(213.C.0002)
Mafni Yulianingsih
(213.C.0004)
(213.C.0006)
Ati Wulandari
(213.C.0008)
Siti Rohimah
(213.C.0013)
Lia Setiawati
(213.C.0015)
(213.C.0019)
Dimas Pratama
(213.C.0020)
(213.C.0022)
Muamar
(213.C.0027)
Nuryadi
(213.C.0028)
Ely Ferdiana
(213.C.0029)
Rina Maryatiana
(213.C.0031)
Agnes Acida
(213.C.0034)
Nelly Sulvassamawati
(213.C.0036)
(213.C.0042)
(213.C.0043)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
laporan dengan judul Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn.X dengan
kecelakaan lalulintas Resiko Multipel Trauma . Laporan ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kegawat Darurtan 1 pada Program Studi S1
Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon.
Selama proses penyusunan laporan ini penyusun tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak yang berupa bimbingan, saran dan petunjuk baik berupa moril, spiritual maupun
materi yang berharga dalam mengatasi hambatan yang ditemukan. Oleh karena itu,
sebagai rasa syukur dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Ibu Ns. Dwiyanti Purbasari, S.Kep., M.Kep yang telah memberikan bimbingan dan
dorongan dalam penyusunan laporan ini sekaligus sebagai dosen pengampu Mata
Kuliah Kegawat Daruratan 1
2. Ibunda dan ayahanda kami yang tercinta serta saudara dan keluarga besar kami yang
telah memberikan motivasi/dorongan dan semangat, baik berupa moril maupun materi
lainnya
3. Sahabat dan rekan STIKes Mahardika, khususnya Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT. membalas baik budi dari semua pihak yang telah
berpartisipasi membantu penyusun dalam menyusun laporan ini. Penyusun menyadari
bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna,
untuk itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan penyusunan selanjutnya.
Penyusun berharap, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin
Wassalamualaikum wr.wb.
DAFTAR ISI
ii
17
18
23
25
26
27
30
Lampiran 2 Jurnal
Daftar Pustaka
I.
(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.Pada pemeriksaan abdomen dinding
perut datar, bising usus normal, palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas
paha kanan tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kanan,
nyeri tekan, ROM pasif; limitasi gerakan, aktif; limitasi gerakan.
II.
TUGAS MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas, mahasiswa membahas
dan menganalisis kasus tersebut dengan kelompok, dipimpin oleh ketua
dan yang mencatat adalah sekretaris.
2. Melakukan
aktivitas
pembelajaran
individual
di
kelas
dengan
pada
fasilitator
yang
telah
ditetapkan,
sebagai
IV.
PENJELASAN
1. Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi
yang diperlukan untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6
bisa diulangi dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7.
2. Selanjutnya, langkah di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial dan
setelah informasi dirasa cukup dilakukan langkah nomor 8.
STEP I
KATA KUNCI
I.
II.
dapat
diartikan
sebagai
tiap
kejadian
yang
tidak
2. IGD
Prinsip Umum
a. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat
yang memiliki kemampuan : (Kemenkes, 2009)
b. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat,
melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving).
c. Formulir 2
d. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat
memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam
seminggu.
e. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di
rumah sakit diseragamkan menjadi INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD).
f. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat
menangani kasus gawat darurat.
g. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit
setelah sampai di IGD.
h. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan pada
organisasi multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi, dengan
unsur
pelaksana,
yang
bertanggung
jawab
dalam
PERSYARATAN SARANA
Persyaratan Fisik Bangunan :
1. Luas bangunan IGD disesuaikan dengan beban kerja RS dengan
memperhitungkan kemungkinan penanganan korban massal /
bencana.
2. Lokasi gedung harus berada dibagian depan RS, mudah
dijangkau oleh masyarakat dengan tanda-tanda yang jelas dari
dalam dan luar Rumah Sakit.
4. Dada sesak
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh
yang sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan
tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering
menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak
dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah
atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya
utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan
dalam dan tusukan terhadap organ (Black & Hawks, 2009).
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan
goresan yang dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka
dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi (tumpul). Luka dada
penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi
keempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan
mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat
menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain
(Black & Hawks, 2009).
Sesak adalah pernafasan yang sukar (Corwin, 2009). Distres nafas
(sesak) dapat disebabkan oleh: Fraktura iga atau flail chest,
pneumotoraks, pneumotoraks tension, hemotoraks, kontusio paru,
penumotoraks terbuka, aspirasi (Black & Hawks, 2009).
5. Luka lecet
Luka lecet adalah luka yang terjadi di permukaan kulit saja, tanpa
mengakibatkan robekan ke lapisan kulit yang lebih dalam. Luka
lecet disebut juga luka permukaan (superfisial), atau vulnus laserasi atau
laseratum di dunia medis (Mansjoer, 2008).
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya
pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur aspal jalan, atau
6. Nyeri tekan
Perasaaan tidak enak (menderita) akibat rangsangan ujung sarafsaraf khusus (Black & Hawks, 2009). Nyeri timbul karena rangsangan
(mekanik, termal atau kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di
hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk
impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di
proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk
persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami) (Corwin, 2009).
7. Cemas
Perasaan ketakutan tanpa stimulus yang jelas, berkaitan dengan
perubahan fisiologis (takhikardia, berkeringat, dan lain-lain) (Tarwoto &
Wartonah, 2011).
Gangguan kecemasan dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan
kimiawi dalam tubuh. Gejala-gejala kecemasan yang bersifat fisik
diantaranya adalah : jari tangan dingin, detak jantung makin cepat,
berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak
nyenyak, dada sesak (Mansjoer, 2008).
Letargi), yaitu
kesadaran
menurun,
terdorong
(deviasi
trakea) menjauhi
paru
yang
11. Terdengar bunyi nafas kanan melemah, suara nafas kiri terdengar
jelas
a. Keadaan normal bunyi nafas kiri dan kanan sama.
b. Interpretasi terjadi gangguan ventilasi (penurunan bunyi nafas
pada daerah trauma).
Auskultasi:
1) Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat
masuk antara 2 iga (dalam ruang antar iga). Urutan pemeriksaan
seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus
pernapasan (inspirasi-ekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada
tempat simetris (Bickely, 2009).
2) Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari
ekspirasi.
Penjelasan
serta
perpanjangan
fase
ekspirasi
13. Krepitasi
Krepitasi tulang adalah suara-suara yang dihasilkan oleh gesekangesekan dari segmen-segmen tulang (Black & Hawks, 2009).
a. Keadaan normal tidak ada krepitasi
b. Interpretasi fraktur costae
14. Saat perkusi terdengar hipersonor
Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan
menentukan kualitas jaringan paru-paru. Perkusi dapat cara : (direk:
langsung mengetuk dada atau iga-cara klasik Auenbrugger) atau indirek:
ketukan pada jari kiri yang bertindak sebagai plessimeter oleh jari
kanan. Di bagian depan mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah,
demikian juga pada bagian belakang dada. Ketukan perkusi dapat keras
atau lemah. Makin keras makin dalam suara dapat tertembus.
Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan parunya mulai menipis,
b.
15. Deformitas
Deformitas musculoskeletal adalah kelainan dan trauma pada
sistem muskuloskeletal yang bermanifestasi dari bentuk yang abnormal
dari ekstremitas atau batang tubuh. (Sudoyo, 2006). Deformitas yang
dapat terjadi pada tulang:
a. Ketidaksejajaran tulang (loss of alignment)
Tulang panjang dapat mengalami gangguan dalam kesejajaran
(alignment) karena terjadi deformitas torsional atau deformitas
angulasi.
b. Abnormalitas panjang tulang (abnormal length)
Kelainan panjang pada tulang dapat berupa tulang memendek/
menghilang sama sekali atau panjangnya melebihi normal.
c. Pertumbuhan abnormal tulang (bony outgrowth)
Abnormalitas pertumbuhan tulang dapat terjadi akibat adanya
kelainan pada tulang, misalnya osteoma atau ostekondroma.
(Sudoyo, 2006).
16. Hematoma
Hematoma adalah kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh
darah (Corwin, 2009). Kumpulan darah ini bisa berukuran setitik kecil,
tapi bisa juga berukuran besar dan menyebabkan pembengkakan.
Hematoma dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja. Darah yang
keluar dari pembuluh darah bisa menyebabkan rasa nyeri pada jaringan
sekitarnya dan muncul gejala peradangan atau inflamasi. Tapi jika
pembuluh darah terkena tekanan hebat, dan kerusakan dinding
pembuluh darah luas, maka darah akan selalu bocor melalui dinding
pembuluh yang rusak (perdarahan lebih lama). Darah yang keluar terus
menerus akan membuat hematoma semakin membesar. Penyebab umum
terjadinya hematoma adalah trauma atau cedera. Trauma atau cedera
yang terjadi bisa disebabkan karena kecelakaan, terjatuh, cedera kepala,
patah tulang. luka tembak, bersin yang terlampau keras, atau terkilirnya
lengan dan kaki (Black & Hawks, 2009).
persendian
secara
normal
dan
lengkap
untuk
meningkatkan massa otot dan tonus otot (Black & Hawks, 2009). ROM
Aktif adalah kontraksi otot secara aktif melawan gaya gravitasi seperti
mengangkat tungkai dalam posisi lurus. ROM Pasif yaitu gerakan otot
klien yang dilakukan oleh orang lain dengan bantuan oleh klien.
a. Indikasi ROM Aktif
1) Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif
dan menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan atau
tidak.
2) Pada saat pasien memiliki kelemahan otot dan tidak dapat
menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan AAROM
(Active-Assistive ROM, adalah jenis ROM Aktif yang mana
bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual
atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan
bantuan untuk menyelesaikan gerakan).
3) ROM Aktif dapat digunakan untuk program latihan aerobik.
4) ROM Aktif digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas diatas
dan dibawah daerah yang tidak dapat bergerak (Carpenito,
2009).
b. Indikasi ROM Pasif
1) Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut yang
apabila dilakukan pergerakan aktif akan menghambat proses
penyembuhan.
2) Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk
bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya keadaan
koma, kelumpuhan atau bed rest total (Carpenito, 2009).
c. Kontraindikasi ROM
Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan
ROM menurut Carpenito (2009) yaitu: Latihan ROM tidak boleh
diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan
STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH
1.
2.
3.
4.
STEP 3
ANALISIS MASALAH
5. bangunan
Cidera
Berdasarkan
konsep
Trias
Epidemiologi,
bila
terdapat
2.
Kita semua sadar akan ungkapan Accidents dont just happen, they are
caused. Kecelakaan tidak begitu saja terjadi, tetapi ada penyebabnya.
Dipandang sudut epidemiologi, kecelakaan adalah suatu kejadian sebagai
akibat dari interaksi antara 3 komponen, yaitu: agent (penyebab), host
(penerima), dan environment (lingkungan).
a. Agent:
Pada suatu penyakit tertentu, terutama pada penyakit menular
penyebabnya dapat merupakan bakteri tunggal (agent). Lain halnya dengan
kecelakaan; dijumpai sedikit kesulitan karena sejumlah faktor penyebab ikut
serta dalam menentukan terjadinya kecelakaan (multipel). Pada kecelakaan
lalu lintas penyebabnya dapat terletak pada:
(1) keadaan jalan, (2) keadaan kendaraan, (3) pengemudi kendaraan dan
sebagainya. Cidera atau kematian terjadi serentak dengan kecelakaan atau
dalam waktu yang sangat pendek.
b. Host:
Host adalah orang yang mengalami cidera atau kematian pada suatu
kecelakaan. Faktor host adalah elemen intrinsik yang mempengaruhi
kerentanan (susceptibility) terhadap penyebabnya (agent). Untuk menetukan
host mana yang rentan perlu diteliti karakter host tersebut seperti umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Terdapat perbedaan
yang nyata pada bentuk kecelakaan yang menimpa seseorang. Cidera karena
keracunaan merupakan masalah anak kecil dan angka kematian akibat
kecelakaan lalu lintas adalah tinggi pada remaja dan lebih tinggi pada lakilaki daripada wanita.
c. Environment:
3.
b. Primary
survey:
airway,
breathing,
circulation,
disability,
exposure.
1) Airway
Nilai jalan nafas: tidak ada obstruksi (pasien dapat bicara,
mengeluh daerah sakit), gerakan udara pada hidung, mulut,
pergerakan dada bersihkan jalan nafas dari darah (Maryuani
Anik, 2009).
