S2 2015 338724 Introduction
S2 2015 338724 Introduction
senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Santrock (2002) menyatakan
anak sebagai individu yang berusia 2-6 tahun (masa usia dini) dan usia sekolah
dasar (6-11) tahun sebagai masa anak-anak akhir. Para ahli mengemukakan bahwa
anak-anak dapat dibentuk seiring perkembangannya dan pengasuhan di masa awal
kehidupan mereka. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak selama masa
usia dini kemudian dapat berpengaruh di masa selanjutnya. Karakteristik anak
dengan demikian membutuhkan pengasuhan dan perlindungan bagi anak selama
masa perkembangannya.
Hak asasi anak untuk memperoleh perlindungan dan pendidikan selama masa
hidupnya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 B dan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention
on the Rights of the Child). Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, dan juga melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip
umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Namun, pada kenyataannya di Indonesia masih diliputi oleh maraknya kasuskasus kekerasan seksual pada anak (KSA) yang jumlahnya semakin meningkat.
Kekerasan seksual pada anak atau KSA merupakan setiap aktivitas pemuasan
seksual orang dewasa atau anak yang lebih tua kepada anak-anak yang belum
1
cukup usia secara hukum (Johnson, 2004). Finkelhor (2009) menyatakan bahwa
kekerasan seksual pada anak adalah segala bentuk kejahatan atau pelanggaran
seksual yang dilakukan pada anak sampai usia tujuh belas tahun, baik pelaku
adalah orang dewasa, anak-anak, maupun remaja. Orange dan Brodwin
menyatakan kekerasan tersebut dilakukan dalam bentuk paksaan, ancaman,
keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual (Paramastri, Supriyati, &
Priyanto, 2010).
Aktvitas pemuasan seksual melalui oral-genital, genital-genital, genitaldubur, tangan-genital, tangan-rektal, atau
APA (2011) bahwa karakteristik utama terjadinya KSA adalah adanya posisi
dominan dari orang dewasa sebagai pelaku yang memungkinkan untuk melakukan
aktivitas seksual terhadap anak yang meliputi kekerasan fisik, maupun non fisik.
KSA melalui fisik antara lain mencium alat kelamin anak, masturbasi, konak oralgenital, penetrasi, dan hubungan seks vagina dan seks anal. Pelecehan seksual non
fisik seperti memperlihatkan aktivitas seskual, voyeurisme,dan pornografi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI (Erlinda, 2014) mengatakan
kasus KSA di Indonesia sudah memasuki fase darurat, dimana jumlahnya semakin
tinggi, sangat mengkhawatirkan, dan modus yang tidak berkeprimanusiaan. Hasil
penelitian menunjukkan data usia pelaku KSA dapat dikatakan tidak mengenal
usia (Fuady, 2011). Data yang diperoleh dari Komisi Nasional Perlindungan
Anak atau KNPA yakni kasus KSA terus meningkat hingga 50% sejak tahun
2005. KPAI (Erlinda, 2014) mencatat peningkatan kasus KSA sebagai berikut:
1400
1380
kasus
1200
1000
800
746
kasus
600
400
200
329
525
kasus
Tahun
2011
2012
2013
2014
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI (Erlinda, 2014)
juga menunjukkan kasus KSA yang meningkat dari tahun 2011 hingga 2014.
Laporan KSA yang diterima oleh KPAI di dalam tiga bulan pertama 2014
meningkat berkisar 42-62 persen (Auliani, 2014). Ketua KNPA menyatakan
bahwa dari kasus kekerasan seksual pada anak tahun 2014 diketahui bahwa kasus
banyak terjadi di lingkungan sekolah (Aji, 2014).
Kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak juga terjadi di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumlah kasus di DIY mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Mayoritas pelaku merupakan teman dekat, kerabat, hingga
tetangga korban. Data dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY menyebutkan
bahwa KSA di DIY merupakan kasus yang tertinggi dibandingkan dengan kasus
yang lainnya dan meningkat dari tahun 2001 hingga tahun 2008. Kemudian pada
tahun 2009 ada 32 kasus, 2010 terdapat 34 kasus, dan sampai dengan Agustus
2011 ada 25 kasus kekerasan seksual (Prabowo, 2011).
Berdasarkan data kasus yang terlapor di Lembaga Swadaya Masyarakat
(Kantor Berita Antara, 2013) menyatakan bahwa data yang didapatkan dari Unit
Pelayanan, Anak dan Perempuan (UPPA) Polres Gunungkidul, jumlah kekerasan
seksual pada anak sejak bulan Januari hingga bulan Oktober 2013 terdapat 29
kasus. Sementara selama 2013 dari 44 kasus kekerasan pada anak, 43 kasus
diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak di DIY. LPA Jogja
juga mencatat bahwa hingga Mei 2014 diketahui 17 kasus kekerasan seksual
yang terjadi lingkungan pendidikan (Atmasari, 2014). Jumlah tersebut diprediksi
bisa lebih banyak lantaran masih banyak warga yang enggan melapor kepada
4
petugas kepolisian lantaran ada perasaan malu dan takut. Psikiater Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Wonosari di Gunung Kidul juga mengatakan selama
enam tahun terakhir di tahun 2014 angka kekerasan seksual pada anak mencapai
108 kasus (Sutarmi, 2014).
Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi korban KSA, termasuk anak-anak
yang masih usia dini. APA (2011) menyatakan bahwa KSA dapat terjadi pada
anak-anak dari segala usia, ras, etnis, budaya, dan latar belakang ekonomi, baik
anak-anak yang berasal dari pedesaan, perkotaan, pinggiran kota, terjadi pada
semua jenis lingkungan dan masyarakat di seluruh dunia, baik pada anak laki-laki
maupun perempuan. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK
UGM/RSUP DR SARDJITO dalam Temu Wicara Pencegahan Tindak KKSA
pada Anak Usia Dini, yang diadakan oleh Bagian Psikologi Perkembangan
Fakultas Psikologi UGM, tanggal 17 Mei 2014 menyatakan bahwa terdapat
korban kekerasan seksual yang ditangani di UPKT RSUP DR Sardjito sejak tahun
2009-2011 terus meningkat. Data korban seksual di UKPT RSUP DR Sardjito
meliputi 27% pada korban usia 20-39 tahun dan 73% korban berusia 0 19
tahun.Hal tersebut sejalan dengan data sekretaris Lembaga Perlindungan Anak
(LPA) Jogja diketahui bahwa selama tahun 2013, dari 44 kasus kekerasan seksual
pada anak, 43 kasus diantaranya adalah kekerasan seskual pada anak-anak di
bawah usia.
Kasus KSA pada anak usia dini yang terus meningkat ditunjukkan dengan
semakin banyaknya pengaduan atas kejadian kekerasan seksual pada anak. Usia
korban KSA rata-rata berkisar antara 2 15 tahun bahkan diantaranya dilaporkan
5
masih berusia 1 tahun 3 bulan. Saat ini korban kekerasan seksual bukan hanya
menimpa kaum remaja, tetapi juga menimpa ank-anak usia dini dimulai dari usia
0-6 tahun yang semakin rentan terhadap aksi kekerasan (Silitonga, 2014).
Beberapa kasus kekerasan sesksual yang terjadi pada anak usia dini seperti
pada kasus KSA di Denpasar yang dilakukan oleh pria yang dipanggil Codet (30
tahun), dimana yang menjadi korban adalah anak-anak berusia 5 tahun hingga 6
tahun (Doni & Mira, 2010). Demikian pula dengan kasus pencabulan seorang
kakek berusia 65 tahun terhadap anak berusia 2
(Fardianto, 2014). Pada bulan Agustus 2012, ZN (47 thn) ditangkap karena
memperkosa AN, anak berumur 3 tahun. Korban mengalami trauma dan sering
kejang-kejang.
Beberapa catatan KPAI (Erlinda, 2014) mengenai kasus KSA pada anak usia
dini yakni kasus KSA di Sukabumi, dimana terdapat 120 yang menjadi korban
kekerasan seksual/ sodomi oleh Emon. Kemudian kasus KSA yang dilakukan
oleh Baekuni atau disebut Babe sejak tahun 1993-2010 yang melakukan KSA
kepada 14 anak laki-laki berusia 4 tahun 14 tahun. Korban semuanya dicekik
sebelum penetrasi dan dimutilasi untuk menghilangkan barang bukti. Pelaku
kemudian diberikan hukuman mati.
Kasus KSA lainnya yakni kasus siswa di taman kanak-kanak bertaraf
internasional di Jakarta diduga menjadi korban sodomi dan tindak kekerasan oleh
sejumlah pegawai sekolah itu. Kasus yang yang KSA yang menjadi trigger
pengungkapan kasus KSA hingga saat ini yakni kekeasan seksual yang menimpa
anak TK di Jakarta International School atau JIS (Murti, 2014). Kasus tersebut
6
terungkap pada tanggal 21 Maret 2014 yang diberitakan di surat kabar Tempo
(Utama, 2014). Ibu korban terkejut saat putranya seringkali pulang ke rumah
memakai baju cadangan dari sekolah dan terlihat mengompol. Korban berusia 5
tahun tersebut menyatakan kepada ibunya:
"Mami, tolong bilang ke teman Mami yang polisi, datang ke sekolahku
karena ada bapak jahat di sekolah"
Kasus KSA pada siswa TK juga terjadi di DIY (Putra, 2014) yakni anak
kembar dilecehkan oleh anak tetangganya yang menumpang untuk sekolah di
Yogyakarta. Ibu korban mengadukan kasus anaknya sebagai berikut:
"Bayangkan anak TK bisa menahan perasaan ini hingga dia kelas 2 SD
dan baru bercerita bahwa, maaf, saat anak saya di Yogyakarta, kedua
anak tetangga saya yang menumpang untuk bersekolah itu memainkan
kelamin anak saya, hingga celananya basah. Bahkan sampai pagi, anak
saya tidak memakai celana. Anak saya tahu, tapi diam saja karena takut
dibunuh,".
Kasus
KSA
tersebut
kemudian
memberikan
dampak
negatif
bagi
mental.
7
Johnson (2004) menyatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak
usia dini kemungkinan masih banyak yang tidak diketahui karena adanya rasa
malu dan takut untuk melaporkan kejadian KSA, serta adanya kemungkinan anak
belum memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik dalam melaporkan sebuah
kejadian dengan detail, pemahaman anak yang masih kurang dalam mengenali
tindakan yang merupakan kekerasan seksual, terutama jika pelaku KSA
merupakan orang terdekat atau pengasuhnya. Hal tersebut juga sejalan dengan
pendapapat Santrock (2005) bahwa anak usia dini usia 2-7 tahun memiliki
karakteristik belum mampu berfikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa
yang dialami. Pelaku KSA dengan demikian dapat lebih mudah memanipulasi
anak dengan memberikan iming-iming atau hadiah serta ancaman, serta informasi
yang salah tentang nilai-nilai agar kebutuhan seksual orang dewasa tersebut
terpenuhi (Kinnear, 2007).
Johnson (2004) menyatakan konsekuensi dari KSA dapat berdampak pada
aspek fisik dan psikologis anak. Dampak fisik dapat berupa terdapatnya jaringan
atau organ yang rusak, dimana organ tersebut kemungkinan menyebabkan bekas
luka. Namun demikian, dampak psikologis dapat berdampak lebih lama bagi
anak, seperti gangguan stres pasca-trauma, serta adanya kehamilan dan beberapa
penyakit menular seksual mengakibatkan efek seumur hidup berupa ancaman jiwa
atau percobaan bunuh diri pada korban. Kekerasan seskual pada anak dengan
demikian dapat berakibat pada sakit fisik, mental, sosial, dan bahkan dapat
mengancam produktivitas korban. Whitaker (Cashmore & Shackel, 2013)
menyatakan bahwa sebagian besar pelaku KSA adalah orang-orang yang menjadi
8
korban kekerasan seksual di masa lalunya. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
pencegahan kekerasan seksual pada anak agar keshatan anak sejak usia dini tidak
terancam (Paramastri, dkk, 2010).
Upaya pencegahan KSA kepada anak usia dini dapat disesuaikan dengan
karakteristik perkembangan kognitif anak. Anak dapat diberikan pengetahuan dan
keterampilan
melalui
media-media
pembelajaran
yang
konkret,
seperti
menggunakan media boneka ataupun media bergambar. Hal ini sejalan dengan
pendapat Paramastri, Prawitasari, Prabandari, dan Ekowarni (2011) yang
menyatakan bahwa metode pencegahan KSA pada anak dapat dilakukan melalui
media bergambar atau buklet. Selanjutnya, Maan (Kinnear, 2007) menyatakan
bahwa salah satu penanganan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
KSA pada anak dengan menggunakan media boneka. Boneka mainan yang
dilengkapi dengan organ vital berfungsi untuk menjelaskan kepada anak-anak
tentang nama-nama, fungsi organ tersebut, dan pentingnya organ tersebut untuk
dilindungi agar terhindar dari kekerasan seksual.
Undang-undang No. 23 tahun 2002 menegaskan bahwa pertanggungjawaban
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak
anak. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka upaya perlindungan anak perlu
dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai
anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
Penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur dapat
dilakukan dengan cara yang bersifat preventif maksudnya upaya penanggulangan
9
Bolen (2003)
menyarankan agar metode pencegahan yang lebih efektif untuk KSA adalah
program yang berbasis sekolah, yakni promosi pola-pola hubungan yang sehat.
11
12
kesehatan (Depkes, 2008). Salah satu agen di sekolah yang seringkali berinteraksi
dengan anak secara langsung adalah guru.
Guru dapat menjadi sumber informasi mengenai pengetahuan dan
keterampilan prevensi KSA pada anak selain melalui media, teman sebaya, orang
tua, serta tenaga kesehatan (Ghule & Donta, 2008; Philips & Martinez, 2010).
Guru merupakan bagian utama dari lingkungan pembelajaran siswa dan memiliki
peran penting dalam memberikan pendidikan kepada siswa. Berdasarkan alasan
tersebut beberapa upaya penanganan terkait prevensi KSA dapat diarahkan kepada
guru. Pemberian psikoedukasi pelatihan untuk prevensi KSA dengan demikian
sangat penting.
Data preliminary yang diambil dari hasil diskusi dengan beberapa orang tua
dan guru pada Temu Wicara Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual Terhadap
Anak Usia Dini, yang diadakan oleh Bagian Psikologi Perkembangan Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada, tanggal 17 Mei 2014, menemukan bahwa
guru mengalami kesulitan dalam membantu siswa dalam mencegah terjadinya
KSA. Guru mengalami kebingungan tentang apa yang harus dilakukan oleh guru
terhadap siswa agar sejak dini mengajarkan cara menjaga dirinya dari KSA.
Berdasarkan hasil kuesioner yang disebaran kepada 28 orang guru TK di
Kabupaten Sleman,Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa guru-guru telah
memperoleh informasi mengenai kekerasan seksual pada anak. Selanjutnya,
peneliti mewawancarai kepala sekolah dari salah satu TK Islam Terpadu. Kepala
sekolah menyatakan bahwa berita tentang kasus KSA sudah diketahui oleh
banyak kalangan termasuk guru-guru, tetapi hingga saat ini guru-guru belum
13
mengetahui bagaimana cara menangani agar kasus tersebut tidak terjadi pada anak
didiknya. Selanjutnya, peneliti juga mewawancarai guru dari sekolah tersebut.
Guru menyatakan bahwa saat ini media sosial banyak memberitakan kasus
kekerasan yang terjadi pada anak. Namun, hingga saat ini, belum terdapat fasilitas
atau hal yang dapat dilakukan oleh guru dalam mengantisipasi permasalahan
tersebut. Guru menyatakan bahwa guru belum mengetahui hal apa yang dapat
dilakukan oleh guru agar dapat mencegah terjadinya KSA pada anak didiknya.
Selanjutnya guru juga menyatakan bahwa letak sekolah berbaur dengan SD,
rumah warga, sawah-sawah, dan jalan raya, dimana orang luar dapat masuk tanpa
ada batasan (pagar penghalang). Hal tersebut menurut guru dapat memberi
peluang pada pelaku kejahatan, sehingga guru merasa perlu untuk mengetahui
cara-cara mengajari anak usia dini agar dapat melidungi dirinya dari kejahatan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Johnson (2004) bahwa pelaku dapat menemukan
anak-anak sebagai korban saat bermain-main, saat di kerumunan atau
perkumpulan acara keluarga, atau pelaku mendekati anak-anak yang berada di
dekat rumah pelaku. Oleh karena itu, keterampilan guru dalam mengajar prevensi
KSA sangat diperlukan sebagai salah satu upaya menghindarkan anak dari kasus
KSA. Hal ini sejalan dengan pendat Killic (2010) bahwa guru membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan dalam mengajar, sehingga guru butuh diberikan
pelatihan sebelum pengajaran dimulai.
Pandangan konstruksivisme menyatakan bahwa individu sebagai pembelajar
aktif akan membentuk (konstruksi) pengetahuannya dari pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya dan pengetahuan baru yang diperolehnya. Indiviu dapat
14
16
Pemberian
psikoedukasi
pelatihan
melalui
modul
PROAKSI
ini
meningkatkan keterampilan guru dalam mengajar prevensi KSA pada anak usia
dini.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan validasi modul PROAKSI
(Program Atasi Kekerasan Seksual Dini) dalam meningkatkan keterampilan guru
dalam mengajarkan prevensi kekerasan seksual pada anak usia dini. Hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah keterampilan mengajarkan prevensi
KSA melalui modul PROAKSI pada kelompok eksperimen lebih tinggi
dibandingkan pada kelompok
memberikan
Keterampilan guru
mengajarkan
prevensi KSA
masih rendah
Keterampilan guru
mengajarkan
prevensi KSA
tinggi.