Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Dalil dan metode hukum islam diantaranya yaitu : ijma, Qiyas dan Ihtisan. Ijma
adalah kesepakatan para imam mujtahid diantara umat islam pada suatu masa setelah
rasulullah wafat terhadap hukum syara tentang masalah atau kejadian.
Qiyas yaitu menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian
lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanay kesamaan
diantara dua kejadian itu dalam i;llat (sebab terjadinya hukum)
Istihsan adalah menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu

BAB I
IJMAK
A. Pengertian Ijma
Ijma secara etimologi berarti kesempatan atau konsensus.
Pengertian ini dijumpai dalam surat yusuf 12:15 yaitu

Maka tak kala mereka membawanya dan sepakat memasukkanya kedasar sumur ..
Pengertian ijma menurut ahli ushul adalah: kesepakatan dan kebulatan pendapat para
Imam Mujahid diantara umat islam. Pada suatu masa Rasulullah wafat terhadap rukun syarak
tentang suatu masalah atau kejadian.
Secara terminologi ada beberapa rumusan ijma yang dikemukakan para ulama ushul
fiqh1. Menurut Ibrahim Ibnu Syiyaral Nazzani, seorang tokoh mutazilah merumuskan
Ijmadengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari
seseorang.
Jumhur ulama Ushul fiqh, sebagaimana di kutip Wabbah Al Zuhaili, Muhammad Abu
Zahrah dan Abdul Wahah Khalaf, merupakan ijma dengan kesepakatan dengan para mujtahi
dari umat Muhammad SAW. Pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu
hukum syara. Muhammad Abu Zahrah menambahkan diakhir defenisi tersebut. Yang
bersifat alamiah. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijmak hanya berkaitan dengan
furu (amaliah praktis).
B. Rukun Ijmak
Jumhur Ulama Ushul Fiqhi mengemukakan bahwa rukun ijmak ada 5 yaitu 2 :
1. Yang terlihat dalam pembahasan hukum syara melalui ijmak tersebut adalah seluruh
mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan tidak
dinamakan ijtimak.

1 Ibn al- Hajib, op, cit, hal. 101 :Abdul Wahab ibn al-Subki. Jam al-Jawami, jilid II, hal. 101 al- Syaukani, op, cit., hal 63
2 Wahbah al Zuhaili, op. Cit., hal. 491-497

2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada
pada masa tersebut dari berbagai dunia Islam.
3. Kesepakatan diawali oleh masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara yang bersifat aktual yang tidak ada
hukumnya secara rinci dalam Al-Quran.
5. Sandaran hukum ijmak tersebut haruslah Al-Quran atau hadist Rasulullah SAW.
C. Syarat Ijmak
Disamping ke 5 rukun diatas jumhur ulama ushul fiqhi mengemukakan pula syarat-syarat
ijmak yaitu :
1. Yang melakukan ijmak itu adalah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari pada mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha mengindarkan diri ucapan atau
perbuatan bidah.
D. Macam-Macam Ijmak
Dilihat dari segi terjadinya kesepakatan hukum itu para ulama ushul fiqhi membagi ijmak
kepada 2 bentuk yaitu : ijmak sharih/lafzhi dan ijmak sakuti.
1.

Ijmak sharih lafzhi yaitu kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu
tentang hukum agama bagi suatu kejadian, dimana masing-masing mereka melahirkan
pendapat melalui fatwa/qada (putusan pengadilan). Jadi masing-masing mereka
mengelurkan pendapat yang jelas dan tegas tentang hukum kejadian itu, baik berbentuk
perkataan maupun perbuatan. Ijmak sharih dinamakan ijmak hakiki.

2. Ijmak sakuti yaitu sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya
secara jelas terhasp suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau
memberikan keputusan, dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam
hal penyesuainnya atau perbedaannya.
Adapun ijmak sharih menurut jumhul ulama menjadi hujjah menurut syarak, sedangkan
ijmak sakuti tidak menjadi hujjah. Menurut ulama Hannafiyah ijmak sakutipun hujjah apabila
diketahui bahwa kejadian beserta hukum yang telah diterapkan baginya sampai kepada para
mujtahid yang tidak mengeluarkan pendapat.