2) Breathing
Nilai ventilasi dan oksigenasi, buka leher dan dada, observasi
perubahan
pola
pernapasan:
tentukan
laju
dan
dalam
4.
Kemungkinan penyebab:
a. Sesak nafas kardiak
b. Obstruksi jalan nafas
c. Sesak nafas pada prenkim paru difus
d. Emboli paru
e. Kelainan vaskular
f. Gangguan transport oksigen
g. Kelainan pleura dan mediastinum (pneumotoraks, hemotoraks, tension
pneumotoraks) (Budiyanto, 2007).
h. Fraktur pada costae
Mekanisme pada kasus:
Kecelakaan lalu lintas dada membentur stir dan dashboard trauma
tumpul rongga toraks Fraktur costae 9,10,11 udara dari dalam paru
bocor ke dalam rongga pleura udara tidak dapat keluar dari pleura
(fenomena ventil) tekanan dalam pleura meningkat paru kolaps
mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam
rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak
dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura akan
meningkatkan dan melibihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal nafas.
(Sumber: Guyton, 2006, Black & Hawks, 2009, Sherwood, 2008,
Corwin, 2009).
STEP 4
MIND MAPPING
Kecelakaan lalu
lintas
KERANGKA
KONSEP
Multipel
trauma
Fraktur femur
Tekanan
saraf di
daerah femur
Kontusio
paru
Tulang coste menusuk
pleura dan parenkim paru
Rangsangan
nosiseptor di
pleura parietal
Nyeri di dada
kanan
- terdapat krepitasi
- tampak deformitas
-limitasi gerakan
(aktif dan pasif)
Nyeri
tekan di
paha
Pembuluh darah
pecah
Memar
tekanan intrapleura
Paru-paru
kolaps
Mediastinum
terdorong ke sisi yang
sehat
Hambatan
venous
retrun
Deviasi
trakea ke kiri
JVP
Hipotensi
CO 2
Syok
Hematom
KERANGKA TEORI
(MIND MAPPING)
Definisi:
Multipel trauma adalah istilah medis yang
menggambarkan kondisi seseorang yang telah
mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang
serius (Lammichane, P.,2011).
Etiologi:
Benda tajam, benda
tumpul, atau peluru
(Lammichane, 2011).
Manifestasi Klinis:
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Nyeri
g. Pendarahan
h. Penurunan kesadaran
i. Sesak
(Scheets, 2002).
MULTIPEL
TRAUMA
Web Of Caution
(Terlampir)
Komplikasi:
Hemoragi dan cedera kepala, penyebab
lambat kematian (dalam 3 hari): sepsis.
Tn.L
(28 Tahun)
Tata Laksana:
Evdence Based: Analisa Jurnal
1. jurnal teori
2. jurnal kasus
STEP 5
LEARNING OBJEKTIF
STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN
A.
Jurnal Teori
1. Identitas Jurnal
Judul
Peneliti
Tahun
Penerbit
: 2014
: Emergency Medicine: Open Access.
2. Isi Jurnal
Kecelakaan dan trauma dapat menyebabkan kerusakan fisik,
psikologis dan disisi lain dapat menyebabkan kerusakan modal dan
kerugian ekonomi. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebagai
tingkat tertinggi kematian akibat cedera yang tidak disengaja di
dunia. Trauma yang disebabkan oleh kecelakaan mobil setiap
tahunnya membunuh sekitar 1,2 juta orang dan lebih dari 50 juta
terluka atau cacat akibat trauma tersebut. Kerusakan yang
disebabkan oleh trauma berat dapat diminimalkan dengan onset
pengobatan yang cepat dan dengan segera merawat pasien trauma.
Sebagian besar kematian disebabkan oleh trauma, biasanya terjadi
pada saat sebelum mencapai rumah sakit atau pada jam-jam awal
setelah cedera.
Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
kematian dan cedera yang disebabkan oleh kendaraan pada tahun
2020 akan meningkat menjadi 67% di Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia dan rata-rata harian dari 23 orang mati di dunia.
Menurut pedoman ATLS, untuk setiap multi-trauma, leher
pasien di pasang neck collar dalam primary primer, bersamaan
dengan pemeriksaan jalan napas.
Tampaknya sebagian besar pasien dengan cervical collar
mengeluhkan
sesak
napas
dan
memiliki
keinginan
untuk
B. Jurnal Kasus
1. Identitas Jurnal
Judul
Peneliti
Tahun
: 2015
Penerbit
: PubMed
2. Isi Jurnal
Tension pneumotoraks adalah kondisi yang mengancam jiwa,
yang menghasilkan perubahan hemodinamik, seperti tekanan
intratorak meningkat dan mengganggu aliran balik vena ke atrium
kanan. Tension pneumotoraks disebabkan oleh penumpukan
progresif udara dalam rongga pleura, dan ventilasi tekanan positif
dapat mempercepat proses ini, yang dapat mengakibatkan traumatis.
Needle Tthoracostomy (NT) berpotensi menyelamatkan nyawa pada
tension pneumothorax. Prehospital needle thoracostomy dilakukan
oleh dokter dan paramedis militer atas instruksi dokter di Israel.
The ATLS merekomendasikan bahwa needle thoracostomy
harus dilakukan di ruang intercostal kedua (ICS) di linea. Jarum
direkomendasikan saat ini digunakan untuk dekompresi adalah
angiocatheter 14-gauge.
Pada jurnal
ini
tindakan
needle
STEP 7
LAPORAN PENDAHULAN
(Terlampir)
A. Latar Belakang
Multipel trauma merupakan istilah medis yang menggambarkan
kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang serius.Multipel trauma atau
politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal
pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al.,
2011). Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di
empat dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World
Health Organization) menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan
sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas di
seluruh dunia selama tahun 2011. Sementara di indonesia tahun 2016
jumlah kecelakaan pemudik tercatat sebanyak 1.289 kasus (Kemenhub,
RI).
Oleh sebab itu maka makalah ini akan membahas tentang multipel
trauma serta asuhan keperawatan yang diberikan pada kasus-kasus
multipel trauma.
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan laporan ini akan dibahas mengenai laporan
seven jump kasus 3 pada Keperawatan Gawat Darurat dengan klien
Multipel Trauma
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep teori dan kasus mengenai asuhan
keperawatan pada klien Gawat Darurat dengan multipel trauma serta
kesenjangan antara teori dengan kasus tersebut.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui Definisi Multipel Trauma
b. Untuk Mengetahui Etiologi Multipel Trauma
c. Untuk mengetahui manifestasi Multipel Trauma
d. Untuk
mengetahui
pemeriksaan
penunjang
Multipel
Trauma
e. Untuk mengetahui patofisiologi Multipel Trauma
f. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara teori
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara kasus
h. Untuk mengetahui kesenjangan antara asuhan keperawatan
teori dengan asuhan keperawatan kasus yang di alami klien.
D. Manfaat
1.
Mahasiswa
Diharapkan mahasisiwa/i dapat mengerti dan memahami
tentang keperawatan gawat darurat sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan pada klien yang mengalami Multipel Trauma
2.
Masyarakat
Diharapkan masyarakat mengerti dan memahami tanda dan
gejala dari Multipel Trauma sehingga menambah wawasan dan
pengetahuan.
3.
Tenaga Kesehatan
Diharapkan tenaga kesehatan mengerti dan memahami
tentang penanganan Multipel Trauma sehingga dapat melakukan
pencegahan dan penatalaksanaan pada klien yang mengalami
Multipel Trauma.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Definisi
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi
seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera
kepala serius selain luka bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma
adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio
atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan
memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial
dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et all., 2011).
B.
Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam,benda tumpul,atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ
apa yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui
biomekanik terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari
luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh
benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia.
Akibat cedera ini dapat menybabkan cedera muskuloskletal,dan kerusakan
organ. (Lamichhane P, et all., 2011).
C.
Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, yaitu:
1. Trauma tumpul
a. Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.
b. Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak.
c. Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat
(karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis).
d. Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan.
2. Trauma tajam
a. Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan
senapan.
system retroperitoneal.
c. Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami
kerusakan.
d. Luka tusukan mungkin akan menembus dinding peritoneum dan
senapan
selalu
membutuhkan
pembedahan
dan
D.
Patofisioogi
Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada
tubuh penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut
menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif
tubuh untuk mengeliminasi jaringan yang rusak serta untuk mengeliminasi
jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006).
Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling
berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin
(tumor
necrosis
faktor-),
interleukins,
interferons,
leukotrienes,
dan
adaptive
untuk
menghancurkan
mikroorganisme
yang
Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar, ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda Bruit (bunyi abnormal pada auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis).
7. Nyeri.
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal.
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal.
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis.
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe. (Lamichhane P,
et all., 2011).
F.
Komplikasi
1.
2.
penyembuhan
dan
menghindari
kekambuhan.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Trauma Tumpul
a.
2)
3)
4)
5)
6)
membesar.
Adanya
aspirasi
darah
segar,
isi
akurat
dan
murah
untuk
mendeteksi
2.
Trauma Tajam
a.
b.
H.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
c. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam.
d. Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik
yang
abnormal,
rontgen
foto
thorax
tegak
pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka
tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya
udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
2.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah
itu sendiri.
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin.
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
d. Koagulasi : PT, PTT
e. MRI
f. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic.
g. CT Scan
h. Radiograf
dada
mengindikasikan
peningkatan
diafragma,
Tabrakan depan
Pola jaring laba-laba atau pola Patah tulang belakang daerah serviks,
bulls eye pada kaca depan.
trauma wajah.
Tabrakan samping
Kontak kepala dengan jendela Patah tulang belakang daerah serviks,
samping.
cedera kepala.
Pintu
terdorong
ke
penumpang.
Skor
Total Skor
Numerik
Persentase
Pasien
Selamat (%)
76-89
50-75
1-49
Laju pernapasan
12
99,5
11
96,9
10
87,9
76,6
66,7
63,6
63
45,5
3 atau 4
33,3
28,6
25
3,7
>29
6-9
1-5
9-12
6-8
4-5
Penilaian
Kemungkinan
Intervensi
A Airway/Saluran
pernapasan
Dengarkan suara
terbuka/tersumbat?
Cari serpihan benda-
Buka saluran
pernapasan
menggunakan chin-
benda, darah,
modified jaw-thrust.
asing.
Bersihkan saluran
pernapasan, sedot dan
bersihkan dari bendabenda asing.
Berikan saluran
pernapasan buatan:
saluran pernapasan
orofaring atau
nasofaring, intubasi
trakea, atau saluran
pernapasan lewat
proses bedah.
Breathing/
pernapasan
Amati respirasi
Berikan oksigen
spontan, chest
melalui non-
kedalaman respirasi,
rebreather mask.
penempatan saluran
napas lewat proses
bedah.
C Circulation/
Sirkulasi
Cari pendarahan
yang tampak jelas.
Periksa kulit untuk
warna, suhu,
Lakukan penekanan/
letakkan luka di posisi
yang lebih tinggi.
Masukkan dua atau
kelembapan, dan
bore intravenous.
D Disability/
Ketidakmampuan
Periksa akondisi
neurologis
mengalami hipotensif
menggunakan
atau hipoksia.
mnemonic AVPU.
Periksa pupil,
simetris atau tidak,
dan reaksi terhadap
cahaya.
kondisi tulang
belakang.
Pertimbangkan
pemberian manitol,
tindakan untuk
memperbaiki laju
pembuluh vena dari
otak, pembedahan
atau hiperventilasi
singkat.
Exposure
Berikan penghangat
environmental
(Pemaparan
dan
tubuh.
Lingkungan)
F
five
interventions, and
family presence
Dapatkan data-data
vital.
Nilai kebutuhan
psikologis pasien
dan keluarga.
Mulai pengawasan
kardiak berkelanjutan
dan saturasi oksigen.
Pertimbangkan untuk
memasukkan pipa
nasogastrik atau
orogastrik dan kateter
saluran urine.
G Give
measures
History
H
Dapatkan informasi
medis.
darurat.
Head-to-toe
Lakukan pemeriksaan
examination
I.
Penatalaksanaan
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif,
dan mengontrol pendarahan. (Lamichhane P, et all., 2011).
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak
morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.
Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah
besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan
jumlah pasien yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian
terjadi dalam hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian
dalam periode ini terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau
pendarahan yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada
solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang diterima
dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera sangat penting
untuk mempertahankan nyawa pasien.
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma
Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary
survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada
jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi
beberapa hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode ini
memerlukan
tindakan
dari
tim
yang
terkoordinasi
untuk
Primary Survey
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan
survei sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan
menyediakan metode perawatan individu yang mengalami multiple
trauma secara konsisten dan menjaga tim agar tetap terfokus pada
prioritas perawatan. Masalah-masalah yang mengancam nyawa terkait
jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran pasien
diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan
menit sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi
mengancam nyawa seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest,
dan pendarahan dapat dideteksi melalui survei primer. Ketika kondisi
yang mengancam nyawa telah diketahui, maka dapat segera dilakukan
intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi pasien. Pada survei
primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang
bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E: Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol
lingkungan). (Lamichhane P, et all., 2011).
A : Airway (Jalan Napas)
secara
langsung
sesudah
trauma,
hipotermia,
apabila
dilakukan
needle
thoracentesis
dan
pericardiocentesis.
c. Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit
basah,
pucat,
sianosis,
atau
bintik-bintik
mungkin
juga
adanya
penggelembungan
atau
nadi.
Penurunan
tekanan
nadi
ini
terutama
hemostatic
plugs
yang
terbentuk
untuk
Secondary Survey
Presence
(Tanda-tanda
vital,
intervensi,
dan
e. Pasang oksimetri.
Facilitation of Family Presence (Memfasilitasi Kehadiran Keluarga)
Memfasilitasi
kehadiran
keluarga
berarti
memberikan
intervensi
didapatkan
dari
petugas
EMS.
Untuk
mata,
serta
periksa
juga
fungsi
ketajaman
Dada (Chest)
Periksa dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan,
perubahan bentuk, trauma penetrasi atau luka lain, lakukan
auskultasi jantung dan paru-paru. Palpasi dada untuk mencari
perubahan bentuk, udara di bawah kulit dan area lebam/jejas.
Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
Pelvis (Panggul)
Periksa panggul untuk mengetahui adanya pendarahan, lebam,
jejas, perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki,
periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita periksa adanya
pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah,
Ekstremitas (Extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan
bentuk, dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka
lain. Periksa sensorik-motorik dan kondisi neurovaskular pada
masing-masing ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui
adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidaknormalan suhu. Jika
ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovaskular
distal secara teratur dan sistematis. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan Xrays pada ekstremitas yang mengalami gangguan. Intervensi
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Balut bidai.
b. Perawatan luka.
(Lamichhane P, et all., 2011).
I : Inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian
Belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam
kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini
membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim
menilai keadaan posterior pasien dengan mencari tanda-tanda
J.
Pengkajian
a. Pengkajian primer
Airway (jalan nafas)
Pemeriksaan jalan napas pada pasien multi trauma merupakan
prioritas utama. Usaha untuk kelancaran jalan nafas harus di
lakukan dengan cara clin lift atau jaw thrust secara manual untuk
membuka jalan nafas.
Breathing (dan ventilasi)
GCS,dan
ukur
reaksi
pupil
serta
tanda-tanda
vital.
Dada
1) Inpeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan
dan untuk kesimetriasan pergerakan.
2) Catat adanya segmen flailchest
3) Cek adanya fraktur iga padengan melakukan penekanan pada
tulang iga pada posisi lateral, lalu anterior dan posterior;
manufer ini menyebabkan nyeri pada pasien dengan fraktur iga
4) Catat keluhan pasien akan nyeri,dispnea,atau sensasi dada
terasa berat
5) Catat memar,pendarahan ,luka atau emfisema subkutaneus
6) Auskultasi paru utuk kualitas dan kesemetrisan bunyi napas.
Abdomen
1) Catat adanya distensi ,perdarahan , memar, atau abrasi ,
khususnya di sekitar organ vital seperti limpa atau hati
2) Auskultasi abdomen utuk bising usus sebelum mempalpasi
mengkaji secara benar.
(Gerard M D, 2006)
Genetalia dan pelvis
TENSION PNEUMOTHORAX
A.
Definisi
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ
mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang
mengalami tekanan (Manjoer, 2000).
B.
Etiologi
Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:
Ketidakberhasilan
mengatasi
pneumothoraks
terbuka
ke
C.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, tekanan jugularis meningkat, pergerakan dinding
dada yang asimetris, hipersonor dinding dada dan tidak ada suara
napas pada sisi yang sakit. (American College of Surgeons Commite
on Trauma, 2005).
D.
Pemeriksaan penunjang
-
batas
antara
udara
dengan
cairan
intra
dan
Pemeriksaan Laboratorium :
GDA : variable tergantung dari derajat paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau
menurun; saturasi oksigen biasanya menurun. Analisa gas darah arteri
memberikan gambaran hipoksemia. (Corwin, 2009).
Hb :
2.
No
Etiologi
Masalah
Keperawatan
1.
Pre Hospital
adanya
Multiple trauma
tampak
kesulitan
bernafas
-
Respirasi
rate
40x/menit
In Hospital
DS:DO: - Trakea bergeser ke
udara tertahan
dilapisan pleura
kiri
-
RR: 40x/menit
Gerakan dinding
dada
asimetris,
memar di dada
kanan
Tekanan dalam
pleura meningkat
gangguan pertukaran
gas
bawah
sampai
ke
samping
-
Bunyi
nafas
kanan melemah
-
2.
AGD < 90 %
Pre Hospital
DS:
Multiple trauma
masyarakat
sekitar
mengatakan
terjadi
suatu
kecelakaan
Risiko syok
lalulintas sekitar 2 KM
dari
gerbang
tol
tinggi
menabrak
sebuah
kerusakan jaringan
paru
kolaps paru
depan
pecah,
gangguan ekspansi
paru
depan.
DO: - wajah dan bibir
terlihat kebiruan
-
Kulit pucat
Dingin
Berkeringat
Perdarahan pada
saluran napas
Saluran napas
tersumbat
dingin
-
GCS:
13
(E:3.
M:6, V:4)
hipoksia
Gangguan oksigenasi
In Hospital
DS: -
Hipoksia
Resiko Syok
3.
Pre Hospital
Ds: -
Multiple trauma
Kerusakan
integritas kulit
Tulang Patah
bernafas
- Respirasi
rate
40x/menit
Perdarahan di
periosteum
In Hospital
DS: -
Kerusakan jaringan di
ujung tulang
DO:
Hematoma di kanal
medula
4 cm
- Pada
ekstremitas
paha
kanan
Peradangan (dolor,
kalor, rubor, tumor)
tampak
deformitas,
Kerusakan integritas
kulit
memar
- Hematom
paha
pada
tengah
kanan
4.
Pre Hospital
DS: DO: -
terlihat kebiruan
-
Kulit pucat
Dingin
Berkeringat
Ketidakefektifan
meningkat
perfusi jaringan
Edema serebral
TDL sistemik atau
hipoksia
Penghentian TD oleh
sol
dingin
In Hospital
Gangguan perfusi
jaringan
DS: -
DO: -
3.
Diagnosa Keperawatan
1.
2.
3.
4.
4.
No
1
Diagnosa Keperawatan
Noc
2.
3.
Nic
Airway management
1. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
2. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.
3. Aukultasi dan catat bunyi napas
4. Berikan oksigen .
Oksigen teraphy
1. Pertahankan jalan napas
2. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem
humedifien
3.
2.
risiko hipoksia
Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
b. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.
c.
3.
Ketidakefektifan perfusi
peningkatan TIK
Circulation precaution
1. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
2. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
3. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
4. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.
4.
mekanik
Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
kelembaban kulit .
c.
Circulation precaution
a. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
b. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
c. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
d. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
1. Identitas Klien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Tanggal Pengkajian
Diagnosa Medis
2. TRIAGE
P1
3. General Impression
4. Primary Survay
a.
Airway
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada
b. Breathing
Petugas penolong mengatakan klien terlihat kesulitan bernafas, respirasi
rate 40 x/menit.
c. Circulation
Nadi
CRT
Warna kulit
Perdarahan
Turgor kulit
Mukosa
d. Disability/Neurological
Respon
Kesadaran
e. Exposure
5. Secondary Survey
a. Anamnesis
1. KOMPAK
Keluhan
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri didada dan paha kanannya.
Obat
Tidak terdapat dalam kasus.
Makanan terakhir
Tidak terdapat dalam kasus.
Penyakit penyerta
Tidak terdapat dalam kasus.
Alergi
Tidak terdapat dalam kasus.
Kejadian
Suatu kecelakaan lalulintas sekitar 2 KM dari gerbang tol brebes,
sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak sebuah
pohon besar. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah, sopir
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Identitas supir tersebut
ialah seorang laki-laki 28 tahun. Melihat kecelakaan tersebut
masyarakat sekitar langsung menghubungi tim medis posko terdekat.
Ketika tim penolong datang klien tergeletak dan merintih, mengeluh
dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien sudah
dipindahkan ke pinggir jalan oleh warga.
2. Head to toe
Perubahan bentuk
Trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi. Pada pemeriksaan
thorak tampak gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal,
memar di sekitar dada kanan bawah sampai ke samping. Nyeri tekan
pada dada kanan bawah, sampai ke samping (lokasi memar),
krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi terdengar
kanan hiper sonor, kiri sonor. Terdengar bunyi napas kanan
melemah, bising napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar
jelas, cepat. Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas, memar,
hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Tumor
Tidak terdapat dalam kasus.
Luka
Luka lecet di dahi dan dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm.
Sakit
Pada ekstermitas paha kanan nyeri
3. Tanda-tanda vital
TD
Nadi
Suhu
Respirasi
A.
No
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
(Subjektif Objektif)
Pre Hospital
1.
DS:
b.
c.
2.
DS:
Risiko syok
DO:
a.
b.
Kulit pucat.
c.
Dingin
d.
Berkeringat dingin
e.
TD 90/50 mmHg
f.
Nadi 110x/menit.
g.
1.
DS:
DO:
a.
Multiple trauma
b.
c.
RR: 40x/menit.
d.
Nadi : 110x/menit.
e.
g.
Tension
kanan depan.
i.
udara tertahan
dilapisan pleura
gangguan pertukaran
gas
2.
DS: -
Multiple trauma
Risiko syok
DO:
a.
b.
Nadi: 110x/menit
kerusakan jaringan
paru
kolaps paru
gangguan ekspansi
paru
gangguan oksigenasi
hipoksia
Perdarahan pada
saluran napas
Saluran napas
tersumbat
Gangguan oksigenasi
Hipoksia
Resiko Syok
B.
C.
N
Noc
Nic
Rasional
o
1
1. Gangguan
gas
b.d
membran
alveolar
1.
Airway management
Buka jalan napas
thrust.
sehingga kebutuhan
oksigen terpenuhi.
normal :
ventilasi.
4.
b. Memelihara kebersihan
paru-paru dan bebas dari
Oksigen teraphy
tanda-tanda distress
pernafasan.
1.
1. Membantu jalan
masuknya udara ke paru
memaksimalkan potensi
a. Mendemostrasikan
Airway management
3.
Pertahankan jalan
napasmenggunakan NPA
2. Mempermudahkan jalan
nafas dan pernapasan.
3. Mengetahui nilai adakah
bunyi nafas tambahan.
4. Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.
Oksigen teraphy
2.
3.
1.
Meningkatkan rasa
Berikan oksigen
dan pernafasan.
menggunakan NRM
2.
Mempertahankan
sirkulasi oksigenasi pada
pasien.
3.
Memperbaiki status
oksigenasi pasien.
2.
risiko hipoksia
1.
Airway management
Buka jalan napas
1.
Airway management
Membantu jalan
thrust.
sehingga kebutuhan
oksigen terpenuhi.
memaksimalkan potensi
2.
Mempermudahkan jalan
ventilasi.
Shock severity :
3.
Aukultasi dan catat bunyi
1. m
napas.
e
4.
Berikan oksigen 12 LPM
n
g
i
Oksigen teraphy
d
1. e Pertahankan jalan napas.
2. n Atur peralatan oksigen dan
t
3. i
f
Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.
Oksigen teraphy
1.
Meningkatkan rasa
nyaman pada jalan nafas
dan pernafasan.
Berikan oksigen
menggunakan NRM
2.
Mempertahankan
pasien.
a
s
i
3.
Memperbaiki status
oksigenasi pasien.
f Circulation precaution
Circulation precaution
1.
Mengetahui tingkat
a
1.
k
t
o
r
2.
r
e
s
i
3.
k
m
e
n
4.
g
u
r
a
Lakukan penilian
komperhensif sirkulasi
keparahan sirkulasi
perifer(cek nadi
perifer pasien.
2.
brachial ankle).
tindakan IV
Mencegah terjadinya
3.
menghambat perfusi
jaringan.
untuk mencengah
peningkatan kekentalan
darah.
Berikan cairan RL yang
dihangatkan 40
Mencegah terjadinya
keparahan yang dialami.
i
k
a
n
s
t
r
a
t
e
g
i
p
e
n
g
e
n
d
a
l
i
a
n
r
i
s
i
k
o
y
a
n
g
e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.
1. m
e
n
g
i
d
e
n
t
i
f
i
k
a
s
i
f
a
k
t
o
r
r
m
e
n
g
u
r
a
i
k
a
n
s
t
r
a
t
e
g
i
p
e
n
g
e
n
d
a
l
i
a
n
r
i
s
i
k
y
a
n
g
e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.
teori
data
penunjang
yang
harus di
lakukan
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kecelakaan lalu lintas dari gerbang tol Brebes, mobil melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak sebuah pohon besar. Klien tergeletak dan
merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien
sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernapas, respirasi rate 40
x/menit, nadi 110 x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg, wajah dan bibir
terlihat kebiruan, kulit pucat, dingin, berkeringat dingin, GCS: 13 (E:3, M:6,
V:4).
Hasil pengkajian di IGD diperoleh data terdapat luka lecet di dahi dan
dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm, trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis
distensi. Pada pemeriksaan thorak tampak gerakan dinding dada asimetris,
kanan tertinggal, frekuensi napas 40x/menit, memar di sekitar dada kanan
bawah sampai ke samping. Terdengar bunyi napas kanan melemah, bising
napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi
110 x/menit. Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping
(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.
Pada pemeriksaan abdomen dinding perut datar, bising usus normal,
palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas,
memar, hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Dari data yang diperoleh klien mengalami multripel trauma yang
dapat menyebabkan tension pneumothoraks (udara di dalam rongga pleura).
Oleh karena itu tindakan yang dilakukan pemasangan neck collar setelah itu
buka jalan nafas dengan teknik chin lift, diberikan O2 dengan menggunakan
NRM (Non Rebreating Mask) 10 12 LPM, kemudian dilanjut dengan
memberikan cairan infus 2 jalur dengan cairan RL (Ringer Laktat) yang
dihangatkan 1-2 liter diguyur. Jangan lupa ambil sample darah untuk uji lab
Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam
keadaan darurat secara cepat dan tepat, perlu dilakukan prosedur primary
survey dan secondary survey yang dapat digunakan setiap hari. Dengan di
lengkapi buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk
klien.
DAFTAR PUSTAKA
Craig M.A, Beppler G.A, Santos C, Raffa R.B. 2005. A second (non genomic)
steroid
mechanism
of
action:
possible
opportunity
for
novel
Editorial
Open Access
of Emergency Medicine, Tabriz University of Medical Sciences, Daneshgah Street, Tabriz 51664, Iran
Traffic Injury Research Center, Tabriz University of Medical Sciences, Daneshgah Street, Tabriz 51664, Iran
*Corresponding
author: Farzad Rahmani, Assistant professor, Department of Emergency medicine, Tabriz University of Medical Sciences, Daneshgah Street, Tabriz
51664, Iran, Tel: 984113352078; E-mail: Rahmanif@tbzmed.ac.ir
Received date: April 24, 2014; Accepted date: April 26, 2014; Published date: April 30, 2014
Citation: Rahmani F (2014) Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in Multiple Trauma Patients. Emergency Med 4: e138. doi: 10.4172/2165-7548.1000e138
Copyright: 2014 Rahmani F, et al. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted
use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original author and source are credited.
Editorial
Accidents and traumas on the one hand can lead to physical and
psychological harm and on the other hand can lead to destruction of
capital and economic losses. Deaths from traffic injuries accounted the
highest rate of deaths due to unintentional injuries in the world.
Traumas caused by car accidents annually kill about 1.2 million people
and more than 50 million are injured or disabled due to these traumas.
Damage caused by the severe trauma can be minimized by rapid onset
of treatment and taking care of trauma patient. Most deaths caused by
trauma usually occur in the period before reaching the hospital or in
the early hours after the injury [1]. According to The World Health
Organization estimation, mortality and injury caused by vehicles in
2020 will be increased to 67% in the Middle East, North Africa and
Asia and a daily average of 23 people in the world will die [2].
Spine injuries involve 4.8% of injuries and the halves of them are
cervical spine injuries. Car accidents are the leading cause of these
injuries and after that falling from heights, injuries caused by gunshot
and sports injuries are the other causes of the injuries [3]. Criteria of
pre-hospital spinal immobilization have been transformed with the
development of emergency medical systems. Academy of Orthopaedic
Surgeons Committee of America emphasize on the symptoms of
potential damages of spinal cord [4]. Evaluation of the cervical spine
should be done in simultaneously with airway control and the neck
collar should be fastened for all patients [5]. According to ATLS
guidelines, for each multi trauma patient neck collar should be
fastened in the primary survey, simultaneously with checking of the
airway and subsequent imaging studies of the cervical spine injury
should be done at a later stage [6].
References
1. Khodadadi N, Babaei ZH, Charmi L, Alinia S, Asli A (2010) Epidmiology
2.
6.
Emergency Med
ISSN:2165-7548 EGM, an open access journal
3.
4.
5.
7.
8.
Citation:
Rahmani F, Soleimanpour H, Bakhtavar HE (2014) Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in Multiple Trauma Patients.
Emergency Med 4: e138. doi:10.4172/2165-7548.1000e138
Page 2 of 2
9. Bygrave S, Legg SJ, Myers S, Llewellyn M (2004) Effect of backpack fit on
Emergency Med
ISSN:2165-7548 EGM, an open access journal
12. Bygrave S, Legg SJ, Myers S, Llewellyn M (2004) Effect of backpack fit on
lung function. Ergonomics 47: 324-329.
RESEARCH RECHERCHE
Results: During the study period a total of 111 patients underwent chest decompression by NT. Most casualties (54%) were wounded as a result of gunshot wounds
(GSW); motor vehicle accidents (MVAs) were the second leading cause (16%). Most
(79%) NTs were performed at the point of injury, while the rest were performed during evacuation by ambulance or helicopter (13% and 4%, respectively). Decreased
breath sounds on the affected side were one of the most frequent clinical indications
for NT, recorded in 28% of cases. Decreased breath sounds were more common in
surviving than in nonsurviving patients. (37% v. 19%, p < 0.001). A chest tube was
installed on the field in 35 patients (32%), all after NT.
Correspondence to:
E. Glassberg
Trauma & Combat Medicine Branch
Surgeon Generals Headquarters,
Medical Corps
Israel Defense Forces
Ramat Gan, Israel
idf_trauma@idf.gov.il
DOI: 10.1503/cjs.012914
Methods: We reviewed the IDF trauma registry from January 1997 to October 2012
to identify all cases in which NT was attempted.
Conclusion: Standard NT has a high failure rate on the battlefield. Alternative meas
ures for chest decompression, such as the Vygon catheter, appear to be a feasible
alternative to conventional NT.
Contexte: La thoracotomie laiguille (TA) pour le pneumothorax sous tension sur
les lieux mmes du traumatisme peut sauver des vies. Des donnes rcentes ont mis en
doute lefficacit des dispositifs de TA classiques. Cest pourquoi le corps mdical de
larme isralienne (CMAI) a rcemment propos un cathter plus long, plus large et
plus rsistant pour dcomprimer rapidement le pneumothorax. Le prsent article
rsume lexprience du CMAI en matire de dcompression des pneumothorax au
moyen de la TA.
Mthodes: Nous avons pass en revue le registre des traumatismes de larme isralienne entre janvier 1997 et octobre 2012 pour relever tous les cas o une TA a t
tente.
Rsultats : Durant la priode de ltude 111 patients en tout ont subi une dcompression laide dune TA. La plupart des cas (54 %) rsultaient de blessures par
balles; les accidents de la route venaient au second rang (16 %). La plupart (79 %) des
TA ont t effectues sur les lieux, tandis que les autres ont t effectues durant
lvacuation par ambulance ou par hlicoptre (13 % et 4 %, respectivement).
Lattnuation des bruits respiratoires du ct affect tait lune des indications cliniques les plus frquentes de la TA, enregistre dans 28 % des cas. Lattnuation des
bruits respiratoires tait plus frquente chez les patients qui ont survcu (37 % c.
19 %, p < 0,001). Un drain thoracique a t install sur le terrain chez 35 patients
(32%), chaque fois aprs une TA.
Conclusion: La TA standard saccompagne dun taux dchec lev sur le champ de
bataille. Une autre mesure de dcompression, comme le cathter Vygon, semble tre
une solution de rechange envisageable la TA classique.
S118
RESEARCH
Methods
The IDF clinical practice guidelines for thoracic
injury.
The IDF-MC clinical practice guidelines (CPGs) concerning thoracic injury advocate a high index of suspicion for
TPTX in patients with thoracic injuries. Casualties sustaining a penetrating injury to the thorax presenting with
severe dyspnea, decreased oxygen saturation or hemodynamic compromise should undergo chest decompression.
Initial decompression is performed by NT; a TT is
installed if initial NT fails to improve the patients hemodynamic status or oxygen saturation. A TT should also be
installed following NT when casualty evacuation time to
the next echelon of care is expected to exceed 45 minutes
(Fig. 1). While the TCCC guidelines instruct the sealing of
S119
RECHERCHE
chest wounds using a vented chest seal,21 the IDF CPGs on
the management of thoracic injuries instruct thoracic
decompression as the mainstay of therapy for any casualty
with a thoracic injury prior to sealing the wound.
Needle decompression in the IDF
From 1997 to 2007, a 14-gauge angiocatheter inserted
into the second ICS in the midclavicular line was the
method of choice for NT. In 2007, the IDF-MC intro-
No
Yes
Yes
No
1.
2.
Casualty with chest injuries suffering loss of vital signs over the
course of resuscitation. (absent pulse and unmeasurable
blood pressure)
Yes
No
Tactical and clinical judgment considerations:
1.
2.
Mode of transportation
3.
4.
5.
6.
Yes
No
Continue treatment and evacuation with best medical escort (ALS
is preferred)
Chest decompression
*Signs of tension PTX are loss of breath sounds on the injured side,
provided the tracheal tube is correctly placed, plus signs of lifethreatening hemodynamic and respiratory compromise
Fig. 2. Algorithm for the treatment of chest injuries on the battlefield according to Israeli Defense Forces Medical Corps clinical practice guidelines. ALS = advanced life support; TT = tube thoracostomy.
S120
RESEARCH
a nterior chest wall at the second ICS in the midclavicular
line, penetrating the pleural cavity to relieve the TPTX.
The trocar is removed and the tube is firmly attached to
the chest by means of adhesive tape.
Study population
The IDF trauma registry is a prehospital military
trauma registry containing data on trauma casualties
(civilian or military) cared for by military medical teams.
Data are collected in the form of casualty cards. Cas
ualty cards are followed by a more comprehensive after
action medical debriefing. Hospital data are collected
directly from treating hospitals medical charts. All
available information is being integrated to the ITR at
the Combat and Trauma Medicine Branch at the Surgeon Generals headquarters.
We searched through the registry for records from January 1997 to October 2012 to identify all patients in whom
NT was attempted. We collected data on patient demographic characteristics, type of injury, vital signs, life-
saving procedures, number of NT attempts, success of NT
(subjective improvement after NT was recorded, yes v.
no), TT insertion, identity of caregiver, survival, iatrogenic
injuries and complications. Predefined signs and symptoms
of PTX were extracted from charts and assigned as NT
clinical indications.
Statistical analysis
Data were entered into a Microsoft Excel spreadsheet and
analyzed using JMP statistical software. We obtained
descriptive statistics for all variables. Continuous variables
are presented as means standard deviations with 95%
confidence intervals (CI). Categorical variables are presented as numbers and percentages where appropriate.
We compared categorical variables using the Fisher exact
test, and continuous variables were compared using the
Wilcoxon rank-sum test.
Results
During the study period, 4621 patients were recorded in
the IDF-MC database. A total of 111 (2.5%) of these
patients underwent NT as part of their treatment, making
up the study group. Seventeen (15%) patients underwent
bilateral decompression, and 26 (23%) required multiple
NT attempts on a single hemithorax. Thirty-five (32%)
patients had a chest tube placed in the field, all following
NT attempts.
The patients mean age was 21 (range 2025.5) years.
Most (101 of 111, 91%) patients were men.
Eighty-seven (78%) patients sustained penetrating
injuries, 21 (19%) were victims of blunt trauma, and in the
remaining 3 (3%) patients the mechanism of injury was not
% of injuries
Penetrating
78
Gunshot wounds
54
13
Fragmentation
Stab wounds
Blunt
3
19
16
Not specified
S121
RECHERCHE
(9%) and tourniquet application (6%). Twenty-six (23%)
patients did not receive additional advanced live-saving
procedures.
Prehospital NT was performed by military physicians in
44% of patients, by military paramedics in 9% and by civilian
emergency medical services (EMS) paramedics in conjunction with military medical teams (to soldiers and civilians
injured in areas with civilian EMS availability) in 12%.
Unfortunately, the care providers identities were not
recorded in 39 (35%) cases. Subjective patient improvement
was reported by military physicians in 41 (84%) casualties, by
military paramedics in 9 (90%) and by civilian EMS paramedics in 11 (85%). Despite the impressive clinical improvement, mortality remained surprisingly high in the military
physicians and military paramedics groups: 55% and 90%,
respectively. The lowest mortality (23%) was found in the
civilian EMS paramedics group (p = 0.007).
The catheter used for NT was a 14-gauge angiocatheter in
88 (79%) patients and a Vygon TT unit in 6 (5%) casualties,
all of whom were treated after 2007. For 16 (15%) patients
the documentation did not mention which type of device was
chosen, and in 1 (1%) patient both devices were used owing
to suspected failure of the 14-gauge angiocatheter.
Most (79%) cases of NT were performed at the point of
injury, and the rest were performed during transportation
on ambulance or helicopter (13% and 4% of the patients,
respectively). In 4 (4%) patients the location of chest
decompression was not specified.
No iatrogenic injuries or complications due to prehospital NT were reported.
Discussion
Classic hallmarks of TPTX include a variety of signs and
symptoms, the majority of which are nonsensitive and nonspecific.5 An analysis designed to assess the clinical presentation
guiding the decision to perform chest decompression in our
study population revealed decreased breath sound, absent
radial pulses and a low GCS to be the most common presentations. Unsurprisingly, decreased breath sounds as a clinical
presentation of TPTX was more common in patients who
survived their injuries than in patients who did not, whereas
depressed GCS (nonresponsiveness) and absent radial pulses
(both clinical indicators for decreased blood perfusion) were
more common in patients who died following their injuries.
This finding is probably indicative of the more deranged
physiology associated with a PTX that resulted in hemodynamic compromise. Tracheal deviation was not detected in
any of the casualties in this series, whereas dilated neck veins
were reported in only 7% of casualties. These 2 symptoms,
which were once considered hallmarks of TPTX, are no longer considered necessary for diagnosis as they appear infrequently in patients with TPTX and accordingly were not used
to instruct chest decompression in our series. Decreased level
of consciousness and hypotension as well as decreased oxygen
saturation, the second and third most prevalent indicators for
chest decompression in this series, are considered inconsistent
or even rare signs of TPTX23 and are thus less useful for its
diagnosis. However, as our series included a subset of patients
who required prehospital decompression of TPTX, these
findings, suggestive of a significant disturbed physiology, were
27%
17%
15%
7%
4%
0%
DBS
TD
ENV
LOS
SOB
DCE
U&APP
Fig. 3. Percentage of cases in which each clinical indication was used by flight surgeons to determine neddle decompression (NT) or tube thoracostomy treatment. Specific indications include decreased breath
sounds (DBS) on 1 side, tracheal deviation (TD), engorged neck veins (ENV), low oxygen saturation (LOS),
shortness of breath (SOB), decreased chest expansion (DCE) and unconsciousness and absent peripheral
pulse (U&APP).
S122
RESEARCH
more frequent than other symptoms indicating chest decompression. This finding is consistent with the IDF-MC CPGs
for thoracic injuries that instruct NT or CD in casualties with
thoracic injuries who present with hemodynamic compromise
or decreased oxygen saturation.
Current CPGs use a wide variety of indications for NT,
which inevitably results in chest decompression performed on
patients who do not necessarily have TPTX. While the presented data support the possibility to narrow the spectrum of
signs and symptoms used to diagnose TPTX, the IDF CPGs
were not altered owing to the assumption that overdiagnosis
and treatment of TPTX is preferable to underdiagnosis.
A mean ISS of 31 in the present series suggests a cohort
of severely injured patients. This is unsurprising considering
the relatively high rate of GSW-related injuries, specifically
when considering that in a military population the majority
of GSWs are the result of high-velocity weapons. Postmortem examinations in Israel are rarely performed, mainly
because of religious considerations; it is therefore difficult to
determine cause of death. However, considering the high
mean ISS and the fact that in 77% of patients NT was not
the only life-saving intervention performed, it is reasonable
to assume that injuries other than TPTX contributed substantially to the high mortality.
Despite a substantial failure rate,7,24-26 NT can relieve
intrapleural pressure and rapidly change a tension to a simple PTX, allowing time to prepare for TT.
In Israel, NT is the only procedure that EMS paramedics are allowed to perform in the civilian environment to
treat a suspected TPTX. However, military paramedics are
trained and authorized to insert a CD, according to phys
ician instruction, following an unsuccessful NT.
In the present series, medical providers reported a clinical
improvement in the patient respiratory status following NT
in 83% of surviving patients and in 86% of the patients who
Evacuation priority of NT patients
Dead on scene
3%
Limitations
Nonurgent
9%
Not specified
21%
Urgent
67%
Conclusion
We have described our experience with standard NT and
our preliminary results using Vygon TT in patients with
Can J Surg, Vol. 58 (Issue 3 Suppl 3) June 2015
S123
RECHERCHE
suspected TPTX. Standard NT has many limitations, while
NT using a Vygon catheter offers a potentially safe and reasonable alternative. It does not require advanced surgical skill
or training and can be inserted efficiently and safely by
ATLS providers. This device should become an accepted
part of the military emergency care tool kit. Further pro
spective studies should be performed to substantiate the efficacy and theoretical advantages of the Vygon TT unit over a
14-gauge angiocatheter.
Affiliations: From the IDF Medical Corps, Israel (Chen, Nadler,
Schwartz, Glassberg); Department of Surgery, Rabin Medical Center,
Beilinson Campus, Petach Tikva, Sackler Faculty of Medicine, Tel Aviv
University, Tel Aviv, Israel (Chen); Department of Emergency Medicine,
Ben Gurion University of the Negev, Beer Sheva, Israel (Schwartz); US
Army Institute of Surgical Research, Fort Sam, Houston, Texas (Chen,
Cap); Canadian Armed Forces (Tien); and Sunnybrook Health Sciences
Centre, University of Toronto, Toronto, Ont. (Tien).
Competing interests: None declared.
Contributors: J. Chen designed the study. J. Chen and R. Nadler acquired
the data, which all authors analyzed. J. Chen, A. Cap and E. Glassberg
wrote the article, which all authors reviewed and approved for publication.
References
1. Eastridge BJ, Mabry RL, Seguin P, et al. Death on the battlefield (20012011): implications for the future of combat casualty care. J Trauma
Acute Care Surg 2012;73(Suppl 5):S431-7.
2. McPherson JJ, Feigin DS, Bellamy RF. Prevalence of tension pneumothorax in fatally wounded combat casualties. J Trauma 2006;60:573-8.
3. Kaufmann CR. Initial assessment and management. 6th ed: McGraw-Hill
Medical; 2008.
4. Ball CG, Wyrzykowski AD, Kirkpatrick AW, et al. Thoracic needle
decompression for tension pneumothorax: clinical correlation with
catheter length. Can J Surg 2010;53:184-8.
5. American College of Surgeons. Advanced trauma life support for doctors.
8th ed: American College of Surgeons; 2008.
6. Dominguez KM, Ekeh AP, Tchorz KM, et al. Is routine tube thoracostomy necessary after prehospital needle decompression for tension
pneumothorax? Am J Surg 2013;205:329-32.
7. Cullinane DC, Morris JA Jr, Bass JG, et al. Needle thoracostomy
may not be indicated in the trauma patient. Injury 2001;32:749-52.
8. Cantwell K, Burgess S, Patrick I, et al. Improvement in the prehospital recognition of tension pneumothorax: the effect of a change to
paramedic guidelines and education. Injury 2014:45;71-6
9. Stevens RL, Rochester AA, Busko J, et al. Needle thoracostomy for tension pneumothorax: failure predicted by chest computed tomography.
Prehosp Emerg Care 2009;13:14-7.
10. Akoglu H, Akoglu EU, Evman S, et al. Determination of the appropriate
catheter length and place for needle thoracostomy by using computed
tomography scans of pneumothorax patients. Injury 2013;44:1177-82.
11. Yamagiwa T, Morita S, Yamamoto R, et al. Determination of the
appropriate catheter length for needle thoracostomy by using computed tomography scans of trauma patients in Japan. Injury 2012;43:
42-5.
12. Inaba K, Ives C, McClure K, et al. Radiologic evaluation of alternative sites for needle decompression of tension pneumothorax. Arch
Surg 2012;147:813-8.
13. Harcke HT, Pearse LA, Levy AD, et al. Chest wall thickness in military
personnel: implications for needle thoracentesis in tension pneumo
thorax. Mil Med 2007;172:1260-3.
14. Inaba K, Branco BC, Eckstein M, et al. Optimal positioning for emergent needle thoracostomy: a cadaver-based study. J Trauma 2011;71:
1099-103.
15. Blaivas M. Inadequate needle thoracostomy rate in the prehospital set-
S124
Open fraktur
humerus dextra
Fraktur klavikula
dextra
Close fraktur
femur dextra
Multiple trauma
Trauma pada
dada
Trauma dada
Kerusakan pleura
paru
Kerusakan
jaringan paru
Tension
Tekanan dalam
pleura meningkat
Udara tertahan
dilapisan pleura
Kolaps paru
Gangguan
ekspansi paru
Hipoksia
a
Resiko syok
Trauma Kepala
Cedera
jaringan otak
Kerusakan
neuromuskular
Obstruksi
trakeobronkial
Pola napas tidak
efektif
Tauma abdomen
Trauma abdomen
Fraktur ekstremitas
Penurunan perfusi
pada ginjal
Penekanan
langsung pada
pusat muntah
Tulang patah
Jumlah urine
menurun
Retensi cairan
meningkat
Ketidak seimbangan
volume cairan
Muntah proyektil
Ujung-ujung
patah tulang
bergeser satu
sama lain
krepitasi
Gangguan
pertukaran gas
Perdarahan di periosteum
Hireremi
(peningkatan volume darah,
peningkatan permeabilitas
kapiler, vasodilatasi arterial)
Kejang
kekacauan mental
Resiko cidera
Tekanan intra
kranial (TIK)
meningkat
Perubahan motorik
dan sensorik
Kerusakan persepsi
atau kognitif
Penurunan kerusakan
atau tahanan
Disorientasi terhadap
tempat atau waktu dan
orang
Perub. Pola komunikaso
Perub. Pola perilaku
propiosepsi
Perubahan
persepsi Sensori
Tingkat kesadaran
menurun
Hambatan
mobilitas fisik
Nyeri akut
Perubahan perfusi
jaringan serebral
Edema serebral
Kelemahan otot
Tidak mampu
mencerna
Penghentian TD
oleh sol
Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
Muntah proyektil
Tidak mampu
bergerak
sesuai tuju
Respon
peradangan
Perubahan perfusi
jaringan serebral
Patologis otak
Peningkatan
vasokomiksi tubuh
kejang
Darah lebih
ke paru
Oedem pulmonal
I.
(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.Pada pemeriksaan abdomen dinding
perut datar, bising usus normal, palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas
paha kanan tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kanan,
nyeri tekan, ROM pasif; limitasi gerakan, aktif; limitasi gerakan.
II.
TUGAS MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas, mahasiswa membahas
dan menganalisis kasus tersebut dengan kelompok, dipimpin oleh ketua
dan yang mencatat adalah sekretaris.
2. Melakukan
aktivitas
pembelajaran
individual
di
kelas
dengan
pada
fasilitator
yang
telah
ditetapkan,
sebagai
IV.
PENJELASAN
1. Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi
yang diperlukan untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6
bisa diulangi dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7.
2. Selanjutnya, langkah di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial dan
setelah informasi dirasa cukup dilakukan langkah nomor 8.
STEP I
KATA KUNCI
I.
II.
dapat
diartikan
sebagai
tiap
kejadian
yang
tidak
2. IGD
Prinsip Umum
a. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat
yang memiliki kemampuan : (Kemenkes, 2009)
b. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat,
melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving).
c. Formulir 2
d. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat
memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam
seminggu.
e. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di
rumah sakit diseragamkan menjadi INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD).
f. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat
menangani kasus gawat darurat.
g. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit
setelah sampai di IGD.
h. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan pada
organisasi multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi, dengan
unsur
pelaksana,
yang
bertanggung
jawab
dalam
PERSYARATAN SARANA
Persyaratan Fisik Bangunan :
1. Luas bangunan IGD disesuaikan dengan beban kerja RS dengan
memperhitungkan kemungkinan penanganan korban massal /
bencana.
2. Lokasi gedung harus berada dibagian depan RS, mudah
dijangkau oleh masyarakat dengan tanda-tanda yang jelas dari
dalam dan luar Rumah Sakit.
4. Dada sesak
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh
yang sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan
tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering
menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak
dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah
atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya
utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan
dalam dan tusukan terhadap organ (Black & Hawks, 2009).
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan
goresan yang dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka
dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi (tumpul). Luka dada
penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi
keempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan
mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat
menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain
(Black & Hawks, 2009).
Sesak adalah pernafasan yang sukar (Corwin, 2009). Distres nafas
(sesak) dapat disebabkan oleh: Fraktura iga atau flail chest,
pneumotoraks, pneumotoraks tension, hemotoraks, kontusio paru,
penumotoraks terbuka, aspirasi (Black & Hawks, 2009).
5. Luka lecet
Luka lecet adalah luka yang terjadi di permukaan kulit saja, tanpa
mengakibatkan robekan ke lapisan kulit yang lebih dalam. Luka
lecet disebut juga luka permukaan (superfisial), atau vulnus laserasi atau
laseratum di dunia medis (Mansjoer, 2008).
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya
pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur aspal jalan, atau
6. Nyeri tekan
Perasaaan tidak enak (menderita) akibat rangsangan ujung sarafsaraf khusus (Black & Hawks, 2009). Nyeri timbul karena rangsangan
(mekanik, termal atau kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di
hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk
impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di
proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk
persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami) (Corwin, 2009).
7. Cemas
Perasaan ketakutan tanpa stimulus yang jelas, berkaitan dengan
perubahan fisiologis (takhikardia, berkeringat, dan lain-lain) (Tarwoto &
Wartonah, 2011).
Gangguan kecemasan dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan
kimiawi dalam tubuh. Gejala-gejala kecemasan yang bersifat fisik
diantaranya adalah : jari tangan dingin, detak jantung makin cepat,
berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak
nyenyak, dada sesak (Mansjoer, 2008).
Letargi), yaitu
kesadaran
menurun,
terdorong
(deviasi
trakea) menjauhi
paru
yang
11. Terdengar bunyi nafas kanan melemah, suara nafas kiri terdengar
jelas
a. Keadaan normal bunyi nafas kiri dan kanan sama.
b. Interpretasi terjadi gangguan ventilasi (penurunan bunyi nafas
pada daerah trauma).
Auskultasi:
1) Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat
masuk antara 2 iga (dalam ruang antar iga). Urutan pemeriksaan
seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus
pernapasan (inspirasi-ekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada
tempat simetris (Bickely, 2009).
2) Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari
ekspirasi.
Penjelasan
serta
perpanjangan
fase
ekspirasi
13. Krepitasi
Krepitasi tulang adalah suara-suara yang dihasilkan oleh gesekangesekan dari segmen-segmen tulang (Black & Hawks, 2009).
a. Keadaan normal tidak ada krepitasi
b. Interpretasi fraktur costae
14. Saat perkusi terdengar hipersonor
Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan
menentukan kualitas jaringan paru-paru. Perkusi dapat cara : (direk:
langsung mengetuk dada atau iga-cara klasik Auenbrugger) atau indirek:
ketukan pada jari kiri yang bertindak sebagai plessimeter oleh jari
kanan. Di bagian depan mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah,
demikian juga pada bagian belakang dada. Ketukan perkusi dapat keras
atau lemah. Makin keras makin dalam suara dapat tertembus.
Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan parunya mulai menipis,
b.
15. Deformitas
Deformitas musculoskeletal adalah kelainan dan trauma pada
sistem muskuloskeletal yang bermanifestasi dari bentuk yang abnormal
dari ekstremitas atau batang tubuh. (Sudoyo, 2006). Deformitas yang
dapat terjadi pada tulang:
a. Ketidaksejajaran tulang (loss of alignment)
Tulang panjang dapat mengalami gangguan dalam kesejajaran
(alignment) karena terjadi deformitas torsional atau deformitas
angulasi.
b. Abnormalitas panjang tulang (abnormal length)
Kelainan panjang pada tulang dapat berupa tulang memendek/
menghilang sama sekali atau panjangnya melebihi normal.
c. Pertumbuhan abnormal tulang (bony outgrowth)
Abnormalitas pertumbuhan tulang dapat terjadi akibat adanya
kelainan pada tulang, misalnya osteoma atau ostekondroma.
(Sudoyo, 2006).
16. Hematoma
Hematoma adalah kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh
darah (Corwin, 2009). Kumpulan darah ini bisa berukuran setitik kecil,
tapi bisa juga berukuran besar dan menyebabkan pembengkakan.
Hematoma dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja. Darah yang
keluar dari pembuluh darah bisa menyebabkan rasa nyeri pada jaringan
sekitarnya dan muncul gejala peradangan atau inflamasi. Tapi jika
pembuluh darah terkena tekanan hebat, dan kerusakan dinding
pembuluh darah luas, maka darah akan selalu bocor melalui dinding
pembuluh yang rusak (perdarahan lebih lama). Darah yang keluar terus
menerus akan membuat hematoma semakin membesar. Penyebab umum
terjadinya hematoma adalah trauma atau cedera. Trauma atau cedera
yang terjadi bisa disebabkan karena kecelakaan, terjatuh, cedera kepala,
patah tulang. luka tembak, bersin yang terlampau keras, atau terkilirnya
lengan dan kaki (Black & Hawks, 2009).
persendian
secara
normal
dan
lengkap
untuk
meningkatkan massa otot dan tonus otot (Black & Hawks, 2009). ROM
Aktif adalah kontraksi otot secara aktif melawan gaya gravitasi seperti
mengangkat tungkai dalam posisi lurus. ROM Pasif yaitu gerakan otot
klien yang dilakukan oleh orang lain dengan bantuan oleh klien.
a. Indikasi ROM Aktif
1) Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif
dan menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan atau
tidak.
2) Pada saat pasien memiliki kelemahan otot dan tidak dapat
menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan AAROM
(Active-Assistive ROM, adalah jenis ROM Aktif yang mana
bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual
atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan
bantuan untuk menyelesaikan gerakan).
3) ROM Aktif dapat digunakan untuk program latihan aerobik.
4) ROM Aktif digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas diatas
dan dibawah daerah yang tidak dapat bergerak (Carpenito,
2009).
b. Indikasi ROM Pasif
1) Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut yang
apabila dilakukan pergerakan aktif akan menghambat proses
penyembuhan.
2) Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk
bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya keadaan
koma, kelumpuhan atau bed rest total (Carpenito, 2009).
c. Kontraindikasi ROM
Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan
ROM menurut Carpenito (2009) yaitu: Latihan ROM tidak boleh
diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan
STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH
1.
2.
3.
4.
STEP 3
ANALISIS MASALAH
5. bangunan
Cidera
Berdasarkan
konsep
Trias
Epidemiologi,
bila
terdapat
2.
Kita semua sadar akan ungkapan Accidents dont just happen, they are
caused. Kecelakaan tidak begitu saja terjadi, tetapi ada penyebabnya.
Dipandang sudut epidemiologi, kecelakaan adalah suatu kejadian sebagai
akibat dari interaksi antara 3 komponen, yaitu: agent (penyebab), host
(penerima), dan environment (lingkungan).
a. Agent:
Pada suatu penyakit tertentu, terutama pada penyakit menular
penyebabnya dapat merupakan bakteri tunggal (agent). Lain halnya dengan
kecelakaan; dijumpai sedikit kesulitan karena sejumlah faktor penyebab ikut
serta dalam menentukan terjadinya kecelakaan (multipel). Pada kecelakaan
lalu lintas penyebabnya dapat terletak pada:
(1) keadaan jalan, (2) keadaan kendaraan, (3) pengemudi kendaraan dan
sebagainya. Cidera atau kematian terjadi serentak dengan kecelakaan atau
dalam waktu yang sangat pendek.
b. Host:
Host adalah orang yang mengalami cidera atau kematian pada suatu
kecelakaan. Faktor host adalah elemen intrinsik yang mempengaruhi
kerentanan (susceptibility) terhadap penyebabnya (agent). Untuk menetukan
host mana yang rentan perlu diteliti karakter host tersebut seperti umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Terdapat perbedaan
yang nyata pada bentuk kecelakaan yang menimpa seseorang. Cidera karena
keracunaan merupakan masalah anak kecil dan angka kematian akibat
kecelakaan lalu lintas adalah tinggi pada remaja dan lebih tinggi pada lakilaki daripada wanita.
c. Environment:
3.
b. Primary
survey:
airway,
breathing,
circulation,
disability,
exposure.
1) Airway
Nilai jalan nafas: tidak ada obstruksi (pasien dapat bicara,
mengeluh daerah sakit), gerakan udara pada hidung, mulut,
pergerakan dada bersihkan jalan nafas dari darah (Maryuani
Anik, 2009).
2) Breathing
Nilai ventilasi dan oksigenasi, buka leher dan dada, observasi
perubahan
pola
pernapasan:
tentukan
laju
dan
dalam
4.
Kemungkinan penyebab:
a. Sesak nafas kardiak
b. Obstruksi jalan nafas
c. Sesak nafas pada prenkim paru difus
d. Emboli paru
e. Kelainan vaskular
f. Gangguan transport oksigen
g. Kelainan pleura dan mediastinum (pneumotoraks, hemotoraks, tension
pneumotoraks) (Budiyanto, 2007).
h. Fraktur pada costae
Mekanisme pada kasus:
Kecelakaan lalu lintas dada membentur stir dan dashboard trauma
tumpul rongga toraks Fraktur costae 9,10,11 udara dari dalam paru
bocor ke dalam rongga pleura udara tidak dapat keluar dari pleura
(fenomena ventil) tekanan dalam pleura meningkat paru kolaps
mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam
rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak
dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura akan
meningkatkan dan melibihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal nafas. (Guyton, 2006 )
STEP 4
MIND MAPPING
Kecelakaan lalu
lintas
KERANGKA
KONSEP
Multipel
trauma
Fraktur femur
Tekanan
saraf di
daerah femur
Kontusio
paru
Tulang coste menusuk
pleura dan parenkim paru
Rangsangan
nosiseptor di
pleura parietal
Nyeri di dada
kanan
- terdapat krepitasi
- tampak deformitas
-limitasi gerakan
(aktif dan pasif)
Nyeri
tekan di
paha
Pembuluh darah
pecah
Memar
tekanan intrapleura
Paru-paru
kolaps
Mediastinum
terdorong ke sisi yang
sehat
Hambatan
venous
retrun
Deviasi
trakea ke kiri
JVP
Hipotensi
CO 2
Syok
Hematom
KERANGKA TEORI
(MIND MAPPING)
Definisi:
Multipel trauma adalah istilah medis yang
menggambarkan kondisi seseorang yang telah
mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang
serius (Lammichane, P.,2011).
Etiologi:
Benda tajam, benda
tumpul, atau peluru
(Lammichane, 2011).
Manifestasi Klinis:
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Nyeri
g. Pendarahan
h. Penurunan kesadaran
i. Sesak
(Scheets, 2002).
MULTIPEL
TRAUMA
Web Of Caution
(Terlampir)
Komplikasi:
Hemoragi dan cedera kepala, penyebab
lambat kematian (dalam 3 hari): sepsis.
Tn.L
(28 Tahun)
Tata Laksana:
Evdence Based: Analisa Jurnal
1. jurnal teori
2. jurnal kasus
STEP 5
LEARNING OBJEKTIF
STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN
A.
Jurnal Teori
1. Identitas Jurnal
Judul
Peneliti
Tahun
Penerbit
: 2014
: Emergency Medicine: Open Access.
2. Isi Jurnal
Kecelakaan dan trauma dapat menyebabkan kerusakan fisik,
psikologis dan disisi lain dapat menyebabkan kerusakan modal dan
kerugian ekonomi. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebagai
tingkat tertinggi kematian akibat cedera yang tidak disengaja di
dunia. Trauma yang disebabkan oleh kecelakaan mobil setiap
tahunnya membunuh sekitar 1,2 juta orang dan lebih dari 50 juta
terluka atau cacat akibat trauma tersebut. Kerusakan yang
disebabkan oleh trauma berat dapat diminimalkan dengan onset
pengobatan yang cepat dan dengan segera merawat pasien trauma.
Sebagian besar kematian disebabkan oleh trauma, biasanya terjadi
pada saat sebelum mencapai rumah sakit atau pada jam-jam awal
setelah cedera.
Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
kematian dan cedera yang disebabkan oleh kendaraan pada tahun
2020 akan meningkat menjadi 67% di Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia dan rata-rata harian dari 23 orang mati di dunia.
Menurut pedoman ATLS, untuk setiap multi-trauma, leher
pasien di pasang neck collar dalam primary primer, bersamaan
dengan pemeriksaan jalan napas.
Tampaknya sebagian besar pasien dengan cervical collar
mengeluhkan
sesak
napas
dan
memiliki
keinginan
untuk
B. Jurnal Kasus
1. Identitas Jurnal
Judul
Peneliti
Tahun
: 2015
Penerbit
: PubMed
2. Isi Jurnal
Tension pneumotoraks adalah kondisi yang mengancam jiwa,
yang menghasilkan perubahan hemodinamik, seperti tekanan
intratorak meningkat dan mengganggu aliran balik vena ke atrium
kanan. Tension pneumotoraks disebabkan oleh penumpukan
progresif udara dalam rongga pleura, dan ventilasi tekanan positif
dapat mempercepat proses ini, yang dapat mengakibatkan traumatis.
Needle Tthoracostomy (NT) berpotensi menyelamatkan nyawa pada
tension pneumothorax. Prehospital needle thoracostomy dilakukan
oleh dokter dan paramedis militer atas instruksi dokter di Israel.
The ATLS merekomendasikan bahwa needle thoracostomy
harus dilakukan di ruang intercostal kedua (ICS) di linea. Jarum
direkomendasikan saat ini digunakan untuk dekompresi adalah
angiocatheter 14-gauge.
Pada jurnal
ini
tindakan
needle
STEP 7
LAPORAN PENDAHULAN
(Terlampir)
A. Latar Belakang
Multipel trauma merupakan istilah medis yang menggambarkan
kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang serius.Multipel trauma atau
politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal
pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al.,
2011). Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di
empat dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World
Health Organization) menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan
sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas di
seluruh dunia selama tahun 2011. Sementara di indonesia tahun 2016
jumlah kecelakaan pemudik tercatat sebanyak 1.289 kasus (Kemenhub,
RI).
Oleh sebab itu maka makalah ini akan membahas tentang multipel
trauma serta asuhan keperawatan yang diberikan pada kasus-kasus
multipel trauma.
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan laporan ini akan dibahas mengenai laporan
seven jump kasus 3 pada Keperawatan Gawat Darurat dengan klien
Multipel Trauma
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep teori dan kasus mengenai asuhan
keperawatan pada klien Gawat Darurat dengan multipel trauma serta
kesenjangan antara teori dengan kasus tersebut.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui Definisi Multipel Trauma
b. Untuk Mengetahui Etiologi Multipel Trauma
c. Untuk mengetahui manifestasi Multipel Trauma
d. Untuk
mengetahui
pemeriksaan
penunjang
Multipel
Trauma
e. Untuk mengetahui patofisiologi Multipel Trauma
f. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara teori
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara kasus
h. Untuk mengetahui kesenjangan antara asuhan keperawatan
teori dengan asuhan keperawatan kasus yang di alami klien.
D. Manfaat
1.
Mahasiswa
Diharapkan mahasisiwa/i dapat mengerti dan memahami
tentang keperawatan gawat darurat sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan pada klien yang mengalami Multipel Trauma
2.
Masyarakat
Diharapkan masyarakat mengerti dan memahami tanda dan
gejala dari Multipel Trauma sehingga menambah wawasan dan
pengetahuan.
3.
Tenaga Kesehatan
Diharapkan tenaga kesehatan mengerti dan memahami
tentang penanganan Multipel Trauma sehingga dapat melakukan
pencegahan dan penatalaksanaan pada klien yang mengalami
Multipel Trauma.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Definisi
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi
seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera
kepala serius selain luka bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma
adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio
atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan
memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial
dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et all., 2011).
B.
Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam,benda tumpul,atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ
apa yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui
biomekanik terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari
luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh
benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia.
Akibat cedera ini dapat menybabkan cedera muskuloskletal,dan kerusakan
organ. (Lamichhane P, et all., 2011).
C.
Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, yaitu:
1. Trauma tumpul
a. Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.
b. Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak.
c. Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat
(karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis).
d. Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan.
2. Trauma tajam
a. Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan
senapan.
system retroperitoneal.
c. Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami
kerusakan.
d. Luka tusukan mungkin akan menembus dinding peritoneum dan
senapan
selalu
membutuhkan
pembedahan
dan
D.
Patofisioogi
Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada
tubuh penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut
menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif
tubuh untuk mengeliminasi jaringan yang rusak serta untuk mengeliminasi
jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006).
Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling
berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin
(tumor
necrosis
faktor-),
interleukins,
interferons,
leukotrienes,
dan
adaptive
untuk
menghancurkan
mikroorganisme
yang
Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar, ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda Bruit (bunyi abnormal pada auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis).
7. Nyeri.
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal.
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal.
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis.
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe. (Lamichhane P,
et all., 2011).
F.
Komplikasi
1.
2.
penyembuhan
dan
menghindari
kekambuhan.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Trauma Tumpul
a.
2)
3)
4)
5)
6)
membesar.
Adanya
aspirasi
darah
segar,
isi
akurat
dan
murah
untuk
mendeteksi
2.
Trauma Tajam
a.
b.
H.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
c. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam.
d. Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik
yang
abnormal,
rontgen
foto
thorax
tegak
pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka
tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya
udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
2.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah
itu sendiri.
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin.
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
d. Koagulasi : PT, PTT
e. MRI
f. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic.
g. CT Scan
h. Radiograf
dada
mengindikasikan
peningkatan
diafragma,
Tabrakan depan
Pola jaring laba-laba atau pola Patah tulang belakang daerah serviks,
bulls eye pada kaca depan.
trauma wajah.
Tabrakan samping
Kontak kepala dengan jendela Patah tulang belakang daerah serviks,
samping.
cedera kepala.
Pintu
terdorong
ke
penumpang.
Skor
Total Skor
Numerik
Persentase
Pasien
Selamat (%)
76-89
50-75
1-49
Laju pernapasan
12
99,5
11
96,9
10
87,9
76,6
66,7
63,6
63
45,5
3 atau 4
33,3
28,6
25
3,7
>29
6-9
1-5
9-12
6-8
4-5
Penilaian
Kemungkinan
Intervensi
A Airway/Saluran
pernapasan
Dengarkan suara
terbuka/tersumbat?
Cari serpihan benda-
Buka saluran
pernapasan
menggunakan chin-
benda, darah,
modified jaw-thrust.
asing.
Bersihkan saluran
pernapasan, sedot dan
bersihkan dari bendabenda asing.
Berikan saluran
pernapasan buatan:
saluran pernapasan
orofaring atau
nasofaring, intubasi
trakea, atau saluran
pernapasan lewat
proses bedah.
Breathing/
pernapasan
Amati respirasi
Berikan oksigen
spontan, chest
melalui non-
kedalaman respirasi,
rebreather mask.
penempatan saluran
napas lewat proses
bedah.
C Circulation/
Sirkulasi
Cari pendarahan
yang tampak jelas.
Periksa kulit untuk
warna, suhu,
Lakukan penekanan/
letakkan luka di posisi
yang lebih tinggi.
Masukkan dua atau
kelembapan, dan
bore intravenous.
D Disability/
Ketidakmampuan
Periksa akondisi
neurologis
mengalami hipotensif
menggunakan
atau hipoksia.
mnemonic AVPU.
Periksa pupil,
simetris atau tidak,
dan reaksi terhadap
cahaya.
kondisi tulang
belakang.
Pertimbangkan
pemberian manitol,
tindakan untuk
memperbaiki laju
pembuluh vena dari
otak, pembedahan
atau hiperventilasi
singkat.
Exposure
Berikan penghangat
environmental
(Pemaparan
dan
tubuh.
Lingkungan)
F
five
interventions, and
family presence
Dapatkan data-data
vital.
Nilai kebutuhan
psikologis pasien
dan keluarga.
Mulai pengawasan
kardiak berkelanjutan
dan saturasi oksigen.
Pertimbangkan untuk
memasukkan pipa
nasogastrik atau
orogastrik dan kateter
saluran urine.
G Give
measures
History
H
Dapatkan informasi
medis.
darurat.
Head-to-toe
Lakukan pemeriksaan
examination
I.
Penatalaksanaan
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif,
dan mengontrol pendarahan. (Lamichhane P, et all., 2011).
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak
morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.
Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah
besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan
jumlah pasien yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian
terjadi dalam hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian
dalam periode ini terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau
pendarahan yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada
solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang diterima
dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera sangat penting
untuk mempertahankan nyawa pasien.
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma
Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary
survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada
jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi
beberapa hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode ini
memerlukan
tindakan
dari
tim
yang
terkoordinasi
untuk
Primary Survey
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan
survei sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan
menyediakan metode perawatan individu yang mengalami multiple
trauma secara konsisten dan menjaga tim agar tetap terfokus pada
prioritas perawatan. Masalah-masalah yang mengancam nyawa terkait
jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran pasien
diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan
menit sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi
mengancam nyawa seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest,
dan pendarahan dapat dideteksi melalui survei primer. Ketika kondisi
yang mengancam nyawa telah diketahui, maka dapat segera dilakukan
intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi pasien. Pada survei
primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang
bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E: Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol
lingkungan). (Lamichhane P, et all., 2011).
A : Airway (Jalan Napas)
secara
langsung
sesudah
trauma,
hipotermia,
apabila
dilakukan
needle
thoracentesis
dan
pericardiocentesis.
c. Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit
basah,
pucat,
sianosis,
atau
bintik-bintik
mungkin
juga
adanya
penggelembungan
atau
nadi.
Penurunan
tekanan
nadi
ini
terutama
hemostatic
plugs
yang
terbentuk
untuk
Secondary Survey
Presence
(Tanda-tanda
vital,
intervensi,
dan
e. Pasang oksimetri.
Facilitation of Family Presence (Memfasilitasi Kehadiran Keluarga)
Memfasilitasi
kehadiran
keluarga
berarti
memberikan
intervensi
didapatkan
dari
petugas
EMS.
Untuk
mata,
serta
periksa
juga
fungsi
ketajaman
Dada (Chest)
Periksa dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan,
perubahan bentuk, trauma penetrasi atau luka lain, lakukan
auskultasi jantung dan paru-paru. Palpasi dada untuk mencari
perubahan bentuk, udara di bawah kulit dan area lebam/jejas.
Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
Pelvis (Panggul)
Periksa panggul untuk mengetahui adanya pendarahan, lebam,
jejas, perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki,
periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita periksa adanya
pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah,
Ekstremitas (Extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan
bentuk, dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka
lain. Periksa sensorik-motorik dan kondisi neurovaskular pada
masing-masing ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui
adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidaknormalan suhu. Jika
ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovaskular
distal secara teratur dan sistematis. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan Xrays pada ekstremitas yang mengalami gangguan. Intervensi
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Balut bidai.
b. Perawatan luka.
(Lamichhane P, et all., 2011).
I : Inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian
Belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam
kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini
membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim
menilai keadaan posterior pasien dengan mencari tanda-tanda
J.
