Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Secara umum, dapat diketahui bahwa terjadinya anemia disebabkan
turunnya hemoglobin di bawah nilai terendah. Sebagaimana kita ketahui
bahwa darah orang normal mengandung 13-16 g hemoglobin (HB)/100cc
(13-16 g%). Hemoglobin berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi
serta oksigen untuk proses fisiologis dan biokimia jaringan tubuh.
Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang muncul
serta dengan melihat kadar hemoglobin dalam darah (Sholeh, 2014).
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai
diklinik seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan
penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak
besar terhadap kesejahteraan social dan ekonomi, serta kesehatan fisik.
Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, terutama anemia ringan
seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di
praktek klinik. (Sudoyo, 2009)
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease unit),
tetapi merupakan gejala berbagai macam pnyakit dasar (underlying
dissease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya
sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Penentuan penyakit dasar juga
penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui
penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas
pada kasus anemia tersebut. (Sudoyo, 2009)

Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di


klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia
atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di
daerah tropik. (Sudoyo, 2009). Anemia menduduki urutan keempat dalam
sepuluh besar penyakit di Indonesia. Adapun dalam dua puluh lima besar
penyakit yang banyak diderita perempuan anemia juga berada pada urutan
keempat. Selain itu, berdasarkan Riset Dasar tahun 2013 ditemukan bahwa
proporsi anemia kelompok umur 15-64 tahun berkisar antara 16,9% 25%. Sedangkan proporsi Kurang Energi Kronis (KEK) dan pada Wanita
Usia Subur (WUS) yang sedang hamil 17,3% - 38,5% dan tidak hamil
10,7% - 46,6%. Selain itu, obesitas pada perempuan di atas 18 tahun
adalah 32,9% (Depkes, 2013).
Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi anemia di Indonesia yaitu
21,7%, dengan proporsi 20,6% di perkotaan dan 22,8% di pedesaan serta
18,4% laki-laki dan 23,9 %perempuan. Berdasarkan kelompok umur,
penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4 % dan sebesar 18,4% pada
kelompok umur 15-24 tahun.
Anemia terjadi akibat satu atau lebih kombinasi dari tiga mekanisme
dasar, yaitu kehilangan darah, penurunan produksi eritrosit atau peningkatan
destruksi eritrosit (hemolisis). Pada anemia, terjadinya kehilangan darah harus
pertama kali dipertimbangkan, bila kehilangan darah telah disingkirkan, maka
hanya tinggal dua mekanisme lain yang menjadi penyebab. Karena umur
eritrosit adalah 120 hari, maka untuk mempertahankan populasi yang stabil
membutuhkan pembaruan 1/120 sel setiap hari. Berhentinya sama sekali
produksi eritrosit menyebabkan penurunan sekitar 10% setiap minggu (1%
setiap hari) dari jumlah eritrosit awal. Gangguan produksi meyebabkan
retikulo sitopenia relative atau absolute. Jika jumlah eritrosit turun lebih dari

10% setiap minggu (yaitu 500.000 sel/mL) tanpa adanya kehilangan darah,
maka hemolisis sebagai factor penyebabnya. (Rukman, 2014)
Hal penting dalam menangani anemia adalah memberikan terapi
spesifik yang berarti bahwa diagnosis spesifik harus dapat dibuat. Respons
terhadap terapi dapat memperkuat diagnosis. Walaupun terapi multiagen dapat
memberikan perbaikan transien anemia,namun terapi tersebut tidak dapat
dibenarkan karena adanya resiko sekuel yang berat. Transfuse eritrosit akan
memberikan perbaikan segera yang harus dipersiapkan untuk pesien yang
disertai gejala kardiopulmonal, tanda tanda perdarahan aktif yang tidak
terkendali, atau beberapa bentuk gagal organ hipoksemik. (Rukman, 2014).
Dampak yang ditimbulkan dari anemia adalah berkurangnya
oksigen dalam sel- sel tubuh yang mengakibatkan tidak optimalnya fungsi
jaringan atau organ tubuh, termasuk otak. Berdasarkan ulasan tersebut
penulis ingin melakukan asuhan keperawatan pasien anemia dengan
gangguan perfusi jaringan perifer.
1.2

Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien anemia dengan
gangguan perfusi jaringan?

1.3

Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah asuhan keperawatan
pada pasien anemia dengan gangguan perfusi jaringan.

1.4

Manfaat Penulisan

1.4.1

Manfaat bagi perawat


Diharapkan pembahasan studi kasus ini dapat membantu perawat
dalam melaksanakan praktek keperawatan terhadap pasien anemia dengan
dengan tepat.

1.4.2

Manfaat bagi penulis selanjutnya


Diharapkan, penulisan studi kasus asuhan keperawatan ini dapat
membantu penulis selanjutnya dalam mengembangkan studi kasus.

Anda mungkin juga menyukai