Ulama Malikiyah, Syariah dan Abu Bakar Baqillani (ahli fiqhi maliki berpendapat bahwa
ijmak sakuti bukanlah ijmak dan tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ke 3 dikemukakan
oleh Abu Ali Ajubai (tokoh mutazilah) bahwa ijmak sakuti bisa dikatakan ijmak apabila
generasi ijtahid yang menyepakati hukum tersebut telah habis, karena apabila mujtahid lain
bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat.
Maka kemungkinan adanya mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi.
Al Amidi (551-633 H/1156-1233 M), Ibnu Al Hajib (570-646 H/1174-1248 M) dan Al
Karkhi (260-340 H/870-952 M) ahli ushul fiqhi, berpendapat bahwa ijmak sakuti tidak bisa
dikatakan ijmak, tetapi dapat dijadikan hujjah sedangkan kehujjahhannya menurut mereka
adalah zanni.
E. Landasan Ijmak
Jumhur ulama ushul fiqhi mengatakan bahwa ijmak 3 sebagai upaya para mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus mempunyai
landasan dari nash atau qiyas. Apabila ijmak tidak punya landasan maka ijmak tersebut tidak
sah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis landasan ijmak tersebut.
Mayoritas ulama ushul fiqhi mengatakan bahwa landasan ijmak itu bisa dari dalil yang
qathi yitu Al-Quran, sunah, mutawatir serta bisa juga berlandaskan dalil zanni, seperti hadist
ahad dan qiyas. Alasan mereka adalah ijmak yang dilakukan para sahabat tentang mandi
wajib. Landasan ijmak menurut mereka adalah hadist ahad. Demikian juga kesepakatan para
sahabat menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti nabi dengan mengqiyaskan nya
kepada sikap nabi yang menunjuk Abu Bakar sebagai imam sholat ketika beliau berhalangan.
Ulama Zhabiriyah, Syiah dan Ibnu Jaril Attabari mengatakan bahwa landasan ijmak itu
harus dalil yang qafi. Menurut mereka ijmak itu dalil yang qafi suatu dalil qafi tidak mungkin
didasarkan kepada dalil yang zanni seperti hadist ahad dan qiyas, karena hasil dari zanni tetap
zanni.

3 Lihat Al-Bannani, Syarh Jami al-Jawami,op.cit., Jilid II, 186, Abdul Qadir ibn Badran al
Dimasqy,. Op.cit., hal. 132, al syaukani, op.cit., hal. 70

F. Kemungkinan Terjadinya Ijmak


Para ulama ushul fiqhi klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan
terjadinya ijmak4.
Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijmak bahkan
secara aktual ijmak itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati
seperti kesepakatan tentang pembagian warisan bagi mereka sebesar 1/6 dari harta warisan dan
larangan menjadi makanan yang belum ada ditangan penjual.
Imam Habali mengatakan bahwa siapakah yang mengatakan adanya ijmak terhadap
hukum suatu masalah maka ia telah berdusta karena mungkin saja mujtahid yang tidak setuju.
Oleh karena itu menurutnya sulit untuk mengetahui adanya ijmak terhadap hukum suatu
masalah.
Adapun ijmak dalam pandangan ulama ushul fiqhi kontemporer seperti Muhammad
Abu Zahrah, Abdul Wahab, Fatial Duraini dan Wahbah Zulhaili mengatakan bahwa ijmak
yang mungkin terjadi hanyalah dizaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada suatu
daerah. Adapun pada masa sesudahnya untuk melakukan ijmak idak mungkin, karena luasnya
daerah islam. Zahiyuddin Saban (1997 : 62) menerangkan apabila didapai dalam kitab-kitab
ungkapan ijmak, maka yang mereka maksudkan kemungkinan ijmak sakuti atau ijmak
kebanyakan ulama. Bukan ijmak sebagaimana yang didefenisikan para ahli ushul fiqhi.