Pengkajian
a. Pengkajian primer
Airway (jalan nafas)
Pemeriksaan jalan napas pada pasien multi trauma merupakan
prioritas utama. Usaha untuk kelancaran jalan nafas harus di
lakukan dengan cara clin lift atau jaw thrust secara manual untuk
membuka jalan nafas.
Breathing (dan ventilasi)
GCS,dan
ukur
reaksi
pupil
serta
tanda-tanda
vital.
Dada
1) Inpeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan
dan untuk kesimetriasan pergerakan.
2) Catat adanya segmen flailchest
3) Cek adanya fraktur iga padengan melakukan penekanan pada
tulang iga pada posisi lateral, lalu anterior dan posterior;
manufer ini menyebabkan nyeri pada pasien dengan fraktur iga
4) Catat keluhan pasien akan nyeri,dispnea,atau sensasi dada
terasa berat
5) Catat memar,pendarahan ,luka atau emfisema subkutaneus
6) Auskultasi paru utuk kualitas dan kesemetrisan bunyi napas.
Abdomen
1) Catat adanya distensi ,perdarahan , memar, atau abrasi ,
khususnya di sekitar organ vital seperti limpa atau hati
2) Auskultasi abdomen utuk bising usus sebelum mempalpasi
mengkaji secara benar.
(Gerard M D, 2006)
Genetalia dan pelvis
TENSION PNEUMOTHORAX
A.
Definisi
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ
mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang
mengalami tekanan (Manjoer, 2000).
B.
Etiologi
Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:
Ketidakberhasilan
mengatasi
pneumothoraks
terbuka
ke
C.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, tekanan jugularis meningkat, pergerakan dinding
dada yang asimetris, hipersonor dinding dada dan tidak ada suara
napas pada sisi yang sakit. (American College of Surgeons Commite
on Trauma, 2005).
D.
Pemeriksaan penunjang
-
batas
antara
udara
dengan
cairan
intra
dan
Pemeriksaan Laboratorium :
GDA : variable tergantung dari derajat paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau
menurun; saturasi oksigen biasanya menurun. Analisa gas darah arteri
memberikan gambaran hipoksemia. (Corwin, 2009).
Hb :
2.
No
Etiologi
Masalah
Keperawatan
1.
Pre Hospital
adanya
Multiple trauma
tampak
kesulitan
bernafas
-
Respirasi
rate
40x/menit
In Hospital
DS:DO: - Trakea bergeser ke
udara tertahan
dilapisan pleura
kiri
-
RR: 40x/menit
Gerakan dinding
dada
asimetris,
memar di dada
kanan
Tekanan dalam
pleura meningkat
gangguan pertukaran
gas
bawah
sampai
ke
samping
-
Bunyi
nafas
kanan melemah
-
2.
AGD < 90 %
Pre Hospital
DS:
Multiple trauma
masyarakat
sekitar
mengatakan
terjadi
suatu
kecelakaan
Risiko syok
lalulintas sekitar 2 KM
dari
gerbang
tol
tinggi
menabrak
sebuah
kerusakan jaringan
paru
kolaps paru
depan
pecah,
gangguan ekspansi
paru
depan.
DO: - wajah dan bibir
terlihat kebiruan
-
Kulit pucat
Dingin
Berkeringat
Perdarahan pada
saluran napas
Saluran napas
tersumbat
dingin
-
GCS:
13
(E:3.
M:6, V:4)
hipoksia
Gangguan oksigenasi
In Hospital
DS: -
Hipoksia
Resiko Syok
3.
Pre Hospital
Ds: -
Multiple trauma
Kerusakan
integritas kulit
Tulang Patah
bernafas
- Respirasi
rate
40x/menit
Perdarahan di
periosteum
In Hospital
DS: -
Kerusakan jaringan di
ujung tulang
DO:
Hematoma di kanal
medula
4 cm
- Pada
ekstremitas
paha
kanan
Peradangan (dolor,
kalor, rubor, tumor)
tampak
deformitas,
Kerusakan integritas
kulit
memar
- Hematom
paha
pada
tengah
kanan
4.
Pre Hospital
DS: DO: -
terlihat kebiruan
-
Kulit pucat
Dingin
Berkeringat
Ketidakefektifan
meningkat
perfusi jaringan
Edema serebral
TDL sistemik atau
hipoksia
Penghentian TD oleh
sol
dingin
In Hospital
Gangguan perfusi
jaringan
DS: -
DO: -
3.
Diagnosa Keperawatan
1.
2.
3.
4.
4.
No
1
Diagnosa Keperawatan
Noc
2.
3.
Nic
Airway management
1. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
2. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.
3. Aukultasi dan catat bunyi napas
4. Berikan oksigen .
Oksigen teraphy
1. Pertahankan jalan napas
2. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem
humedifien
3.
2.
risiko hipoksia
Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
b. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.
c.
3.
Ketidakefektifan perfusi
peningkatan TIK
Circulation precaution
1. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
2. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
3. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
4. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.
4.
mekanik
Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
kelembaban kulit .
c.
Circulation precaution
a. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
b. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
c. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
d. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
1. Identitas Klien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Tanggal Pengkajian
Diagnosa Medis
2. TRIAGE
P1
3. General Impression
4. Primary Survay
a.
Airway
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada
b. Breathing
Petugas penolong mengatakan klien terlihat kesulitan bernafas, respirasi
rate 40 x/menit.
c. Circulation
Nadi
CRT
Warna kulit
Perdarahan
Turgor kulit
Mukosa
d. Disability/Neurological
Respon
Kesadaran
e. Exposure
5. Secondary Survey
a. Anamnesis
1. KOMPAK
Keluhan
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri didada dan paha kanannya.
Obat
Tidak terdapat dalam kasus.
Makanan terakhir
Tidak terdapat dalam kasus.
Penyakit penyerta
Tidak terdapat dalam kasus.
Alergi
Tidak terdapat dalam kasus.
Kejadian
Suatu kecelakaan lalulintas sekitar 2 KM dari gerbang tol brebes,
sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak sebuah
pohon besar. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah, sopir
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Identitas supir tersebut
ialah seorang laki-laki 28 tahun. Melihat kecelakaan tersebut
masyarakat sekitar langsung menghubungi tim medis posko terdekat.
Ketika tim penolong datang klien tergeletak dan merintih, mengeluh
dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien sudah
dipindahkan ke pinggir jalan oleh warga.
2. Head to toe
Perubahan bentuk
Trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi. Pada pemeriksaan
thorak tampak gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal,
memar di sekitar dada kanan bawah sampai ke samping. Nyeri tekan
pada dada kanan bawah, sampai ke samping (lokasi memar),
krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi terdengar
kanan hiper sonor, kiri sonor. Terdengar bunyi napas kanan
melemah, bising napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar
jelas, cepat. Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas, memar,
hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Tumor
Tidak terdapat dalam kasus.
Luka
Luka lecet di dahi dan dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm.
Sakit
Pada ekstermitas paha kanan nyeri
3. Tanda-tanda vital
TD
Nadi
Suhu
Respirasi
A.
No
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
(Subjektif Objektif)
Pre Hospital
1.
DS:
b.
c.
2.
DS:
Risiko syok
DO:
a.
b.
Kulit pucat.
c.
Dingin
d.
Berkeringat dingin
e.
TD 90/50 mmHg
f.
Nadi 110x/menit.
g.
1.
DS:
DO:
a.
Multiple trauma
b.
c.
RR: 40x/menit.
d.
Nadi : 110x/menit.
e.
g.
Tension
kanan depan.
i.
udara tertahan
dilapisan pleura
gangguan pertukaran
gas
2.
DS: -
Multiple trauma
Risiko syok
DO:
a.
b.
Nadi: 110x/menit
kerusakan jaringan
paru
kolaps paru
gangguan ekspansi
paru
gangguan oksigenasi
hipoksia
Perdarahan pada
saluran napas
Saluran napas
tersumbat
Gangguan oksigenasi
Hipoksia
Resiko Syok
B.
C.
N
Noc
Nic
Rasional
o
1
1. Gangguan
gas
b.d
membran
alveolar
1.
Airway management
Buka jalan napas
thrust.
sehingga kebutuhan
oksigen terpenuhi.
normal :
ventilasi.
4.
b. Memelihara kebersihan
paru-paru dan bebas dari
Oksigen teraphy
tanda-tanda distress
pernafasan.
1.
1. Membantu jalan
masuknya udara ke paru
memaksimalkan potensi
a. Mendemostrasikan
Airway management
3.
Pertahankan jalan
napasmenggunakan NPA
2. Mempermudahkan jalan
nafas dan pernapasan.
3. Mengetahui nilai adakah
bunyi nafas tambahan.
4. Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.
Oksigen teraphy
2.
3.
1.
Meningkatkan rasa
Berikan oksigen
dan pernafasan.
menggunakan NRM
2.
Mempertahankan
sirkulasi oksigenasi pada
pasien.
3.
Memperbaiki status
oksigenasi pasien.
2.
risiko hipoksia
1.
Airway management
Buka jalan napas
1.
Airway management
Membantu jalan
thrust.
sehingga kebutuhan
oksigen terpenuhi.
memaksimalkan potensi
2.
Mempermudahkan jalan
ventilasi.
Shock severity :
3.
Aukultasi dan catat bunyi
1. m
napas.
e
4.
Berikan oksigen 12 LPM
n
g
i
Oksigen teraphy
d
1. e Pertahankan jalan napas.
2. n Atur peralatan oksigen dan
t
3. i
f
Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.
Oksigen teraphy
1.
Meningkatkan rasa
nyaman pada jalan nafas
dan pernafasan.
Berikan oksigen
menggunakan NRM
2.
Mempertahankan
pasien.
a
s
i
3.
Memperbaiki status
oksigenasi pasien.
f Circulation precaution
Circulation precaution
1.
Mengetahui tingkat
a
1.
k
t
o
r
2.
r
e
s
i
3.
k
m
e
n
4.
g
u
r
a
Lakukan penilian
komperhensif sirkulasi
keparahan sirkulasi
perifer(cek nadi
perifer pasien.
2.
brachial ankle).
tindakan IV
Mencegah terjadinya
3.
menghambat perfusi
jaringan.
untuk mencengah
peningkatan kekentalan
darah.
Berikan cairan RL yang
dihangatkan 40
Mencegah terjadinya
keparahan yang dialami.
i
k
a
n
s
t
r
a
t
e
g
i
p
e
n
g
e
n
d
a
l
i
a
n
r
i
s
i
k
o
y
a
n
g
e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.
1. m
e
n
g
i
d
e
n
t
i
f
i
k
a
s
i
f
a
k
t
o
r
r
m
e
n
g
u
r
a
i
k
a
n
s
t
r
a
t
e
g
i
p
e
n
g
e
n
d
a
l
i
a
n
r
i
s
i
k
y
a
n
g
e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.
teori
data
penunjang
yang
harus di
lakukan
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kecelakaan lalu lintas dari gerbang tol Brebes, mobil melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak sebuah pohon besar. Klien tergeletak dan
merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien
sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernapas, respirasi rate 40
x/menit, nadi 110 x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg, wajah dan bibir
terlihat kebiruan, kulit pucat, dingin, berkeringat dingin, GCS: 13 (E:3, M:6,
V:4).
Hasil pengkajian di IGD diperoleh data terdapat luka lecet di dahi dan
dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm, trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis
distensi. Pada pemeriksaan thorak tampak gerakan dinding dada asimetris,
kanan tertinggal, frekuensi napas 40x/menit, memar di sekitar dada kanan
bawah sampai ke samping. Terdengar bunyi napas kanan melemah, bising
napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi
110 x/menit. Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping
(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.
Pada pemeriksaan abdomen dinding perut datar, bising usus normal,
palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas,
memar, hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Dari data yang diperoleh klien mengalami multripel trauma yang
dapat menyebabkan tension pneumothoraks (udara di dalam rongga pleura).
Oleh karena itu tindakan yang dilakukan pemasangan neck collar setelah itu
buka jalan nafas dengan teknik chin lift, diberikan O2 dengan menggunakan
NRM (Non Rebreating Mask) 10 12 LPM, kemudian dilanjut dengan
memberikan cairan infus 2 jalur dengan cairan RL (Ringer Laktat) yang
dihangatkan 1-2 liter diguyur. Jangan lupa ambil sample darah untuk uji lab
Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam
keadaan darurat secara cepat dan tepat, perlu dilakukan prosedur primary
survey dan secondary survey yang dapat digunakan setiap hari. Dengan di
lengkapi buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk
klien.