Anda di halaman 1dari 15

Mohamad Agus Budianto

C12114739
Laporan Pendahuluan
Halusinasi
1. Kasus (Masalah Utama) :
Klien Tn. M mengaku sering melihat seorang perempuan berdiri
disampingnya jika ia sedang melakukan ibadah. Klien mengaku jika muncul
seseorang itu ia langsung mencekik dan membantingnya lalu hilang.
2. Proses terjadinya masalah
a. Definisi
1. Menurut Carpenito, 2006 perubahan persepsi sensori; halusinasi merupakan
keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami
suatu perubahan dalam jumlah, pola atau interprestasi stimulus yang datang.
2. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pola
stimulus yang mendekat yang disertai dengan berespon secara berlebihan
terhadap stimulus (Towsend, 2005).
3. Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya sensori persepsi
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering
adalah halusinasi pendengaran (Auditory-hearing voices or sounds),
halusinassi penglihatan (Visual-seeing persons or things), halusinasi
penciuman (Olfactory-smelling odors), halusinasi pengecapan (Gustatoryexperiencing tastes). (Varcarolis, 2006:393)
4. Halusinasi adalah persepsi sensori yang keliru dan melibatkan panca indera,
dimana dalam skizofrenia halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang
paling banyak terjadi (Isaacs, 2001).
5. Beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa halusinasi merupakan suatu kesalahan dari
persepsi yang muncul tanpa adanya stimulus atau rangsangan yang nyata.
b. Proses terjadinya halusinasi
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm 401), dalam model stress dan
adaptasinya, gangguan jiwa dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
faktor predisposisi, stressor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber
koping, mekanisme koping, dan rentang respon.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada
dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling
1|Page

maladaptif. Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan


menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indra ( pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan ), klien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun
sebenarnya stimulus itu tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon
individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah
mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien
mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra
tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.
Rentang respon

Respon Adaptif
Pikiran logis

Respon Maladaptif
Distorsi pikiran

Gangguan pikir/delusi

Persepsi akurat

Ilusi

Halusinasi

Emosi konsisten dengan

Reaksi emosi berlebihan

pengalaman

atau kurang

Perilaku sesuai

Perilaku aneh/tidak bias

Berhubungan sosial

Menarik diri

Sulit berespon emosi


Perilaku disorganisasi
Isolasi sosial

c. Klasifikasi halusinasi
1. Halusinasi Hynagogik terjadi pada orang normal, antara bangun tidur dan tidur
2. Halusinasi pendengaran ( akustik )
a. Akoasma: suasana yang kacau balau
b. Phoneme: bentuk suara jelas,misalnya kalimat tertentu yang tidak
menyenaangkan, menghina, kotor, menudu, menyalahkan, dan memaksa.
3. Halusinasi pengelihatan ( visual )
a. Khas pada delirium karena infeksi akut (psikoargonik)
b. Keluhan pada korteks serebri tidak jelas bentuknya
c. Keluhan pada korteks tempo pariental bentuk jelas
4. Halusinasi olfaktorik ( pembau )
Terjadi pada skizoprenia dan

cesilobus

temporalis,

misalnya

tidak

menyenangkan atau tidak disukai.


5. Halusinasi gustatorik (rasa lidah/pengecap)
Sering bersama-sama halusinasi olfaktorik
6. Halusinasi Taktil (perabaan)
2|Page

Sering terjadi pada keadaan toksik, adiksi, kokain


7. Halusinasi haptik
Seolah-olah tubuh bersentuhan dengan orang atau benda lain (sering bercorak
seksual)
8. Halusinasi anstokopi
Seolah-olah melihat dirinya dihadapannya seperti bercermin
JENIS

KARAKTERISTIK

HALUSINASI
Pendengaran

Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang.

70 %

Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata


yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu

Penglihatan 20%

kadang dapat membahayakan.


Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar
geometris,gambar kartun,bayangan yang rumit atau kompleks.
Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat

Penghidu

monster.
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses
umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi

Pengecapan
Perabaan

penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.


Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati

atau orang lain.


d. Penyebab Halusinasi
Berdasarkan pendekatan model stres adaptasi tersebut, berikut ini faktorfaktor yang menyebabkan halusinasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai
berikut :
Predisposisi :
1) Faktor biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologis yang
maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang
mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak. Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter
3|Page

mengakibatkan ketidakmampuan untuk menanggapi rangsangan secara


selektif. Klien tidak mampu untuk mengolah informasi, sehingga
mengakibatkan kesalahan persepsi dan

halusinasi, bingung, dan

mengakibatkan delusi (Stuart dan Laraia, 2005).


2) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada

penyalahgunaan

zat

adiktif.

Hal

ini

berpengaruh

pada

ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa


depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam khayal (Yosep, 2009).
3) Faktor sosiokultural
Faktor sosiokultural yang banyak menunjang terjadinya halusinasi adalah
stress yang menumpuk, hubungan yang kurang antara orang tua dan anak,
kerusakan identitas seksual dan body image, dan kekakuan konsep realita
(Shives, 2005).
Presipitasi :
1) Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi bisa berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membadakan
keadaan nyata dan tidak nyata. Memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai mahluk
yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu (Yosep, 2009) :
2) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol serta kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
3) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan.
4) Dimensi intelektual
Dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan

4|Page

yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
5) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dan fase awal dan comforting,
klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
6) Dimensi spiritual
Klien halusinasi secara spiritual sering mengalami kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk mensucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu,
karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat bangun
merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.
Penilaian terhadap stressor
Penilaian terhadap stressor yaitu respon klien terhadap halusinasi dapat
berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak nyaman, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata
(Stuart, 2002, hlm 249).

Sumber koping
Sumber koping yaitu suatu evaluasi terhadap pilihan cara yang digunakan dan
strategi seseorang untuk menyelesaikan suatu masalah. Individu dapat
mengatasi stres dan ansietas dengan menggunakan sumber koping
dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil (Stuart, 2002, hlm 249).
Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah upaya atau cara untuk menyelesaikan masalah
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
Mekanisme koping terbagi menjadi dua yaitu adaptif dan maladaptif (Stuart,
2002, hlm 249).
Mekanisme koping yang adaptif pada halusinasi yaitu :
5|Page

1) Pemahaman terhadap pengaruh gangguan otak pada perilaku


2) Kekuatan dapat meliputi seperti modal inteligensia atau kreativitas yang
tinggi
3) Dukungan keluarga
Mekanisme koping yang maladaptif pada halusinasi yaitu:
1) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas
2) Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
3) Menarik diri
Rentang respon
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm 387), halusinasi merupakan
salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon
neurobiologi.
Rentang respon neurobiologist dapat dijelaskan sebagai berikut (Dalami,
2009, hlm 22) :
1)

Pikiran logis, merupaka ide yang berjalan secara logis dan sesuai

2)

dengan akal pikiran.


Persepsi akurat, proses diterimanya rangsangan melalui panca indera
yang didahuluhi oleh perhatian (attention) sehingga individu menjadi

3)

sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun diluar dirinya.


Emosi konsisten, yaitu emosi atau perasaan yang konsisten yang tidak

4)

berlebihan dan berjalan sebagaimana mestinya.


Perilaku sesuai, perilaku individu yang berupa tindakan nyata dalam
menyelesaikan suatu masalah yang dapat diterima oleh akal sehat dan

5)

norma-norma sosial yang berlaku.


Hubungan sosial, merupakan hubungan yang harmonis dan dinamis
yang menyangkut hubungan antara individu yang satu dengan individu

6)

yang lainnya.
Proses pikir kadang terganggu (ilusi), manifestasi dari persepsi impuls
eksternal melalui alat panca indera yang memproduksi gambaran
sensorik pada area tertentu di otak kemudian siinterpretasikan sesuai

7)

dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.


Reaksi emosi berlebihan atau kurang, merupakan reaksi dari suatu

8)

emosi yang keluar secara berlebihan maupun kurang.


Perilaku tidak sesuai, perilaku individu yang

nyata

dalam

menyelesaikan suatu masalah yang tidak sesuai dan tidak dapat


diterima oleh norma-norma dan sosial budaya yang berlaku.
6|Page

9)

Halusinasi, merupakan kesalahan persepsi sensori yang ditunjukkan

oleh perubahan perilaku dari individu tersebut.


10) Ketidakteraturan, yaitu perilaku yang ditunjukkan oleh individu yang
kacau dan tidak dapat dikendalikan sehingga individu tersebut tidak
dapat mengikuti aturan-aturan yang sesuai.
11) Menarik diri (isolasi sosial), yaitu manifestasi dari penyelesaian
masalah yang salah, seperti menghindar berinteraksi dengan orang lain,
menghindar berinteraksi dengan lingkungannya.
e. Fase Halusinasi
Beberapa tahapan-tahapan pada klien dengan halusinasi antara lain (Yosep,
2009, 222) yaitu :
1. Stage I : Sleep Disorder
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindari dari lingkungan, takut diketahui
orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah terasa menekan karena
terakumulasi sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah
sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal.
Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
2. Stage II : Comforting Moderate level of anxiety
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian,
perasaa berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya
kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia
kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien
merasa nyaman dengan halusinasinya.
3. Stage III : Condemning Severe level of anxiety
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai
merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai berupayah menjaga jarak
antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari
orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
4. Stage IV : Controlling Severe level of anxiety
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien
dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase
gangguan Psychotic.
5. Stage V : Conquering Panic level of anxiety
Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam dengan
datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau
perintah yang di dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama

7|Page

minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik.
Terjadi gangguan psikotik berat.
3. Data yang perlu diakaji
a. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya
respon neurobiologi seperti halusinasi antara lain:
i. Faktor Genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson
tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi factor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Diduga letak gen schizoprenia adalah kromoson nomor enam, dengan
kontribusi genetik tambahan No. 4, 8, 5 dan 22 (Buchanan dan
Carpenter,2002). Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami
schizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami schizofrenia,
sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang
salah satu orang tuanya mengalami schizofrenia berpeluang 15%
mengalami schizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya schizofrenia
maka peluangnya menjadi 35 %.
ii. Faktor Neurobiologi.
Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien
schizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien
schizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal.
Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotin.
iii. Studi neurotransmitter.
Schizofrenia

diduga

juga

disebabkan

oleh

ketidak

seimbangan

neurotransmitter dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan


kadar serotin.
iv. Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi
faktor predisposisi schizofrenia.
v. Psikologis.
Beberapa kondisi pikologis yang menjadi faktor predisposisi schizofrenia
antara lain anak yang di pelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu
8|Page

melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil


jarak dengan anaknya.
b. Faktor presipitasi
Faktor faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
a.

Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima


dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.

b.

Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu ( mekanisme


gateing abnormal)

c.

Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan


perilaku seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini :

Kesehatan

Nutrisi Kurang
Kurang tidur
Ketidak siembangan irama sirkardian
Kelelahan infeksi
Obat-obatan system syaraf pusat
Kurangnya latihan

Lingkungan

Hambatan unutk menjangkau pelayanan kesehatan


Lingkungan yang memusuhi, kritis
Masalah di rumah tangga
Kehilangan kebebasan hidup, pola aktivitas sehari-hari
Kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain
Isoalsi sosial
Kurangnya dukungan sosial
Tekanan kerja ( kurang keterampilan dalam bekerja)
Stigmasasi
Kemiskinan
Kurangnya alat transportasi

Sikap/Perilaku

Ktidak mamapuan mendapat pekerjaan


Merasa tidak mampu ( harga diri rendah)
Putus asa (tidak percaya diri )
Merasa gagal ( kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri
9|Page

Kehilangan kendali diri (demoralisasi)


Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala
tersebut.
Merasa malang ( tidak mampu memenuhi kebutuhan
spiritual )
Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan
Rendahnya kemampuan sosialisasi
Perilaku agresif
Perilaku kekerasan
Ketidak adekuatan pengobatan
Ketidak adekuatan penanganan gejala.
c. Mekanisme Koping.
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah:

Register, menjadi malas beraktifitas sehari-hari.

Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan


tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.

Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.

Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien.

d. Perilaku
Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalaminya,
seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan
persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang mendengarkan suarasuara dan tidak lagi meragukan orang yang berbicara tentang suara tersebut.
Ketidakmampuannya mempersepsikan stimulus secara riil dapat menyulitkan
kehidupan klien. Karenanya halusinasi harus menjadi prioritas untuk segera
diatasi. Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan
perihal halusinasinya.
Klien yang mengalami halusinasi sering kecewa karena mendapatkan
respon negatif ketika mencoba menceritakan halusinasinya kepada orang lain.
Karenanya banyak klien enggan untuk menceritakan pengalaman
10 | P a g e

pengalaman aneh halusinasinya. Pengalaman halusinasi menjadi masalah


untuk dibicarakan dengan orang lain. Kemampuan untuk memperbincangkan
tentang halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan
dan memvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki
ketulusan dan perhatian untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang
halusinasi.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis
halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda tanda dan
perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya
sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi
yang diperlukan meliputi :
1.

Isi Halusinasi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang
dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat
oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu,
rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan
dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan.

2.

Waktu dan Frekuensi.


Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi
muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu
muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi
dan menentukan bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.

3.

Situasi Pencetus Halusinasi.


Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul.
Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang
munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.

4.

Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji
dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi.
Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak
berdaya terhadap halusinasinya.

Selain data tentang halusinasinya, peraweat juga dapat mengkaji data yang terkait
dengan halusinasi, yaitu :

11 | P a g e

Bicara, senyum dan tertawa sendiri.

Menarik diri dan menghindar dari orang lain.

Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata.

Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi.

Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan) dan
takut.

Ekspresi muka tegang dan mudah tersinggung.

4. Diagnosa keperawatan
Klien yang mengalmi halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga bias
membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Hal ini terjadi jika halusinasi
sudah sampai pada fase IV, dimana klien mengalami panik dan perilakunya di kendalikan
oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas
terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan bunuh diri ( suicide),
membunuh orang lain (homocide) dan merusak lingkungan.
Selain masalah yang diakibatkan oleh halusinasi, klien biasanya juga mengalami
masalah-masalah keperawatan yang menjadi penyebab munculnya halusinasi. Masalah itu
antara lain harga diri rendah dan isolasi social (stuart dan laria,2001). Akibat harga diri
rendah dan kurangnya keterampilan berhubungan sosial , klien menjadi menarik diri dari
lingkungan. Dampak selanjutnya lebih dominan di bandingkan stimulus eksternal. Klien
selanjutnya kehilangan kemampuan membedakan stimulus internal dengan stimulus
eksternal. Ini memicu timbulnya halusinasi.
Dari masalah tersebut diatas dapat disusun pohon maslah sebagai berikut :
EFEK

Resiko mencedrai diri sendiri,


Orang lain, dan lingkungan

C.P

Perubahan persepsi sensori :

Defisit perawatan diri :

12 | P a g e

Halusinasi pendengaran

Mandi/Kebersihan
diri,berpakaian/berhias

ETIOLOGI Kerusakan interaksi sosial :

Intoleransi aktifitas

Menarik diri
Gangguan konsep diri :
Harga diri rendah
Dari pohon masalah diatas dapat dirumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut
1.

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan


berhubungan dengan halusinasi audiotorik.

2.

Perubahan persepsi sensorik : Audiotorik berhubungan dengan


menarik diri

3.

Kerusakan interaksi sosial : Menarik diri berhubungan dengan


Harga diri rendah

4.

Defisit perawatan diri: mandi/kebersihan, berpakaian/berhias


berhubungan dengan intoleransi aktifitas.

5. Rencana tindakan keperawatan


a. Rencana keperawatan
Tujuan dari tindakan keperawatan yaitu Klien dapat mengenal, dan mengontrol
halusinasi
Tujuan itu dapat dirinci sebagai berikut :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya.
4. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
5. Klien dapat memanfaatkan obat untuk mengatasi halusinasinya.
b. Tindakan keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk membantu klien mengatasi masalahnya di mulai
dengan membina hubungan saling percaya dengan klien.
2. Setelah hubungan saling percaya terbina , intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya.
13 | P a g e

3. Setelah klien mengenal halusinasinya selanjutnya klien dilatih bagaimana cara


yang biasa terbukti efektif mengatasi atau mengontrol halusinasi.
4. Obeservasi tanda halusinasi pada klien.
5. Hindari untuk menyentuh pasien sebelum memberi isyarat kepadanya bahwa
anda menerima diperlakukan yang sama.
6. Suatu sikap menerima akan mendorong klien membagikan isi halusinasinya
dengan anda.
7. Jangan menguatkan halusinasi. Gunakan kata-kata suara tersebut dari pada
kata-kata seperti mereka yang menyatakan validasi secara tidak langsung.
8. Cobalah untuk menghubungkan waktu-waktu terjadinya kesaahan persepsi
dengan waktu-waktu terjadinya ansietas.
9. Cobalah untuk mengalihkan pasien dari kesalahan persepsi.

Adapun cara yang efektif dalam memutuskan halusinasi adalah :


1.

Menghardik halusinasi.

2.

Berinteraksi dengan orang lain.

3.

Beraktivitas secara teratur dengan menyusun


kegiatan harian.

4.

Memanfaatkan obat dengan baik.


Keluarga perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang

mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting karena
keluarga adalah sebuah system dimana klien berasal dan halusinasi sebagai salah satu
gejala psikosis dapat berlangsung lama (kronis) sehingga keluarga perlu mengetahu cara
perawatan klien halusinasi dirumah.
Dalam mengendalikan halusinasi diberikan psikofarmaka

oleh

tim medis

sehingga perawat juga perlu memfasilitasi klien untuk dapat menggunakan obat secara
tepat. Prinsip lima benar harus menjadi focus utama dalam pemberian obat.
c. Evaluasi
Asuhan keperawatan klien dengan halusinasi berhasil jika :
1. Klien mampu memisahkan antara kejadian-kejadian atau situasi-siatuasi
realita dan tidak realita.
14 | P a g e

2. Klien mampu tidak berespon terhadap persepsi sensori yang salah.


3. Klien menunjukkan kemampuan mandiri untuk mengontrol halusinasi
4. Mampu melaksanakan program pengobatan berkelanjutan
5. Keluarga mampu menjadi sebuah sistem pendukung yang efektif dalam
membantu klien mengatasi masalahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,L.J., Buku saku diagnosa keperawatan, EGC, Jakarta, 2013.


Keliata,B.A. SKp, M.App, Sc, Proses keperawatan kesehatan jiwa, EGC Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta 2010.
Kumpulan bahan kuliah, Ilmu Keperawatan Jiwa, tidak diterbitkan.
Rasmun, SKp, Keperawatan kesehatan mental psikiatri terintegrasi dengan keluarga, tidak
diterbitkan.
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J.,Principles and practice of psychiatric nursing (5th ed) St
louis :Mosby Year Book, 2001.
Stuart, G.W. dan Laraia, M.T.,Principles and practice of psychiatric nursing (6th ed) St
louis :Mosby Year Book, 2001.
Townsend, M.C., Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri: pedoman untuk
pembuatan rencana keperawatan, EGC, Jakarta, 1998.

15 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai