Anda di halaman 1dari 19

Fisioterapi DIV 07 UMS

S
S ee ll aa ss aa ,, 2
23
3 M
M aa rr ee tt 2
20
01
10
0

penanganan fisioterapi pada post operasi


fraktur cruris 1/3 distal
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembukaan UUD 1945 alenia 4 disebutkan tujuan
Pembangunan Nasional adalah tercapainya kesejahteraan umum
yang berarti mewujudkan masyarakat makmur dan berkeadilan
sosial. Kriteria bahwa kesejahteraan umum dikatakan berhasil
jika derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat tercapai.
Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan nasional
mengenai pembangunan berwawasan kesehatan sebagai
strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010.
Upaya pelayanan kesehatan yang semula mengutamakan aspek
pengobatan saja berangsur-angsur berkembang dan mencakup
upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif),
upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan
(rehabilitatif). Fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan
juga menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum
dalam mengembangkan, memelihara dan memulihkan kapasitas
fisik dan kemampuan fungsional.
Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat dalam hal pengobatan, pencegahan,
penyembuhan serta rehabilitasi medik. Pelayanan pada Rumah
Sakit berangsur - angsur semakin berkembang seiring dengan
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam kasus
ini, penanganan yang dilakukan Rumah Sakit terutama dalam
bidang ilmu bedah, adalah dengan metode operatif yaitu suatu
bentuk operasi dengan pemasangan Open Reduction Internal
Fixatie (ORIF) dimana jenis internal fiksasi yang digunakan
dalam kasus ini berupa plate and screw. Pada kasus ini metode
operasi yang digunakan internal fixasi karena dengan metode
konservatif sudah tidak mungkin dapat dilakukan, hal ini
dikarenakan fragmen fraktur sulit untuk menyambung dengan
baik. Selain itu, penyambungan tulang kontak fragmen langsung
lebih baik dari pada tanpa operasi (Appley, 1995). Alasan lain,
karena proses penyambungan tulang lebih cepat sehingga
pasien tidak kehilangan banyak waktu serta biaya untuk rawat
inap di Rumah Sakit (John C. Adams, 1992).
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur
tulang. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan atau

perimpilan korteks, biasanya patahan tersebut lengkap dan


fragmen tulangnya bergeser. Jika kulit diatasnya masih utuh,
disebut fraktur tertutup sedangkan jika salah satu dari rongga
tubuh tertembus disebut fraktur terbuka (Appley, 1995). Salah
satu penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman
yang sangat keras dan diterima secara langsung oleh tulang.
Sebanding dengan banyaknya pasien kasus fraktur di Rumah
Sakit yang mendapatkan pelayanan medis kurang adekuat atau
kurang optimal oleh karena keterbatasan biaya dan fasilitas,
maka akan berdampak pada pemulihan dengan hasil sisa atau
sequele. Secara tidak langsung hasil sisa tersebut terutama
pada fraktur cruris mengalami gangguan fungsional sehingga
berakibat pada produktivitas kerja yang akhirnya akan
menurunkan pendapatan perkapita negara sebagai sumber dana
dan sarana pembangunan nasional.
Pada kasus fraktur terutama post operasi fraktur cruris
menimbulkan berbagai macam gangguan yaitu impairment,
functional limitation dan disability. Fisioterapi sebagai salah satu
tenaga medis, mempunyai peran yang sangat penting terutama
dalam mengatasi permasalahan akibat tindakan operasi. Adapun
modalitas yang digunakan fisioterapi pada kasus fraktur cruris
1/3 distal dextra disini adalah dengan terapi latihan.
A. Latar Belakang Masalah
Menurut gambaran epidemiologinya, fraktur merupakan
masalah kesehatan yang dapat menimbulkan kecacatan paling
tinggi dari semua trauma kendaraan bermotor. Data yang
tercatat di RSO Dr. Soeharso Surakarta menunjukkan bahwa
penderita fraktur pada tahun 2002 sebanyak 863 orang dengan
penderita fraktur cruris 74 orang, tahun 2003 sebanyak 830
orang dengan penderita fraktur cruris 66 orang, tahun 2004
sebanyak 889 orang dengan penderita fraktur cruris 54 orang,
dan tahun 2005 sebanyak 4549 orang dengan penderita fraktur
cruris 1613 orang (RSO Dr. Soeharso).
Pada kondisi post operasi fracture cruris 1/3 distal dextra akan
menimbulkan problematik seperti (1) oedem, (2) nyeri, (3)
keterbatasan lingkup gerak sendi ankle, (4) gangguan aktivitas
fungsional dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti
berjalan.
Dilihat dari aspek fisioterapi, fracture cruris 1/3 distal dextra
dapat menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu
impairment berupa bengkak pada ankle dan tungkai bawah,
nyeri sekitar luka operasi, keterbatasan luas gerak sendi ankle.
Dampak lebih lanjut adalah adanya satu bentuk functional
limitation yang berupa kesulitan dalam melakukan aktivitas
fungsional terutama jongkok, berdiri dan berjalan. Disamping
itu timbul juga adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan

aktivitasnya seperti semula yaitu sebagai buruh yang disebut


dengan disability.
Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya
pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional pada
pasien fraktur adalah dengan terapi latihan. Terapi latihan
merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif dan aktif
(Kisner, 1996). Macam dari terapi latihan tersebut diantaranya
(1) breathing exercise, (2) posisioning (3) static contraction, (4)
passive exercise, (5) active exercise, (6) latihan jalan. Terapi
latihan disini bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat oedem
dan luka incisi, mengurangi adanya pembengkakan pada daerah
sekitar fraktur, mempertahankan, menambah atau memelihara
luas gerak pergelangan kaki serta melatih aktivitas jalan
sehingga dengan latihan tersebut pasien diharapkan bisa
kembali beraktivitas seperti semula.
Peran fisioterapi sangat penting dalam mengatasi permasalahan
akibat dari tindakan operasi yaitu dengan memberikan terapi
latihan yang berupa (1) static contraction yang dikombinasi
dengan positioning (elevasi) untuk pengurangan oedem pada
tungkai bawah sehingga nyeri dapat berkurang (Kisner, 1996),
(2) latihan gerak pasif untuk pemeliharaan dan pengembalian
luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (3) latihan gerak aktif
untuk pemeliharaan luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (4)
latihan ambulasi untuk aktivitas fungsional berjalan secara
bertahap.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang muncul pada post operasi fracture
cruris 1/3 distal dextra dengan pemasangan plate and screw di
tinjau dari segi fisioterapi sangat kompleks, karena
berhubungan dengan impairment, functional limitation dan
disability. Dengan permasalahan - permasalahan tersebut
rumusan masalah yang dapat penulis kemukakan adalah (1)
apakah breathing exercise dapat mencegah komplikasi paru
pada pasien post operasi? (2) static contraction yang
dikombinasi dengan elevasi dapat mengurangi oedem sehingga
nyeri dapat berkurang? (3) apakah passive exercise dapat
memelihara dan mengembalikan luas gerak sendi ankle? (4)
apakah active exercise dapat memelihara luas gerak sendi
ankle? (5) apakah latihan jalan dapat meningkatkan
kemampuan fungsional jalan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah (1) untuk
mengetahui manfaat breathing exercise untuk mencegah
komplikasi paru post operasi (2) untuk mengetahui manfaat
static contraction dan positioning (elevasi) terhadap

pengurangan oedem sehingga nyeri dapat berkurang, (3) untuk


mengetahui manfaat passive exercise terhadap pemeliharaan
dan pengembalian luas gerak sendi ankle, (4) untuk mengetahui
manfaat active exercise terhadap pemeliharaan luas gerak sendi
ankle, (5) untuk mengetahui manfaat latihan jalan terhadap
peningkatan kemampuan aktifitas fungsional jalan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Anatomi Fungsional
a. Sistem Tulang
Tungkai bawah terdiri dari 2 tulang yaitu tulang tibia dan tulang
fibula. Tulang tibia sering disebut juga dengan tulang kering,
sedangkan tulang fibula disebut juga dengan tulang betis. Tibia
adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan mempunyai dua
ujung. Tulang tibia terletak disebelah medial fibula yang terdiri
dari 3 bagian, yaitu epiphysis proksimalis, diaphysis dan
epiphysis distalis. Sedangkan tulang fibula terletak di sebelah
lateral tibia, dan juga terdiri dari 3 bagian.
b. Sistem Sendi
Sendi pergelangan kaki terdiri dari 3 persendian yaitu sendi
tibiofibularis distalis, sendi talocruralis dan sendi subtalaris.
Gerakan yang dapat dilakukan sendi pergelangan kaki adalah
plantar fleksi, dorsi fleksi, eversi, dan inversi (Norkin,1995).
Luas gerak sendi pergelangan kaki untuk gerak plantar fleksi dorsal fleksi S 20- 0-50, sedang luas gerak sendi untuk
gerak eversi - inversi R 40- 0- 20 yang diukur pada posisi
anatomis (Russe, 1975).
Dilihat dari aspek arthrokinematika, saat dorsal fleksi ankle
talus akan sliding kea rah posterior dan fibula akan bergerak
kea rah proximal.

c. Sistem otot
Tulang merupakan alat gerak tubuh pasif, sedangkan otot
merupakan alat gerak tubuh aktif. Dengan adanya kontraksi
dari otot akan timbul gerakan pada sendi atau tulang. Otot
penggerak pergelangan kaki adalah otot gastrocnemius, otot
plantaris, otot soleus, otot tibialis, otot fleksor halucis longus,
otot extensor digitorum longus, otot peroneus longus (Daniels
and Wortingham, 1989).

Gambar 1
Tulang Tibia dan Fibula kanan tampak depan (Putz, 2000)

Keterangan gambar
1. Tulang fibula
2. Tulang tibia

Gambar 2
Otot tungkai bawah kanan tampak depan (Putz, 2000)
Keterangan gambar :
1. m. Fibularis (peroneus) longus
2. m. Fibularis anterior
3. m. Gastrocnemius
4. m. Soleus
5. m. Digitorum longus
6. m. Fibularis brevis
7. m. Extensor digitorum longus
8. m. Extensor hallucis longus

Gambar 3
Otot tungkai bawah kanan tampak belakang (Putz, 2000)
Keterangan gambar :
1. m. Gastrocnemius lateralis
2. m. Gastrocnemius medialis
3. m. Gastrocnemius tendo
4. m. Soleus

B. Patologi dan Problematika Fisioterapi


1. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam
fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan - latihan
gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996).
Tujuan dari terapi latihan adalah untuk mengatasi gangguan
fungsi dan gerak, mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi
nyeri dan oedem serta melatih aktivitas fungsional.
Jenis terapi latihan yang digunakan dalam kasus ini antara lain
(1) breathing exercise, (2) static contraction, (3) passive
exercise, (4) active exercise, (5) latihan transver dan ambulasi.
b. Fraktur cruris 1/3 distal dextra

Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur


tulang (Appley, 1995). Sedangkan cruris adalah tungkai bawah
yang terdiri dari tulang tibia dan fibula. 1/3 distal dextra adalah
1/3 bagian bawah dari tungkai kanan. Jadi, fraktur cruris 1/3
distal dextra adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia
dan fibula bagian kanan yang terletak pada 1/3 bagian bawah
dari tulang.
c. Open Reduction Internal Fixatie (ORIF)
Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) adalah suatu jenis
operasi dengan pemasangan internal fixasi yang dilakukan
ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup
dengan close reduction, atau ketika plaster gagal untuk
mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (John
C. Adams, 1992). Internal fixasi yang digunakan pada kasus ini
berupa plate and screws yang merupakan sebuah lempengan
besi dan berupa sekrup yang dipasang pada tulang yang patah
dan berfungsi sebagai immobilisasi. Biasanya digunakan pada
fraktur tulang panjang dengan tipe simple tranverse dan simple
oblique fraktur.
2. Etiologi
Menurut etiologinya fraktur dibedakan menjadi 3 yaitu (1)
fraktur yang disebabkan oleh trauma, baik langsung maupun
tak langsung, (2) fraktur yang disebabkan oleh kelelahan pada
tulang, (3) fraktur karena keadaan patologi (Appley,1995). Pada
kasus ini penulis memilih fraktur yang disebabkan karena
trauma langsung yaitu karena kecelakaan lalulintas atau
benturan, yang terjadi perpatahan pada 1/3 distal cruris dextra.
Etiologi atau penyebab lain dari permasalahan ini adalah adanya
tindakan operasi untuk reduksi dan pemasangan fixasi. Pada
operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fixasi
berupa plate and screw sehingga akan terjadi kerusakan kulit,
jaringan lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya
oedem, nyeri, keterbatasan luas gerak sendi serta gangguan
fungsional pada tungkai.
3. Perubahan Patologi
Operasi pada fraktur cruris 1/3 distal dextra akan dilakukan
incisi pada tungkai bawah bagian lateral. Dengan operasi ini
akan mengakibatkan kerusakan jaringan lunak ataupun
kerusakan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri. Bila
pembuluh darah terpotong, maka cairan dalam sel akan menuju
jaringan dan menyebabkan pembengkakan. Cairan ini akan
menekan ujung saraf sensoris sehingga akan timbul nyeri dan
pergerakan pada daerah tersebut menjadi terbatas.
Waktu penyembuhan fraktur sangat bervariasi antara individu
satu dengan individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien, jenis fraktur,
banyaknya displacement fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah

pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertai. Pada fraktur


yang tidak kompleks, bukti mikroskopik dari penyembuhan
biasanya dapat terlihat pada tempat fraktur dalam 15 jam
setelah cedera (Garrison, 1996).
Tulang mempunyai kemampuan menyambung setelah terjadi
patah tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi
dalam 5 tahap yaitu:
a. Hematoma
Hematoma adalah suatu proses perdarahan dimana darah pada
pembuluh darah tidak sampai pada jaringan sehingga osteocyt
mati, akibatnya terjadi necrose. Hematoma yang banyak
mengandung fibrin melindungi tulang yang rusak. Setelah 24
jam suplai darah ke area fraktur mulai meningkat. Stadium ini
berlangsung 1 sampai 3 hari (Gartland, 1974).
b. Proliferasi
Proliferasi adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi
cartilage keluar dari ujung ujung fragmen sehingga tampak di
beberapa tempat bentukan pulau pulau cartilage. Pada
stadium ini terjadi pembentukan granulasi jaringan yang banyak
mengandung pembuluh darah, fibroblast dan osteoblast.
Haematoma merupakan dasar untuk proses penggantian dan
penyembuhan tulang, yang berlangsung 3 hari sampai 2 minggu
(Gartland, 1974).
c. Pembentukan callus atau kalsifikasi
Pembentukan callus atau kalsifikasi adalah proses dimana
setelah terjadi bentukan cartilago yang kemudian berkembang
menjadi fibrous callus sehingga tulang akan menjadi sedikit
osteoporotik. Pembentukan ini terjadi setelah granulasi jaringan
menjadi matang. Jika stadium putus maka proses penyembuhan
luka menjadi lama. Fase ini berlangsung 2 sampai 6 minggu
(Gartland,1974).
d. Konsolidasi
Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi penyatuan pada
kedua ujung tulang. Callus yang tidak diperlukan mulai
diabsorbsi (Gartland, 1974). Pada tahap ini tulang sudah kuat
tapi masih berongga. Fase ini biasanya butuh waktu 3 minggu
sampai 6 bulan.
e. Remodeling
Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk
kembali atau tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang
semakin menguat secara perlahan lahan terabsorbsi dan
terbentuk canalis medularis. Tahap ini berlangsung selama 6
minggu sampai 1 tahun (Gartland, 1974).
Perubahan patologi setelah dilakukan operasi timbul
permasalahan yang berupa :
a. Nyeri
Nyeri merupakan adanya kerusakan jaringan, dimana jaringan

