Anda di halaman 1dari 34

1

Cedera Tulang Belakang dan Medula Spinalis

I. PENDAHULUAN
Setiap cedera di atas klavikula harus dicurigai adanya cedera tulang leher (CSpine). Sekitar 15% penderita yang mengalami cedera seperti di atas akan
mengalami cedera pada c-spine. Sekitar 55% cedera tulang belakang terjadi pada
daerah servikal, 15% pada daerah torakal, 15% pada torakolumbal, serta 15% pada
daerah lumbosakral . Sekitar 5% dari penderita yang mengalami cedera kepala
juga menderita cedera tulang belakang, di mana 25% penderita cedera tulang
belakang menderita sedikitnya cedera kepala ringan..
Menyingkirkan kemungkinan adanya cedera tulang belakang adalah lebih mudah
pada penderita dalam keadaan sadar. Pada penderita yang neurologis normal, tidak
adanya rasa sakit atau nyeri tekan sepanjang tulang belakang dapat
mengesampingkan adanya cedera tulang belakang yang jelas. Akan tetapi pada
penderita dalam keadaan koma atau penurunan tingkat kesadaran berkewajiban
memperoleh hasil foto ronsen yang tepat untuk menyingkirkan adanya cedera
tulang belakang.
Imobilisasi penderita dengan dasar keras seperti backboard yang terlampau lama
akan berbahaya bagi penderita. Selain menyebabkan rasa tidak nyaman pada
penderita yang sadar, imobilisasi yang terlampau lama dapat menyebabkan ulkus
dekubitus pada penderita dengan cedera tulang belakang.
Long spine board dipergunakan hanya sebagai alat transportasi penderita dan
dilepaskan secepatnya bila memungkinkan.. Bila tidak mungkin, dalam waktu 2
jam penderita harus dilepaskan dari spine board dan dijakukan log roll setiap 2
jam, untuk menurunkan resiko pembentukan ulkus dekubitus.

Created by dr. Doni Kurniawan

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI


A. Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis terdiri dart 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakalis, dan
5 vertebra lumbal (seperti juga sakrum dan koksigeus). Tulang vertebra terdiri
dart bagian anterior, yaitu korpus vertebra yang merupakan tiang penunjang
berat badan utama. Korpus vertebra dipisahkan oleh diskus intervertebralis
dan dipegang pada bagian anterior dan posterior oleh ligamentum longitudinal
anterior serta posterior. Di bagian posterolateral, 2 pedikel membentuk pilar
yang merupakan atap dart kanalis vertebralis (lamina). Sendi faset,
ligamentum interspinosus, dan muskulus paraspinalis semuanya menambah
stabilitas tulang belakang.
Kanalis servikalis lebar pada daerah servikal atas, dari foramen magnum
sampai bagian bawah vertebra C-2. Meskipun demikian kurang lebih 1/3
dengan cedera vertebra servikal atas meninggal di tempat terjadinya cedera
karena kuadriplegia tinggi. Kebanyakan penderita yang selamat dengan cedera
pada tingkat ini adalah yang dalam keadaan dengan neurologis masih baik
pada saat tiba di rumah sakit. Trauma pada C-3 atau tingkat di bawahnya,
mempunyai insidens lebih tinggi untuk mengalami defisit neurologis.
Pergerakan pada vertebra torakalis lebih terbatas. Bagian vertebra ini
mendapat tambahan penahan dari sangkar costa (karena itu insiden fraktur
vertebra torakalis lebih rendah, dengan kebanyakan fraktur vertebra torakalis
merupakan fraktur kompresi yang tidak mengakibatkan cedera medula
spinalis). Akan tetapi, bilamana terjadi fraktur dislokasi , maka biasanya
selalu terjadi defisit neurologis lengkap (disebabkan oleh kanalis spinalis
diameternya relatif sempit pada daerah vertebra torakalis). Daerah vertebra
torakolumbal adalah titik tumpu antara daerah vertebra torakalis yang tidak
fleksibel dengan daerah lumbar yang lebih kuat. Hal ini menyebabkan
mudahnya terjadi trauma , di mana 15% dari seluruh cedera vertebra terjadi di
daerah ini.

Created by dr. Doni Kurniawan

B. Anatomi Medula Spinalis


Medula spinalis berasal dari bagian kaudal dari medula oblongata pada
foramen magnum. Pada orang dewasa biasanya berakhir pada batas tulang L-1
sebagai konus medularis. Di bawah level ini terdapat kauda ekuina, yang lebih
tahan terhadap trauma.
Dari banyak traktus pada medula spinalis hanya 3 yang dapat diperiksa secara
klinis :
1. Traktus kortikospinalis (pada daerah segmen posterolateral medula spinalis
dan fungsinya adalah mengontrol kekuatan motoris pada sisi yang sama pada
tubuh dan dapat diuji dengan kontraksi otot volunter atau respon involunter
terhadap stimulus nyeri)
2. Traktus spinotalamikus (pada daerah anterolateral dari medula spinalis,
mentransmisikan sensasi nyeri dan temperatur dari sisi yang berlawanan dari
tubuh. Secara umum dapat dilakukan test dengan pin prick dan raba halus)
3. Kolum posterior (membawa proprioseptif , vibrasi dan sensasi raba halus
dari sisi yang sama dari tubuh, dan kolum ini diuji dengan rasa posisi pada jari
atau vibrasi dengan menggunakan garpu tala)
Tiap-tiap traktus terdapat 1 pasang yang dapat mengalami kerusakan pada
satu sisi atau ke dua sisi medula spinalis.
Bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun sensoris di bawah level, ini
dikenal sebagai complete spinal cord injury (cedera medula spinalis komplit).
Bila masih terdapat fungsi motoris atau sensoris, ini disebut sebagai
incomplete injury dan prognosis untuk penyembuhan adalah lebih baik.
Sparing dari sensasi di daerah perianal (sacral sparing) mungkin hanya satusatunya tanda fungsi yang tertinggal. Sacral sparing didemonstrasikan dengan
masih adanya persepsi sensoris di daerah perianal dan atau kontraksi volunter
sfinkter rektal.

Created by dr. Doni Kurniawan

C. Pemeriksaan Sensibilitas
Dermatom adalah daerah pada kulit yang dipersarafi oleh akson sensoris di
dalam radiks saraf segmental. Pengertian terhadap beberapa level dermatom
utama tidak terlalu bermakna untuk menentukan level cedera dan menentukan
perbaikan atau penurunan neurologis. Level sensoris adalah dermatom
terendah dengan fungsi sensoris yang normal dan dapat dibedakan pada kedua
sisi tubuh. Untuk praktisnya, dermatom servikal atas (C1 - C4) adalah
bervariasi dalam distribusi persarafan kulitnya dan tidak selalu perlu untuk
dilokalisasi sedangkan saraf supraklavikular (C2 - C4) mempersarafi sensasi
pada daerah yang menutup otot pektoralis. Adanya sensasi di daerah ini dapat
menyebabkan pemeriksa kebingungan bila mencoba menentukan level
sensoris pada penderita dengan cedera leher bawah.
Kunci untuk menentukan titik sensasi :
1.
C5 -Area di atas deltoid
2.
C6 Jempol
3.
C7 - Jari tangan tengah
4.
C8 - Kelingking
5.
T4 - Papila mamae
6.
T8 - Ksifisternum
7.
T10- Umbilikus
8.
T12- Simfisis
9.
L-4 - Bagian medial betis
10. L-5 - Ruang di antara jari kaki pertama dan kedua
11. S-1 -Batas lateral pedis
12. S-3 - Daerah Tuberositas Iskhii
13. S-4 dan S-5 -Daerah Perianal

Created by dr. Doni Kurniawan

D. Miotom
Setiap saraf segmental (radiks) mempersarafi lebih dari satu otot dan
kebanyakan otot dipersarafi oleh lebih dari satu saraf (biasanya 2).
Untuk memudahkan, beberapa Mot atau kelompok otot diidentifikasikan
sebagai satu segmen saraf spinal.
Otot-otot yang terpenting adalah :
1. C-5 Deltoid
2. C-6 Ekstensor pergelangan (Ekstensor karpi radialis longus dan brevis)
3. C-7 Ekstensor siku (triseps)
4. C-8 Fleksor jari sampai dengan jari tengah (fleksor digitorumprofundus)
5. T-I Abduktor jari kelingking (abduktor digiti minim)
6. L-2 Fleksor panggul (iliopsoas)
7. L-3 Ekstensor lutut (otot kuadriseps)
8. L-4 Dorsofleksi pergelangan kaki (tibialis anterior)
9. L-5 Ekstensor jari kaki II (ekstensor halusis longus)
10. S-1 Fleksi pergelangan kaki (gastroknemius, soleus)
Sebagai tambahan dari tes otot bilateral, sfinkter ani eksterna harus diperiksa
dengan pemeriksaan colok dubur. Setiap otot dilakukan gradasi menjadi 6
tingkat
E. Syok Neurogenik versus Syok Spinal
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatetik yang
desending pada medula spinalis (mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor
dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung). Keadaan ini. menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah viseral serta ekstremitas bawah, terjadi
penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya terjadi hipotensi. Sebagai
akibat kehilangan cardiac sympathetic tone, penderita akan mengalami
bradikardia atau setidaktidaknya gagal untuk menjadi takhikardi sebagai
respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan darah tidak akan membaik
hanya dengan infus cairan saja dan usaha untuk menormalisasi tekanan darah
akan menyebabkan kelebihan cairan dan edema paru. Tekanan darah biasanya
dapat diperbaiki dengan penggunaan vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat
akan dapat dipertahankan walaupun tekanan darah belum normal. Atropin
dapat digunakan untuk mengatasi bradikardi yang jelas.
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya, cedera medula spinalis. Pada "syok" spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit, walaupun tidak seluruh bagian rusak.

Created by dr. Doni Kurniawan

F. Efek terhadap Organ Lain


Hipoventilasi yang disebabkan karena paralisis otot interkostal dapat
merupakan hasil dari cedera yang mengenai medula spinalis di daerah servikal
bawah atau torakal atas. Bila bagian atas atau tengah medula spinalis di
daerah servikal mengalami cedera, diafragma juga akan mengalami paralisis
yang disebabkan segmen C3-C5 terkena (yang mempersarafi diafragma
melalui N. Frenikus).

gambar 1
TITIK SENSORIK

Created by dr. Doni Kurniawan

tabe1 1
DERAJAT KEKUATAN OTOT
Skor
0
1
2
3
4
5
NT

Hasil Pemeriksaan
Kelumpuhan Total
Teraba atau terasanya kontraksi
Gerakan tanpa menahan gaya berat
Gerakan melawan gaya berat
Gerakan ke segala arah, tetapi kekuatan kurang
Kekuatan normal
Tak dapat diperiksa

Created by dr. Doni Kurniawan

III. KLASIFIKASI CEDERA MEDULA SPINALIS


A. Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal dari medula spinalis yang
masih dapat ditemukan sensoris dan motoris yang normal di kedua sisi tubuh.
Level sensoris menunjuk ke arah bagian segmen paling kaudal medula
spinalis dengan fungsi sensoris yang normal pada kedua bagian tubuh. Level
motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah paling kaudal dimana masih
dapat ditemukan fungsi motoris dengan tenaga 3/5.
Pada lesi komplit, mungkin masih dapat ditemukan fungsi sensoris maupun
motoris di bawah level sensoris/motoris. Ini disebut sebagai daerah dengan
"preservasi parsial". Sebagaimana telah diterangkan sebelum ini, penentuan
dari level cedera pada ke 2 sisi adalah penting.
Cedera pada segmen servikal di atas T 1 medula spinalis menyebabkan
kuadriplegia dan bila lesi di bawah level T 1 menghasilkan paraplegia (level
tulang vertebra yang mengalami cedera adalah dimana tulang tersebut yang
mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada medula spinalis).
Level kelainan neurologis dari cedera ini ditentukan hanya dengan
pemeriksaan klinis. Kadang-kadang terdapat ketidak-cocokan antara level
tulang dan neurologis disebabkan nervus spinalis memasuki kanalis spinalis
melalui foramina dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum betulbetul masuk ke dalam medula spinalis (ketidakcocokan akan lebih jelas
semakin ke arah kaudal dari cedera).

B. Beratnya Defisit Neurologis


Cedera medula spinalis dikatagorikan sebagai paraplegia tidak komplit,
paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan paraplegia komplit.
Setiap fungsi sensoris atau motoris di bawah level cedera merupakan cedera
yang tidak komplit. Termasuk dalam cedera tidak komplit adalah :
1. Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunter pada ekstremitas
bawah.
2. Sacral sparing (ex : sensasi perianal, kontraksi sphincter ani secara
volunter, atau fleksi jari kaki volunter).
Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak komplit hanya dengan dasar
adanya preservasi reflex sacral saja (ex : Bulbocavernosus, atau anal wink).
Reflex tendo dalam juga mungkin dipreservasi pada cedera tidak komplit.

Created by dr. Doni Kurniawan

C. Spinal Cord Syndrome


Central cord syndrome (khas) adalah bahwa kehilangan tenaga pada
ekstremitas atas lebih besar dibandingkan ekstremitas bawah (dengan
tambahan adanya kehilangan sensasi yang dapat bervariasi). Biasanya hal ini
terjadi setelah terjadinya cedera hiperekstensi pada penderita dengan riwayat
adanya stenosis kanalis servikalis (sering disebabkan karena oleh
osteoarthriris degeneratif).
Dari anamnesis umumnya ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang
menyebabkan tumbukan pada wajah (dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi
tulang servikal).
Penyembuhan biasanya mengikuti tanda yang khas, dengan penyembuhan
pertama pada kekuatan ekstremitas bawah, kemudian fungsi kandung kencing,
lalu ke arah proksimal yaitu ekstremitas atas dan berikutnya adalah tangan.
Prognosis penyembuhan central cord syndrome lebih baik dibandingkan
dengan cedera lain yang tidak komplit.
Central cord syndrome diduga disebabkan karena gangguan vaskuler pada
daerah medula spinalis pada daerah distribusi arteri spinalis anterior (arteri ini
mensuplai bagian tengah medula spinalis). Karena serabut saraf motoris ke
segmen servikal secara topografis mengarah ke center medula spinalis, inilah
bagian yang paling terkena.
Anterior Cord Syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan
disosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi kolumna posterior
(kesadaran posisi, vibrasi. tekanan dalam) masih ditemukan. Biasanya
anterior cord syndrome disebabkan oleh infark medula spinalis pada daerah
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior (sindrom ini mempunyai
prognosis yang terburuk diantara cedera inkomplit).
Brown Sequard Syndrome timbul karena hemiseksi dari medula spinalis
(jarang dijumpai). Dalam bentuk yang asli sindrom ini terdiri dari kehilangan
motoris ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan kesadaran posisi
(kolumna posterior) yang berhubungan dengan kehilangan disosiasi sensori
kontralateral dimulai dari satu atau dua level di bawah level cedera (traktus
spinotalamikus). Kecuali kalau sindrom ini disebabkan oleh cedera penetrans
pada medula spinalis, penyembuhan (walaupun sedikit) biasanya akan terjadi.

Created by dr. Doni Kurniawan

10

D. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera
medula spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera
penetrans.
Setiap pembagian di atas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan tidak
stabil.
Walaupun demikian, menentukan stabilitas tipe cedera tidak selalu sederhana
dan ahli pun kadang-kadang berbeda pendapat.
Karena itu, terutama pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderita
dengan bukti foto ronsen adanya cedera dan semua penderita dengan defisit
neurologis, harus dianggap mempunyai cedera tulang belakang yang tidak
stabil. Karena itu, penderita ini harus tetap diimobilisasi sampai ada konsultasi
dengan ahli bedah saraf/ortopedi.

Created by dr. Doni Kurniawan

11

IV. CEDERA TULANG BELAKANG TIPE KHUSUS.


Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari mekanisme
cedera : (1) pembebanan aksial (axial loading), (2) fleksi, (3) ekstensi, (4) rotasi,
(5) lateral bending, dan (6) distraksi.
Cedera di bawah ini mengenai kolumna spinalis (diuraikan dalam urutan
anatomis, dari kranial mengarah ke ujung kaudal tulang belakang) :
A. Dislokasi Atlanto-Oksipital (Atlanto-Occipital Dislocation)
timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi yang hebat (jarang).
Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak, kerusakan
neurologis yang berat (biasanya pada level saraf kranial bawah).
B. Fraktur Atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar.
Fraktur atlas terjadi pada kurang lebih 5% dari fraktur tulang servikal. Kurang
lebih 40% dari fraktur atlas berhubungan dengan fraktur axis (C-2).
Fraktur C-1 yang paling umum terdiri dari burst fractur (fraktur Jefferson).
Mekanipme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa
secara vertikal oleh benda berat, atau penderita terjatuh dengan puncak kepala
terlebih dahulu. Fraktur Jefferson berupa kerusakan pada cincin anterior
maupun posterior dari C-1 (dengan pergeseran masa lateral). Fraktur akan
terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2 (dapat
dikonfirmasikan dengan CT Scan). Pada penderita yang selamat dan sampai di
rumah sakit, fraktur ini biasanya tidak disertai dengan cedera medula spinalis.
Akan tetapi fraktur ini tidak stabil dan harus ditangani secara awal dengan
kolar servikal. Fraktur cincin unilateral atau fraktur dari masa lateral jarang
ditemukan dan bersifat stabil (tetapi harus dianggap sebagai tidak stabil
sampai dilihat oleh ahli bedah saraf/ortopedi).
C. Rotary Subluxation (dari C-1)
Banyak ditemukan pada anak-anak (dapat terjadi secara spontan setelah
terjadinya cedera berat/ringan, ispa, atau penderita dengan rheumatoid
arthritis). Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. Cedera ini
sangat mudah dikenal dengan pemeriksaan ronsen buka mulut (jarak odontoid
ke kedua lateral mass C-1 tidak sama). Jangan dilakukan rotasi kembali
dengan paksa untuk menanggulangi rotasi ini.

Created by dr. Doni Kurniawan

12

D. Fraktur Aksis (C-2)


Dari seluruh fraktur tulang servikal 18% adalah fraktur C-2 akut.
1. Fraktur Odontoid
Kurang lebih 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid (suatu tonjolan
tulang berbentuk pasak, posisi normal mengarah ke atas dan berkontak
dengan arkus anterior C-1). Processus odontoid dipertahankan pada
tempatnya oleh ligamentum transversus.
Fraktur odontoid dapat diidentifikasi dengan foto ronsen servikal lateral
atau buka mulut. CT scan diperlukan untuk klasifikasi lebih lanjut. Fraktur
odontoid Tipe 1 mengenai tip odontoid (jarang). Tipe 2 fraktur odontoid
terjadi pada daerah dasar dens epistrofeus (banyak). Pada anak usia kurang
dari 6 tahun, epifisis dapat tampak dan terlihat seperti fraktur. Tipe 3
fraktur odontoid terjadi pada daerah dasar (base) dens dan meluas ke arah
korpus aksis.
2. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur Hangman mengenai elemen posterior C-2, pars interartikularis
(20% dari seluruh fraktur aksis disebabkan oleh fraktur ini). Fraktur ini
disebabkan oleh trauma tipe ekstensi (fraktur ini harus dipertahankan
dalam imobilisasi eksternal).
Variasi dari fraktur Hangman meliputi fraktur yang mengenai ke dua
lateral mass atau pedikel. Kurang lebih 20% fraktur aksis adalah
nonodontoid, non Hangman (meliputi fraktur korpus, pedikel, lateral
mass, lamina, dan prosesus spinosus).

Created by dr. Doni Kurniawan

13

E. Fraktur Dislokasi (C-3 sampai C-7)


jarang terjadi karena letaknya berada di antara aksis yang mudah mengalami
cedera dengan titik penunjang tulang servikal yang lebih mobile (seperti C-5
dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi tulang servikal terbesar).
Level C-5 merupakan level tersering tulang servikal untuk mengalami fraktur,
sedangkan antara C-5 dan C-6 merupakan level tersering mengalami dislokasi.
Gambaran cedera yang paling sering ditemukan adalah fraktur corpus vertebra
dengan atau tanpa subluksasi, subluksasi dari prosesus artikularis (termasuk
unilateral atau bilateral locked facets), fraktur lamina, prosesus spinosus,
pedikel, atau lateral mass.
Putusnya ligamen tanpa disertai dengan adanya fraktur atau dislokasi faset
sangat jarang terjadi. Insiden terjadinya gangguan neurologis meningkat bila
disertai dengan dislokasi faset. Jika terdapat dislokasi faset unilateral 80%
penderita mendapat cedera neurologis ( kurang lebih 30% hanya mengalami
cedera radiks, 40% cedera medula spinalis inkomplit, 30% cedera medula
spinalis komplit). Bila ditemukan bilateral locked facets, morbiditas lebih
buruk lagi, dengan 16 % inkomplit dan 84% cedera medula spinalis komplit.

F. Fraktur Vertebra Torakalis (T-1 sampai T-10)


Kategori :
1. cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior
Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan suatu cedera kompresi baji
pada bagian anterior. Kompresi yang terjadi biasanya hanya sedikit dan
bagian anterior korpus vertebra jarang lebih dari 25% lebih pendek
dibandingkan dengan bagian posterior. Oleh karena kekuatan dari sangkar iga,
kebanyakan fraktur di daerah ini adalah stabil.
2. cedera burst
Cedera burst (fraktur yang pecah) disebabkan oleh kompresi vertikal-aksial.
3. fraktur Chance
4. fraktur dislokasi
Fraktur dislokasi relatif jarang pada daerah T-1 sampai T-10. Kanalis spinalis
pada daerah torakal relatif sempit (sehingga fraktur subluksasi pada daerah
vertebra torakal umumnya menyebabkan defisit neurologis yang komplit).

Created by dr. Doni Kurniawan

14

G. Fraktur di daerah Torakolumbal (T-11 sampai L-1)


Disebabkan oleh karena pada daerah torakal pergerakannya relatif lebih
terfiksir dibandingkan dengan vertebra lumbal. Fraktur di daerah ini biasanya
disebabkan oleh kombinasi dari fleksi yang akut dan rotasi dan sebagai
konsekuensinya fraktur ini biasanya tidak stabil.
Oleh karena medula spinalis berakhir pada level ini (biasanya sekitar L-1),
radiks saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah
torakolumbal (cedera pada daerah ini umumnya menyebabkan disfungsi dari
kandung kencing dan usus, serta penurunan sensasi dan motoris pada daerah
ekstremitas bawah).
Penderita dengan penurunan kesadaran atau disfungsi kognitif (GCS <15),
cedera multisistem, atau teraba adanya gap atau nyeri tekan pada daerah
torakolumbal memerlukan proteksi tulang belakang sampai foto ronsen AP
dan lateral dari vertebra menyingkirkan adanya cedera ini. Penderita dengan
fraktur torakolumbal sangat rentan terhadap gerakan rotasi (karena itu
modifikasi log-roll harus dilakukan dengan sangat hati-hati).

H. Fraktur Lumbal
Gambaran radiologis serta neurologis sama seperti pada fraktur torakolumbal.
Tetapi karena hanya kauda ekuina yang terkena, kemungkinan terjadinya
defisit neurologis komplit jarang pada cedera macam ini.
Distraksi pada posisi fleksi, adalah mungkin disebabkan sabuk pengaman,
akan menyebabkan cedera splitting (fraktur Chance), yang berawal di bagian
posterior berlanjut ke anterior sampai korpus vertebra atau diskus
intervertebralis (fraktur Chance mungkin berhubungan dengan cedera pada
daerah retroperitoneal atau abdomen).

Created by dr. Doni Kurniawan

15

I. Trauma Penetrans
Paling umum dijumpai adalah yang disebabkan karena luka tembak atau luka
tusuk.
Membedakan kelainan yang diakibatkan oleh peluru atau pisau dilakukan
dengan mengkombinasikan informasi dari anamnesis, pemeriksaan klinis
(luka masuk dan luka keluar ), foto polos dan CT scan.
Bila cedera langsung mengenai kanalis vertebratis, akan menyebabkan defisit
neurologis komplit, tetapi defisit neurologis komplit dapat juga terjadi karena
transfer energi yang berhubungan dengan peluru dengan velositas tinggi yang
mengenai bagian di dekat kanalis spinalis (tetapi tidak mengenai medula
spinalis).
Luka penetrans pada tulang belakang umumnya menapakan cedera yang stabil
kecuali jika disebabkan karena peluru yang menghancurkan bagian yang luas
dari kolumna vertebralis. Penilaian penderita terhadap adanya
hemopneumotoraks, akut abdomen, cedera pembuluh darah besar merupakan
prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan cedera tulang belakangnya.

Created by dr. Doni Kurniawan

16

V. EVALUASI FOTO RONSEN


A. Vertebra Servikalis
Harus dilakukan pemeriksaan foto lateral vertebra servikal pada seluruh kasus
yang dicurigai mengalami cedera servikal (dasar tengkorak dan seluruh ke-7
vertebra servikal dan T-1 harus tampak dalam foto ronsen). Untuk
menghindarkan terlewatnya fraktur dan fraktur dislokasi pada vertebra
servikal bawah, maka bahu penderita ditarik -kebawah sewaktu melakukan
foto servikal lateral. Bila ke-7 vertebra servikal tidak tampak dengan
pemeriksaan foto lateral, maka perlu dilakukan swimmer's view untuk melihat
vertebra servikal bawah dan torakal atas (kombinasi dari foto ini dilaporkan
mempunyai sensitivitas sebesar 85% terhadap adanya fraktur).
Untuk menilai vertebra servikal atas secara adekuat terutama pada penderita
dengan keluhan nyeri servikal atas atau pada pemeriksaan foto servikal lateral
dicurigai adanya cedera C-1 atau C-2, pemeriksaan foto ronsen buka mulut
(open mouth odontoid view) untuk prosesus odontoid dan artikulasi antara C-1
dan C, 2 harus dilakukan. Bila penderita tidak mau atau tidak kooperatif untuk
pemeriksaan foto ronsen buka mulut, maka pemeriksaan oblik untuk prosesus
odontoid atau foramen magnum view dapat menilai keadaan dens epistrofeus.
Pemeriksaan foto servikal AP membantu mengidentifikasi adanya dislokasi
faset unilateral dimana hanya tampak sedikit atau tidak terlihat adanya
dislokasi pada foto lateral (kombinasi foto ronsen lateral, AP dan buka mulut
meningkatkan sensitivitas untuk identifikasi fraktur sebesar 92%).
Foto oblik dilakukan dengan mengatur letak sinar ronsen tanpa
znenggerakkan leher penderita (sangat berguna untuk menentukan anatomi
faset).
Foto fieksi-ekstensi vertebra servikalis dilakukan pada penderita trauma untuk
mendeteksi instabilitas yang tidak jelas atau untuk menentukan stabilitas
fraktur yang telah diketahui (seperti fraktur lamina atau fraktur kompresi).
Sering penderita dengan cedera jaringan lunak yang jelas, mengalami spasme
otot paraspinal yang akan membatasi gerakan leher penderita (tidak terlihat
adanya fraktur), penderita ditangani dengan penggunaan kolar servikal
semirigid selama 2 - 3 minggu sebelum pemeriksaan lain dilakukan untuk
mendapat gambaran foto fleksi-ekstensi (seluruh gerakan leher dilakukan oleh
penderita sendiri, tanpa bantuan orang lain). Jadi kontraindikasi foto fleksiekstensi adalah adanya gangguan sensoris, subluksasi pada pemeriksaan foto
ronsen lateral, atau adanya defisit neurologis.

Created by dr. Doni Kurniawan

17

B. Vertebra Torakal dan Lumbal


Foto AP daerah vertebra torakal dan lumbal adalah foto baku. Oleh karena
diameter lateral tubuh lebih besar dari pada diameter AP, kebanyakan
peralatan. ronsen portable yang digunakan di UGD lebih memberikan
gambaran tulang yang baik pada pemeriksaan AP. Pemeriksaan foto lainnya
dapat dilakukan secara elektif. Pemeriksaan CT scan berguna untuk
memperlihatkan detail tulang, juga merupakan pemeriksaan yang sangat baik
untuk menentukan derajat kelainan kanalis spinalis. Rekonstruksi sagital
dengan CT scan atau tomogram diperlukan untuk pemeriksaan fraktur jenis
tertentu, seperti cedera horizontal yang mengenai korpus vertebra.

Created by dr. Doni Kurniawan

18

VI. PENGELOLAAN UMUM


A. Imobilisasi
Setiap penderita yang dicurigai mengalami cedera tulang belakang harus
dilakukan imobilisasi di bagian atas dan bawah bagian yang dicurigai
menderita cedera (sampai fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
ronsen).
Imobilisasi yang tepat dilakukan pada penderita dengan posisi netral, seperti
berbaring terlentang tanpa rotasi atau membengkokkan tulang belakang.
Apabila ditemukan deformitas yang jelas (terutama pada anak-anak), jangan
lakukan reduksi (cukup dengan mempertahankan penderita dalam posisi
netral). Perlu digunakan bantalan yang tepat untuk mencegah terbentuknya
dekubitus. Bila terdapat defisit neurologis, perlu secepatnya melepas penderita
dari spine board untuk mencegah resiko terjadinya dekubitus (tempat tersering
terjadinya dekubitus adalah pada daerah oksiput dan sakrum).

B. Cairan Intravena
Penggunaanya dibatasi hanya untuk maintenance cairan saja (kecuali bila ada
syok). Sebagai akibat hilangnya tonus simpatis jantung, penderita yang
mengalami kuadriplegia tidak akan mengalami takikardia, bahkan menjadi
bradikardia. Penderita yang mengalami syok hipovolemik biasanya takhikardi
sedangkan yang mengalami syok neurogenik akan mengalami bradikardia.
Bila tekanan darah tidak membaik setelah pemberian cairan, indikasi
penggunaan vasopresor dapat dipertimbangkan. Penggunaan kateter Schwann
Ganz akan membantu penderita cedera medula spinalis yang keadaan volume
cairannya tidak jelas diketahui. Kateter urine dipasang untuk monitor hasil
urin dan mencegah terjadinya distensi kandung kencing (kateter ini dicabut
beberapa hari kemudian dan dilakukan kateterisasi intermiten). Pipa
nasogastrik dipasang untuk mengosongkan isi lambung serta menurunkan
resiko terjadinya aspirasi.

Created by dr. Doni Kurniawan

19

C. Obat-obatan
Metilprednisolon diberikan dengan dosis 30 mg/kg dalam 15 menit pertama,
diikuti dengan 5,4 mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya (metilprednisolon
jangan diberikan setelah 8 jam atau lebih setelah terjadinya trauma).

D. Transfer
Harus dilakukan stabilisasi keadaan penderita, dan dilakukan fiksasi
menggunakan bidai, backboard dan atau kolar servikal semirigid. Perlu
diingat, trauma servikal letak tinggi akan menyebabkan gangguan fungsi
respirasi secara total atau parsial. Bila pernafasan tidak adekuat, maka perlu
dilakukan intubasi sebelum transfer penderita.

Created by dr. Doni Kurniawan

20

tabel 2
PANDUAN DALAM SKRINING PENDERITA DENGAN DUGAAN CEDERA
SERVIKAL

1. Adanya paraparesis atau tetraparesis adalah bukti pendahuluan adanya instabilitas


Tulang servikal Belakang
2. Penderita sadar, tidak mabuk, neurologis normal dan tanpa nyeri leher :
Penderita seperti ini sangat jarang menderita cedera servikal. Dengan penderita
dalam posisi terlentang, lepaskan kolar dan lakukan palpasi tulang leher. Bila
tidak ada nyeri tekan, mintalah penderita uuntuk melakukan latero-fleksi. Bila
gerakan ini tanpa nyeri, mintalah kembali agar penderita melakukan ante- dan
retro-fleksi. Bila inipun tanpa nyeri, tidak pe;rlu dilakukan foto servikal.
3. Penderita sadar, neurologis normal, namun ada syeri leher.
Tugas dokter adalah untuk menyingkirkan adanya cedera servikal. Semua
penderita seperti ini memerlukan foto servikal AP, Lateral dan Open mouth. Bila
foto ini normal, lepaskan kolar, dan dibawah pengawasan seorang dokter yang
menguasai masalah, lakukan fleksi pada leher dan kemudian dilakukan foto fleksi
lateral dari leher. Bila pada foto ini tidak ditemukan subluksasi, dianggap tidak
ada cedera servikal dan kolar dapat dilepaskan. Bila salah satu dari foto di atas
mencurigakan akan adanya cedera servikal, pasanglah kolar kembali, dan
mintakan CT Scan dari servikal pada level tersebut.
4. Penderita dalam keadaan koma, gangguan kesadaran atau anak kecil yang tidak
dapat menerangkan dengan jelas.
Semua penderita di atas memerlukan foto servikal lateral dan AP. Bilamana
mungkin, foto open mouth juga dimintakan. Bila seluruh vertebra servikal dapat
terlihat, dan tanpa kelainan; maka setelah dilakukan pemeriksaan oleh ahli bedah
syaraf atau ortopedi, kolar dapat dilepas.
5. Bila ragu-ragu pertahankan kolar.
CT San Servikal dapat dilakukan setelah masalah akut lain teratasi.
6. Konsul:
Bila curiga atau menemukaa cedera servikal selalu konsul ahli bedah syaraf atau
ortopedi.
7. Backboard:
Penderita dengan defisit neurologis (paraparesis atau tetraparesis) harus dilakukan
evaluasi cepat dan dilepaskan dari backboard secepat mungkin. Penderita seperti
ini bila tidur di atas backboard lebih dari 2 jam ber-resiko tinggi untuk dekubitus.
8. Jangan sekali-kali memaksa menggerakkan leher.
Tidak diperkenankan memaksa leher untuk dalam fleksi atau ekstensi. Bila
dilakukan sendiri oleh penderita sadar, gerakan ini umumnya aman.
9. Keadaan gawat-darurat :
Dalam keadaan dimana ada perdarahan epidural atau keadaan gawat-darurat lain,
penderita mungkin dilarikan ke kamar operasi sebelum dapat dilakukan
pemeriksaan lanjutan_ Dalam keadaan ini kolar harus dipertahankan, dan
Created by dr. Doni Kurniawan

21

penderita diperlakukan seolaholah ada fraktur servikal. Ahli Anestesi harus


diberitahukan sejauh mana pemeriksaan untuk adanya cedera servikal sudah
dilakukan.
10. Lakukan pemeriksaan foto servikal akan adanya (a) deformitas tulang, (b) fraktur
korpus atau prosesus, (c) hilangnya kesegarisan (alignment) aspek posterior
korpus (batas anterior kanalis vertebralis), (d) jarak yang meningkat antar
beberapa prosesus spinosus, (e) penyempitan kanalis vertebralis, (f) bayangan
jaringan lunak yang melebar (>5 mm pada tingkat C3).
Imobilisasi leher dengan kolar servikal semirigid tidak menjamin stabilisasi
tulang leher yang lengkap. Imobilisasi dengan menggunakan spine board dengan
memakai tambahan alat penyangga, jauh lebih efektif dalam mengurangi gerakan
leher. Bila akan dilakukan transfer ke fasilitas yang definitif, maka penderita
trauma servikal membutuhkan imobilisasi dengan menggunakan kolar servikal,
backboard, plester dan tall pengikat. Hiperekstensi atau fleksi leher harus
dihindarkan. Hal yang sangat penting adalah airway pada penderita cedera
medula spinalis karena intubasi harus segera dilakukan bila terdapat adanya bukti
gangguan respirasi. Intubasi dilakukan dalam posisi leher netral.
Perlu perhatian khusus dalam melakukan imobilisasi bagi penderita yang gelisah
dan agitasi. Keadaan ini disebabkan karana nyeri, bingung yang berhubungan
dengan hipoksia atau hipotensi, alkohol atau obat-obatan, atau kelainan
kepribadian. Dapat diberikan sedativa bila diperlukan, bahkan obat pelumpuh
otot, dengan catatan perlu proteksi dan kontrol airway serta ventilasi. Penggunaan
sedativa atau pelumpuh otot memerlukan pertimbangan klinis yang tepat,
dianjurkan untuk menggunakan obat dengan masa kerja pendek serta reversilbel.

Created by dr. Doni Kurniawan

22

VII. RINGKASAN
A. Pada saat melakukan pengelolaan trauma yang mengancam jiwa, harus
dilakukan pembatasan pergerakan kolumna vertebralis.
B. Pertahankan imobilisasi penderita sampai dapat disingkirkan adanya fraktur
vertebra atau cedera medula spinalis.
C. Bila terdapat indikasi, lakukan foto lateral vertebra servikal secepatnya setelah
cedera yang mengancam jiwa ditangani.
D. Catat anamnesis serta pemeriksaan fisik penderita sebagai dasar untuk adanya
perubahan dari status neurologis penderita.Lakukan konsultasi seawalnya
pada ahli bedah saraf/ ahli bedah orthopaedi bila ada kecurigaan atau
ditemukan cedera tulang belakang.
E. Transfer penderita yang mengalami fraktur vertebra atau cedera medula
spinalis ke fasilitas kesehatan yang definitif.

Created by dr. Doni Kurniawan

23

Skills Station X :
IDENTIFIKASI RONSEN CEDERA
TULANG BELAKANG

PERALATAN DAN SUMBER YANG ESENSIAL


1. Foto tulang belakang
2. Kunci identifikasi foto ronsen
3. Kotak untuk membaca foto ronsen
4. Model anatomi tulang belakang.

TUJUAN
1. Melakukan identifikasi bermacam cedera tulang belakang dengan menggunakan
pedoman anatomik yang khusus, untuk memeriksa foto tulang belakang.
2. Apabila diberikan satu seri foto tulang belakang dan skenario; peserta dapat :
a. Menguraikan keterbatasan pemeriksaan
b. Diagnosis fraktur
c. Cedera yang berhubungan
d. Menegaskan kemungkinan cedera pada daerah lain.

Created by dr. Doni Kurniawan

24

Prosedur Ketrampilan Interaktif


IDENTIFIKASI RONSEN ULANG BELAKANG
CEDERA TULANG BELAKANG
1. PENILAIAN FOTO SERVIKAL
A. Identifikasi keseluruhan Vertebrae Servikal (7) dan bagian atas T1
B. Penilaian Anatomis
1. Kesegarisan (alignment): - identifikasi dan menilai ke 4 kurve lordotik
a. Korpus vertebra anterior
b. Kanalis spinalis anterior
c. Kanalis spinalis posterior
d. Ujung (tip) dari prosesus spinosus.
2. Tulang:- harus dinilai :
a. Kontur korpus vertebra dan tinggi aksial
b. Masa tulang lateral
1. Pedikel
2. Sendi faset
3. Lamina
4. Prosesus transversus
c. Prosesus Spinosus
3. Tulang rawan:- harus dinilai
a. Diskus intervertebralis
b. Sendi faset posterolateral
4. Ruang jaringan lunak: - harus dinilai
a. Ruang prevertebra
b. Prevertebral fat stripe
c. Ruang di antara prosesus spinosus
C. Petunjuk Penilaian untuk Mendeteksi Keabnormalan
1. Kesegarisap (alignment)- penilaian untuk
a. Kehilangan kesegarisan pada daerah korpus vertebraaspek posterior
(perluasan anterior dari kanalis vertebralis) dislokasi
b. Penyempitan kanalis vertebralis - kompresi medula spinalis
2. Tulang- penilaian untuk
a. Deformitas tulang- fraktur kompresi
b. Fraktur korpus vertebra atau prosesus.
3. Ruangan jaringan lunak-penilaian untuk
a. Perluasan daerah jaringan lunak prevertebra (>5mm pada C3)perdarahan yang bersamaan dengan cedera medula spinalis
b. Peningkatan jarak di antara prosesus spinosus pada satu levelrobeknya ligamentum interspinosus dan biasanya terdapat fraktur
kanalis spinalis di bagian anterior.
Created by dr. Doni Kurniawan

25

II. PENILAIAN
LUMBALIS

FOTO

RONSEN

VERTEBRA

TORAKALIS

A. Gambaran anterior posterior-penilaian untuk


1. Kesegarisan (alignment)
2. Ke-simetris-an pedikel
3. Bentuk korpus vertebrae
4. Tinggi dari ruang diskus
5. Prosesus spinosus berada di tengah
B. Gambaran Lateral- penilaian untuk
1. Kesegarisan korpus atau adanya angulasi tulang belakang
2. Bentuk korpus
3. Adanya ruang diskus
4. Penekanan korpus pada daerah kanalis spinalis

III. MEMERIKSA FOTO RONSEN TULANG BELAKANG

Created by dr. Doni Kurniawan

DAN

26

Skills Station XI :
CEDERA MEDULA SPINALIS
PENILAIAN DAN PENATALAKSANAAN
PERALATAN DAN BAHAN
1. Model penderita (siswa dapat menjadi penderita)
2. Kolar servikal Semi rigid
3. Meja, tandu atau brankar.
4. Handuk yang dibulatkan untuk penyangga atau bahan lain.
5. Selimut untuk alas
6. Balutan
7. Plester.
8. Scoop stretcher (Tandu sekop)
9. Model anatomi tulang leher.
10. Foto ronsen yang telah disediakan oleh ACS divisi ATLS (termasuk daftar dan
kunci titik sensoris dan pemeriksaan motoris)
11. Kotak untuk melihat foto ronsen

TUJUAN
1. Mendemonstrasikan tehnik penilaian untuk memeriksa pen derita yang mungkin
endapat cedera tulang belakang / medula spinalis.
2. Mendiskusikan prinsip untuk melakukan imobilisasi dan tindakan log roll pada
penderita dengan cedera tulang leher/ cedera medula spinalis dan juga indikasi
untuk melepas alat proteksi.
3. Melakukan pemeriksaan neurologis dan menentukan level cedera medula spinalis.
4. Menentukan perlunya konsultasi dengan ahli bedah saraf.
5. Menentukan perlunya transfer intra/ antar rumah sakit dan bagaimana cara
penderita dilakukan imobilisasi secara benar untuk transfer.

Created by dr. Doni Kurniawan

27

Prosedur Keterampilan Interaktif


CEDERA MEDULA SPINALIS
PENILAIAN DAN PENGELOLAAN
I. PRIMARY SURVEY RESUSITASI (Penilaian Cedera tulang Belakang)
A. Airway
Nilai airway sewaktu mempertahankan posisi tulang leher. Membuat airway
definitif apabila diperlukan
B. Breathing
Menilai dan memberikan oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila
diperlukan.
C. Circulation
1. Bila terdapat hipotensi, harus dibedakan antara syok hipovolemik
(penurunan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, ekstremitas yang
dingin) dari syok neurogenik (penurunan tekanan darah, penurunan denyut
jantung, ekstremitas hangat).
2. Penggantian cairan untuk menanggulangi hipovolemia
3. Bila terdapat cedera medula spinalis, pemberian cairan harus dipandu
dengan monitor CVP.
4. Bila melakukan pemeriksaan colok dubur sebelum memasang kateter,
harus dinilai kekuatan sfinkter serta sensasi.
D. Disability- Pemeriksaan neurologis singkat
1. Tentukan tingkat kesadaran dan menilai pupil.
2. Tentukan AVPU atau lebih baik dengan Glasgow Coma Scale
3. Kenali paralisis / paresis.

Created by dr. Doni Kurniawan

28

II. SURVEY SEKUNDER (Penilaian Neurologis)


A. Memperoleh anamnesis AMPLE
1. Anamnesis dan mekanisme trauma
2. Riwayat medis
3. Identifikasi dan mencatat obat yang diberikan kepada penderita sewaktu
datang dan selama pemeriksaan dan penatalaksanaan.
B. Penilaian ulang Tingkat Kesadaran dan Pupil
C. Penilaian ulang Skor GCS

D. Penilaian Tulang Belakang


1. Palpasi
Rabalah seluruh bagian posterior tulang belakang dengan melakukan log
roll penderita secara hati-hati . Yang dinilai :
a. Deformitas dan / atau bengkak
b. Krepitus
c. Peningkatan rasa nyeri sewaktu dipalpasi
d. Kontusi dan laserasi / luka tusuk.
2. Nyeri, paralisis, paresthesia
a. ada/ tidak
b. Lokasi
c. Level neurologis
3. Sensasi
Tes pinprick untuk mengetahui sensasi, dilakukan pada seluruh dermatom
dan dicatat bagian paling kaudal dermatom yang memberikan rasa
4. Fungsi Motoris
5. Refleks tendo dalam ( kurang memberikan informasi pada keadaan
emergensi)
6. Pencatatan dan pemeriksaan ulang
Catat pemeriksaan neurologis dan ulangi pemeriksaan sensoris dan
motoris secara reguler sampai datang spesialis terkait.
E. Evaluasi ulang akan adanya cedera penyerta/ cedera yang tersembunyi

Created by dr. Doni Kurniawan

29

III. PEMERIKSAAN UNTUK LEVEL CEDERA MEDULA SPINALIS


Penderita dengan cedera medula spinalis mungkin mempunyai level yang
bervariasi dari defisit neurologis. Level fungsi motoris dan sensasi harus dinilai
ulang secara berkala dan secra hati-hati, dan didokumentasikan, karena tidak
terlepas kemungkinan terjadi perubahan level.
A. Pemeriksaan Motoris terbaik
1. Menentukan level kuadriplegia, level radiks saraf
Mengangkat siku sampai setinggi bahu - Deltoid, C-5
a. Fleksi lengan bawah - Biceps, C-6
b. Ekstensi lengan bawah - Triceps, C-7
c. Fleksi pergelangan tangan dan jari - C-8
d. Membuka jari - T-1
2. Menentukan level paraplegia, level radiks saraf
a. Fleksi panggul - iliopsoas, L-2
b. Ekstensi lutut - Kuadriseps, L-3
c. Dorsofleksi ankle - Tibialis Anterior, L-4
d. Plantar fleksi ankle - Gastrokneinius, S-1
B. Pemeriksaan Sensoris
Menentukan level sensasi dilakukan terutama dengan melakukan penilaian
pada dermatom. Harap diingat, dermatom sensoris servikal dari C-2 sampai
C-4 membentuk mantel yang meluas ke bawah sampai ke papilla mammae.
Oleh karena gambaran yang tidak lazim ini, pemeriksa jangan tergantung dari
ada atau tidaknya sensasi pada daerah leher dan klavikula, dan level sensasi
harus sesuai dengan level respons motoris.

Created by dr. Doni Kurniawan

30

IV. PRINSIP TERAPI BAGI PENDERITA CEDERA MEDULA SPINALIS


A. Perlindungan terhadap trauma lebih lanjut
Perlindungan meliputi pemasangan kolar servikal semi rigid dan long back
board, melakukan modifikasi teknik lug roll untuk mempertahankan
kesegarisan bagi seluruh tulang belakang, dan melepaskan long spine board
secepatnya. Imobilisasi dengan long spine board pada penderita yang
mengalami paralisis akan meningkatkan resiko terjadinya ulcus dekubitus
pada titik penekanan. Karenanya long spine board harus dilepaskan
secepatnya setelah diagnosa cedera tulang belakang ditegakkan (ex : dalam
waktu 2 jam).

B. Resusitasi Cairan dan Monitoring


1. Monitoring CVP
Cairan intravena yang dibutuhkan umumnya tidak terlampau banyak,
hanya untuk maintenance saja, kecuali untuk keperluan pengelolaan
syok. CVP harus dipasang untuk memonitor pemasukan cairan secara
hati-hati.
2. Kateter urin
Pemasangan kateter dilakukan pada primary survey dan resusitasi, untuk
memonitor output urine dan mencegah terjadinya distensi kandung
kencing.
3. Kateter Lambung
Kateter lambung harus dipasang pada seluruh penderita dengan
paraplegia dan kuadriplegia untuk mencegah distensi gaster dan aspirasi

C. Penggunaan Steroid
Dipergunakan bagi penderita dengan defisit neurologis kurang dari 8 jam
pasca trauma (metilprednisolon 30 mg/kg), diberikan secara intravena dalam
waktu kurang lebih 15 menit. Dosis awal dilanjutkan dengan dosis
maintenance 5,4 mg/kg per jam untuk 23 jam berikutnya.

Created by dr. Doni Kurniawan

31

V. PRINSIP MELAKUKAN IMOBILISASf TULANG BELAKANG DAN


LOG ROLL

A. Penderita dewasa
Empat orang dibutuhkan untuk melakukan modifikasi log roll dan imobilisasi
penderita, seperti pada long spine board: (1) satu untuk mempertahankan
imobilisasi segaris kepala dan leher penderita; (2) satu untuk badan (termasuk
pelvis dan panggul); (3) satu untuk pelvis dan tungkai; dan (4) satu mengatur
prosedur ini dan mencabut spine board. Prosedur ini mempertahankan seluruh
tubuh penderita dalam kesegarisan, tetapi masih terdapat gerakan minimal
pada tulang belakang. Saat melakukan prosedur ini, imobilisasi sudah
dilakukan pada ekstremitas yang diduga mengalami fraktur.
1. Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi penderita. Tali
pengikat ini dipasang pada. bagian toraks, diatas krista iliaka, paha, dan
diatas pergelangan kaki. Tali pengikat atau plester dipergunakan untuk
memfiksir kepala dan leher penderita ke long spine board.
2. Dilakukan in line imoilisasi kepala dan leher secara manual, kemudian
dipasang kolar servikal semirigid.
3. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan di samping badan.
4. Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati-hati dan diletakkan dalam
posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang belakang. Kedua
pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester.
5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang kedua
memegang penderita pada daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke
tiga memasukkan tangan dan memegang panggul penderita dengan satu
tangan dan dengan tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke
dua pergelangan kaki.
6. Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala dan leher,
dilakukan log roll sebagai satu unit ke arah ke dua penolong yang berada
pada sisi penderita, hanya diperlukan pemutaran minimal untuk
meletakkan spine board di bawah penderita. Kesegarisan badan penderita
harus dipertahankan sewaktu menjalankan prosedur ini.
7. Spine board terletak dibawah penderita, dan dilakukan log roll ke arah
spine board. Harap diingat, spine board hanya digunakan untuk transfer
penderita dan jangan dipakai untuk waktu lama.

