl ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih larut
dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya.
Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasidan sisa metabolismenya
dikeluarkan lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB.
Analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan
untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 ul/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan pemeliharaan
anestesia dengan kombinasi benzodiazepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada
bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya
dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar
gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.

3.

Induksi
-

Propofol (Recofol, diprivan)


Propofol adalah obat anestesia intravena yang bekerja cepat dengan karakter
recovery anestesia yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Propofol merupakan
cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonic dengan
kepekatan 1% (1ml = 10mg) dan mudah larut dalam lemak. Propofol menghambat
transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesia
umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500 ug/kgBB/menit infus. Dosis sedasi
25-100ug/kgBB/menit infus. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk
induksi maupun maintenance anestesia itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk

25

pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus
intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih
lambat daripada pemberian pada orang dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada pasien
dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat.
4.

Muscle relaxan
-

Atracurium (notrixum)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru, sifatnya tidak
mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna dan pemulihan fungsi saraf otot
dapat terjadi secara spontan, dosis 0,5 mg/kg BB, durasi 15-30 menit.

5.

Maintanance anestesia
-

Isoflurane
Isomer dari enfluran dengan efek samping yang minimal. Induksi dan masa pulih
anestesia dengan isofluran cepat.
Sifat fisis: titik didih 58,5, koefisien partisi darah/gas 1.4, MAC 1.15%
Farmakologi:
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesa teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.

N2O
N2O diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C (NH 4 NO3
2H2O + N2O).
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar,
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesia
inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasikan dengan salah satu
anestesia lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesia setelah N 2O

26

dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran O2 100% selama 5-10 menit.
Penggunaan dalam anestesia umumnya dipakai dalam kombinasi N 2O : O2 yaitu 60%
: 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesic digunakan dengan
perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%.
N2O

sangat

berbahaya

bila

digunakan

pada

pasien

pneumothoraks,

pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.

27

BAB V
KESIMPULAN

Sebelum melakukan pembedahan elektif, pasien harus disiapkan supaya berada dalam
keaadaan bugar. Oleh karena itu, pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu tetapi
sebaliknya pada operasi cyto penundaan yang tidak perlu harus dihindari. Berdasarkan status
fisik menurut ASA, pasien ini termasuk ke dalam ASA II karena pada anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang ditemukan hasil bahwa pasien memiliki hipertensi grade I.
Pada operasi ini, digunakan anestesia umum dengan pemasangan ETT napas spontan
untuk memastikan bahwa jalan napas akan selalu berada dalam kondisi terbuka dan
mendapatkan ventilasi yang adekuat selama operasi, serta mencegah terjadinya aspirasi atau
regurgitasi yang dapat menjadi penyulit semasa operasi. Teknik anestesia ini dapat juga
digunakan untuk operasi dengan durasi yang lama dan pada kondisi-kondisi yang sulit untuk
mempertahankan jalan napas bebas dengan sungkup muka.
Sejak insisi pertama kali dilakukan hinggga jahitan terakhir telah tercapai trias anestesia
dengan pemberian obat-obatan anestesia seperti : fentanyl sebagai analgesik, atracurium
sebagai relaksan, propofol sebagai induksi, dan sevoflurens sebagai obat anestesia inhalasi dan
juga sebagai maintanance anastesia bekerja dengan baik.
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruang recovery room. Pasien
segera diperiksa nilai kesadarannya menggunakan Aldrette score. Penilaian tersebut mencakup
penilaian terhadap kesadaran, warna kulit, aktivitas, kardiovaskuler dan respirasi. Pasien ini
mendapat nilai 10/10 yang berarti pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
Hasil tindakan anestesia yang baik didapatkan dengan persiapan yang baik dan tepat
dengan dimulainya praanestesia, premedikasi, pemilihan teknik anestesia, pemilihan obatobatan anestesia serta melakukan pengawasan tanda-tanda vital selama operasi dan tindakan
pasca operasi.

28

DAFTAR PUSTAKA

Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or face mask : a meta
analysis. Can J Anaest 2005 ; 42 : 1017 1023

Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fifth Edition. McGraw--Hill Companies. 2013:
309 - 341.

El-Ganzouri A, Avramov MN, Budac S, Moric M, Tuman KJ. Proseal laryngeal mask airway
versus endotracheal tube : ease of insertion, hemodynamic response and emergence
characteristic. Anesthesiology 2003 ;99 : A57.

Peter F Dunn. Clinical Anestesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Lippincot
Williams Wilkins. 2007:213--217

Soenarjo, Djatmiko. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP.

Thomas J Gal. Airway Management in Millers Anestesia, Chapter 42,.Elsevier : 2005 : page
1617.

29

30

Anda mungkin juga menyukai