4 Irsyat al-fubul, oleh al-Syaukani, hal 63-65

BAB II
QIYAS
A. Pengertian Qiyas
Menurut ulama ushul fiqhi qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada
nash kepada kejadian lain yang ada nashnya, pada nash hukum yang telah menetapkan
lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya hukum).
Sadral Al Syari ah (tokoh ushul fiqhi Hanafi) 5 menurutnya Qiyas adalah
memberlakukan hukum asal kepada hukum furu disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat
dicapai melalui pendekatan bahasa. Maksudnya illat yang ada pada satu nash sama dengan
illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid.
Mayoritas ulama syafrias6 mendefenisikan qiyas dengan membawa (hukum) yang
belum diketahui kepada hukum yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi
keduanya atau meniadakan hukum bagi keduanya. Disebabkan sesuatu yang menyatukan
keduanya baik hukum maupun sikap.
Syifuddin Al Amidi mendefenisikan qiyas 7 dengan mempersamakan illat yang ada
pada furu dengan illat yang ada pada asal yang di istimbatkan dari hukum asal.
Setelah menganalisis dari beberapa definisi qiyas yang dikemukakan para ulama
ushul fiqhi klasik tersebut, Wahbah Al Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan menyatakan
sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum
antara keduanya.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan
para ulama ushul fiqhi klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat
menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlanlah
menetapkan hukum dari awal, melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukum yang
ada pada suatu kasus belum jelas hukumnya.

5 Shadr al Syariah, op, cit ., jillid II, hal 52


6 Abu Hamid al Ghazali, al-Musytashfa fi ilm al-Usbid, Beirut: Dar al-kutub al Ilmiyah, Jilid II, hal. 54
7 Saifuddinal-amidi, op. Cit., Jillid III ,hal 170

B. Rukun Qiyas
Para ushul ulama fiqhi menetapkan bahwa rukun qiyas ada 4 yaitu 8 :
1. Ashl menurut para ahli ushul fiqhi merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya
oleh ayat Al-Quran, hadist Rasulullah SAW atau ijmak.
2. Furu adalah objek yang akan ditentukan hukumnya yang tidak ada nash atau ijmak
yang tegas dalam menentukan hukumnya seperti wisky dalam kasus diatas.
3. Illat adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum dalam kasus khamar
diatas illatnya adalah memabukkan.
4. Hukum Al Ashl adalah hukum syara yang ditentukan oleh nash atau ijmak yang akan
diberlakukan kepada faru seperti keharaman meminum khamar. Adapun hukum yang
ditetapkan pada furu pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya
tidak termasuk rukun.
C. Kehujjahhan Qiyas
Terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara terdapat perbedaan
pendapat ulama ushul fiqhi, jumhur ulama Ushulo fiqhi berpendirian bahwa qias bisa
dijadikan sebagai metode atau sarana untuk menginstimbatkan hukum syara. Berbeda
dengan jumhur para ulama MuTazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam 2
hal yaitu :
1. Illatnya manshub (disebutkan dalam nash).
2. Hukum furu harus lebih utama dari pada hukum ashl.
Ulama Zahirriyah termasuk imam Al Syaukani (ashl ushul fiqhi) berpendapat bahwa
secara logika qiyas memang boleh tapi tidak ada satu nash pun ayat Al-Quran yang
menyatakan wajib melaksanakannya.
D. Syarat Qiyas
Para ulama ushul fiqhi mengemukakan bahwa qiyas harus memenuhi syarat-syarat
tertentu qiyas dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syarat-syarat itu adalah
sebagai berikut9 :
8 Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., Jilid II, hal. 54
9 Abu Hamid al Ghazali, op. Cit., hal. 87 : Abdul Aziz al-Bukhari, op.cit., Jillid II hal. 1021 : al Bannani,
op.cit., hal. 181 : dan al Syaukani, op. Cit., hal. 179

1.

Ashl
Patokan dalam penetapan hukum adakalanya nash dan adakalanya ijmak. Oleh sebab
itu menurut jumhur ulama fiqhi apabila hukum yang ditetapkan berdasarkan nash bisa
diqiyaskan maka hukum yang ditetapkan melalui ijmak pun boleh diqiyaskan.

2. Hukum Al Ashl
Menurut para ulama ushul fiqhi mengatakan bahwa syarat-syarat hukum Al Ashl
adalah :
a. Tidak bersifat khusus dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada faru .
b. Hukum Al Ashl itu tidak dikeluarkan dari ketentuan-ketentuan qiyas.
c. Tidak ada nash yang menjelaskan hukum faru yang akan ditentukan hukumnya.
Apabila hukum Al Ashl mencakup hukum ashl pada satu pihak dan hukum faru
pada pihak lain, maka dalil yang mengandung hukum Al Ashl juga merupakan
dalil bagi hukum faru itu. Dalam kasus seperti ini tidak diperlukan qiyas.
d. Hukum Al Ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari faru dalam kaitan dengan ini
tidak mengqiyaskan wudhu pada tayyamum, sekalipun illatnya sama, karena
syariat wudhu lebih dahulu turunnya dari syariat tayyamum.
3. Faru
Para ulama ushul fiqhi mengemukakan 4 syarat yang harus dipenuhi oleh al faru yaitu :
a. Illatnya sama dengan illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya.
Contoh illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamar, karena
keduanya samas-sama memabukan dan yangmemabukkan itu sedikit atau banyak,
apabila hukumnya haram. Apabila illat yang ada pada faru tidak sama dengan illat
yang ada pada ashl maka qiyas seperti ini menurut para ahli ushul fiqhi disebut al qiyas
maalfariq (qiyas bersifat paradok)
b. Hukum ashl tidak berobah setelah dilakukan qiyas. Misalnya tidak boleh
mengqiyaskan hukum menzihar (menyerupakan istri ndengan punggung ibu) wanita
dzimi kepada menzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan
suami istri. Karena keharaman hubungan suami istri dalam menzhihar istri yang
muslimah bersifat sementara yaitu sampai suami membayar kaffarat.

c. Hukum faru tidak mendahului hukum ashl artinya hukum faru itu harus datang
kemudian dari hukum ashl. Contohnya adalah dalam masalah wudhu tayamum.
d. Tidak ada nash atau ijma yang menjelaskan hukum faru itu. Artinya tidak ada nash
atau ijma yang menjelaskan hukum faru dan hukum itu bertentangan dengan qiyas.
Karena jika demikian maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau
ijma.
4. Al Iilat
adalah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl (asal) kemudian
cabang (al faru) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
E. Beberapa Keraguan yang Menolak Qiyas
Diantara sikap mereka adalah karena adanya pendapat bahwa al qiyas itu
berdasarkan dugaan misalnya illat hukum nash adalah seperti ini. Sedangkan yang
didasarkan pada dugaan hasilnya merupakan dugaan juga. Dalam hal ini Allah melarang
mengikuti orang-orang yang bertumpu dari dugaan.
Firman Allah
Dan janganlah kamu mengikuti tentang apa yang kamu tidak mempunyai mengetahui.
Maka tidaklah benar hukum berdasarkan al qiyas karena hanya bardasarkan
dugaan.hal tersebut merupakan keraguan yang lemah. Sebab yang dilarang adalah
mengikuti dugaan dalam hal aqidah. Sedangkan dalam hal hukum-hukumamaliah.
Kebanyakan dalil yang ada bersifat zanni (dugaan). Jika keraguan itu dapat dibenarkan
maka nash-nash itu adalah tidak bisa diragukan lantaran mengikuti dugaan (yang zanni)
berdasarkan konsensus. Pendapat tersebut sangat keliru lantaran kebanyakan nash
dalalahnya adalah zanni.
Diantaranya keraguan mereka yang paling tampak pendapat bahwa al- qiyas itu
didasarkan pada perbedaan pandangan tentang pemberian ilat hukum. Dengan kata lain alqiyas adalah opjek. Perselisihan hukum, sedangkan syariat tidak mungkin menimbulkan
pertentangan. Keragun kedua ini lebih lemah dibanding keraguan terdahulu.
Keraguan berikutnya, adala beberapa anggapan yanag mereka sadur dari sebagian
sahabat yang mengancam rayu dan pendapat tentang ketetapan hukum dengan
menggunakan rayu. Misalnya pernyataan umur, Hendaklah kalian menjauhkan diri dari
rayu, karena rayu merupakan musuh al sunnah. Mereka itu tidak mampu menghapal

hadist sehingga berkata sesuatu berdasarkan rayu karenanya mereka sesat dan
menyesatkan.
Pemahaman terhadap perkataan sahabat itu tidak bisa dijadikan alasan lantaran yang
dimaksud dengan perkataan tersebut bukanya menolak berlakunya al-qiyas sebagai hujjah.
Tetapi larangan itu dimaksudkan jangan hanya sampai mengikuti nafsu atau mengikuti
pendapat yang tidak mempunyai rujukan nash.

BAB III
ISTIHSAN
A. Pengertian Istihsan
Secara etimologi istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Tidak
dapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam mempergunakan lafal istihsan dalam
pengertian etimologi10 karena lafal yang seakar dengan istihsan banyak dijumpai dalam alQuran dan sunnah. Misalnya dalam surat al-zummar 39 : 18

Orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa paling baik diantaranya...
Kemudian dalam sebuah riwayat dari Abdullah Ibn Masut Rasulullah bersabda

Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka disisi Allah itu juga baik (H.R. Ahmad
Ibn Hambal)
Para mujtahid juga sering menggunakan istihsan dalam pengertian etimologi
seperti ucapan Imam Al Safii 11 saya menganggab baik dalam persoalan hadiah (harta
setelah menjadi talak) sebesar 30 dilham. Secara terminologi imam Al Basdawi (ahli
ushul fiqhi Hanafi) Mendefinisikan istihsan dengan berpaling dari kehendak qiyas kepada
qiyas yang lebih kuat atau penghususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
Imam Al Sarakhasi (Ushul fiqhi Hanafi) mengatakan istihsan itu berarti
meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang
menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Hakikat istihsan itu adalah mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas
artinya, apabila terjadi perbenturan anatara qiyas dengan mashlahah al-mursalah maka
yang diambil mashlahah al-mursalah dan qiyas ditinggalkan karena apabila qiyas tetap
digunakan dalam kasus seperti ini, maka tujuan syara dalam persyariatan hukum tidak
tercapai.

10 al- Sarakhsi, Usbid al sarakhsi, Beirut :Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993. Jilid II, hal. 200 dan
saifuddin al Amidi, op. Cit., Jilid III, hal. 126
11 Al- Bannani , Syarh al mahalli ala jami al- Jawami, op. Cit., jilid II, 288 dan al- syaraksi

B. Macam-Macam Istihsan
Ulama Hanafiah membagi istihsan kepada 6 macam yaitu 12 :
1. Istihsan bi al-nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadist).
2. Istihsan bi al-ijmak (istihsan berdasarkan ijmak).
3. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi.
4. Istihsan bi al-mashlahah 9istihsan berdasarkan kemsylahatan.
5. Istihsan bi al-Urf ( istihsan berdasarkan adap kebiasaan yang berlaku umum).
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).
C. Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam menetapkan istihsan sebagai
salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara. Menurut ulama Hanafiah,
Malikiyah dan sebagian ulama Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam
menetapkan hukum syara alasannya adalah :
1. Ayat-ayat yang mengacu mengangkatkan kesulitan dan kesempitan umat manusia.
Yaitu dalam surat Al-Baqarah 2 : 185.

Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi
kamu.
2.

Rasullah dalam riwayat Abdullah Ibn Masut mengatakan :

Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga dihadapan Allah adalah
baik (H.R. Ahmad Ibn Hambal).
3. Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadist terhadap berbagai permasalahan yang
terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum
dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia.

12 al- sarakhi, op.cit., hal. 203-205 :Ibn amir al Haj, op. Cit, jilid III, 223 : al- Syathibi, al-Muwafaqat., op. Cit., hal 207

Ulama Syafiiyyah, Zhahiriyah, Syiah dan mutazillah tidak menerima istihsan


sebagai salah satu dalil dalam menerapkan hukum syarak. Alasan mereka, sebagaimana
dikemukakan imam al-Syafii adalah :
1. Hukum syarak itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Quran dan sunna) dan pemahaman
terhadap nash melalui kaidah qiyas. Jika istihsan berada diluar nash dan qiyas, maka
hal itu berarti ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah.
2. Sejumlah ayat telah menuntut umat islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul
dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu.
3. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja.
4. Rasulullah tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsannya.
5. Rasulullah telah membantah fatwa sebahagian sahabat yang berada di daerah ketika
mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (persangkaan baik).
6. Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggung
jawabkan.

PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dalil dan metode hukum islam diantaranya yaitu : ijma, Qiyas dan Ihtisan.
1. Ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid diantara umat islam pada suatu
masa setelah rasulullah wafat terhadap hukum syara tentang masalah atau
kejadian.
2. Qiyas yaitu menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian
lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanay
kesamaan diantara dua kejadian itu dalam i;llat (sebab terjadinya hukum)
3. Istihsan adalah menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu
2. SARAN
Pemakalah menyadari masih banyak terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini,
oleh sebab itu penulis mohon kritikan dan saran, demi sempurnanya makalah ini. Atas
kritikan dan saranya penulis mengucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai