Anda di halaman 1dari 3

Bahaya Fast Food sama dengan Rokok

"Selama ini, banyak di antara kita yang mengira bahwa jika kita masih muda,
beraktivitas fisik teratur, dan tidak merokok, maka risiko kita untuk terkena penyakit
jantung lebih rendah. Tapi, bagi yang masih makan fast food sekali atau dua kali
dalam seminggu, lebih baik cek faktanya."
Perokok selalu di sudutkan dengan Pola Hidup yg Kurang sehat, itu sudah jelas
memang mengganggu, tp jangan pandang sebelah mata dengan Pembunuh yg
disamarkan dengan kelezatan dan kenikmatan yaitu MAKANAN.
Mungkin jika anak kecil merokok akan ada banyak orang yang menegur , melarang
bahkan memarahi. Tapi jika ada anak yg keranjingan Fast food tidak akan ada orang
yang menegur terlebih memarahi. karna pembunuh yg terselubung maka saya
bilang ini lebih berbahaya dari pada MEROKOK!
Bukankah lebih bahaya pembunuh yg terselubung dg Kenikmatan, kelezatan,
Padahal, menurut data kementrian kesehatan dan WHO, saat ini jumlah penderita
diabetes di Indonesia di perkirakan tak kurang 7,6 juta orang. Bahkan, satu dari
enam remaja gemuk usia 12-19 tahun diketahui memasuki tahap prediabetes.
Siapa yang tidak suka dengan makanan cepat saji atau fast food ketika mampir di
mall? Ya, selain enak di lidah, fast food juga punya efek samping yang berbahaya.
Menurut penelitian terbaru, orang yang mengonsumsi makanan fast food, walau
hanya seminggu sekali, bisa meningkatkan risiko kematian akibat penyakit jantung
koroner hingga 20 persen, dibandingkan dengan orang yang menghindari makanan
itu.
Bagi orang yang memakan fast food dua-tiga kali setiap minggu, berisiko meningkat
sebesar 50 persen, dan risiko meningkat menjadi hampir 80 persen untuk orang
yang mengonsumsi lebih dari empat kali setiap minggu. Tak hanya itu, fast food
juga meningkatkan risiko pengembangan diabetes tipe 2 sebesar 27 persen.
Menurut jurnal Circulation, para peneliti dari University of Minnesota School of Public
Health menemukan hasil ini dari tinjauan penelitian tentang makanan cepat saji dan
risiko metabolik diantara populasi Kaukasia.
Kami ingin meneliti hubungan antara fast food dari Barat dengan risiko kardiometabolik di populasi Cina di Asia Tenggara, yang sudah menjadi sarang untuk
diabetes dan penyakit jantung, kata Andrew Odegaard, peneliti dari Minnesota
yang memimpin penelitian ini.
Apa yang kami temukan adalah dampak kesehatan publik akibat makanan cepat
saji, produk yang terutama diimpor dari barat menjadi pasar baru, tambah
Odegaard.

Ia bersama rekan-rekan dari National University of Singapore itu meninjau sebuah


hasil penelitian 16 tahun lalu, yang berdasarkan kebiasaan makan 52.000 warga
Cina di Singapura yang mengalami transisi dari makanan tradisional ke makanan
cepat saji Barat.
Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah, peserta yang melaporkan sering
makan makanan cepat saji justru orang yang lebih muda, lebih berpendidikan,
jarang merokok dan lebih aktif secara fisik aktif, kata Odegaard

DATA STATISTIK
Lebih mencengangkan lagi, jumlah penderita hipertensi atau tekanan darah tinggi
di Indonesia diperkirakan mencapai 32% dari populasi penduduk, dan di seluruh
dunia tak kurang dari 1 milyar orang. Hipertensi merupakan penyebab utama
stroke, gagal jantung, gagal ginjal hingga mati muda.
Sementara itu, data kemenkes yang dihimpun dari semua rumah sakit mencatat
sekitar 12 juta orang di Indonesia yang berumur diatas 35 tahun berpotensi
terserang stroke yakni kerusakan otak akibat sumbat atau pecahnya pembuluh
darah di otak. Usia kematian akibat stroke ini juga semakin turun yang artinya kaum
muda kian beresiko terserang stroke. Semua fakta ini tampaknya membuat
kementrian kesehatan galau. Menteri kesehatan pun mengeluarkan permenkes
No.30/2013 yang intinya mewajibkan pencantuman ingredients (kandungan bahan
dan nutrisi) sesuai hasil laboratorium, pada setiap pangan olahan dan makanan siap
saji, termasuk di restoran fast food.
Tidak hanya itu, aturan itu juga mewajibkan pencantuman pesan kesehatan tentang
dampak dari konsumsi gula, garam dan lemak terhadap resiko hipertensi, stroke,
diabetes dan serangan jantung. Ini mirip dengan peringatan pemerintah pada
kemasan tentang bahaya merokok.

Pecinta Fast Food Memiliki Resiko Terkena Penyakit Jantung


Selama ini, banyak di antara kita yang mengira bahwa jika kita masih muda,
beraktivitas fisik teratur, dan tidak merokok, maka risiko kita untuk terkena penyakit
jantung lebih rendah. Tapi, bagi yang masih makan fast food sekali atau dua kali
dalam seminggu, lebih baik cek faktanya.
Menurut penelitian gabungan oleh University of Minnesota School of Public Health
(UM) dan National University of Singapores (NUS) Saw Swee Hock School of Public
Health, faktor-faktor seperti usia, kebiasaan merokok, dan tingkat aktivitas fisik

mungkin memiliki pengaruh lebih sedikit terhadap risiko penyakit jantung koroner,
bila dibandingkan dengan kebiasaan mengonsumsi fast food.
Penelitian ini melibatkan partisipan sebanyak 52.584 pria dan wanita yang berusia
45-74 tahun. Penelitian dilakukan selama 16 tahun yang dimulai pada 1993 silam.
Penemuan ini dipublikasikan secara online pada 2 Juli 2012 oleh American Heart
Association.

Anda mungkin juga menyukai