Anda di halaman 1dari 242

LAPORAN MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA Tn. DENGAN


KECELKAAN LALULINTS RESIKO MULTIPEL TRAUMA

Dosen pengampu : Ns. Dwiyanti Purbasari, S.Kep., M.Kep


Kelompok B:
Mamat Rohmat

(213.C.0002)

Mafni Yulianingsih

(213.C.0004)

Andriyan Lutfi Arip

(213.C.0006)

Ati Wulandari

(213.C.0008)

Siti Rohimah

(213.C.0013)

Lia Setiawati

(213.C.0015)

Hilman Arif Firmansyah

(213.C.0019)

Dimas Pratama

(213.C.0020)

Siti Nuraina Inayah

(213.C.0022)

Muamar

(213.C.0027)

Nuryadi

(213.C.0028)

Ely Ferdiana

(213.C.0029)

Rina Maryatiana

(213.C.0031)

Agnes Acida

(213.C.0034)

Nelly Sulvassamawati

(213.C.0036)

Wiwid Ariska Larasati

(213.C.0042)

Neng Ledy Lestary

(213.C.0043)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARDIKA CIREBON


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
2016

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
laporan dengan judul Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn.X dengan
kecelakaan lalulintas Resiko Multipel Trauma . Laporan ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kegawat Darurtan 1 pada Program Studi S1
Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon.
Selama proses penyusunan laporan ini penyusun tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak yang berupa bimbingan, saran dan petunjuk baik berupa moril, spiritual maupun
materi yang berharga dalam mengatasi hambatan yang ditemukan. Oleh karena itu,
sebagai rasa syukur dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Ibu Ns. Dwiyanti Purbasari, S.Kep., M.Kep yang telah memberikan bimbingan dan
dorongan dalam penyusunan laporan ini sekaligus sebagai dosen pengampu Mata
Kuliah Kegawat Daruratan 1
2. Ibunda dan ayahanda kami yang tercinta serta saudara dan keluarga besar kami yang
telah memberikan motivasi/dorongan dan semangat, baik berupa moril maupun materi
lainnya
3. Sahabat dan rekan STIKes Mahardika, khususnya Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT. membalas baik budi dari semua pihak yang telah
berpartisipasi membantu penyusun dalam menyusun laporan ini. Penyusun menyadari
bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna,
untuk itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan penyusunan selanjutnya.
Penyusun berharap, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin
Wassalamualaikum wr.wb.

Cirebon, April 2016


Kelompok B

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................

Daftar Isi ..........................................................................................

ii

Laporan Seven Jump ......................................................................

Step 1 Kata Kunci ...........................................................................

Step 2 Pertanyaan Kasus ................................................................

17

Step 3 Jawaban Kasus ....................................................................

18

Step 4 Mind Mapping .....................................................................

23

Step 5 Learning Objektif ................................................................

25

Step 6 Informasi Tambahan ..........................................................

26

Step 7 Pendahuluan ........................................................................

27

Lampiran 1 Teori Dan Analisa Kasus ...........................................

30

Lampiran 2 Jurnal
Daftar Pustaka

SEVEN JUMP KASUS III


BLOK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I
SEMESTER VI REGULER PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKes MAHARDIKA CIREBON

I.

STUDI KASUS III


Suatu kecelakaan lalul intas terjadi sekitar 2 KM dari gerbang tol
Brebes, sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak
sebuah pohon besar. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah, sopir
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Identitas supir tersebut ialah
seorang laki-laki 28 tahun. Melihat kecelakaan tersebut masyarakat sekitar
langsung menghubungi tim medis posko terdekat. Ketika tim penolong
datang klien tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri dada
dan paha kanannya. Klien sudah dipindahkan ke pinggir jalan oleh warga.
Melalui pemeriksaan sekilas, diperoleh data pasien sadar tapi terlihat
bingung, cemas, dan kesulitan bernapas, respirasi rate 40 x/menit, nadi 110
x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg, wajah dan bibir terlihat kebiruan, kulit
pucat, dingin, berkeringat dingin, GCS: 13 (E:3, M:6, V:4) Setelah
melakukan penanganan seadanya, tim penolong langsung membawa sopir
ke IGD.
Hasil pengkajian di IGD diperoleh data terdapat luka lecet di dahi dan
dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm, trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis
distensi. Pada pemeriksaan thorak tampak gerakan dinding dada asimetris,
kanan tertinggal, frekuensi napas 40x/menit, memar di sekitar dada kanan
bawah sampai ke samping. Terdengar bunyi napas kanan melemah, bising
napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi
110 x/menit. Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping

(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.Pada pemeriksaan abdomen dinding
perut datar, bising usus normal, palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas
paha kanan tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kanan,
nyeri tekan, ROM pasif; limitasi gerakan, aktif; limitasi gerakan.

II.

TUGAS MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas, mahasiswa membahas
dan menganalisis kasus tersebut dengan kelompok, dipimpin oleh ketua
dan yang mencatat adalah sekretaris.
2. Melakukan

aktivitas

pembelajaran

individual

di

kelas

dengan

menggunakan buku ajar, jurnal dan internet untuk mencari informasi


tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa dihadiri fasilitator) untuk
melakukan jejak pendapat bebas antar anggota kelompok untuk
menganalisa informasi melalui sumber literartur dalam menyelesaikan
masalah.
4. Berkonsultasi

pada

fasilitator

yang

telah

ditetapkan,

sebagai

pendamping dalam berjalannya pembelajaran.


5. Mengikuti kuliah khusus berupa mini lecture untuk masalah yang belum
jelas atau belum ditemukan jawabannya, sehingga mampu memecahkan
masalah yang ada serta melakukan praktikum klinik berdasarkan kajian
analisis keperawatan gawat darurat I.

III. PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok mahasiswa diharapkan dapat menganalisis
dan memecahkan masalah yang terdapat dalam scenario kasus III dengan
mengikuti 7 langkah penyelesaian masalah di bawah ini:
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, dan tentukan
kata atau kalimat kunci skenario di atas.
2. Identifikasi problem dasar skenario, dengan membuat beberapa
pertanyaan penting.

3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan


pertanyaan di atas.
4. Klarifikasikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas
kasus di atas. Langkah 1 sampai 5 dilakukan dalam diskusi tutorial
pertama dengan fasilitator.
6. Cari informasi tambahan, informasi tentang kasus di atas di luar
kelompok tatap muka; dilakukan dengan belajar mandiri
7. Laporkan hasil diskusi dan hasil kajian informasi-informasi yang baru
ditemukan; dilakukan dalam kelompok diskusi dengan fasilitator.
8. Seminar; untuk kegiatan diskusi panel dan semua pakar duduk bersama
untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang belum jelas.

IV.

PENJELASAN
1. Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi
yang diperlukan untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6
bisa diulangi dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7.
2. Selanjutnya, langkah di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial dan
setelah informasi dirasa cukup dilakukan langkah nomor 8.

STEP I
KATA KUNCI

I.

Kata kunci yang dimasukkan ke dalam istilah belum dipahami:


1. Kecelakaan lalu lintas
2. IGD
3. Trauma
4. Memar
5. Dada sesak
6. Luka lecet
7. Nyeri tekan
8. Cemas
9. GCS dengan nilai 13
10. Trakea bergeser ke kiri
11. Vena jugularis distensi
12. Terdengar bunyi nafas kanan melemah, suara nafas kiri terdengar jelas
13. Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110 x/menit
14. Krepitasi
15. Saat perkusi terdengar hipersonor
16. Deformitas
17. Hematoma
18. ROM aktif dan ROM pasif

II.

Penjelasan kata kunci


1. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak
terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi
menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera (Bhaswata, 2009).
kecelakaan

dapat

diartikan

sebagai

tiap

kejadian

yang

tidak

direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia,

situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal


tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cedera
ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan ataupun kejadian yang
tidak diinginkan lainnya (Bhaswasta, 2009).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas
adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja
yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
Kecelakaan lalu lintas adalah kejadian pada lalu lintas jalan yang
sedikitnya melibatkan satu kendaraan yang menyebabkan cedera atau
kerusakan atau kerugian pada pemiliknya (Kartika, 2009).

2. IGD
Prinsip Umum
a. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat
yang memiliki kemampuan : (Kemenkes, 2009)
b. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat,
melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving).
c. Formulir 2
d. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat
memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam
seminggu.
e. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di
rumah sakit diseragamkan menjadi INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD).
f. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat
menangani kasus gawat darurat.
g. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit
setelah sampai di IGD.
h. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan pada
organisasi multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi, dengan

struktur organisasi fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan


dan

unsur

pelaksana,

yang

bertanggung

jawab

dalam

pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat darurat di Instalasi


Gawat Darurat (IGD), dengan wewenang penuh yang dipimpin
oleh dokter.
i. Setiap Rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan
pelayanan gawat daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi
berikut.
Klasifikasi
Klasifikasi pelayanan Instalasi Gawat Darurat terdiri dari :
(Kemenkes, 2009)
1. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level IV sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas A.
2. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas B.
3. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas C.
4. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas D.

PERSYARATAN SARANA
Persyaratan Fisik Bangunan :
1. Luas bangunan IGD disesuaikan dengan beban kerja RS dengan
memperhitungkan kemungkinan penanganan korban massal /
bencana.
2. Lokasi gedung harus berada dibagian depan RS, mudah
dijangkau oleh masyarakat dengan tanda-tanda yang jelas dari
dalam dan luar Rumah Sakit.