akan mengeluarkan zat kimia seperti bradikinin, serotonin,


histamine sebagai reaksi dari kerusakan jaringan, zat kimia
tersebut akan merangsang nociseptik yang akan menambah
nyeri daerah tersebut (Kisner, 1996).
b. Oedem
Oedem dapat timbul karena adanya kerusakan pada pembuluh
darah akibat incisi, sehingga cairan yang melewatinya tidak
lancar dan terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.
c. Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedem,
spasme otot, kelemahan otot sehingga pasien enggan untuk
bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini menyebabkan
perlengketan jaringan dan keterbatasan luas gerak sendi yang
dalam jangka waktu lama akan berpengaruh pada penurunan
kemampuan aktivitas fungsional terutama berjalan.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien post
operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra antara lain (1) oedem
disekitar tungkai bawah, (2) rasa nyeri akibat adanya oedem
dan luka incise post operasi, (3) keterbatasan gerak sendi
ankle, (4) gangguan aktivitas fungsional, terutama gangguan
jalan (Appley, 1995).
5. Komplikasi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra,
komplikasi yang mungkin terjadi yaitu komplikasi yang
berhubungan dengan setelah dilakukannya tindakan operasi,
antara lain:
a. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya terjadi akibat oedem dan fibrosis pada
kapsul, ligamen, dan otot disekitar sendi dan terjadi
perlengketan antar jaringan lunak.
b. Komplikasi kulit
Immobilisasi tanpa alat pemulih, tekanan yang semestinya dan
adanya aplikasi gips pada daerah fraktur yang tidak benar dapat
menyebabkan timbulnya ulkus tekan (Garrison, 1996).
c. Infeksi
Infeksi biasanya terjadi karena luka incisi yang tidak steril yang
dapat menimbulkan adanya nyeri.
Sedangkan untuk komplikasi karena fraktur, antara lain:
a. Shorthening
Shorthening terjadi karena pemendekan pada tulang yang
diakibatkan mal union, loss of bone dan gangguan epiphysial
plate pada anak anak.
b. Mal union
Mal union merupakan penyambungan yang tidak sesuai dengan
posisi yang semestinya, seperti angulasi, overlapping dan rotasi.
Distribusi gaya tekan yang tidak baik menyebabkan gangguan

fungsi dan timbulnya perubahan perubahan osteoarthritis


yang lebih awal pada sendi sendi yang berdekatan. Bila ada
gangguan fungsi berat tindakan rekonstruksi harus dilakukan
terhadap tulang atau sendi yang mengalami mal union (Bloch,
1986).
c. Non union
Non union adalah keadaan dimana fragmen gagal untuk
menyambung walaupun telah diimobilisasi. Hal ini karena
pembentukan callus terganggu dan ujung ujung fragmen
tertutup oleh jaringan fibrocartilago (Bloch, 1986).
d. Delayed union
Delayed union adalah terjadinya penyambungan tulang yang
terlambat karena infeksi, suplai darah tidak lancar dan adanya
gerakan pada ujung fragmen. Beberapa tempat yang sering
mengalami penyambungan lambat dengan sirkulasi yang kurang
diantaranya os naviculare dari os carpalia, colum femoris dan
spertiga bagian bawah tibia (Bloch, 1986).
6. Prognosis
Prognosis pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra
tergantung pada jenis dan bentuk fraktur, bagaimana
operasinya, dan peran dari fisioterapi. Prognosis dikatakan baik
jika penderita secepat mungkin dibawa ke rumah sakit sesaat
setelah terjadi trauma, kemudian jenis fraktur yang diderita
ringan, bentuk dan jenis perpatahan simple, kondisis umum
pasien baik, usia pasien relative muda, tidak terdapat infeksi
pada fraktur dan peredaran darah lancar. Penanganan yang
diberikan seperti operasi dan pemberian internal fiksasi juga
sangat mempengaruhi terutama dalam memperbaiki struktur
tulang yang patah. Setelah operasi dengan pemberian internal
fiksasi berupa plate and screw, diperlukan terapi latihan untuk
mengembalikan aktivitas fungsionalnya. Pemberian terapi
latihan yang tepat akan memberikan prognosis yang baik
bilamana (1) quo ad vitam baik jika pada kasus ini tidak
mengancam jiwa pasien, (2) quo ad sanam baik jika jenis
perpatahan ringan, usia pasien relative muda dan tidak ada
infeksi pada fraktur, (3) quo ad fungsionam baik jika pasien
dapat melakukan aktivitas fungsional, (4) quo ad cosmeticam
yang disebut juga dengan proses remodeling baik jika tidak
terjadi deformitas tulang. Dalam proses rehabilitasi, peran
fisioterapi sangat penting terutama dalam mencegah komplikasi
dan melatih aktivitas fungsionalnya.
7. Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematika fisioterapi yang sering muncul pada post operasi
fraktur cruris 1/3 distal dextra meliputi impairment, functional
limitation dan disability.
a. Impairment
Problematika yang muncul adalah (1) adanya oedem pada ankle

dan tungkai bawah terjadi karena suatu reaksi radang atau


respon tubuh terhadap cidera jaringan, (2) adanya nyeri gerak
pada ankle akibat luka sayatan operasi yang menyebabkan
ujung - ujung saraf sensoris teriritasi dan karena adanya oedem
pada daerah sekitar fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi
ankle karena adanya nyeri dan oedem pada daerah sekitar
fraktur.

b. Functional limitation
Pada functional limitation terdapat keterbatasan aktifitas
fungsional terutama dalam melakukan aktivitas fungsional
terutama berdiri dan berjalan..
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan
kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya
yaitu kesulitan dalam melakukan aktivitasnya sebagai seorang
buruh karena pasien mengalami gangguan dalam aktivitas
berjalan.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif
maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan
fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan
kemampuan fungsional (Kisner, 1996).
Terapi latihan yang dilakukan adalah:
1. Breathing Exercise
Breathing exercise merupakan suatu tehnik latihan pernafasan
dengan menarik nafas lewat hidung atau inspirasi dan
mengeluarkan nafas lewat mulut atau ekspirasi. Tehnik latihan
pernafasan yang digunakan dalam kasus ini adalah deep
breathing exercise. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya
komplikasi paru pada post operasi akibat bius general. Tehnik
latihan pernafasan ini menekankan pada inspirasi maksimal dan
panjang lalu dihembuskan dengan perlahan sampai akhir
expirasi dengan tujuan mempertahankan alveolus tetap
mengembang, mobilisasi thorak, untuk meningkatkan
oksigenasi dan mempertahankan volume paru.
2. Positioning
Positioning yaitu perubahan posisi anggota gerak badan yang
sakit. Untuk mengurangi oedema pada tungkai, maka tungkai
dielevasikan dengan cara di ganjal bantal setinggi 30 - 450.
Selama pasien sadar, dosisnya adalah satu jam tungkai
dielevasikan dan satu jam tungkai dikembalikan ke posisi
semula.
3. Static contraction

Static contraction merupakan suatu terapi latihan dengan cara


mengontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang otot
maupun pergerakan sendi (Kisner, 1996). Tujuan static
contraction adalah memperlancar sirkulasi darah sehingga dapat
membantu mengurangi oedem dan nyeri serta menjaga
kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi.
4. Passive exercise
Passive exercise merupakan suatu gerakan yang dihasilkan dari
kekuatan luar dan bukan merupakan kontraksi otot yang
disadari. Kekuatan luar tersebut dapat berasal dari gravitasi,
mesin, individu atau bagian tubuh lain dari individu itu sendiri
(Kisner, 1996). Gerakan ini terbagi menjadi 2 gerakan:
a. Relaxed passive exercise
Relaxed passive exercise merupakan gerakan murni yang
berasal dari terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh
pasien. Tujuan dari gerakan ini untuk melatih otot secara pasif,
sehingga diharapkan otot menjadi rileks dan dapat mengurangi
nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan
gerak dan elastisitas otot (Kisner, 1996).
b. Force passive exercise
Force passive exercise gerakan berasal dari terapis atau luar
dimana pada akhir gerakan diberikan penekanan. Tujuan
gerakan ini untuk mencegah terjadinya kontraktur dan
menambah luas gerak sendi serta untuk mencegah timbulnya
perlengketan jaringan (Kisner, 1996).
5. Active exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan karena
adanya kekuatan otot dan anggota tubuh sendiri tanpa bantuan,
gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan
gravitasi (Basmajian, 1978). Tujuan active exercise (1)
memelihara dan meningkatkan kekuatan otot, (2) mengurangi
bengkak disekitar fraktur, (3) mengembalikan koordinasi dan
ketrampilan motorik untuk aktivitas fungsional (Kisner, 1996).
6. Latihan jalan
Latihan jalan merupakan aspek terpenting pada penderita
sehingga mereka dapat kembali melakukan aktifitasnya seperti
semula. Latihan ini dilakuakan secara bertahap. Dimulai dari
aktivitas di tempat tidur seperti bergeser (bridging), bangun,
duduk dengan kaki terjuntai ke bawah (high sitting) kemudian
latihan berdiri, ambulasi berupa jalan dengan menggunakan
walker kemudian ditingkatkan dengan menggunakan kruk
(tergantung kondisi umum pasien). Latihan berjalan secara Non
Weight Bearing (NWB) dengan menggunakan metode three
point gait pada hari ke 3 atau sesuai kemampuan pasien
kemudian ditingkatkan dengan cara Partial Weight Bearing
(PWB) jika pada pasien tersebut sudah terjadi pembentukan

callus atau kurang lebih 3 minggu (Gartland, 1974). Dosis awal


latihan 30% menumpu berat badan dan kemudian ditingkatkan
menjadi 80% menumpu berat badan, lalu ditingkatkan lagi
dengan latihan Full Weight Bearing. Tujuan dari latihan ini agar
pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun
masih dengan bantuan alat.
7. Edukasi
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien yaitu home program
yang dapat
dilakukan di bangsal maupun di rumah, seperti (1) melakukan
aktivitas sendiri atau dengan bantuan orang lain untuk berlatih
seperti yang telah diajarkan, (2) untuk mengurangi bengkak
pasien dianjurkan mengganjal tungkai yang sakit dengan guling
saat pasien tidur terlentang, (3) kurang lebih selama 2 minggu
atau lebih setelah post operasi pasien dianjurkan untuk tidak
menumpu dengan kaki yang sakit sampai terjadi penyambungan
callus.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pengkajian Fisioterapi
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan
tanya jawab dengan sumber data. Dengan anamnesis dapat
diperoleh data-data yang dibutuhkan dalam menentukan
diagnosa dan terapi latihan yang akan diberikan. Macam
anamnesis ada 2 yaitu autoanamnesis dan heteroanamnesis.
Pada kasus ini anamnesis yang dilakukan secara
autoanamnesis.
a. Anamnesis umum
Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara
lengkap. Dalam anamnesis ditemukan data seperti (1) nama,
(2) umur, (3) jenis kelamin, (4) agama, (5) pekerjaan, (6)
alamat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk tujuan
terapi akhir yang diprogramkan dan disesuaikan dengan
kegiatan keseharian dari pasien.
b. Anamnesis khusus
Anamnesis khusus merupakan data informasi tentang keluhan
utama pasien, adanya nyeri dan bengkak pada tungkai dan kaki,
adanya penurunan LGS pada sendi pergelangan kaki, adanya
gangguan dalam aktivitas jalan.
Riwayat penyakit sekarang ditanyakan tentang kapan terjadinya
fraktur, bagaimana proses terjadinya, posisi jatuhnya, sudah
pernah dibawa kemana saja dalam menangani fraktur tersebut
dan ditanyakan juga tentang faktor apa saja yang dapat
memperingan atau memperberat keluhan utama dari pasien.
Riwayat penyakit dahulu ditanyakan tentang penyakit apa saja

yang pernah diderita oleh pasien.


Riwayat penyakit penyerta berisikan tentang berbagai macam
penyakit yang diderita pasien saat itu.
Riwayat pribadi merupakan riwayat tentang riwayat pribadi
pasien seperti aktivitas sehari hari, hobi, keluarga, dan lain
lain.
Riwayat keluarga bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
penyakit penyakit yang bersifat menurun dari keluarga,
ataupun penyakit menular orang terdekat.
Berdasarkan anamnesis sistem dapat diketahui tentang keluhan
yang terjadi, misalnya gangguan kepala dan leher,
kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, persarafan, serta
musculoskeletal yaitu apakah terdapat kerterbatasan gerak
pada sendi pergelangan kaki serta adanya penurunan kekuatan
otot-otot penggerak sendi pergelangan kaki.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda- tanda vital
Tanda-tanda vital terdiri dari (1) tekanan darah, (2) denyut
nadi, (3) pernapasan, (4) temperatur. Data tersebut digunakan
untuk mengetahui apakah ada hipertensi, hipotensi, tacikardi,
obesitas dan sebagainya.
b. Inspeksi
Inspeksi merupakan suatu pemeriksaan dengan cara melihat
dan mengamati keadaan pasien, mengenai keadaan umum,
sikap tubuh, dan warna kulit.
c. Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung kontak
dengan pasien, dengan meraba, menekan, dan memegang
bagian tubuh pasien untuk mengetahui nyeri tekan dan suhu.
d. Kemampuan aktivitas fungsional
Terapis melihat apakah pasien sudah bisa bergeser ke kanan
atau ke kiri, apakah pasien sudah bisa duduk tegak, mampu
miring sendiri, apakah sudah dapat berdiri dengan atau tanpa
bantuan dari orang lain. Perlu ditanyakan juga apakah pasien
dalam buang air besar mengalami gangguan dan apakah pasien
sudah bisa berjalan.
3. Pemeriksaan gerak dasar
a. Gerak pasif
Pemeriksaan gerakan yang dilakukan oleh terapis kepada pasien
dimana pasien dalam keadaan pasif dan rileks. Tujuan dari
pemeriksaan gerak pasif untuk mendapatkan data informasi
tentang luas gerak sendi pasif ankle, stabilitas sendi, rasa nyeri
dan end feel.
b. Gerak aktif
Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang diperiksa
secara aktif, terapis melihat dan memberikan aba-aba. Tujuan

tes ini adalah untuk mendapatkan data informasi tentang


bagaimana LGS aktif ankle, rasa nyeri dan nilai kekuatan otot.
c. Gerak isometric melawan tahanan
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya nyeri
dan adanya penurunan kekuatan otot terutama sendi ankle.
Dilakukan dengan cara pasien disuruh mengkontraksikan otot
dan mencoba untuk melakukan gerakan tapi diberi panahanan
oleh terapis sehingga tidak terjadi gerakan dan penambahan
luas gerak sendi.
4. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus
yang belum diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan
pada kasus ini meliputi:
a. Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan dengan menggunakan Visual Analogue Scale
(VAS), yaitu pengukuran derajat nyeri dengan sepuluh skala
penilaian yaitu dengan menunjukkan satu titik pada sebuah
garis pada skala nyeri (0 - 100) dengan besarannya dalam
satuan milimeter, panjang garis mulai dari titik tidak nyeri
sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri (Sri
Surini, 2002). Terapis menjelaskan terlebih dahulu kepada
pasien tentang penilaian diatas, kemudian pasien diminta untuk
menunjuk salah satu titik dalam garis tersebut yang dapat
mewakili rasa nyeri yang dirasakan pada saat itu. Penilaian
dilakukan pada saat pasien diam, digerakkan secara pasif dan
aktif oleh terapis.
b. Pemeriksaan LGS
Pemeriksaan luas gerak sendi dengan menggunakan
goniometer. Pada ankle meliputi gerakan dorsi fleksi, plantar
fleksi, eversi, dan inversi.
Posisi netral untuk gerakan dorsi fleksi adalah sesuai dengan
posisi anatomis kaki. Gerakan pada ankle terjadi pada bidang
sagital dan axis gerakannya pada bidang frontal yaitu pada
malleolus lateralis. Dalam melakukan pemeriksaan as
goniometer diletakkan 15 cm dari malleolus lateralis. Tangkai
statis sejajar dengan axis longitudinal tulang tibia sedangkan
tangkai dinamis sejajar dengan axis longitudinal tulang
metatarsal V (Russe, 1975).
c. Anthropometri
Pengukuran lingkar segmen tubuh sangat penting dalam
pemeriksaan ada tidaknya pembengkakan. Alat ukur yang
digunakan adalah midline. Pada prinsipnya pengukuran lingkar
anggota gerak dilakukan dengan menggunakan patokan yaitu
tuberositas tibiae sampai malleolus lateralis. Selain itu dilakukan
pengukuran panjang tungkai dari SIAS sampai malleolus
medialis. Pengukuran lingkar segmen yang mengalami oedem
perlu dilakukan, kemudian dibandingkan antara tungkai yang

sakit dengan tungkai yang sehat.


d. Pemeriksaan aktivitas fungsional
Untuk menilai perkembangan aktivitas fungsional dari pasien
pada saat sebelum dan sesudah pemberian terapi latihan,
terapis dapat melihat perkembangan pasien mulai dari jongkok,
berdiri dan berjalan. Alat ukur yang digunakan dalam
pengukuran aktivitas fungsional yaitu menggunakan skala Jette.
Aktivits yang dites meliputi berdiri dari posisi duduk, berjalan 15
m dan naik turun tangga 3 trap. Keterangan penilaian (1) nyeri,
berkaitan dengan derajat nyeri saat melakukan aktivitas, (2)
kesulitan, berkaitan dengan deajat kesulitan untuk malaukan
aktivitas, (3) ketergantungan, berkaitan dengan derajat
ketergantungan untuk melakukan aktivitas. Dalam menilai
masing masing dimensi yaitu dengan menggunakan pilihan
ganda yang masing masing dimensi dibagi menjadi 4 skala
untuk dimensi nyeri dan 5 skala untuk dimensi kesulita dan
ketergantungan ( Jette AM, 1980 dikutip oleh Slamet, 2000 ).
TABEL I
SKALA JETTE
Bentuk aktivitas Kemampuan beraktivitas Nilai
Berdiri dari posisi duduk Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Berjalan 15 meter Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain

5: tidak dapat melakukan


Naik turun tangga Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4:nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
(Slamet Parjoto, 2000)
5. Diagnosa Fisioterapi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dimungkinkan
terjadi gangguan impairment yaitu (1) oedem pada tungkai
bawah dan ankle, (2) nyeri karena oedem dan luka incisi, (3)
keterbatasan LGS ankle. Sedangkan gangguan yang terjadi
pada functional limitation yaitu penurunan ambulasi dan
perawatan diri yaitu adanya keterbatasan dalam aktivitas
fungsional tungkai bawah. Pada disability gangguan yang terjadi
yaitu adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitas
yang berhubungan dengan lingkungan sekitar yang berupa
berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain.
B. Tujuan Fisioterapi
Pada kasus ini terapi yang diberikan bertujuan untuk (1)
mengurangi oedem, (2) mengurangi nyeri, (3) menigkatkan
luas gerak sendi pada ankle, (4) mengajarkan latihan jalan pada
pasien sehingga dengan diberikannya terapi latihan ini
diharapkan pasien dapat kembali beraktivitas seperti semula.
C. Rencana Pelaksanaan Terapi
1. Breathing exercise
Breathing exercise yang dilakukan adalah deep breathing
exercise. Deep breathing exercise ini dilakukan dengan posisi
pasien tidur terlentang. Pelaksanaannya dengan cara pasien
diminta untuk menghirup nafas dalam melalui hidung dan
menghembuskannya melalui mulut secara perlahan. Dimulai
setelah pasien sadar dari tindakan operasi, biasanya satu atau
dua hari setelah operasi. Gerakan ini dilakukan 4 6 kali.
2. Static contraction
Tujuan dari static contraction adalah untuk mengurangi oedem
sehingga nyeri berkurang. Posisi pasien pada hari pertama
masih tidur terlentang dengan disertai kaki yang sakit

dielevasikan antara 30 - 45 selama 10 15 menit, dengan


posisi terapis berada disamping penderita. Terapis meletakkan
tangannya dibawah betis pasien, kemudian pasien diminta
menekan tangan terapis ke bed. Kemudian tangan terapis
diletakkan pada pergelangan kaki pasien, pasien diminta untuk
menekan tangan terapis. Gerakan dilakukan 5 -10 kali hitungan
diselingi dengan menarik nafas dalam untuk rileksasi, gerakan
ini diulang 4 kali.
3. Passive exercise
a. Rileks passive movement
Tujuan dari latihan ini yaitu mencegah terjadinya keterbatasan
gerak. Latihan dilakukan secara hati hati pada hari pertama
post operasi dengan posisi awal pasien terlentang dimana
pergelangan kaki pada tungkai yang sakit tersangga dengan
baik oleh bed. Posisi terapis homolateral pada ankle yang
dilatih. Satu tangan terapis memfiksasi pada pergelangan kaki,
tangan yang lain memegang tumit. Posisi pasien rileks,
penguluran diawali pada sendi ankle kemudian dilanjutkan
gerakan dorsi fleksi dan plantar fleksi secara bergantian.
b. Force passive movement
Tujuan dari latihan ini adalah untuk meningkatkan lingkup gerak
sendi pergelangan kaki. Latihan diberikan beberapa hari setelah
operasi. Tehnik pelaksanaan sama dengan rileks passive
movement tetapi pada akkhir gerakan diberikan penekanan.
Gerakan dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
4. Free active movement
Tujuan dilakukannya free active movement adalah untuk
memelihara luas gerak sendi. Latihan dilakukan pada sendi
pergelangan kaki, jari-jari pada kedua tungkai. Serta pasien
bebas melakukan gerakan sendiri tanpa bantuan. Posisi pasien
tidur terlentang atau bisa juga dengan duduk. Pada sendi
pergelangan kaki dengan melakukan gerakan dorsal - plantar
fleksi, inverse - eversi dan pada jari - jari kaki dengan
melakukan gerakan fleksi - ekstensi, adduksi - abduksi. Gerakan
ini dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
5. Hold relax
Tujuan dari latihan adalah untuk menambah luas gerak sendi
pergelangan kaki, mengurangi nyeri dan rileksasi otot. Posisi
awal pasien tidur terlentang sementara terapis di samping bed.
Salah satu tangan terapis fiksasi lutut pasien dan tangan
satunya diletakkan diatas ankle. Gerakan dilakukan secara aktif
maupun pasif pada pola agonis hingga batas keterbatasan gerak
pasien dimana nyeri mulai timbul. Pola gerak keterbatasan
untuk gerak fleksi adalah fleksi adduksi eksorotasi dan fleksi
abduksi endorotasi. Sedangkan untuk keterbatasan gerak
ekstensi adalah ekstensi abduksi endorotasi dan ekstensi

adduksi eksorotasi. Terapis memberi tahanan yang meningkat


secara perlahan. Kemudian terapis memberi aba-aba
"pertahankan disini", kemudian diikuti rileksasi pada pola
antagonisnya kemudian digerakkan secara aktif maupun pasif
kearah antagonis. Gerakan ini dilakukan 5 - 8 kali pengulangan
(Yulianto Wahyono, 2002).
6. Latihan jalan
Dari posisi pasien duduk ongkang-ongkang ( high sitting ),
tungkai yang sehat turun dengan kedua tangan berpegangan
pada bed. Sedang tungkai yang sakit mengikuti turun dengan
disangga tangan terapis tanpa menapak pada lantai. Sebagai
awal latihan jalan terapis dapat melatih pasien dengan walker
jika pasien sudah lanjut usia dan dengan menggunakan kruk
jika pasien masih relatif muda atau keseimbangan pasien masih
baik dengan dibantu terapis, pasien berdiri dengan kaki
menggantung atau Non Weight Bearing (NWB) dengan 2 kruk
pada hari ketiga dengan threepoint gait metode swing to
kemudian ditingkatkan dengan Partial Weight Bearing (PWB)
jika sudah terjadi pembentukan callus kurang lebih dalam
jangka waktu 2 atau 3 minggu. Dosis awal latihan 30%
menumpu berat badan lalu ditingkatkan menjadi 80% menumpu
berat badan dan ditingkatkan lagi dengan latihan Full Weight
Bearing.
7. Edukasi
Bila pasien sudah pulang, terapis bisa memberikan program
latihan yang harus dilakukan dan memberikan penjelasan
tentang aktivitas yang harus dihindari agar tidak terjadi
refraktur. Salah satunya pasien harus melaksanakan program
latihan yang diberikan oleh terapis untuk mengembalikan
kemampuan fungsional pasien, seperti menggerakkan anggota
tubuh untuk mencegah kekakuan dan atrofi otot,
mengelevasikan kaki bila terasa nyeri, menghindari penumpuan
berat badan berlebih pada tungkai yang mengalami fraktur. Dan
yang terpenting adalah melatih kemandirian pasien dalam
melakukan aktivitas sehari hari sehingga tidak selalu
tergantung dengan orang lain.
D. Rencana Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan terapi pada kondisi paska operasi fraktur
cruris 1/3 distal dilakukan dengan 2 tahap yaitu evaluasi
sebelum pelaksanaan terapi dan sesudah diberikannya terapi
yang terakhir. Evaluasi ini meliputi (1) oedem dengan
menggunakan midline dan dibandingkan dengan sisi yang sehat,
(2) nilai tentang derajat nyeri dengan Visual Analogue Scale
(VAS), (3) luas gerak sendi pada ankle dengan menggunakan
goniometer dan membandingkan dengan luas gerak sendi
normal, (4) kemampuan fungsional jalan dengan melihat
perkembangan dari penggunaan alat bantu jalan dan pola jalan

dengan menggunakan skala Jette.


DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries;
Tenth edition, Churchill Livingstone.
Appley, G. A and Solomon, Louis, 1995; Orthopedi dan Fraktur
Sistem Appley; Edisi ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
Basmaijan, John, 1978; Theraupetic Exercise; Third edition, The
William and Wilknis Baltimore, London.
Daniels and Wortinghams, 1995; Muscle Testing; Sixth edition,
W. B Saunders Company, USA.
Data RSO Dr. Soeharso Surakarta, 2005; Jurnal Penderita
Fraktur Cruris; RSO Dr. Soeharso Surakarta.
Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan
Rehabilitasi Fisik; Terjemahan Hipocrates, Jakarta.
Gartland, John, 1974; Fundamental of Orthopedics; Second
edition, W. B. Sanders Company, Philadelpia.
Kapandji, I. A, 1987; The Physiologi of the Joint; 2nd edition,
Churchill Livingstone, Edinburg, London, and New York
Fisioterapi DIV Angkatan 2007 UMS di 09.06
0

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar

Beranda

Lihat versi web


M
Meen
ng
geen
naaii S
Saayyaa

F i s i o t e r a p i D I V A n g k a tta
an 2 0 0 7 U M S
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger

Anda mungkin juga menyukai