Abstract
Some of the excuses used Jemaah Islamiya in action fighting the
infidels (non-Muslims) to carry out suicide bombings as a form
of jihad main crux of the problem in this study. The review and
analysis used by the philosophical approach of language, reviewed the ontological, epistemological, and axiological related
to the exploitation of the texts of the Quran that is an attempt to
understand, explain, and realize a claim means the language contained in the texts of the Quran and hadith. From this study, the
following conclusions; first, indifference to the weakness affects
comprehension of written language to those who think that the
sacred texts (related to the issue of jihad fi sabilillah) was the final
and most correct, and the assumption that they understand fully
the meaning of the text. Second, the reluctance of understanding
between the text and the context of the language gave rise to the
feeling that they seemed to get a revelation of God in person and
entitled to carry it out as it is.
Keywords: Exploitation, Biblical, Jemaah Islamiya Indonesia, Philosophy of language
| 81
MUHAMMAD ARFAN
Pendahuluan
Para filosof sepakat bahwa antara bahasa dan filsafat terkait erat
seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, tugas utama filsafat menganalisa konsep, dan konsep tersebut terungkap melalui bahasa sehingga muncul filsafat analitik bahasa.
Di samping itu, filsafat bahasa juga membahas, menganalisa, dan
mencari hakikat dari bahasa itu sendiri.1 Bahasa merupakan bagian kehidupan umat manusia, karena dengan bahasa manusia
mengungkapkan pikiran dan perasaannya, dan dengannya pula
manusia berupaya memahami realitas kehidupannya.
Realitas sejarah mencatat bahwa sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, tampuk kepemimpinan dipegang oleh para sahabat.
Semenjak masa kekhalifahan Abu Bakr, terjadi pembangkangan
di kalangan umat Islam, dimana bermunculan Nabi-nabi palsu
serta enggannya beberapa kalangan umat Islam membayar zakat.
Di masa kekhalifahan Umar, ekspansi umat Islam menyebarkan
Islam semakin meluas sampai ke daerah Syam, interaksi umat
Islam dengan daerah-daerah tersebut kemudian menyerap kebudayaan Yunani dengan tradisi filsafatnya sehingga khazanah
intelektual Islam di bidang pemikiran kian bertambah.
Di zaman kekhalifahan Utsman, keadaan politik kian memanas sebab munculnya pelbagai macam kepentingan kelompok,
golongan ataupun kelompok yang ingin berkuasa, situasi ini kemudian berakhir dengan pembunuhan khalifah Utsman. Saat
tampuk kepemimpinan umat Islam di bawah pimpinan Sayyidina Ali, suhu politik semakin panas dan parah, selain disebabkan oleh provokasi kekuasaan Muawiyah yang hendak menguasai
kepemimpinan Islam, juga munculnya pelbagai tuntutan penyelesaian hukum terhadap pemegang tampuk kekuasaan (Sayyidina Ali). Hal yang sama menimpa pula Sayyidina Ali, beliau
terbunuh oleh pasukan Muawiyah.
MS. Kaelan, Filafat Bahasa, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 1-7.
Salah satu peristiwa terpenting dan cukup menarik antara pendukung sayyidina Ali dan Muawiyah adalah peperangan di antara keduanya. Kala itu kubu sayyidina Ali hampir memenangkan
peperangan, namun kubu Muawiyah akhirnya mengajukan tahkim (arbitrase) dan sayyidina Ali menyetujuinya. Dari peristiwa
ini kubu sayyidina Ali terpecah menjadi dua. Pertama, golongan
menyatakan keluar dan mengeluarkan maklumat perang terhadap sayyidina Ali dan Muawiyah serta menyatakan mereka kafir.
Golongan ini kemudian dikenal dengan nama khawarij.
Pernyataan mereka ini merupakan eksploitasi pemahaman
terhadap salah satu ayat Alquran yang menyatakan bahwa orang
yang berhukum atas selain Allah adalah kafir, sesat dan halal darahnya. Persetujuan sayyidina Ali menerima tahkim-nya
Muawiyah dinilai sebagai hal yang melanggar hukum Allah. Kedua, sebagian golongan lagi tetap mendukung Ali bahkan menjadi pendukung fanatik, mereka dikenal dengan nama golongan
Syiah. Salah satu dari sekte golongan syiah ini pun bersifat keras
dan terlalu mengagung-agungkan Ali. Dalam pandangan mereka, kepemimpinan Islam hanya berhak diwarisi oleh Ali dan keturunannya dan bukan yang lainnya, sehingga khalifah yang telah
dipegang oleh tiga khalifah sebelumnya dianggap tidak sah dan
mereka telah merampas hak Ali.
Argumentasi yang ditonjolkan oleh kelompok Khawarij dan
Syiah dalam melegitimasi pemikiran mereka dengan menandaskan pada ayat-ayat Alquran dan hadits menjadi menarik sebab selain kedua kelompok ini merupakan kelompok primordial
dalam sejarah Islam, kedua kelompok ini kemudian menjadi inspirator lahirnya kelompok, aliran, dan golongan lain dalam Islam seperti Jabariyah, Murjiah, Muktazilah, Asyariyah, dan lain
sebagainya dengan pola dan model yang samadalam eksploitasi
Alquran dan hadits, namun menghasilkan hal yang berbeda bahkan berseberangan.
| 83
MUHAMMAD ARFAN
Rizal Mustansyir, Filsafat Bahasa; Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya, (Jakarta: Prima Karya, 1988), 45.
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik; Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), 15.
Searle, The Philosophy of Language, (New York, Oxford University Press, 1971), 1.
| 85
MUHAMMAD ARFAN
Robert M. Harnish memberikan warna lain dalam mendefinisikan Filsafat Bahasa dengan menggambarkan sebagai suatu usaha
yang cenderung untuk mengadakan penelitian tentang dasardasar folosofis yang berada di balik teori-teori tentang struktur
bahasa.6
Terkait dengan beberapa definisi filsafat bahasa di atas, semacam ini menurut Kaelan dapat dikategorikan sebagai Filsafat
Analitika bahasa atau Kaelan mencoba menggabungkan dua sisi
pengertian yang tercermin dalam istilah filsafat Bahasa. Pertama;
Filsafat Bahasa dapat diartikan sebagai usaha para filosof untuk
menggunakan bahasa dalam rangka memecahkan problemaproblema dan konsep-konsep yang ada dalam filsafat. Corak kerja filosofis bisa juga dikatakan sebagai Filsafat Analitik. Kedua;
Filsafat Bahasa dapat diartikan sebagai bidang filsafat lainnya
seperti filsafat hukum, filsafat manusia, filsafat alam, dan sebagainya yang membahas dan mencari hakekat dan objek materi
dari filsafat tersebut. Dalam pengertian ini Filsafat bahasa bertujuan menganalisa dan mencari hakekat dari bahasa itu sendiri.7
Verhaar lebih detil lagi dalam mengupas pengertian Filsafat Bahasa. Dia mengemukakan dua pengertian yang dapat ditarik dari istilah Filsafat Bahasa yaitu bisa berarti filsafat mengenai bahasa dan filsafat berdasarkan bahasa.8 Untuk pengertian
pertama, Verhaar mengemukakan bahwa seorang filosof sudah
mempunyai sistem tertentu dalam membahas bahasa sebagai
objek yang khusus. Sistem ini bisa terjadi secara ilmiah ataupun
folosofis dan yang paling penting diketahui adalah sistem ini bisa
dipakai dalam mendekati objek lain selain bahasa. Sedangkan
dalam pengertian kedua, bahasa tidak didekati dengan sebuah
Robert. M. Harnist, Basic Topics in the Philosophy of Language, (New York, Har-
10
| 87
MUHAMMAD ARFAN
hidup, pemahaman, pikiran atau das sein. Maka bahasa juga tidak
pernah ditangkap sebagai faktum atau hanya merupakan realitas
empirik saja. Bahasa menurut Gadamer adalah prinsip, bahasa
merupakan perantaraan pengalaman hermeneutik (die mitte).
Bahasa menjadi perantaraan bukan berarti hanya sebagai alat,
namun bahasa sebagai suatu cakrawala ontologi hermeneutik.11
Bahasa secara pramordial merupakan tradisi lisan (tutur), sementara bahasa tulis datang kemudian untuk melestarikan bahasa lisan. Oleh karena mewujud menjadi bahasa tulis, maka
konsekuensi logisnya adalah munculnya kelemahan bahasa tulis
di antaranya seperti terlepasnya bahasa dari konteks peristiwa
kebahasaannya, dan hilangnya daya ekspresif bahasa itu sendiri.
Sebagaimana dikutip oleh Kaelan bahwa Gadamer menyebutkan
kelemahan bahasa tulis yaitu dengan dibahasatuliskan bahasa
lisan, maka bahasa mengalami alienasi. Oleh karena itu karyakarya sastra berupaya semaksimal mungkin untuk mengungkapkan daya pragmatik bahasa sehingga dalam memahami karya
sastra sebenarnya tidak hanya terwujudnya proses pembacaan namun pemahaman dan penghayatan makna karya sastra tersebut.12
Terkait dengan hakikat bahasa ini yang terdiri dari bentuk dan
makna (isi). Maka filsafat bahasa terkait erat dengan hermeneutik. Menurut Jurgen Habermas sebagaimana dikutip oleh Kaelan
bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu
fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan.
Bahkan kita tidak dapat melakukan interpretasi secara tuntas, sebab selalu terdapat makna yang lebih, yang tidak dapat dijangkau
oleh interpretasi, yaitu yang terdapat dalam hal-hal yang tidak
teranalisiskan, tidak terjabarkan bahkan di luar pikiran kita.13
11
12
13
14
15
43-70
| 89
MUHAMMAD ARFAN
hasa bertolak dari kalimat, bahasa bersifat kreatif serta membedakan kalimat inti dan kalimat transformasi dan analisis diwujudkan dalam bentuk rumus dan diagram pohon kemudian
gramatikal bersifat generatif.
Sementara teori tagmemik ciri-cirinya adalah; setiap struktur
terdiri atas tagmen-tagmen, bersifat eklektik, bersifat universal
dan sebagainya. Di samping itu dikenal juga beberapa teori lain
seperti aliran Bloomfieldian, Neo-Bloomfieldian, Stratifikasional, Kopenhagen, Praha, London (Fithians), Neo-Firthians dan aliran Case Grammar.
Aksiologi Filsafat Bahasa
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari
kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai.16 Terkait dengan filsafat bahasa, maka secara umum ada
dua macam nilai (fungsi) bahasa yaitu fungsi umum dan khusus.
Menurut Soeparno fungsi bahasa secara umum adalah sebagai
alat komunikasi sosial.17 Sementara secara khusus sebagaimana
dikutip oleh Soeparno bahwa Jakobson membagi fungsi bahasa
atas enam macam, yakni fungsi emotif, konotatif, referensial,
puitik, fatik dan metalingual. Apabila tumpuannya pada si penutur
(addresser), fungsi bahasanya dinamakan emotif. Apabila tumpuan
pembicaraan pada konteks (context), fungsi bahasanya disebut referensial. Apabila tumpuan pembicaraan pada amanat (message),
fungsi bahasanya puitik (poetic). Apabila tumpuan pembicaraan
pada kontaks (contaxt), fungsi bahasanya disebut fatik (phatic).
Apabila tumpuan pembicaraan pada kode (code), fungsi bahasanya
disebut metalingual. Apabila tumpuan pembicaraan pada lawan
bicara (addresce), fungsi bahasanya disebut konatif.18
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi
16
17
18
19
Harapan, 2005), 57
20
| 91
MUHAMMAD ARFAN
21
teks kitab suci (Alquran dan hadits). Lebih lanjut terkait dengan
ini, maka dalam tradisi Islam kita kenal istilah tafsir Alquran.
Imam Az-Zarkasyi (1386 H: 13) mendefinisikan sebagai Ilmu untuk mengetahui (memahami) Kitab Allah (Alquran) yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw dengan menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.22
Sementara di bidang hadits, dalam tradisi Islam dikenal pula istilah metode pemahaman hadits sebagaimana yang diungkapkan
oleh Yusuf Qaradhawi,23 di antaranya; memahami hadits sesuai
petunjuk Alquran, menghimpun hadits setema, mempertimbangkan latar belakang dan situasi-kondisi ketika hadits diucapkan
serta tujuannya, membedakan sarana yang berubah-ubah dan
sasaran yang tetap, membedakan makna hakiki dan makna majazi, membedakan antara alam ghaib dan kasatmata, memastikan
makna dan konotasi. Kemudian ditambah lagi dengan beberapa
metode menurut Muhammad Syuhudi Ismail di antaranya; bentuk matan hadits nabi dan cakupan petunjuknya, kandungan hadits nabi dihubungkan dengan fungsi nabi, dan petunjuk hadits
nabi dihubungankan dengan latar belakang terjadinya.24
Senada dengan hal di atas, dalam tradisi Barat dikenal istilah hermeneutik sebagai tradisi untuk memahami teks-teks
suci yang secara pramordial untuk Kitab Bibel (New Testasment
dan Old Testasment). Hermeneutik menurut Richard E. Palmer
sebagaimana yang dikutip oleh Fariz Pari yakni; 1) hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci (theory of biblical exegesis),
22
23
Ibid..., 16
Yusuf Qaradhawi, salah seorang tokoh Islam kontemporer dari Mesir. Lebih lanjut tentang biografi beliau, lihat Suryadi, Metode Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2008), 41-66.
24
Lebih lanjut tentang riwayat hidup beliau, lihat M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 269.
| 93
MUHAMMAD ARFAN
Lihat Fariz Pari, dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Quran dan Hadis
Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2010), 71.
http://id.wikipedia.org/wiki/Jemaah_Islamiyah
| 95
MUHAMMAD ARFAN
27
kekristenan
terhadap
agama-agama
non-Kristen.
http://muhshodiq.wordpress.com/2007/04/27/ciri-ciri-islam-ekstrim-1-fanatik/
29
30
http://id.wikipedia.org/wiki/Eksklusivisme
http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme
| 97
MUHAMMAD ARFAN
31
http://www.insistnet.com/adian-husaini
32
http://id.wikipedia.org/wiki/Militan
34
| 99
MUHAMMAD ARFAN
mendapatkan yang diinginkan atau menolak yang dibenci (lihat Lisanul Arab dan kamus al-Muhith). Sementara dari istilah
syara, para fuqaha dari empat madzahb telah bersepakat bahwa makna jihad adalah perang (al-qitl) dan membantu semua
persiapan perang.35 Sementara menurut al-Raghib al-Isfahani,
dalam Kitab Mujam Mufradat li al-fadzil Quran sebagaimana dikutip Nasir Abas dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jihad
adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa
nafsu setan dan musuh yang tampak yaitu orang kafir yang memusuhi Islam. Jihad dalam pengertian ini tidak hanya mencakup
pengertian perang melawan musuh yang memerangi Islam tetapi
lebih luas lagi, jihad berarti berusaha sekuat tenaga dan kemampuan untuk mengalahkan nafsu setan dalam diri manusia.36
Bentuk-bentuk Jihad dan Padanannya menurut Ulama Islam
Jihad dapat dilaksanakan dalam pelbagai bentuk sesuai dengan
situasi dan kondisi umat Islam. Dalam situasi umat Islam yang
mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam bentuk
peperangan untuk membela diri. Tapi, dalam situasi damai, jihad
dapat dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan
ibadah haji, membantu fakir-miskin, berbakti kepada orang tua,
rajin belajar dan dakwah Islam amar maruf nahi munkar.37
Pertama, jihad bermakna berperang (al-qitl) sebagaimana
dalam firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) ayat 206. Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik
bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Kedua, jihad berarti haji mabrur. Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan bagi perempuan,
35
Abdullah Azzam, Jihad: Adab dan Hukumnya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), 11.
36
Ibid..., 28-35.
37
haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.: Aku menyatakan kepada Rasulullah saw:
tidaklah aku keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada
amalan yang lebih baik daripada berjihad. Rasulullah saw menyatakan: tidak ada, tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan
lebih indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang mabrur.
Ketiga, adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa
yang zalim. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain dalam hadits riwayat at-Tirmidzi, Abu Said
al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya di antara jihad yang paling besar adalah menyampaikan
kebenaran kepada penguasa yang dzalim.
Keempat, adalah berbakti kepada orang tua. Jihad dalam berbakti
kepada orang tua juga dijelaskan dalam hadits. Seseorang datang
kepada Nabi saw untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya.
Kemudian Nabi saw bertanya: apakah kedua orang tuamu masih
hidup? Ia menjawab: masih, Nabi saw bersabda: terhadap keduanya berjihadlah kamu. Berjihad untuk orang tua berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan kemauan orang tua.
Kelima, adalah menuntu ilmu dan mengembangkan pendidikan. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan: Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka
ia sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa
yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang
melihat kesenangan orang lain.
Keenam, adalah membantu fakir-miskin. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini menjelaskan: Dari Abu Hurairah r.a.
berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang yang menolong dan
memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin sama
seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.
| 101
MUHAMMAD ARFAN
Ketujuh, adalah bekerja. Nabi Muhammad saw pernah bersabda: wal takn kallan alan ns. (janganlah kalian membebani
orang lain). Hadits itu terlontar, ketika Nabi saw bersama sahabat-sahabatnya sedang melakukan perjalanan keluar kota untuk
berperang. Di tengah perjalaan seorang sahabat sedang melihat
seorang pemuda (muslim) yang badannya kekar sedang mencangkul di sawah, lalu salah seorang sahabat usul kepada baginda
Nabi: seandainya pemuda itu kita ajak berperang. Beliau menjawab: jika ia bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya,
maka ia juga pejuang (jihad) seperti kita.
Syarat-syarat serta Faktor-faktor Berjihad (fi Sabilillah) menurut Ulama Islam
Jihad fi sabilillah dalam sejarah umat Islam pernah terjadi ketika perang Badar yang terjadi pada tahun kedua hijriah. Nabi saw
bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari
gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika
ancaman masih terjadi pada periode Madinah, maka perang antara kedua belah pihak tak terelakkan. Fakta sejarah ini sejalan
dengan sabda Nabi saw yang menyatakan: Janganlah kalian
mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan musuh, maka tegarlah. (Muttafaqun alaih).38
Adapun syarat-syarat untuk menjadi seorang mujahid (ahli
jihad fi sabilillah) antara lain: 1) baligh, 2) Islam, 3) Sehat jasmani dan rohani, 4) keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang
peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut). Senada dengan hal di atas, ulama fiqih juga menyebutkan bahwa kewajiban
berjihad (berperang) didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni;
38
| 103
MUHAMMAD ARFAN
secara tekstualis terpotong dan memang mengindikasikan (terkesan) seperti itu, di antaranya: ...Maka bunuhlah orang-orang
musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. (QS. At-Taubah [9]: 5), ....Perangilah mereka, niscaya Allah akan
menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu...,
(QS. At-Taubah [9]: 14), ...perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian..., (QS.
At-Taubah [9]: 29), ...dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. AtTaubah [9]: 36), ...dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai
mereka...(QS. Al-Baqarah [2]: 191).
Potongan ayat-ayat di atas secara sepintas apabila dipahami
dan ditafsirkan secara dangkal dan terpotong-potong dengan
tafsiran yang tekstualis dan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
penafsiran yang ketat dengan menyertakan asbabun nuzul-nya.
Maka dapat dipastikan, ayat-ayat di atas bisa dijadikan argumen
atau dalih untuk membenarkan setiap aksi kekerasan atau pembunuhan terhadap orang kafir. Namun apabila dikaitkan dengan
ayat-ayat lain dalam Alquran, di mana Islam dicitrakan sebagai
agama yang rahmatan lilalamin, cinta damai, dan anti kekerasan.
Maka tentu saja dapat disimpulkan bahwa banyak pertentangan
dalam ayat-ayat Alquran. Namun apabila kita lebih bersikap bijak
dan hati-hati dalam memahami, memaknai dan menafsirkan setiap ayat-ayat Alquran yang merupakan petunjuk hidup manusia
serta sedikit bersikap terbuka, maka pemahaman dangkal yang
eksklusif-fanatik seperti yang dipahami oleh kelompok Jamaah
Islamiyyah, tentu saja bisa dihindarkan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nasir Abas (mantan ketua
Jamaah Islamiyyah) bahwa tindakan bom bunuh diri mempunyai
beberapa karakteristik di antaranya; Pertama, perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian yang direncanakan.
Kedua, perbuatan ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan orang
banyak. Ketiga, perbuatan ini mencerminkan sikap putus asa dan
ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang lebih baik dalam
menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas dan sasaran yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.40 Namun menurut pandangan kelompok Jamaah
Islamiyyah, aksi kekerasan bom bunuh diri merupakan salah satu
bentuk jihad dan pelakunya termasuk mati syahid yang mendapat
kemuliaan di sisi Allah SWT.
Penutup
Terkait dengan tinjauan (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)
filsafat bahasa tentang eksploitasi teks-teks suci dalam pandangan Jamaah Islamiyyah, maka disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, dari kerangka teori tentang filsafat bahasa yang
telah penulis kemukakan di atas, tampak bahwa kelompok Jamaah Islamiyyah secara tidak langsung memahami filsafat bahasa sebagaimana yang diungkapkan oleh Searle bahwa filsafat
bahasa adalah sebagai suatu usaha untuk menganalisa gejalagejala umum dari bahasa seperti masalah arti, referensi, kebenaran, verifikasi dan tindakan bahasa. Di samping itu secara lebih
rinci kelompok Jamaah Islamiyyah memahami dan menjelaskan
(melakukan hermeneutik atau penafsiran) dan mengaktualisasikan bahasa teks-teks suci dengan pemahaman bahasa yang
inklusif sebagaimana yang diungkapkan oleh Verhaar bahwa bahasa dalam arti inklusif diartikan sebagai bahasa yang metaforis
yang tentu pengertiannya lebih luas dari sekedar bahasa eksklusif
tadi. Jadi bahasa tari, bahasa musik, bahasa cinta dan sebagainya
adalah beberapa contoh dari tipe bahasa inklusif. Dalam hal ini,
Lihat Nasir Abas, Memberantas Terorisme..., 47
40
| 105
MUHAMMAD ARFAN
bahasa inklusif yang digunakan oleh kelompok Jamaah Islamiyyah adalah bahasa tubuh berupa aksi bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad fi sabilillah. Maka dalam memaknai jihad,
kelompok Jamaah Islamiyyah lebih cenderung kepada pemikiran
pragmatisme sebagaimana dicetuskan oleh Wittgenstein periode kedua. Mereka melihat suatu proposisi bermakna tergantung
pada konteks yang dimilikinya. Ia mengatakan bahwa makna sebuah kata itu adalah tergantung kepada penggunaannya dalam
bahasa dan makna bahasa itu tergantung pada penggunaannya
dalam hidup.
Kedua, dilihat dari sisi ontologi filsafat bahasa (hakikat bahasa)
itu sendiri, maka menurut kelompok Jamaah Islamiyyah cenderung tidak membedakan antara bahasa lisan dan tulis. Sehingga
apa yang dinyatakan oleh Gadamer bahwa dengan diwujudkannya bahasa tulis, maka konsekuensi logisnya adalah munculnya
kelemahan bahasa tulis di antaranya adalah bahasa terlepas dari
konteks peristiwa kebahasaannya, kehilangan daya ekspresifnya
dan kelemahan bahasa tulis yaitu dengan dibahasatuliskan maka
bahasa mengalami alienasi. Lebih lanjut menurut Jurgen Habermas bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan.
Bahkan kita tidak dapat melakukan interpretasi secara tuntas, sebab selalu terdapat makna yang lebih, yang tidak dapat dijangkau
oleh interpretasi, yaitu yang terdapat dalam hal-hal yang tidak
teranalisiskan, tidak terjabarkan bahkan di luar pikiran.
Kelompok Jamaah Islamiyyah seolah-olah acuh tak acuh dengan kelemahan bahasa tulis ini. Sehingga konsekuensinya, pemahamannya terhadap teks-teks suci dianggap final dan paling
benar dan memahami sepenuhnya makna sesuatu (dalam hal ini
tentang jihad), bahkan seolah-olah kelompok ini merasa bahwa
mereka seakan-akan mendapatkan wahyu Allah secara langsung
(Nabi) dan berhak untuk melaksanakan wahyu tersebut.
Sementara dari sisi epistemologi filsafat bahasa, yang menanyakan tentang apa itu pengetahuan bahasa, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan
keyakinan. Maka kelompok Jamaah ini dapat dikategorikan menganut teori tradisional di bidang bahasa dengan ciri-ciri sebagai
berikut; bertolak dari pola pikir secara filosofis, tidak membedakan
bahasa dan tulisan, senang bermain dengan definisi, pemakaian
bahasa berkiblat pada pola atau kaidah, level-level gramatik belum ditata secara rapi, tata bahasa didominasi oleh jenis kata.
Ketiga, dari sisi aksiologi filsafat bahasa, maka secara umum
ada dua macam nilai atau fungsi bahasa yaitu fungsi umum dan
khusus. Secara umum adalah sebagai alat komunikasi sosial. Sementara secara khusus sebagaimana dikutip oleh Soeparno bahwa
Jakobson membagi fungsi bahasa atas enam macam, yakni fungsi emotif, konotatif, referensial, puitik, fatik dan metalingual.
Dalam hal ini, kelompok Jamaah Islamiyyah cenderung memandang dan menilai bahasa dalam fungsi emotif yang berlebihan.
Namun dalam hal tentang nilai kebenaran suatu pernyataan yaitu; teori koherensi, teori korespondensi dan teori pragmatisme,
maka kelompok Jamaah Islamiyyah lebih cenderung menganut
teori pragmatisme, sebagaimana yang dicetuskan oleh Charles
S. Peirce (1839- 19914). Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Misalnya pernyataaan tentang jihad (perang)
terhadap kaum kafir dengan aksi bom bunuh diri merupakan cara
yang terbaik dan mulia untuk membela Islam dan memerangi
orang kafir serta meraih mati syahid dapat dianggap benar bila
pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis, yaitu bahwa
jihad dengan aksi bom bunuh diri dapat memerangi orang kafir
demi membela Islam dan meraih mati syahid.
| 107
MUHAMMAD ARFAN
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Nasir. Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top. Jakarta: Grafindo Khazaah Ilmu, 2009.
Alston, Philosophy of Language. Engleewood Cliff.
Azzam, Abdullah. Jihad: Adab dan Hukumnya. Jakarta: Gema Insani
Press, 1993
Beerling, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogayakarta: Tiara Wacana, 1996.
Harnist, Robert. M. Basic Topics in the Philosophy of Language. New
York: Harvester Wheatsheaf, 1994.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang, 2005.
Kaelan, MS., Filafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma, 2002.
Mustansyir, Rizal. Filsafat Bahasa, Aneka Masalah Arti dan Upaya
Pemecahannya. Jakarta: Prima Karya, 1988.
Pari, Fariz, dkk. Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Quran
dan Hadis Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Searle. The Philosophy of Language. New York: Oxford University
Press, 1971.
Soeparno. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan, 2005.
Suryadi, Metode Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Teras, 2008.
Verhaar, Filsafat yang Mengelak. Yogyakarta: Kanisius, 1980.