Created by dr. Doni Kurniawan

32

8. Demi mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita


maka diperlukan bantalan yang diletakkan dibawah leher penderita.
9. Bantalan, selimut yang dibulatkan atau alat penyangga lain ditempatkan
di kiri dan kanan kepala dan leher penderita, dan kepala penderita diikat
ke long spine board. Juga dipasang plester di atas kolar servikal untuk
menjamin tidak adanya gerakan pada kepala dan leher.

B. Penderita Anak-anak
1. Untuk imobilisasi anak diperlukan long spine board pediatrik. Bila tidak
ada, maka dapat menggunakan long spine board untuk dewasa dengan
gulungan selimut diletakkan di seluruh sisi tubuh untuk mencegah
pergerakan ke arah lateral.
2. Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa,
oleh karena itu harus dipasang bantalan di bawah bahu untuk menaikkan
badan, sehingga kepala yang besar pada anak tidak menyebabkan fleksi
tulang leher, sehingga dapat mempertahankan kesegarisan tulang belakang
anak. Bantalan dipasang dari tulang lumbal sampai ujung bahu.

C. Komplikasi
Bila penderita dalam waktu lama (kurang lebih 2 jam atau lebih lama lagi)
diimobilisasi dalam long spine board, penderita dapat mengalami dekubitus
pada oksiput, skapula, sakrum, dan tumit. Oleh karena itu, secepatnya
bantalan harus dipasang dibawah daerah ini, dan bila keadaan penderita
mengizinkan secepatnya long spine board dilepas.

Created by dr. Doni Kurniawan

33

D. Melepas Long Spine board


Pergerakan penderita yang mengalami cedera tulang belakang yang tidak
stabil akan menyebabkan atau memperberat cedera medula spinalisnya. Untuk
mengurangi resiko kerusakan medula spinalis, maka diperlukan pencegahan
secara mekanis untuk seluruh penderita yang mempunyai resiko. Proteksi
harus dipertahankan sampai adanya cedera tulang belakang yang tidak stabil
di singkirkan.
1. Seperti sebelumnya dibicarakan, melakukan imobilisasi penderita dengan
long spine hoard adalah teknik dasar splinting tulang belakang. Secara
umum hal ini dilaksanakan pada penanggulangan prehospital dan
penderita datang ke rumah sakit setelah dilakukan imobilisasi. Long spine
board merupakan splinting yang efektif dan merupakan sarana transfer
yang aman .Spine board tanpa bantalan akan menyebabkan rasa tidak
nyaman pada penderita yang sadar dan mempunyai resiko terhadap
terjadinya dekubitus pada daerah dengan penonjolan tulang ( oksiput,
skapula, sakrum, tumit ). Oleh karena itu penderita harus dipindahkan dari
long spine board ke tempat dengan bantalan yang baik dan permukaan
yang nyaman secepatnya bisa dilakukan secara aman. Sebelum
dipindahkan dari spine board, pada penderita dilakukan pemeriksaan foto
servikal, toraks, pelvis sesuai dengan indikasinya, karena penderita akan
mudah diangkat beserta dengan spine boardnya. Sewaktu penderita
dilakukan imobilisasi dengan spine board, sangat penting untuk
mempertahankan imobilisasi kepala dan leher dan badan secara
berkesinambungan seperti satu unit. Tali pengikat yang, ydipergunakan
untuk imobilisasi penderita ke spine board janganlah dilepas dari badan
penderita sewaktu kepala masih terfiksir ke bagian atas spine board.
2. Spine board harus dilepaskan secepatnya, waktu yang tepat untuk melepas
long spine board adalah sewaktu dilakukan tindakan log roll untuk
memeriksa bagian belakang penderita.
3. Pergerakan yang aman bagi penderita dengan cedera yang tidak stabil atau
potensial tidak stabil membutuhkan kesegarisan anatomik kolumna
vertebralis yang dipertahankan secara kontinyu. Rotasi, fleksi, ekstensi,
bending lateral, pergerakan tipe shearing ke berbagai arah harus
dihindarkan.
4. Modifikasi teknik log roll
Modifikasi tehnik log roll, dipergunakan untuk melepas long spine board.
Diperlukan empat asisten: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi in
line kepala dan leher; (2) satu untuk badan penderita ( termasuk pelvis dan

Created by dr. Doni Kurniawan

34

panggul ); (3) satu untuk pelvis dan tungkai bawah; dan (4) satu untuk
menentukan arah prosedur ini dan melepas long spine board.
5. Tandu Sekop (Scoop Stretcher)
Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dalam penggunaan
scoop stretcher untuk transfer penderita. Penggunaan yang tepat alat ini
akan mempercepat transfer secara aman dari long spine board ke tempat
tidur. Sebagai contoh alat ini dapat digunakan untuk transfer penderita dari
satu alat traspor ke alat lain atau ke tempat khusus misalnya meja ronsen.
penderita harus tetap dalam imobilisasi sampai cedera tulang belakang
disingkirkan. Setelah penderita ditransfer dari backboard ke tempat tidur
dan scoop stretcher dilepas, penderita harus di reimobilisasi secara baik ke
ranjang/ ususngan. Scoop stretcher bukanlah alat untuk imobilisasi
penderita. Scoop stretcher bukanlah alat transport, dan jangan mengangkat
scoop stretcher hanya pada ujung-ujungnya saja, karena akan melekuk di
bagian tengah dengan akibat kehilangan kesegarisan dari tulang belakang.

E. Imobilisasi untuk penderita dengan kemungkinan cedera tulang


belakang
Penderita umumnya datang ke bagian gawat darurat dengan alat perlindungan
tulang belakang. Alat ini menyebabkan pemeriksa harus memikirkan adanya
cedera tulang vertebra servikal atau torakolumbal, berdasarkan dari
mekanisme cedera. Pada penderita dengan cedera multipel dengan penurunan
tingkat kesadaran, alat perlindungan harus dipertahankan sarriapai cedera
pada tulang belakang disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis
Bila penderita diimobilisasi dengan spine board dan paraplegia, harus diduga
adanya ketidak-stabilan tulang belakang dan perlu dilakukan pemeriksaan
radiologis untuk mengetahui letak dari cedera tulang belakang. Bila penderita
sadar, neurologis normal, tidak mengeluh adanya nyeri leher atau nyeri pada
tulang belakang, dan tidak terdapat nyeri tekan, pada saat palpasi tulang
belakang, pemeriksaan radiologis tulang belakang dan imobilisasi tidak
diperlukan.
Penderita yang menderita cedera multipel dan dalam keadaan koma harus
tetap diimobilisasi pada usungan dan dilakukan tindakan log roll untuk
mengetahui foto yang diperlukan untuk menyingkirkan adanya sesuai fraktur.
Kemudian penderita dapat ditransfer secara hati-hati dengan menggunakan
prosedur tersebut di atas ke tempat tidur untuk bantuk ventilasi yang lebih
baik.

Created by dr. Doni Kurniawan

Anda mungkin juga menyukai