LAPORAN KASUS
: Tn. Tindyo
No. RM
: 838151
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 58 tahun
Tanggal Lahir
: 17 September 1958
Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Status Pernikahan
: Menikah
I.2 Anamnesis
Autoanamnesa pada tanggal 12 Juli 2016 pukul 17.00
Keluhan Utama :
Nyeri punggung sampai ke kaki sebelah kanan
Riwayat penyakit Sekarang :
Keluhan nyeri punggung sejak 9 bulan yang lalu, nyeri makin lama semakin parah,
awalnya hanya di bagian punggung kiri lalu menjalar ke kaki kiri lalu kaki kanan. Pasien
tidak bisa jalan, bila jalan terasa sakit. Pasien sudah pernah di fisioterapi namun nyeri
belum membaik, lalu di Rontgen di RS. Suyoto dan dikatakan bahwa tulang bergeser. Saat
ini demam, batuk, pilek, nyeri dada, sesak napas, mual, muntah, kejang disangkal oleh
pasien. Pasien memakai gigi palsu dan terdapat gigi goyang.
Riwayat operasi :
Pasien sudah 4 kali menjalani operasi dengan teknik anestesi spinal untuk operasi kaki
kanannya dan anestesi umum untuk operasi tangan kanannya yang patah.
Saat selesai operasi dengan teknik anestesi umum pasien mengeluh mual dan muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (+)
Diabetes Melitus (-)
Asma (-)
Alergi (-)
Penyakit Paru (-)
Penyakit Jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit keluarga
Riwayat Pribadi Sosial :
Merokok (-)
Minum Alkohol (-)
I.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
BB
: 58 Kg
TB
: 167 cm
2. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Suhu
: 140/90 mmHg
: 78 x/menit, regular, isi cukup
: 18 x/menit
: 36,5oC per axilla
2
3. Status Generalis
Kepala
: Normocephal
Mata
Telinga
Tenggorokan
Mulut
Leher
Thoraks
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
: Cembung, Caput medusa (-), Spider navy (-)
: BU (+) N, Metallic sound (-)
: Supel, Nyeri tekan (-), Hepatosplenomegali (-), Ascites (-)
: Timpani seluruh lapang abdomen
: Nyeri ketuk CVA (-/-)
3
-Ekstremitas
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Ritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Hasil
Saat ini
14
41
50
10300
309000
84
29
34
Nilai Rujukan
13-18 g/dL
40-52%
4,3 6,0 juta/uL
4,800 10,800/uL
150,000 400,000 /uL
80 96 fL
27 32 pg
32 36 g/dL
125
< 140 mg/dL
25
<35 u/I
30
<40 u/I
23
20 50 mg/dl
0,7
0,5 1,5 mg/dl
Tabel 1. Laboratorium Darah
EKG
Sinus rhytm, st elevasi (-), gelombang P normal, PR interval < 0,2 detik, QRS complex
< 0,12 detik.
Kesan : Normal EKG
Foto Thorax
Jantung tidak melebar, CTR < 50%
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Persiapan Anestesi
II.1 Persiapan pasien
1. Sebelum operasi
Konektor
Suction
BAB III
PELAKSANAAN ANESTESIA
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 150/80 mmHg
Nadi
: 70 x/mnt
RR
: 16 x/mnt
Suhu
: Afebris
TB
: 152 cm
BB
: 58 Kg
Saturasi O2
: 98 %
Pembedahan selesai.
Anestesia diberhentikan.
Diberikan Tramadol 30 mg (IV)
Diberikan Ketorolac (IV).
Diberikan reverse SA 0,50 mg + Prostigmin 1 mg.
10
post operasi,.
6. Pasien boleh makan dan minum bertahap bila sadar penuh, tidak ada mual dan muntah.
Sebelum dipindahkan ke ruang perawatan, dilakukan penilaian Aldrete Score di ruang
pemulihan dan didapatkan hasil :
Kesadaran
:2
Warna kulit
:2
Aktivitas
:2
Respirasi
:2
Kardiovaskuler
:2
Total score
= 10
11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
menyatakan sejumlah molekul zat anestetik berinteraksi dengan molekul air membentuk
clathrates (mikrokistal yang terhidrasi). Molekul inilah yang menginhibisi reseptor-reseptor di
SSP.
Secara klasik, dipercaya bahwa hilangnya kesadaran melulai peningkatan tonus GABA
atau inhibisi reseptor yang diaktivasi glutamate. GABA bersifat menginhibisi impuls di otak,
sedangkan NMDA dan AMPA bersifat eksitasi.
Gamma Aminobutyric Acid (GABA)
GABA adalah neurotransmitter inhibitori di SSP, bekerja dengan cara berikatan dengan
reseptornya di membrane sel. Ikatan ini menyebabkan terbukanya kanal ion yang
memungkinkan masuknya ion Cl- atau keluarnya ion K+. Terjadi hiperpolarisasi sel. Obat yang
bekerja pada reseptor GBA (GABAergic / GABA analogue drugs) memiliki efek depresif di
SSP. Obat-obat ini biasanya bersifat antiansietas, antikonvulsif, menyebabkan amnesia dan
sebagainya.
Contoh obat tipikal GABA-ergik adalah golongan benzodiazepine, barbiturate, etomidat,
kloralhidrat dan zat-zat anestetik inhalasi. Selain itu ada juga glisin, neurotransmitter inhibitori
juga di medulla spinalis dan batang otak. Sebagian besar obat anestetik intravena juga bekerja
memodulasi GABA.
Reseptor yang Diaktivasi Glutamat
Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi utama pada SSP mamalia. Reseptornya
termasuk NMDA, AMPA dan kainat. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate receptor) adalah
satu dari dua reseptor utama yang diaktivasi glutamate. Reseptor lain adalah AMPA. Kedua
reseptor ini sering dijumpai pada sinaps yang sama meskipun mempunyai fisiologi yang
berbeda. Fungsi reseptor kainat dan hubungannya dengan anestesia belum diketahui jelas.
Antagonis reseptor NMDA umumnya digunakan sebagai obat anestetik. Salah satu efek yang
unik di SSP adalah disosiasi. Diantara antagonis NMDA yang terkenal adalh ketamin, N 2O,
dekstrometrofan, etanol dan xenon. Beberapa obat memiliki sifat antagonis NMDA bersama
dengan agonis opioid, misalnya tramadol.
IV.3 Stadium Anestesia
Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel, meliputi:
1.
Sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang ditandai dengan
hilangnya refleks bulu mata.
2.
berisiko tinggi.
3. Stadium 3 atau stadium pembedahan (surgical anestesia)
Dibagi atas 4 plana, yaitu:
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernapasan menjadi abdominal dan dangkal.
Pada stadium ini otot-oto skeletal akan relaks, pernapasan menjadi teratur.
Pembedahan dapat dimulai.
4. Stadium 4 atau stadium overdosis obat anestetik
Anestesia menjadi terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh,
termasuk batang otak. Stadium ini letal.
IV.3 Manajemen Perioperatif
1. Periode Preoperatif
Tujuan utamanya adalah untuk mencari kemungkinan penyulit anestesia. Salah satu
yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah kelainan anatomi, terutama
anatomi jalan napas. Kelainan fungsi tubuh dan penyakit penyerta juga perlu
diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan
obat anestetik.
c. Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alcohol atau
penggunaan obat-obat rekreasional (misalnya metamfetamin, heroin, kokain).
d. Riwayat kematian anggota keluarga diatas meja operasi.
Pemeriksaan Fisik
a. Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi leher pendek dan kaku, jarak
tiro-mental, lidah besar, maksila yang protrusive, gigi geligi yang goyang dan
sebagainya.
b. Pasien sesak napas dapat dilihat dari posisi berbaring (setengah duduk atau
menggunakan bantal yang tinggi), frekuensi napas, jenis pernapasan dan
tingkat saturasi oksigen dengan menggunakan oksimeter.
c. Auskultasi dada dengarkan bunyi napas dasar, napas tambahan, murmur
dan gallop.
Pemeriksaan Tambahan
Dilakukan sesuai indikasi:
11. Pemeriksaan laboratorium darah
12. EKG
13. Foto rontgen thorax
Status Fisik ASA
Klasifikasi status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologists Physical
Status Classification (ASA) :
-
ASA I
ASA II
ASA III
ASA IV
15
ASA V
ASA VI
tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat.
: Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai
organ donor bagi yang membutuhkan.
Puasa
Lamanya puasa hendaknya disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisik dan
rencana operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6 8 jam
untuk mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4 6 jam.
Anak kecil dan bayi 4 jam. Clear fluid boleh diminum hingga 2 jam praoperasi.
Tujuan dari puasa adalah untuk mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang
dapat fatal. Jika pasien rentan terhadap kondisi dehidrasi, perlu dipertimbangkan
cairan intravena selama periode puasa ini.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1 2 jam sebelum induksi anestesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anestesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang
tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan
dan menenangkan hati pasien.
16
2. Periode Intraoperatif
Persiapan Anestesia
Hal pertama yang dilakukan ketika masuk ruang operasi adalah pastikan sumber
listrik terpasang pada peralatan elektronik. Dan pastikan peralatan elektronik
berfungsi dengan baik seperti lampu ruangan, mesin anestesia, berbagai alat pantau,
mesin penghangat tempat tidur / blanket roll, infusion pumps, syringe pumps,
defibrillator.
Sumber gas, terutama oksigen harus disambungkan dengan mesin anestesia.
Pengecekan dilakukan dengan cara melihat gerakan flowmeter. Flowmeter adalah
indikatorr fresh gas flow. Setelah semua gas diperiksa, harus dipastikan tidak ada
kebocoran pada sirkuit napas. Berikutnya adalah menyiapkan STATICS.
S = Scope
Laringoskop harus diperiksa lampunya cukup terang atau tidak. Stetoskop untuk
konfirmasi bunyi napas paru kanan-kiri setelah di intubasi.
T = Tubes
ETT harus disiapkan dengan ukuran yang sesuai, disertai satu ukuran dibawahnya
dan satu ukuran diatasnya.
A = Airway
Guedel disiapkan untuk menahan agar lidah tidak jatuh.
T = Tapes
Plester digunakan untuk memfiksasi ETT.
I = Introducer
Stillet dan margil forcep untuk memudahkan tindakan intubasi.
C = Connector
Penghubung antara ETT dengan sirkuit napas.
S = Suction
Untuk membersihkan jalan napas.
Pemantauan dan Pencatatan
Pemantauan dilakukan sejak pasien tiba di ruang operasi hingga keluar dari ruang
pulih. Pemantauan dan pencatatan yang dilakukan meliputitanda-tanda vital, obat
(dosis dan waktu pemberian) yang diberikan, jumlah dan jenis cairan yang
diberikan dan transfusi produk darah jika dilakukan.
3. Periode Pascaoperatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Di recovery room
dilakukan observasi menggunakan skor Aldrette.
17
18
Pasien sadar yang tidak mendapatkan ventilasi atau oksigenasi yang adekuat.
Trauma berat pada spinal servikal atau trauma pada leher anterior.
Infeksi epiglottal.
Fraktur mandibular.
19
Tindakan
laringoskopi
sangat
6. Klasifikasi mallampati
Klasifikasi
mallampati
berhubungan
dengan ukuran lidah hingga ukuran faring dan merupakan faktor penting dalam
menentukan derajat kesulitan untuk menggunakan laringoskop. Klasifikasi ini
memberikan pemeriksaan jalur napas atas berdasarkan visibilitas dari jarak faring
oral dari visualisasi yang lengkap termasuk pilar tonsil hingga tidak terlihat dengan
uvula tertekan melawan lidah. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pasien sedang
dalam posisi duduk, terbangun, dan koperatif. Pemeriksaan dengan meminta pasien
untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah mereka keluar dan periksa
berdasarkan struktur faring yang terlihat.
20
Bila pada pemeriksaan mallampati menunjukkan grade I dan II, maka tidak ada
kesulitan atau kesulitan yang dihadapi adalah minimal dalam mengamankan jalur
napas, namun bila pemeriksaan mallampati menunjukkan grade III atau IV, maka
perlunya antisipasi bila menghadapi kesulitan dalam mengamankan jalur napas.
Kerugian
Meningkatkan risiko aspirasi gastrointestinal
Harus dalam posisi prone atau jackknife
Tidak aman pada pasien obesitas berat
21
atau endobronkial
tinggi
Dapat menyebabkan distensi lambung
Tabel 2. Keuntungan dan Kerugian LMA terhadap ETT
22
3. Volume Tidal
Jumlah udara yang keluar masuk paru dalam satu kali nafas, atau sama dengan jumlah
udara yang diberikan ventilator dalam satu kali nafas. Nilai normal 10 15 ml/kgBB
untuk dewasa dan 6 8 ml/ kgBB untuk anak.
23
4. Minute Volume
Jumlah udara yang keluar masuk dalam satu menit, atau jumlah udara yang diberikan
ventilator dalam satu menit. Nilainya = volume tidal x RR.
5. PEEP dan CPAP
Positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir ekspirasi digunakan
untuk mempertahankan tekanan paru positif pada akhir ekspirasi untuk mencegah
terjadinya kolaps paru dan meningkatkan pertukaran gas dalam alveoli. Nilai antara 5
15 mmHg, maksimal 12 mmHg untuk anak. Continuous positive airway pressure
(CPAP) identik dengan PEEP, yaitu pemberian tekanan positif pada saluran nafas
selama siklus pernafasan.
6. Pressure atau Volume Limit
Batas atas tekanan atau volume yang diberikan pada pasien. Volume limit yang terlalu
tinggi dapat berakibat trauma paru.
Sedatif
-
24
Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan
pernapasan, umumnya hanya sedikit.
2. Analgesik
-
Fentanyl
Fentanyl ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih larut
dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya.
Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasidan sisa metabolismenya
dikeluarkan lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB.
Analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan
untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 ul/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan pemeliharaan
anestesia dengan kombinasi benzodiazepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada
bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya
dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar
gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.
3.
Induksi
-
25
pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus
intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih
lambat daripada pemberian pada orang dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada pasien
dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat.
4.
Muscle relaxan
-
Atracurium (notrixum)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru, sifatnya tidak
mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang, dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna dan pemulihan fungsi saraf otot
dapat terjadi secara spontan, dosis 0,5 mg/kg BB, durasi 15-30 menit.
5.
Maintanance anestesia
-
Isoflurane
Isomer dari enfluran dengan efek samping yang minimal. Induksi dan masa pulih
anestesia dengan isofluran cepat.
Sifat fisis: titik didih 58,5, koefisien partisi darah/gas 1.4, MAC 1.15%
Farmakologi:
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesa teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.
N2O
N2O diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C (NH 4 NO3
2H2O + N2O).
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar,
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesia
inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasikan dengan salah satu
anestesia lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesia setelah N 2O
26
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran O2 100% selama 5-10 menit.
Penggunaan dalam anestesia umumnya dipakai dalam kombinasi N 2O : O2 yaitu 60%
: 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesic digunakan dengan
perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%.
N2O
sangat
berbahaya
bila
digunakan
pada
pasien
pneumothoraks,
27
BAB V
KESIMPULAN
Sebelum melakukan pembedahan elektif, pasien harus disiapkan supaya berada dalam
keaadaan bugar. Oleh karena itu, pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu tetapi
sebaliknya pada operasi cyto penundaan yang tidak perlu harus dihindari. Berdasarkan status
fisik menurut ASA, pasien ini termasuk ke dalam ASA II karena pada anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang ditemukan hasil bahwa pasien memiliki hipertensi grade I.
Pada operasi ini, digunakan anestesia umum dengan pemasangan ETT napas spontan
untuk memastikan bahwa jalan napas akan selalu berada dalam kondisi terbuka dan
mendapatkan ventilasi yang adekuat selama operasi, serta mencegah terjadinya aspirasi atau
regurgitasi yang dapat menjadi penyulit semasa operasi. Teknik anestesia ini dapat juga
digunakan untuk operasi dengan durasi yang lama dan pada kondisi-kondisi yang sulit untuk
mempertahankan jalan napas bebas dengan sungkup muka.
Sejak insisi pertama kali dilakukan hinggga jahitan terakhir telah tercapai trias anestesia
dengan pemberian obat-obatan anestesia seperti : fentanyl sebagai analgesik, atracurium
sebagai relaksan, propofol sebagai induksi, dan sevoflurens sebagai obat anestesia inhalasi dan
juga sebagai maintanance anastesia bekerja dengan baik.
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruang recovery room. Pasien
segera diperiksa nilai kesadarannya menggunakan Aldrette score. Penilaian tersebut mencakup
penilaian terhadap kesadaran, warna kulit, aktivitas, kardiovaskuler dan respirasi. Pasien ini
mendapat nilai 10/10 yang berarti pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
Hasil tindakan anestesia yang baik didapatkan dengan persiapan yang baik dan tepat
dengan dimulainya praanestesia, premedikasi, pemilihan teknik anestesia, pemilihan obatobatan anestesia serta melakukan pengawasan tanda-tanda vital selama operasi dan tindakan
pasca operasi.
28
DAFTAR PUSTAKA
Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or face mask : a meta
analysis. Can J Anaest 2005 ; 42 : 1017 1023
Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fifth Edition. McGraw--Hill Companies. 2013:
309 - 341.
El-Ganzouri A, Avramov MN, Budac S, Moric M, Tuman KJ. Proseal laryngeal mask airway
versus endotracheal tube : ease of insertion, hemodynamic response and emergence
characteristic. Anesthesiology 2003 ;99 : A57.
Peter F Dunn. Clinical Anestesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Lippincot
Williams Wilkins. 2007:213--217
Thomas J Gal. Airway Management in Millers Anestesia, Chapter 42,.Elsevier : 2005 : page
1617.
29
30