Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam merupakan manifestasi penting infeksi. Demam sering
merupakan gejala pertama yang diketahui oleh orang tua, suatu tanda bahwa
anaknya sakit. Hampir 30% kunjungan ke dokter dan lebih dari 5 juta
kunjungan ke emergensi karena keluhan demam. Demam didefinisikan
sebagai peningkatan suhu tubuh sentral di atas variasi normal harian dalam
respons tehadap banyak bermacam keadaan patologis yang berbeda, hal ini
lebih mungkin disebabkan infeksi, tetap suatu inflamasi, neoplastik,
imunologik, atau kejadian traumatic dapat pula menimbulkan demam.
Walaupun demam merupakan tanda infeksi paling nyata terhadap stimuli ini,
banyak perubahan fisiologik lain menyertai respon inflamasi fase akut pejamu
(Garna, 2012).
Febris (demam) dapat didefinisikan keadaan ketika individu
mengalami kenaikan suhu tubuh terus-menerus lebih dari 37,8C peroral atau
37,9C per rektal karena faktor eksternal. Suhu tubuh dapat dikatakan normal
apabila suhu 36,5C37,5C, keadaan febris apabila suhu 37C40C (Garna,
2012).
Survei Kesehatan Nasional melaporkan bahwa prevalensi panas pada
balita adalah 33%, dengan angka tertinggi pada bayi umur 611 bulan yaitu
43%, kemudian pada anak umur 1223 bulan ialah 39%. Panas menempati
urutan pertama dari 4 gejala terbanyak pada anak masing-masing yaitu panas
(33,4%), batuk (28,7%), batuk dan nafas cepat (17,0%), dan diare (11,4%).

Berdasarkan survei tersebut, panas pada anak terutama disebabkan oleh


infeksi saluran pernafasan, campak, demam tifoid, dan infeksi saliran
pernafasan (Widagdo, 2011). Berdasarkan data kunjungan pasien di RS
Muhammadiyah kota Kediri pada Juni sampai Desember tahun 2015 pada
pasien febris (demam) didapat data kunjungan sebanyak Juni : 1 pasien, Juli :
2 pasien, Agustus : 0 pasien, September : 4 pasien, Oktober : 2 pasien,
November : 7 pasien, dan Desember : 6 pasien yang mengalami febris
(demam).
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam
masalah kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat
membawa dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas
(Rahmawati, 2010). Angka kejadian cukup tinggi dan tidak sedikit anak yang
memerlukan perawatan di rumah sakit (Suryantini, 2001). Penyakit ini
disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. thypy) (Nelwan, 2012).
Salah satu penyebab kematian utama di dunia adalah demam tifoid.
angka kematian yang disebabkan oleh demam tifoid sebesar 12,6 juta kasus
dan diperkirakan terjadi 600.000 kematian tiap tahunnya. Hampir 80% dari
kasus tersebut terjadi di Asia. Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar
1100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian
3,110,4%. Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki
urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 514 tahun di
daerah perkotaan (Arifin, 2010).
Gejala klinik dari demam tifoid bervariasi dan tidak khas. Gejala
demam tifoid yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan
serangkaian keluhan klinis seperti anoreksia, myalgia, nyeri abdomen, dan
2

obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan
pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau keduaduanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,
kemudian dilanjutkan dengan konstipasi (Nelwan, 2012).
Penegakan diagnosis demam tifoid cukup sulit karena gejala klinik
penyakit ini tidak khas, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis penyakit ini antara
lain pemeriksaan darah rutin, bakteriologis, serologis, dan pemeriksaan
kuman secara molekuler (Rachman, 2011).
Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan
serologis, diantaranya pemeriksaan widal dan tubex tf. Widal merupakan
pemeriksaan yang sering digunakan untuk diagnosa demam tifoid. Prinsip
pemeriksaannya adalah reaksi aglutinasi antara kuman Salmonella typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin (Choerunnisa, 2013).
Tes widal mengukur level aglutinasi antibodi terhadap antigen O
(somatic) dan antigen H (flagellar). Level tersebut diukur dengan
menggunakan dilusi ganda serum pada tabung tes. Biasanya antibodi O
terlihat pada hari ke 68 dan antibodi H terlihat pada hari 1012 setelah
munculnya gejala penyakit demam tifoid. Tes biasanya dilakukan pada serum
akut (serum yang pertama kali diambil pada saat pertama kali kontak dengan
pasien). Minimal harus didapatkan 1 ml darah untuk mendapatkan jumlah
serum yang cukup (WHO, 2003).
Uji tubex merupakan uji aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
kolorimerik yang pada intinya mendeteksi adanya antibodi anti S.typhi O9
pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang

terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida


S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Jika hasil uji tubex
positif, maka menunjukkan pada S.typhi sedangkan jika hasil tubex negatif
kemungkinan menunjukkan terdapat infeksi oleh S.paratyphi atau penyakit
lain (Kusumaningrat, 2012).
Keunggulan metode ini dapat mendeteksi demam tifoid akut secara
lebih cepat, akurat, mudah, murah serta lebih spesifik dibandingkan metode
lain. Sedangkan kelemahannya pembacaan warna atau interpretasi hasil
bersifat subyektif (Choerunnisa, 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Melisa Felisia Intan (2010)
pada pemeriksaan 25 pasien tersangka tifoid di Rumah Sakit Immanuel
Bandung. Metode yang digunakan comporatif study. Berdasarkan analisa data
uji Mc nemar didapatkan p=0,125 > (0,05). Kesimpulan yang didapatkan
pada pemeriksaan Widal dengan nilai cut off 1/160 didapatkan sensitivitas
36,4%, spesifisitas 87,8%, dan akurasi 76,9% (p>0,05). Pada pemeriksaan
Tubex-TF didapatkan sensitivitas 92%, spesifisitas 53,7%, dan akurasi 63,5%
(p<0,05). Pemeriksaan Tubex-Tf memiliki validitas yang lebih baik
dibandingkan pemeriksaan Widal.
Berdasarkan referensi diatas peneliti akan melakukan penelitian
perbandingan hasil pemeriksaan widal dengan IgM Anti Salmonella (Tubex
Tf) pada pasien observasi febris lebih dari 3 hari di RS Muhammadiyah
Kediri ,di mana responden penelitian ini adalah pasien observasi febris lebih
dari 3 hari.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah Apakah ada perbandingan hasil pemeriksaan widal slide dengan

IgM Anti Salmonella (Tubex Tf) pada pasien observasi febris lebih dari 3 hari
di RS Muhammadiyah Kediri?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan hasil pemeriksaan widal slide
dengan IgM Anti Salmonella (Tubex Tf) pada pasien anak observasi
febris lebih dari 3 hari di RS Muhammadiyah Kediri.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan Widal slide pada pasien anak
observasi febris lebih dari 3 hari di RS Muhammadiyah Kediri.
b. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan IgM Anti Salmonella (Tubex
Tf) pada pasien anak observasi febris lebih dari 3 hari di RS
Muhammadiyah Kediri.
c. Untuk mengetahui perbandingan hasil pemeriksaan widal slide
dengan IgM Anti Salmonella (Tubex Tf) pada pasien observasi febris
lebih dari 3 hari di RS Muhammadiyah Kediri.
D. Manfaat Penelitian
1.
Mahasiswa
Dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman dalam
bidang serologi khususnya pemeriksaan widal slide dengan IgM Anti
Salmonella (Tubex Tf) baik bagi peneliti maupun akademisi teknologi
laboratorium medis yang lain.
Institusi pendidikan
Dapat dijadikan sebagai referensi dan sarana belajar mahasiswa

2.

dalam menyelesaikan tugas akhir dan menambah arsip perpustakan


sehingga dapat membantu meningkatkan pemahaman mahasiswa terkait
dalam bidang serologi khususnya widal slide dengan IgM Anti
Salmonella (Tubex Tf).
3.
Instalasi Laboratorium

Dapat memberikan informasi kepada instansi laboratorium RS


Muhammadiyah Kediri terkait dengan ada tidaknya perbandingan hasil
widal slide dengan IgM Anti Salmonella (Tubex Tf) pada pasien
observasi febris di RS Muhammadiyah Kediri, dan hasil penelitian ini
dapat memberi masukan bagi laboratorium.

Anda mungkin juga menyukai