3. Harus mempunyai pintu masuk dan keluar yang berbeda dengan


pintu utama (alur masuk kendaraan/pasien tidak sama dengan
alur keluar) kecuali pada klasifikasi IGD level I dan II.
4. Ambulans/kendaraan yang membawa pasien harus dapat sampai
di depan pintu yang areanya terlindung dari panas dan hujan
(catatan: untuk lantai IGD yang tidak sama tinggi dengan jalan
ambulans harus membuat ramp).
5. Pintu IGD harus dapat dilalui oleh brankar.
6. Memiliki area khusus parkir ambulans yang bisa menampung
lebih dari 2 ambulans (sesuai dengan beban RS)
7. Susunan ruang harus sedemikian rupa sehingga arus pasien
dapat lancar dan tidak ada cross infection , dapat menampung
korban bencana sesuai dengan kemampuan RS, mudah
dibersihkan dan memudahkan kontrol kegiatan oleh perawat
kepala jaga.
8. Area dekontaminasi ditempatkan di depan/diluar IGD atau
terpisah dengan IGD.
9. Ruang triase harus dapat memuat minimal 2 (dua) brankar.
10. Mempunyai ruang tunggu untuk keluarga pasien.
11. Apotik 24 jam tersedia dekat IGD.
12. Memiliki ruang untuk istirahat petugas (dokter dan perawat)
(Kemenkes, 2009)
Gawat darurat adalah suatu keadaan yang mana penderita memerlukan
pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi
penderita. Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu unit di rumah sakit
yang harus dapat memberikan pelayanan, darurat kepada masyarakat yang
menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan standar.
IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua
pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi
pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang bagaimana gambaran Rumah
Sakit itu sebenarnya. Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan
mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi dan gawat serta

juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak gawat. IGD juga menyediakan


sarana penerimaan untuk penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, hal
ini merupakan bagian dari perannya di dalam membantu keadaan bencana
yang terjadi di tiap daerah. Ruang IGD, selain sebagai area klinis, IGD juga
memerlukan fasilitas yang dapat menunjang beberapa fungsi-fungsi penting
sebagai berikut: kegiatan ajar mengajar, penelitian/riset, administrasi, dan
kenyamanan staff.
Adapun area-area yang ada di dalam kegiatan pelayanan kesehatan bagi
pasien di IGD adalah :
1. Area administratif
2. Reception/Triage/Waiting area
3. Resuscitation area
4. Area Perawat Akut (pasien yang tidak menggunakan ambulan)
5. Area Konsultasi (untuk pasien yang menggunakan ambulan)
6. Staff work stations
7. Area Khusus, misalnya : Ruang wawancara untuk keluarga pasien, Ruang
Prosedur, Plaster room, Apotik, Opthalmology/ENT, Psikiatri, Ruang
Isolasi, Ruang Dekontaminasi, Area ajar mengajar.
8. Pelayanan Penunjang, misalnya : Gudang /Tempat Penyimpanan,
Perlengkapan bersih dan kotor, Kamar mandi, Ruang Staff, Tempat Troli
Linen.
9. Tempat peralatan yang bersifat mobile Mobile X-Ray equipment bay
10. Ruang alat kebersihan.
11. Area tempat makanan dan minuman.
12. Kantor Dan Area Administrasi
13. Area diagnostic misalnya medis imaging area laboratorium

14. Departemen keadaan darurat untuk sementara/ bangsal observasi jangka


pendek/ singkat (opsional)
15. Ruang Sirkulasi.
Ukuran Total IGD dimana total area internal IGD, tidak termasuk
bangsal pengamatan dan area internal imaging sekarang ini sebaiknya,
harus sedikitnya 50 m2/1000 kehadiran tahunan atau 145 m2/1000
jumlah pasien yang masuk setahun, ukuran yang manapun boleh dipakai
tetapi lebih baik dipilih yang lebih besar. Ukuranyang minimum suatu
IGD akan lebih fungsional apabila seluas 700 m2.
Total ukuran dan jumlah area perawatan akan juga akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : Jumlah angka pasien,
pertumbuhan yang diproyeksikan, anti pasti perubahan di dalam
teknologi, keparahan penyakit, waktu penggunaan laboratorium dan
imaging medis, jumlah atau susunan kepegawaian dan struktur.
3. Memar
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis
akibat pecahnya kapiler dan vena, yang disebabkan oleh kekerasan
benda tumpul. Luka memar kadangkala memberikan petunjuk tentang
bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya adalah
suatu perdarahan tepi (Budiyanto, 2007).
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat
terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau
tertimpa benda berat (Black & Hawks, 2009). Kontusio paru
menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam jaringan paruparu, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan elastisitas normal.
Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam pertama setelah
cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus yang lebih
serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya, memar paru
berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan hipoksia
(Black & Hawks, 2009).

4. Dada sesak
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh
yang sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan
tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering
menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak
dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah
atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya
utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan
dalam dan tusukan terhadap organ (Black & Hawks, 2009).
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan
goresan yang dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka
dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi (tumpul). Luka dada
penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi
keempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan
mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat
menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain
(Black & Hawks, 2009).
Sesak adalah pernafasan yang sukar (Corwin, 2009). Distres nafas
(sesak) dapat disebabkan oleh: Fraktura iga atau flail chest,
pneumotoraks, pneumotoraks tension, hemotoraks, kontusio paru,
penumotoraks terbuka, aspirasi (Black & Hawks, 2009).

5. Luka lecet
Luka lecet adalah luka yang terjadi di permukaan kulit saja, tanpa
mengakibatkan robekan ke lapisan kulit yang lebih dalam. Luka
lecet disebut juga luka permukaan (superfisial), atau vulnus laserasi atau
laseratum di dunia medis (Mansjoer, 2008).
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya
pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur aspal jalan, atau

sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan kulit


(Budiyanto, 2007).

6. Nyeri tekan
Perasaaan tidak enak (menderita) akibat rangsangan ujung sarafsaraf khusus (Black & Hawks, 2009). Nyeri timbul karena rangsangan
(mekanik, termal atau kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di
hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk
impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di
proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk
persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami) (Corwin, 2009).

7. Cemas
Perasaan ketakutan tanpa stimulus yang jelas, berkaitan dengan
perubahan fisiologis (takhikardia, berkeringat, dan lain-lain) (Tarwoto &
Wartonah, 2011).
Gangguan kecemasan dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan
kimiawi dalam tubuh. Gejala-gejala kecemasan yang bersifat fisik
diantaranya adalah : jari tangan dingin, detak jantung makin cepat,
berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak
nyenyak, dada sesak (Mansjoer, 2008).

8. GCS dengan nilai 13


Jika disimpulkan dengan hasil hitung nilai GCS:
a. Composmentis : 15-14
b. Apatis : 13-12
c. Delirium : 11-10
d. Somnolen : 9-7
e. Stupor : 6-4
f. Coma : 3

1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar


sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya (Manjoer, 2008).
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh (Manjoer, 2008).
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal
(Tarwoto & Wartonah, 2011).
4) Somnolen (Obtundasi,

Letargi), yaitu

kesadaran

menurun,

respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun


kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal
(Tarwoto & Wartonah, 2011).
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri (Mansjoer, 2008).
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya) (Tarwoto & Wartonah, 2011).
Pada kecelakaan lalu lintas dapat pula menimbulkan trauma serta
cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindungi oleh kulit
hanya mampu menahan benturan sampai 40 pound/inch. Cedera
kepala atau otak karena trauma dapat mempengaruhi kondisi
kesedaran pasien (Black & Hawks), (Budiyanto, 2007). Berikut
kalsifikasi cedera otak:

Tabel 1. Klasifikasi cedera otak (Budiyanto, 2007).

9. Trakea bergeser ke kiri


Trakea adalah saluran napas kelanjutan dari laring yang panjangnya
berkisar 11 cm, dimulai dari batas bawah kartilago krikoid sampai
karina. Trakea disusun oleh kartilago yang berbentuk cincin C,
berjumlah 18-22, kira-kira terdiri dari 2 cincin tiap 1 cm.7 Sebagian
besar trakea terletak di rongga torak. Pada posisi leher hiperekstensi,
setengah trakea akan nampak di daerah leher. Aliran darah trakea
dipasok dari banyak pembuluh arteri terminalis kecil. Trakea bagian atas
dipendarahi terutama oleh cabang arteri tiroidea inferior, sedangkan
bagian bawah oleh cabang arteri bronkialis. Pembuluh-pembuluh darah
tersebut memasuki trakea melalui pedikel-pedikel lateral yang sangat
halus dan sedikit kolateral. Bidang pretrakeal dan bidang antara trakea
dan esofagus adalah bidang yang avaskular. Pada bagian anterior
terdapat glandula tiroid, pembuluh darah arteri, vena, dan otot-otot

daerah anterior leher. Esofagus berada di posterior laringotrakea dan


diapit oleh vertebra servikalis. Struktur anatomi tersebut menjelaskan
mekanisme trauma tumpul laringotrakea sehingga laringotrakea terjepit
diantara vertebra servikal dan benda yang menyebabkan trauma.
Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi
atau trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh
darahnya (Evelyn Pierce, 2009).
Insiden trauma laringotrakea sangat jarang terjadi dan biasanya
terjadi bersama dengan kasus trauma dada seperti trauma penetrasi, tapi
penyebab tersering adalah trauma tumpul thorax atau leher (Black &
Hawks, 2009).
Kebocoran udara dari tempat trauma pada trauma laringotrakea
bisa menyebar ke mediastinum dan terus ke vena-vena besar.
Penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi trauma inhalasi, trauma
intubasi, trauma tajam, trauma tumpul dan penyebab lainnya, seperti
iatrogenic injuries, electrical injuries, caustic injuries dan lain-lain.
Pada trauma laringotrakea, gejala dan tanda klinis yang biasanya
didapatkan adalah sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis
(pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan suara juga merupakan
tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas. Tujuan
utama penanganan adalah menjaga jalan napas tetap adekuat.
Penatalaksanaan trauma laringotrakea dapat secara konservatif maupun
pembedahan. Morbiditas dan mortalitas akibat trauma ini masih cukup
tinggi, namun dengan diagnosis yang cepat dan tatalaksana yang tepat
akan memberikan hasil yang baik (Budiyanto, 2007).

10. Vena jugularis distensi


Jugular venous pressure (JVP) atau tekanan vena jugularis adalah
tekanan sistem vena yang dapat diamati secara tidak langsung.
Pengukuran tekanan vena jugularis merupakan tindakan mengukur
besarnya jarak pertemuan dua sudut antara pulsasi vena jugularis dan

sudut sternum tepatnya di Angle of Louis yang berguna untuk


mengetahui tentang fungsi jantung klien (Black & Hawks, 2009).
Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena jugularis, yaitu JVP
tampak hingga setinggi leher; jauh lebih tinggi daripada normal (Black
& Hawks, 2009).
a. Penurunan kesadaran
b. Hipoksia yang terus berlanjut kurangnya suplai O2 ke
otak gangguan fungsi otak.
c. Penurunan kesadaran
d. Trakea

terdorong

(deviasi

trakea) menjauhi

paru

yang

mengalami tension pneumothorax:


e. Tension pneumothorax tekanan udara yang tinggi menekan
kesegala arah trakea terdorong ke arah kontralateral.
f. Distensi vena leher (bisa terjadi bila hipotensi berat)
g. Tension pneumothorax penekanan vena cava superior, tahanan
darah yang kembali ke jantung.
h. JVP meningkat vena leher terdistensi
i. Hipotensi Tension pneumothorax penekanan jantung dan vena
cava superior serta inferior darah yang kembali ke jantung
berkurang caridiac output berkurang, tekanan darah turun
(hipotensi akibat shock obstruktif),
j. Sianosis, tension pneumothorax, pertukaran udara tidak adekuat
darah mengandung sedikit O2 pewarnaan yang kebiruan pada
darah tampak warna kebiruan pada kulit dan mukosa (Black &
Hawks, 2009) (Corwin, 2009).

11. Terdengar bunyi nafas kanan melemah, suara nafas kiri terdengar
jelas
a. Keadaan normal bunyi nafas kiri dan kanan sama.
b. Interpretasi terjadi gangguan ventilasi (penurunan bunyi nafas
pada daerah trauma).

Auskultasi:
1) Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat
masuk antara 2 iga (dalam ruang antar iga). Urutan pemeriksaan
seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus
pernapasan (inspirasi-ekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada
tempat simetris (Bickely, 2009).
2) Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari
ekspirasi.

Penjelasan

serta

perpanjangan

fase

ekspirasi

mempunyai arti penting. Kita mulai dengan melukiskan suara


dasar dahulu kemudian

melukiskan suara tambahannya.

Kombinasi ini, bersama dengan palpasi dan perkusi memberikan


diagnosis serta diferensial diagnosis penyakit paru (Bickely,
2009).
3) Suara dasar :
Vesikuler : suara paru normal, inspirium > ekspirium serta lebih
jelas. Vesikuler melemah : pada bronchostenose, emfisema paru,
pneumothorak, eksudat, atelektase masif, infiltrat masif, tumor.
Vesikuler mengeras : terdengar lebih keras. Vesikuler mengeras
dan memanjang : pada radang. Bronchial : ekspirasi lebih jelas,
seperti suara dekat trachea, dimana paru lebih padat tetapi
bronchus masih terbuka (kompresi, radang). Amforik : seperti
bunyi yang ditimbulkan kalau kita meniup diatas muut botol
kosong sering pada caverne. Ekspirasi jelas (Bickely, 2009).
4) Suara tambahan :
Ronchi kering (bronchitis geruis, sonorous, dry rales). Pada fase
inspirasi maupun ekspirasi dapat nada tinggi (sibilant) dan nada
rendah (sonorous) = ronchi, rogchos berarti ngorok. Sebabnya
ada getaran lendir oleh aliran udara. Dengan dibatukkan sering
hilang atau berubah sifat (Bickely, 2009). Rhonchi basah (moist
rales). Timbul letupan gelembung dari aliran udara yang lewat
cairan. Bunyi di fase inspirasi;
o Ronkhi basah halus (suara timbul di bronchioli),

o Ronkhi basah sedang (bronchus sedang),


o Ronkhi basah kasar (suara berasal dari bronchus besar).
o Ronkhi basah meletup. Sifatnya musikal, khas pada infiltrat,
pneumonia, tuberculosis.
o Krepitasi. Suara halus timbul karena terbukanya alveolus
secara mendadak, serentak terdengar di fase inspirasi.
(contoh: atelectase tekanan)
o Suara gesekan (wrijfgeruisen, frection-rub). Ada gesekan
pleura dan gesek perikardial sebabnya adalah gesekan dua
permukaan yang kasar (mis : berfibrin) (Bickely, 2009).

12. Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit


a. Keadaan normal bunyi jantung terdengar jelas, sedang, frekuensi
60-100x/menit.
b. Interpretasi jantung berusaha memompa keras, takhikardia.
c. Mekanisme aliran darah ke jantung tidak adekuat jantung
berusaha memompa lebih kuat dan cepat (Guyton, 2006).

13. Krepitasi
Krepitasi tulang adalah suara-suara yang dihasilkan oleh gesekangesekan dari segmen-segmen tulang (Black & Hawks, 2009).
a. Keadaan normal tidak ada krepitasi
b. Interpretasi fraktur costae
14. Saat perkusi terdengar hipersonor
Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan
menentukan kualitas jaringan paru-paru. Perkusi dapat cara : (direk:
langsung mengetuk dada atau iga-cara klasik Auenbrugger) atau indirek:
ketukan pada jari kiri yang bertindak sebagai plessimeter oleh jari
kanan. Di bagian depan mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah,
demikian juga pada bagian belakang dada. Ketukan perkusi dapat keras
atau lemah. Makin keras makin dalam suara dapat tertembus.
Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan parunya mulai menipis,

dengan perkusi keras maka akan terkesan jaringan di bawahnya


sedangkan dengan perkusi lemah maka masih terdeteksi paru yang tipis
ini sehingga masih terdengar suara sonor (Sudoyo, 2006).
a.

Suara sonor (resonant) : suara perkusi jaringan paru normal


(latihlah di paru anda) (Sudoyo, 2006).

b.

Hipersonor (hyperresonant) disini suara lebih keras, contoh pada


bagian paru yang di atas daerah yang ada cairannya, suara antara
sonor dan timpani, karena udara bertambah misalnya pada
emfisema pulmonum, juga pneumothorak (Sudoyo, 2006).

15. Deformitas
Deformitas musculoskeletal adalah kelainan dan trauma pada
sistem muskuloskeletal yang bermanifestasi dari bentuk yang abnormal
dari ekstremitas atau batang tubuh. (Sudoyo, 2006). Deformitas yang
dapat terjadi pada tulang:
a. Ketidaksejajaran tulang (loss of alignment)
Tulang panjang dapat mengalami gangguan dalam kesejajaran
(alignment) karena terjadi deformitas torsional atau deformitas
angulasi.
b. Abnormalitas panjang tulang (abnormal length)
Kelainan panjang pada tulang dapat berupa tulang memendek/
menghilang sama sekali atau panjangnya melebihi normal.
c. Pertumbuhan abnormal tulang (bony outgrowth)
Abnormalitas pertumbuhan tulang dapat terjadi akibat adanya
kelainan pada tulang, misalnya osteoma atau ostekondroma.

(Sudoyo, 2006).

1.1 Gambar Deformitas


https://i.ytimg.com/vi/lUHXKreJqjw/hqdefault.jpg

16. Hematoma
Hematoma adalah kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh
darah (Corwin, 2009). Kumpulan darah ini bisa berukuran setitik kecil,
tapi bisa juga berukuran besar dan menyebabkan pembengkakan.
Hematoma dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja. Darah yang
keluar dari pembuluh darah bisa menyebabkan rasa nyeri pada jaringan
sekitarnya dan muncul gejala peradangan atau inflamasi. Tapi jika
pembuluh darah terkena tekanan hebat, dan kerusakan dinding
pembuluh darah luas, maka darah akan selalu bocor melalui dinding
pembuluh yang rusak (perdarahan lebih lama). Darah yang keluar terus
menerus akan membuat hematoma semakin membesar. Penyebab umum
terjadinya hematoma adalah trauma atau cedera. Trauma atau cedera
yang terjadi bisa disebabkan karena kecelakaan, terjatuh, cedera kepala,
patah tulang. luka tembak, bersin yang terlampau keras, atau terkilirnya
lengan dan kaki (Black & Hawks, 2009).

17. ROM aktif dan ROM pasif


Range of motion ( ROM ) adalah gerakan dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun, et all, 2008).

Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk


mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan

persendian

secara

normal

dan

lengkap

untuk

meningkatkan massa otot dan tonus otot (Black & Hawks, 2009). ROM
Aktif adalah kontraksi otot secara aktif melawan gaya gravitasi seperti
mengangkat tungkai dalam posisi lurus. ROM Pasif yaitu gerakan otot
klien yang dilakukan oleh orang lain dengan bantuan oleh klien.
a. Indikasi ROM Aktif
1) Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif
dan menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan atau
tidak.
2) Pada saat pasien memiliki kelemahan otot dan tidak dapat
menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan AAROM
(Active-Assistive ROM, adalah jenis ROM Aktif yang mana
bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual
atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan
bantuan untuk menyelesaikan gerakan).
3) ROM Aktif dapat digunakan untuk program latihan aerobik.
4) ROM Aktif digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas diatas
dan dibawah daerah yang tidak dapat bergerak (Carpenito,
2009).
b. Indikasi ROM Pasif
1) Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut yang
apabila dilakukan pergerakan aktif akan menghambat proses
penyembuhan.
2) Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk
bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya keadaan
koma, kelumpuhan atau bed rest total (Carpenito, 2009).
c. Kontraindikasi ROM
Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan
ROM menurut Carpenito (2009) yaitu: Latihan ROM tidak boleh
diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan

cedera, gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas


gerakan yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan
memperlihatkan manfaat terhadap penyembuhan dan pemulihan,
terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang
salah, termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan.

STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH

1.

Mengapa sopir tersebut mengeluh dada sesak (penyebab dan


mekanisme) ?

2.

Bagaimana prinsip tatalaksana kasus emergency tersebut (saat


dirumah sakit) ?

3.

Bagaimana mekanisme trauma dalam kasus ini ?

4.

Apa faktor penyebab terjadinya kecelakaan tersebut ?

STEP 3
ANALISIS MASALAH

1. Apa faktor penyebab terjadinya kecelakaan tersebut ?


Faktor risiko kecelakaan lalu lintas
Secara garis besar ada 5 faktor yang berkaitan dengan peristiwa
KLL, yaitu faktor-faktor pengemudi, penumpang, pemakai jalan,
kendaraan, dan fasilitas jalanan. Ditemukan kontribusi masing-masing
faktor: manusia/pengemudi 75%, 5% faktor kendaraan, 5% kondisi jalan,
1% kondisi lingkungan, dan faktor lainnya.
1. Faktor manusia: pejalan kaki, penumpang sampai pengemudi. Faktor
manusia ini menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.
a. Faktor pengemudi: dianggap sebagai salah satu faktor utama yang
menentukan KLL. Faktor pengemudi ditemukan memberikan
kontribusi 75-80% terhadap KLL. Faktor manusia yang berada di
belakang kemudi ini memegang peranan penting.
b. Faktor penumpang: Misalnya jumlah muatan (baik penumpangnya
maupun barangnya) yang berlebih. Secara psikologis ada juga
kemungkinan penumpang menggangu pengemudi.
c. Faktor pemakai jalanan: Pemakai jalan di Indonesia bukan saja
terdiri dari kendaraan. Di sana ada pejalan kaki atau pengendara
sepeda. Selain itu, jalan raya dapat menjadi tempat numpang
pedagang kaki lima, peminta-minta dan semacamnya. Hal ini
membuat samakin semrawutnya keadaan di jalanan. Jalan umum
juga dipakai sebagai sarana perparkiran. Tidak jarang terjadi, mobil
terparkir mendapat tabrakan.
2. Faktor Kendaraan
Jenis-jenis kendaraan:
Jalan raya penuh dengan berbagai jenis kendaraan, berupa:
a. Kendaraan tidak bermotor: sepeda, becak, gerobak, bendi/delman.

b. Kendaraan bermotor: sepeda motor, roda tiga/bemo, oplet, sedan,


bus, truk gandengan.
Di antara jenis kendaraan, KLL paling sering terjadi pada kendaraan
sepeda motor.
3. Faktor jalanan: keadaan fisik jalanan, rambu-rambu jalanan.
a. Kebaikan jalan: antara lain dilihat dari ketersediaan rambu-rambu
lalu lintas.
b. Sarana jalanan:
- Panjang jalan yang tersedia dengan jumlah kendaraan yang tumpah
di atasnya. Di kota-kota besar tampak kemacetan terjadi dimanamana, memancing terjadinya kecelakaan. Dan sebaliknya, jalan
raya yang mulus memancing pengemudi untuk balap, juga
memancing kecelakaan.
- Keadaan fisik jalanan: pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya
kurang memadai, misalnya lubang-lubang dapat menjadi pemicu
terjadinya kecelakaan.
Keadaan jalan yang berkaitan dengan kemungkinan KLL berupa:
- struktur: datar/mendaki.menurun; lurus/berkelok-kelok/
- kondisi: baik/berlubang-lubang.
- Luas: lorong, jalan tol
- Status: jalan desa, jalan provinsi negara.
4. Faktor lingkungan: cuaca, geografik
Dapat diduga bahwa dengan adanya kabut, hujan, jalan licin akan
membawa risiko KLL.
Bentuk kecelakaan di Jalan
Dilihat dari pihak yang terlibat, bisa berupa kecelakaan tabrakan
single, double, triple atau multiple. Dilihat dari pihak yang terlibat
dapat mengenai:
1. manusia: a) pengemudi, b) penumpang, c) pemakai jalan lainnya.
2. kendaraan: sepeda sampai mobil truk
3. binatang
4. tumbuhan

5. bangunan
Cidera
Berdasarkan

konsep

Trias

Epidemiologi,

bila

terdapat

ketidakseimbangan manusia, agen, dan lingkungan maka terjadilah


cidera. Keparahan tergantung pada kelebihan serta kekuatan energi
melampai daya tahan manusia. KLL dapat mengakibatkan berbagai
cidera sampai kematian seperti: cidera kepala (trauma capitis), Fraktur
(patah tulang), Ruptura lien (pecah limpa). Cidera kepala merupakan
bentuk cidera yang paling sering dan berbahaya dan menjadi penyebab
utama kematian. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi motor.
Faktor Risiko kematian kasus cidera
Kasus cidera yang dapat bertahan hidup merupakan tujuan
sistem penaggulangan cidera optimal. Dari beberapa penelitian antara
lain Morris (1990:1942) dan Sampalis (1993: 252-61), dapat
dikategorikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kematian kasus
cidera. Faktor tersebut adalah:
1. Karateristik kasus cidera
Umur, jenis kelamin serta penyakit penyerta merupakan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kematian pada kasus cidera,
sedangkan faktor perilaku belum terbukti sebagai faktor risiko.
2. Karakteristik cidera
Faktor karakteristik cidera yang berpengaruh pada kematian
kasus adalah waktu cidera, tempat cidera serta mekanisme cidera,
jenis jejas cidera, dan keparahan cidera. Mengetahui keparahan
kasus cidera merupakan tujuan sistem penanggulangan cidera. Suatu
cidera biasanya digambarkan dalam bentuk cidera anatomis maupun
cidera fisiologis.
3. Manajemen penanggulangan kasus cidera
Faktor manajemen cidera yang berpengaruh terhadap kematian
kasus digambarkan Shacford sebagai berikut:
a. interval waktu penanggulangan
b. penanggulangan kasus cidera

4. Karakteristik Lingkungan, terdiri dari Pusat trauma dan tim trauma.


(Simarmata, 2008)

2.

Bagaimana mekanisme trauma dalam kasus ini ?

Kita semua sadar akan ungkapan Accidents dont just happen, they are
caused. Kecelakaan tidak begitu saja terjadi, tetapi ada penyebabnya.
Dipandang sudut epidemiologi, kecelakaan adalah suatu kejadian sebagai
akibat dari interaksi antara 3 komponen, yaitu: agent (penyebab), host
(penerima), dan environment (lingkungan).
a. Agent:
Pada suatu penyakit tertentu, terutama pada penyakit menular
penyebabnya dapat merupakan bakteri tunggal (agent). Lain halnya dengan
kecelakaan; dijumpai sedikit kesulitan karena sejumlah faktor penyebab ikut
serta dalam menentukan terjadinya kecelakaan (multipel). Pada kecelakaan
lalu lintas penyebabnya dapat terletak pada:
(1) keadaan jalan, (2) keadaan kendaraan, (3) pengemudi kendaraan dan
sebagainya. Cidera atau kematian terjadi serentak dengan kecelakaan atau
dalam waktu yang sangat pendek.
b. Host:
Host adalah orang yang mengalami cidera atau kematian pada suatu
kecelakaan. Faktor host adalah elemen intrinsik yang mempengaruhi
kerentanan (susceptibility) terhadap penyebabnya (agent). Untuk menetukan
host mana yang rentan perlu diteliti karakter host tersebut seperti umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Terdapat perbedaan
yang nyata pada bentuk kecelakaan yang menimpa seseorang. Cidera karena
keracunaan merupakan masalah anak kecil dan angka kematian akibat
kecelakaan lalu lintas adalah tinggi pada remaja dan lebih tinggi pada lakilaki daripada wanita.
c. Environment:

Environment menggambarkan keadaan lingkungan tempat kejadian.


Faktor environment adalah elemen ekstrinsik yang mempengaruhi
terjadinya kecelakaan. Dalam faktor environment selain termasuk faktor
keadaan fisik (keadaan cuaca, penerangan, keadaan jalan dan sebagainya),
ada juga yang memasukkan faktor lingkungan sosial budaya. (Simarmata,
2008).
Cidera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,
atau karena kena lemparan benda tumpul. Cidera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak
seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah
secara kasar dan cepat.
Mengemudi ketika lelah atau kantuk dapat menjadi sumber bahaya bagi
pengemudi di bawah pengaruh obat. Pengemudi yang bijak akan mengambil
di sisi jalan dan beristrirahat hingga dapat terjaga. Setiap orang yang di
bawah ketegangan emosi seharusnya tidak mengemudi. Jika seseorang
mempunyai penglihatan yang buruk harus menggunakan lensa yang baik,
atau jika perlu mengemudi harus dibatasi.
Mobil melaju kencangsopir tidak menggunakan selt belt(sabuk
pengaman )nabrak pohon besarbagian depan mobil hancur dan kaca
depan pecah sopir terlempar keluar multipel trauma (kemungkinan
cedera seluruh tubuh) (Sumber: Corwin, 2009), (Guyton, 2006), (Black &
Hawks, 2009).

3.

Bagaimana prinsip tatalaksana kasus emergency tersebut (saat dirumah


sakit) ?
Perinsip tatalaksana kasus ini sesuai dengan inisial assesment pre-Hospital:
a. Triase: nilai keadaan umum pasien pasien sadar tapi bingung,
nyeri dada, sesak napas, tanda fraktur dan jejas di beberapa bagian
tubuh.

b. Primary

survey:

airway,

breathing,

circulation,

disability,

exposure.
1) Airway
Nilai jalan nafas: tidak ada obstruksi (pasien dapat bicara,
mengeluh daerah sakit), gerakan udara pada hidung, mulut,
pergerakan dada bersihkan jalan nafas dari darah (Maryuani
Anik, 2009).
2) Breathing
Nilai ventilasi dan oksigenasi, buka leher dan dada, observasi
perubahan

pola

pernapasan:

tentukan

laju

dan

dalam

pernafasan, dan look, listen, feel (diketahui tanda-tanda


pneumotoraks) dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan insersi jarum yang berukuran besar(needle thoraco
syntesis) pada ICS 2 dilinea mid clavikula (Maryuani Anik,
2009).
3) Circulation
Nilai TD, nadi, warna kulit dan sumber perdarahan.
Bersihkan dan Tutup luka di kepala dengan perban.
(Maryuani Anik, 2009)
4) Disability
Niali GCS: 13 cedera kepala sedang
Cidera Kepala Ringan : 14-15
Cidera Kepala Sedang : 9-13
Cidera Kepala Berat : 3-8
5) Exposure
Berdasarkan pengamatan klinis diduga,
Fraktur femur: pasang bidai, apabila tidak ada bebat anggota
gerak yang sakit ke anggota gerak yang sehat.
Fraktur iga: diberi analgesik dosis rendah IV agar tidak nyeri
sehingga mempermudah pernafasan. (Maryuani Anik, 2009)

4.

Mengapa sopir tersebut mengeluh dada sesak (penyebab dan


mekanisme) ?

Kemungkinan penyebab:
a. Sesak nafas kardiak
b. Obstruksi jalan nafas
c. Sesak nafas pada prenkim paru difus
d. Emboli paru
e. Kelainan vaskular
f. Gangguan transport oksigen
g. Kelainan pleura dan mediastinum (pneumotoraks, hemotoraks, tension
pneumotoraks) (Budiyanto, 2007).
h. Fraktur pada costae
Mekanisme pada kasus:
Kecelakaan lalu lintas dada membentur stir dan dashboard trauma
tumpul rongga toraks Fraktur costae 9,10,11 udara dari dalam paru
bocor ke dalam rongga pleura udara tidak dapat keluar dari pleura
(fenomena ventil) tekanan dalam pleura meningkat paru kolaps
mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam
rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak
dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura akan
meningkatkan dan melibihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal nafas.
(Sumber: Guyton, 2006, Black & Hawks, 2009, Sherwood, 2008,
Corwin, 2009).

STEP 4
MIND MAPPING

Kecelakaan lalu
lintas

KERANGKA
KONSEP

Sopir terbentur dan


terlempar keluar

Multipel
trauma

Fraktur femur

Fraktur iga (coste


9,10,11)

Tekanan
saraf di
daerah femur

Kontusio
paru
Tulang coste menusuk
pleura dan parenkim paru

Rangsangan
nosiseptor di
pleura parietal

Nyeri di dada
kanan

- terdapat krepitasi
- tampak deformitas
-limitasi gerakan
(aktif dan pasif)

Nyeri
tekan di
paha

Pembuluh darah
pecah

Fenomena one way valve:


udara masuk ke paru tidak
dapat keluar lagi.

Memar
tekanan intrapleura

Paru-paru
kolaps

Mediastinum
terdorong ke sisi yang
sehat

Hambatan
venous
retrun

Deviasi
trakea ke kiri

JVP

Hipotensi

CO 2

Syok

Hematom

KERANGKA TEORI
(MIND MAPPING)

Pemeriksaan Penunjang (Lanjutan):


Diagnostik peritoneal lavage, FAST (Focused
Assesment Sonography in Trauma)
Computed Tomography (CT), Pemeriksaan
radiologi: Rontgen Cervical lateral, thorax
AP, Pelvis AP, Abdomen.,Pemeriksaan
laboratorium: darah lengkap, HCT/HB,
Koagulasi.

Definisi:
Multipel trauma adalah istilah medis yang
menggambarkan kondisi seseorang yang telah
mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang
serius (Lammichane, P.,2011).

Etiologi:
Benda tajam, benda
tumpul, atau peluru
(Lammichane, 2011).

Manifestasi Klinis:
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Nyeri
g. Pendarahan
h. Penurunan kesadaran
i. Sesak
(Scheets, 2002).

MULTIPEL
TRAUMA

Web Of Caution
(Terlampir)

Komplikasi:
Hemoragi dan cedera kepala, penyebab
lambat kematian (dalam 3 hari): sepsis.

Tn.L
(28 Tahun)

Planning ASKEP KGD:


Pengkajian CABD
Analisa Data
Diagnosa Keperawatan
NCP:
a. Tujuan: NOC
b. Intervensi: NIC :
c. Implementasi
d. Evaluasi

Tata Laksana:
Evdence Based: Analisa Jurnal
1. jurnal teori
2. jurnal kasus

STEP 5
LEARNING OBJEKTIF

1. Mahasiswa mampu memahami teori kegawat daruratan multipel trauma


yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas.
2. Mahasiswa mampu menganalisis kasus klien dengan multipel trauma
sesuai dengan TRIAGE gawat darurat.
3. Mahasiswa mampu mengaplikasikan tindakan gawat darurat dengan tepat,
cepat, dan benar pada klien dengan multipel trauma.
4. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan gawat darurat pada
klien dengan multipel trauma .

STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN

A.

Jurnal Teori
1. Identitas Jurnal
Judul

: Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in


Multiple Trauma Patients

Peneliti

: Rahmani, Farzad., Soleimanpour, Hassan., dan


Bakhtavar, Hanieh Ebrahimi

Tahun
Penerbit

: 2014
: Emergency Medicine: Open Access.

2. Isi Jurnal
Kecelakaan dan trauma dapat menyebabkan kerusakan fisik,
psikologis dan disisi lain dapat menyebabkan kerusakan modal dan
kerugian ekonomi. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebagai
tingkat tertinggi kematian akibat cedera yang tidak disengaja di
dunia. Trauma yang disebabkan oleh kecelakaan mobil setiap
tahunnya membunuh sekitar 1,2 juta orang dan lebih dari 50 juta
terluka atau cacat akibat trauma tersebut. Kerusakan yang
disebabkan oleh trauma berat dapat diminimalkan dengan onset
pengobatan yang cepat dan dengan segera merawat pasien trauma.
Sebagian besar kematian disebabkan oleh trauma, biasanya terjadi
pada saat sebelum mencapai rumah sakit atau pada jam-jam awal
setelah cedera.
Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
kematian dan cedera yang disebabkan oleh kendaraan pada tahun
2020 akan meningkat menjadi 67% di Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia dan rata-rata harian dari 23 orang mati di dunia.
Menurut pedoman ATLS, untuk setiap multi-trauma, leher
pasien di pasang neck collar dalam primary primer, bersamaan
dengan pemeriksaan jalan napas.
Tampaknya sebagian besar pasien dengan cervical collar
mengeluhkan

sesak

napas

dan

memiliki

keinginan

untuk

membukanya. Beberapa studi yang berbeda telah dilakukan tentang


dampak penggunaan neck collar pada pasien trauma pada tes fungsi
paru. Hasil studi ini menunjukkan bahwa menggunakan neck collar
dan stabilisasi tulang belakang dalam beberapa pasien trauma
dengan fungsi paru-paru normal, menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam volume paru-paru, terutama FVC, FEV1 dan
FEF25-75.
Dalam salah satu studi Kendrick Extrication Device [KED]
menyebutkan bahwa menggunakan cervical collar sebagai penyebab
utama dyspnea dan desaturasi oksigen pada pasien. Mengingat
penelitian tersebut, tampaknya bahwa pemantauan ventilasi,
terutama pada beberapa pasien trauma dengan cervical collar perlu
dilakukan. Menurut studi sebelumnya, menggunakan cervical collar
pada pasien trauma, telah ditemukan menyebabkan gangguan tes
fungsi paru. Jadi ada kemungkinan bahwa menggunakan cervical
collar memiliki dampak negatif pada ventilasi pasien trauma. Efek
samping ini dapat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada
pasien.
3. Kesimpulan
Penggunaan neck collar pada pasien dengan multi-trauma
disarankan daripada menggunakan cervical collar. Neck collar lebih
menguntungkan dari segi pernafasan dan fungsi paru yang lebih baik
daripada menggunakan cervical collar yang memiliki dampak negatif
pada ventilasi pasien trauma.

B. Jurnal Kasus
1. Identitas Jurnal
Judul

: Needle thoracostomy for tension pneumothorax:


the Israeli Defense Forces experience

Peneliti

: LTC Jacob Chen, MD, PhD Capt Roy Nadler, MD


Maj Dagan Schwartz, MD Col Homer Tien, MD
LTC Andrew P. Cap, MD, PhD Col Elon Glassberg,
MD, MHA

Tahun

: 2015

Penerbit

: PubMed

2. Isi Jurnal
Tension pneumotoraks adalah kondisi yang mengancam jiwa,
yang menghasilkan perubahan hemodinamik, seperti tekanan
intratorak meningkat dan mengganggu aliran balik vena ke atrium
kanan. Tension pneumotoraks disebabkan oleh penumpukan
progresif udara dalam rongga pleura, dan ventilasi tekanan positif
dapat mempercepat proses ini, yang dapat mengakibatkan traumatis.
Needle Tthoracostomy (NT) berpotensi menyelamatkan nyawa pada
tension pneumothorax. Prehospital needle thoracostomy dilakukan
oleh dokter dan paramedis militer atas instruksi dokter di Israel.
The ATLS merekomendasikan bahwa needle thoracostomy
harus dilakukan di ruang intercostal kedua (ICS) di linea. Jarum
direkomendasikan saat ini digunakan untuk dekompresi adalah
angiocatheter 14-gauge.

Pada jurnal

ini

tindakan

needle

thoracostomy menggunakan unit Vygon TT 10-Perancis, bukan


menggunakan angiocatheter 14-gauge sebagai sarana yang disukai
untuk dekompresi dada cepat.

Gambar. Vygon TT 10-Perancis

Gambar. Angiocatheter 14-gauge


Jurnal ini menjelaskan pengalaman kami dengan needle
thoracostomy menggunakan Vygon TT menawarkan alternatif yang
berpotensi aman dan wajar dibandingkan dengan needle standar
banyak keterbatasan. Menggunakan Vygon TT tidak memerlukan
keterampilan bedah canggih atau pelatihan dan dapat dimasukkan
secara efisien dan aman oleh penyedia ATLS.
3. Kesimpulan
Needle thoracostomy (NT) berpotensi menyelamatkan nyawa
pada tension pneumothorax. Tindakan needle thoracostomy dapat
dilakukan dengan jarum Angiocatheter 14-gauge yang
direkomendasikan ATLS atau Vygon TT 10-Perancis yang
berpotensi aman dan wajar.

STEP 7
LAPORAN PENDAHULAN
(Terlampir)

*Lampiran 1 Teori dan Analisis Kasus


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Multipel trauma merupakan istilah medis yang menggambarkan
kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang serius.Multipel trauma atau
politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal
pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al.,
2011). Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di
empat dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World
Health Organization) menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan
sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas di
seluruh dunia selama tahun 2011. Sementara di indonesia tahun 2016
jumlah kecelakaan pemudik tercatat sebanyak 1.289 kasus (Kemenhub,
RI).
Oleh sebab itu maka makalah ini akan membahas tentang multipel
trauma serta asuhan keperawatan yang diberikan pada kasus-kasus
multipel trauma.
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan laporan ini akan dibahas mengenai laporan
seven jump kasus 3 pada Keperawatan Gawat Darurat dengan klien
Multipel Trauma

yang meliputi tinjauan

analisa kesenjangan teori dan kasus.

teori, pembahasan kasus,

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep teori dan kasus mengenai asuhan
keperawatan pada klien Gawat Darurat dengan multipel trauma serta
kesenjangan antara teori dengan kasus tersebut.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui Definisi Multipel Trauma
b. Untuk Mengetahui Etiologi Multipel Trauma
c. Untuk mengetahui manifestasi Multipel Trauma
d. Untuk

mengetahui

pemeriksaan

penunjang

Multipel

Trauma
e. Untuk mengetahui patofisiologi Multipel Trauma
f. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara teori
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara kasus
h. Untuk mengetahui kesenjangan antara asuhan keperawatan
teori dengan asuhan keperawatan kasus yang di alami klien.
D. Manfaat
1.

Mahasiswa
Diharapkan mahasisiwa/i dapat mengerti dan memahami
tentang keperawatan gawat darurat sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan pada klien yang mengalami Multipel Trauma

2.

Masyarakat
Diharapkan masyarakat mengerti dan memahami tanda dan
gejala dari Multipel Trauma sehingga menambah wawasan dan
pengetahuan.

3.

Tenaga Kesehatan
Diharapkan tenaga kesehatan mengerti dan memahami
tentang penanganan Multipel Trauma sehingga dapat melakukan
pencegahan dan penatalaksanaan pada klien yang mengalami
Multipel Trauma.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

Definisi
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi
seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera
kepala serius selain luka bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma
adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio
atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan
memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial
dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et all., 2011).

B.

Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam,benda tumpul,atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ
apa yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui
biomekanik terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari
luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh
benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia.
Akibat cedera ini dapat menybabkan cedera muskuloskletal,dan kerusakan
organ. (Lamichhane P, et all., 2011).

C.

Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, yaitu:
1. Trauma tumpul
a. Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.
b. Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak.
c. Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat
(karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis).
d. Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan.
2. Trauma tajam
a. Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan

senapan.

b. Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada

system retroperitoneal.
c. Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami

kerusakan.
d. Luka tusukan mungkin akan menembus dinding peritoneum dan

seringkali merusak secara konservatif, bagaimana pun luka akibat


tembakan

senapan

selalu

membutuhkan

pembedahan

dan

penyelidikan lebih awal untuk mengendalikan cedera intraperitoneal.


(Catherino, 2003)

D.

Patofisioogi
Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada
tubuh penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut
menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif
tubuh untuk mengeliminasi jaringan yang rusak serta untuk mengeliminasi
jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006).
Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling
berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin
(tumor

necrosis

faktor-),

interleukins,

interferons,

leukotrienes,

prostaglandins, nitric oxide, reactive oxgen species, serta produk dari


classic inflammatory pathway (complement, histamine, bradykin). Ketika
mediator-mediator tersebut berkumpul di jaringan yang rusak maka
mediator-mediator tersebut akan melakukan rekrutmen sel-sel sistem imun
innate

dan

adaptive

untuk

menghancurkan

mikroorganisme

yang

menginvasi serta untuk melakukan proses perbaikan di jaringan yang


terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui kemampuan tubuh
untuk beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal
menjadi sistemik yang kemudian disebut dengan Systemic Inflammatory
Response Syndrome atau SIRS (Craig S R et., 2005).
SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi
yang tinggi sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik
dan meningkatkan kebutuhan akan oksigen. Keadaan hemodinamik yang
hiperdinamik akan menyebabkan peningkatan beban metabolik yang disertai

dengan muscle wasting, kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein.


Keadaan hipermetabolik ini akan disertai dengan peningkatan suhu tubuh
inti dan disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan
resusitasi yang adekuat maka konsumsi energi yang tinggi akan
menyebabkan terjadinya burn out (Gerard M D, 2006).
SIRS kemudian akan menyebabkan gangguan terhadap metabolisme
sel dan microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup
berat maka akan menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan
manifestasi berupa disfungsi beberapa organ tubuh, yaitu :
1. Disfungsi otak : delirium
2. Disfungsi paru-paru : hipoksia
3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema
4. Disfungsi ginjal : oligouria
5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus
6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia
7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia.
Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan
terhadap sistem imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom
tersebut dikenal dengan multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). MODS kemudian akan menyebabkan terjadinya multiple
organ failure (MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian
(Gerard M D, 2006). Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan
juga dapat meyebabkan terjadinya acute respiratory distress syndrome
(ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh karena pada respon inflamasi
yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan alveolarcapillary sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke
rongga alveoli yang akan menimbulkan manifestasi klinis ARDS
(Gerard M D, 2006).
E.

Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar, ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus

4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda Bruit (bunyi abnormal pada auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis).
7. Nyeri.
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal.
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal.
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis.
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe. (Lamichhane P,
et all., 2011).
F.

Komplikasi
1.

Penyebab kematian dini (dalam 72 jam)


Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian
dini setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka
perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi
ligasi (pengikatan) dan pembungkusan, dan embolisasi dengan
angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple,
sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC.
Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan
akhirnya terjadi penurunan perfusi organ. (Lamichhane P, et all.,
2011).

2.

Penyebab kematian lambat (setelah 3 hari)

Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma


multiple. Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang
mengarah pada penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan
arus balik vena. Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk
mengimbangi penurunan tekanan vaskular sistemik. Akhirnya,
mekanisme kompensasi terlampaui dan curah jantung menurun sejalan
dengan tekanan darah dan perfusi. Sumber infektif harus ditemukan
dan di basmi. Diberikan antibiotik, dilakukan pemeriksaan kultur,
mulai dilakukan pemeriksaan radiologok, operasi eksplorasi sering
dilakukan. Abses intra abdomen merupakan penyebab sepsis paling
sering . Sebagaian abses dapat keluarkan perkuatan, sedangkan yang
lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan drainase abses
abdomen, insisi di biarkan terbuka, dengan drainase terpasang, untuk
memungkinkan

penyembuhan

dan

menghindari

kekambuhan.

Sumber-sumber infeksi lainnya yang perlu diperhatikan adalah selang


invasif, saluran kemih, dan paru-paru. Di perkirakan bahwa pemberian
nutrisi yang dini dapat menurunkan perkembangan sepsis dan gagal
organ multipel. (Lamichhane P, et all., 2011).
G.

Pemeriksaan Diagnostik
1.

Trauma Tumpul
a.

Diagnostik Peritoneal Lavage


DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan
dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal.
Harus dilaksanakan oleh tim bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama
bila dijumpai :
1)

Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,


kecanduan obat-obatan.

2)

Perubahan sensasi trauma spinal.

3)

Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra


lumbalis.

4)

Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.

5)

Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien


dalam waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera
extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya
Angiografi.

6)

Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan


kecurigaan trauma usus (Lamichhane P, et all., 2011).

DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik


normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak
memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu
kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas
untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya
operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai
tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger) di infraumbilikal oleh
dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu
hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita
mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus
yang

membesar.

Adanya

aspirasi

darah

segar,

isi

gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,


melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila
tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses, dilakukan
lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg).
Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun
melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di
laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004). Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000
mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk
bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma

tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada


aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets,
2002).
b.

FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)


Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan
USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan
adanya peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman,
ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk
meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan
DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat,
noninvansive,

akurat

dan

murah

untuk

mendeteksi

hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat


digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi,
yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya
sama dengan indikasi DPL. (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2006).
c.

Computed Tomography (CT)


Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa
untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang
sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004).

2.

Trauma Tajam
a.

Cedera thorax bagian bawah


Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan
pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.

b.

Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan


dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien
yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi

pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan


diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi
diagnostik.
c.

Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double


atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk
pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast,
maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk
pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi
simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi
cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang
linea axillaries anterior (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2006)

H.

Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
c. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam.
d. Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik

yang

abnormal,

rontgen

foto

thorax

tegak

bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau


pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas
intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal,

pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka
tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya
udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
2.

Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah
itu sendiri.
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin.
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
d. Koagulasi : PT, PTT
e. MRI
f. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic.
g. CT Scan
h. Radiograf

dada

mengindikasikan

peningkatan

diafragma,

kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.


i. Scan limfa
j. Ultrasonogram
k. Peningkatan serum atau amylase urine
l. Peningkatan glucose serum
m. Peningkatan lipase serum
n. DPL (+) untuk amylase
o. Penigkatan WBC
p. Peningkatan amylase serum
q. Elektrolit serum
r. AGD
(Lamichhane P, et all., 2011)..
3.

Penilaian Pasien Trauma


Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi
dari lingkungan ke tubuh manusia. Trauma adalah penyebab utama
kecacatan di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 150 ribu kematian
tiap tahunnya. Trauma dapat dikategorikan sebagai kejadian yang
disengaja dan tidak disengaja. Di Amerika Serikat, trauma yang tidak
disengaja menjadi penyebab utama nomor lima timbulnya kematian di

semua golongan usia dan menjadi penyebab nomor satu di kategori


usia 1-34 tahun. (Lamichhane P, et all., 2011).
Mekanisme cedra mengacu pada proses yang memungkinkan
energi berpindah dari lingkungan pada pasien yang menderita
trauma. Energi merupakan agen penyebab timbulnya cedera fisik,
sedangkan tipe energi yang dapat menimbulkan trauma adalah
energi mekanik, elektrik, panas, kimia, dan radiasi. Berdasarkan
jenis energi, cedera yang disebabkan oleh energi mekanik paling
sering terjadi. Proses tersalurnya energi mekanik pada pasien bisa
melalui kejadian seperti kecelakaan, jatuh, serangan benda tumpul,
penikaman, dan luka tembak. Cedera yang diakibatkan oleh tekanan
mekanik dapat dibedakan menjaadi cedera tumpul dan penetratif.
Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dapat dikategorikan
sebagai cedera tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk
merupakan contoh dari cedera penetratif. Tabel 4.1 menjelaskan pola
cedera yang umumnya terjadi pada pengemudi yang mengalami
kecelakaan tanpa memakai alat pengaman. (Lamichhane P, et all.,
2011).
Tabel 2. 1. Mekanisme dan Pola Cedera
Mekanisme Cedera

Kemungkinan Pola Cedera

Tabrakan depan
Pola jaring laba-laba atau pola Patah tulang belakang daerah serviks,
bulls eye pada kaca depan.

trauma wajah.

Setir mobil tertekuk.

Anterior flail chest, cidera kardiak


tumpul, pneumothoraks, cidera hati
atau limpa, gangguan aortik.

Bekas lutut pada dasboard.

Patah / dislokasi lutut, femur dan


panggul.

Tabrakan samping
Kontak kepala dengan jendela Patah tulang belakang daerah serviks,
samping.

cedera kepala.

Pintu

terdorong

ke

ruang Lateral flail chest.

penumpang.

Cedera hati atau limpa (tergantung sisi


yang terkena tumbukan).

Tabel 2.2. Skoring Trauma


Kemungkinan Selamat
Ukuran

Skor

Total Skor

Numerik

Persentase
Pasien
Selamat (%)

Tekanan darah sistolik (mmHg)


>89

76-89

50-75

1-49

Laju pernapasan

12

99,5

11

96,9

10

87,9

76,6

66,7

63,6

63

45,5

3 atau 4

33,3

28,6

25

3,7

(inspirasi spontan per menit)*


10-29

>29

6-9

1-5

*Pasien memulai bernapas


sendiri, tidak menggunakan
ventilasi mekanis
Skor skala koma Glasgow
13-15

9-12

6-8

4-5

Tabel 2.3. Penilaian primer dan sekunder bagi pasien trauma.


Komponen

Penilaian

Kemungkinan
Intervensi

A Airway/Saluran
pernapasan

Dengarkan suara
terbuka/tersumbat?
Cari serpihan benda-

Buka saluran
pernapasan
menggunakan chin-

benda, darah,

lift atau manuver

muntah, dan benda

modified jaw-thrust.

asing.

Bersihkan saluran
pernapasan, sedot dan
bersihkan dari bendabenda asing.
Berikan saluran
pernapasan buatan:
saluran pernapasan
orofaring atau
nasofaring, intubasi
trakea, atau saluran
pernapasan lewat
proses bedah.

Breathing/
pernapasan

Amati respirasi

Berikan oksigen

spontan, chest

dengan laju tinggi

excursion, laju dan

melalui non-

kedalaman respirasi,

rebreather mask.

dan usaha untuk


bernapas.
Auskultasi suara
pernapasan.

Ganti udara dengan


menggunakan tekanan
positif (bag-valvemask)
Bantu dengan
menggunakan
intubasi trakea atau

penempatan saluran
napas lewat proses
bedah.
C Circulation/
Sirkulasi

Cari pendarahan
yang tampak jelas.
Periksa kulit untuk
warna, suhu,

Lakukan penekanan/
letakkan luka di posisi
yang lebih tinggi.
Masukkan dua atau

kelembapan, dan

lebih kateter large-

capillary refill time.

bore intravenous.

Raba denyut nadi


sentral dan distal.

Berikan bolus dari


crystalloids atau
darah.
Lakukan transfusi
darah dada.
Gunakan splint untuk
mengontrol
pendarahan.
Fasilitasi intervensi
bedah untuk kondisi
pendarahan internal
atau eksternal yang
parah.
Sediakan resusitasi
kardiopulonary/
advanced cardiac life
support bila
diperlukan.

D Disability/
Ketidakmampuan

Periksa akondisi

Jangan sampai pasien

neurologis

mengalami hipotensif

menggunakan

atau hipoksia.

mnemonic AVPU.

Jaga dengan hati-hati

Periksa pupil,
simetris atau tidak,
dan reaksi terhadap
cahaya.

kondisi tulang
belakang.
Pertimbangkan
pemberian manitol,
tindakan untuk
memperbaiki laju
pembuluh vena dari
otak, pembedahan
atau hiperventilasi
singkat.

Exposure

and Periksa seluruh tubuh.

Berikan penghangat

environmental
(Pemaparan

Lepas semua baju.

dan

tubuh.

Lingkungan)
F

Full set of vital


signs,

five

interventions, and
family presence

Dapatkan data-data
vital.
Nilai kebutuhan
psikologis pasien
dan keluarga.

Mulai pengawasan
kardiak berkelanjutan
dan saturasi oksigen.
Pertimbangkan untuk
memasukkan pipa
nasogastrik atau
orogastrik dan kateter
saluran urine.

G Give

comfort Ukur tingkat kesakitan.

measures

Berikan obat untuk


nyeri seperti
disarankan.
Gunakan cara
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri.

History
H

Jika pasien sadar,

Dapatkan informasi

kumpulkan sejarah data

MIVT dari jasa medis

medis.

darurat.

Head-to-toe

Lakukan pemeriksaan

examination

dari kepala ke kaki;


inspeksi, auskultasi, dan
raba pasien dari kepala
ke kaki.

Inspect posterior Miringkan pasien ke


surfaces

satu sisi. Periksa dan


raba semua permukaan
tubuh bagian belakang.

I.

Penatalaksanaan
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif,
dan mengontrol pendarahan. (Lamichhane P, et all., 2011).
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak
morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.
Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah
besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan
jumlah pasien yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian
terjadi dalam hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian
dalam periode ini terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau
pendarahan yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada
solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang diterima
dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera sangat penting
untuk mempertahankan nyawa pasien.
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma
Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary
survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada
jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi
beberapa hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode ini

terjadi karena sepsis, kegagalan beberapa organ dan pernapasan, atau


komplikasi lain.
Oleh karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan
evaluasi dan intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami multipel
trauma

memerlukan

tindakan

dari

tim

yang

terkoordinasi

untuk

menyelamatkan pasien. Pemimpin dalam tim mengamati jalannya usaha


penyelamatan pasien. Komposisi tim berbeda-beda dari tempat ke tempat
yang lain, terapi biasanya terdiri atas paling tidak satu satu dokter, satu
perawat, dan petugas perawat tambahan. (Lamichhane P, et all., 2011).
1.

Primary Survey
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan
survei sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan
menyediakan metode perawatan individu yang mengalami multiple
trauma secara konsisten dan menjaga tim agar tetap terfokus pada
prioritas perawatan. Masalah-masalah yang mengancam nyawa terkait
jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran pasien
diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan
menit sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi
mengancam nyawa seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest,
dan pendarahan dapat dideteksi melalui survei primer. Ketika kondisi
yang mengancam nyawa telah diketahui, maka dapat segera dilakukan
intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi pasien. Pada survei
primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang
bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E: Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol
lingkungan). (Lamichhane P, et all., 2011).
A : Airway (Jalan Napas)

Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada


penanganan pasien trauma. Penilaian jalan napas dilakukan
bersamaan dengan menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher
pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher dengan
menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long
spine board. Dengarkan suara spontan yang menandakan
pergerakan udara melalui pita suara. Jika tidak ada suara, buka
jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau manuver modified
jaw-thrust. Periksa orofaring, jalan napas mungkin terhalang
sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan)
atau serpihan kecil seperti gigi, makanan, atau benda asing.
Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suctioning, reposisi) dan
kemudian evaluasi kepatenan jalan napas. Alat-alat untuk
mempertahankan jalan napas seperti nasofaring, orofaring,
LMA, pipa trakea, Combitute, atau cricothyrotomy mungkin
dibutuhkan untuk membuat dan mempertahankan kepatenan
jalan napas. (Lamichhane P, et all., 2011).
B : Breathing (Pernapasan)
Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma sering
terjadi kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat
dari kondisi serius pada status neurologis pasien. Untuk menilai
pernapasan, perhatikan proses respirasi spontan dan catat
kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya. Periksa dada
untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernapasan dan
gerakan naik turunnya dinding dada secara simetris saat
respirasi. Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera
tertentu misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat dengan
mudah. Lakukan auskultasi suara pernapasan bila didapatkan
adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan bahwa
pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada
dalam kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya. Intervensi
selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan


volume tidal yang cukup, gunakan non-rebreather mask
dengan reservoir 10-12 l/menit.
b. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan.
Gunakan bag-valve-mask untuk mendorong tekanan positif
oksigen pada pasien saat kondisi respirasi tidak efektif.
Pertahankan jalan napas efektif dengan intubasi trakea jika
diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.
c. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi,
pastikan posisi pipa benar; verifikasi ulang bila dibutuhkan.
Perhatikan gerakan simetris naik turunnya dinding dada,
auskultasi daerah perut kemudian paru-paru dan perhatikan
saturasi oksigen melalui pulseoximeter.
d. Bila didapatkan trauma toraks, maka perlu tindakan yang
serius. Tutup luka dada selama proses pengisapan, turunkan
tekanan pneumotoraks, stabilisasi bagian-bagian yang flail,
dan masukkan pipa dada.
e. Perlu dilakukan penilaian ulang status pernapasan pasien
yang meliputi pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam
darah (arterial blood gase). (Lamichhane P, et all., 2011).
C : Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma
mencakup evaluasi adanya pendarahan, denyut nadi, dan
perfusi.
a. Pendarahan
Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif dan
tekan langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan
daerah yang mengalami pendarahan sampai di atas ketinggian
jantung. Kehilangan darah dalam jumlah besar dapat terjadi
di dalam tubuh. (Lamichhane P, et all., 2011).
b. Denyut nadi

Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi,


kualitas, laju, dan
dilihat

secara

ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat

langsung

sesudah

trauma,

hipotermia,

hipovolemia, dan vasokonstriksi pembuluh darah yang


disebabkan respons sistem saraf simpatik yang sangat intens.
Raba denyut nadi karotid, radialis, dan femolar. Sirkulasi
dievaluasi melalui auskultasi apikal. Cari suara degupan
jantung yang menandakan adanya penyumbatan perikardial.
Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut
untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya. Pasien yang
mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis
yang jelek, terutama setelah terjadi trauma tumpul. Pada
populasi pasien trauma, selalu pertimbangkan tekanan
pneumotoraks dan adanya sumbatan pada jantung sebagai
penyebab hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat kembali
normal

apabila

dilakukan

needle

thoracentesis

dan

pericardiocentesis.
c. Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit
basah,

pucat,

sianosis,

atau

bintik-bintik

mungkin

menandakan keadaan syok hipovolemik. Cek warna, suhu


kulit, adanya keringat, dan capillary refill. Waktu capillary
refill adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak, tapi
kegunaanya berkurang seiring dengan usia pasien dan
menurunnya kondisi kesehatan. Namun demikian, semua
tanda-tanda syok tersebut belum tentu akurat dan tergantung
pada pengkajian. Selain kulit, tanda-tanda hipoperfusi juga
tampak pada orang lain, misalnya oliguria, perubahan tingkat
kesadaran, takikardi, dan disritmia. Selain itu, perlu
diperhatikan

juga

adanya

penggelembungan

atau

pengempisan pembuluh darah di leher yang tidak normal.


Mengembalikan volume sirkulasi darah merupakan tindakan

yang penting untuk dilakukan dengan segera. Pasang IV line


dua jalur dan infus dengan cairan hangat. Gunakan blood set
dan bukan infuse set karena blood set mempunyai diameter
yang lebih lebar dari infuse set sehingga memungkinkan
tetesannya lebih cepat dan apabila ingin memberikan
transfusi darah, maka bisa langsung digunakan tanpa harus
diganti.
Berikan 1-2 l cairan isotonic crystalloid solution (0,9% normal
saline atau Ringers lactate). Pada anak-anak, pemberiannya
berdasarkan berat badan yaitu 20 ml/kgBB. Dalam pemberian
cairan perlu diperhatikan respons pasien dan setiap 1 ml darah
yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan crystalloids. Pada kondisi
multiple trauma sering terjadi perdarahan akibat kehilangan akut
volume darah. Secara umum volume darah orang dewasa adalah
7% dari berat badan ideal (BBI) sementara volume darah anakanak berkisar antara 8-9% BBI. Jadi orang dewasa dengan berat
badan 70 kg diperkirakan memiliki volume darah. Klasifikasi
perdarahan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%)
Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada perubahan yang
berarti dari tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan.
Pada penderita yang sebelumnya sehat tidak perlu dilakukan
transfusi. Pengisian kapiler dan mekanisme kompensasi lain
akan memulihkan volume darah dalam 24 jam.
2) Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%)
Gejala klinis meliputi takikardia, takipnea, dan penurunan
tekanan

nadi.

Penurunan

tekanan

nadi

ini

terutama

berhubungan dengan peningkatan komponen distolik karena


pelepasan katekolamin. Katekolamin bersifat inotropik yang
menyebabkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh
darah perifer. Tekanan sistolik hanya sedikit berubah
sehingga lebih tepat mendeteksi perubahan tekanan nadi.

Perubahan sistem saraf sentral berupa cemas, ketakutan, dan


sikap bermusuhan. Produksi urine sedikit terpengaruh yaitu
antara 20-30 ml/jam pada orang dewasa. Ada penderita yang
terkadang memerlukan transfusi darah, tetapi kebanyakan
masih bisa distabilkan dengan larutan kristaloid.
3) Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%)
Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir selalu
ada yaitu takikardi, takipnea, penurunan status mental dan
penurunan tekanan darah sistolik. Penderita ini sebagian
besar memerlukan transfusi darah.
4) Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%)
Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan tekanan darah
sistolik yang besar dan tekanan nadi yang sempit (tekanan
distolik tidak teraba), produksi urin hampir tidak ada,
kesadaran jelas menurun, kulit dingin, dan pucat. Transfusi
sering kali harus diberikan secepatnya. Bila kehilangan darah
lebih dari 50% volume darah, maka akan menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran, kehilangan denyut nadi dan
tekanan darah. (Lamichhane P, et all., 2011).
Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi jumlah
cairan kristaloid yang harus diberikan. Berdasarkan hukum 3 for
1 rule artinya jika terjadi perdarahan sekitar 1.000 ml, maka
perlu diberikan cairan kristaloid 3 x 1.000 ml yaitu 3.000 ml
cairan kristaloid. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian cairan IV secara agresif pada pasien trauma dapat
memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini karena dapat
menurunkan

hemostatic

plugs

yang

terbentuk

untuk

menghentikan pendarahan, tetapi kondisi ini hanya terjadi pada


beberapa kelompok pasien saja. Secara umum, apabila seorang
pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap tidak stabil secara
hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloids 2-3 l,
sebaiknya pasien segera diberikan transfusi darah. Pemberian

transfusi darah disesuaikan dengan jenis dan golongan darah


pasien.
D : Disability (Status Kesadaran)
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan
mnemonic AVPU. Sebagai tambahan, cek kondidi pupil, ukuran,
kesamaan, dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat survei primer,
penilaian neurologis hanya dilakukan secara singkat. Pasien
yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien diabetes) harus
dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila didapatkan kondisi
hipoglikemi berat, maka diberikan Dekstrose 50%. Adanya
penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian lebih
lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah
pemeriksaan survei sekunder. Mnemonic AVPU meliputi: awake
(sadar); verbal (berespons terhadap suara/ verbal); pain
(berespons terhadap rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak
berespons).
E : Exposure and Environmental Control (Pemaparan dan
Kontrol Lingkungan)
Pemaparan (Exposure)
Lepas semua pakaian pasien secara cepat untuk memeriksa
cedera, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi
pasien secara umum, catat kondisi tubuh, atau adanya bau zat
kimia seperti alkohol, bahan bakar, atau urine.
Kontrol Lingkungan (Environmental Control)
Pasien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting
karena ada kaitannya dengan vasokonstriksi pembuluh darah
dan koagulopati. Pertahankan atau kembalikan suhu normal
tubuh dengan mengeringkan pasien dan gunakan lampu
pemanas, selimut, pelindung kepala, sistem penghangat udara,
dan berikan cairan IV hangat. (Lamichhane P, et all., 2011).
2.

Secondary Survey

Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait


dengan jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah
selesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah survei
sekunder. Pada survei sekunder pemeriksaan lengkap mulai dari head
to toe. Berbeda dengan survei primer, dalam pemeriksaan survei
sekunder ini apabila didapatkan masalah, maka tidak diberikan
tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut dicatat dan diprioritaskan
untuk tindakan selanjutnya. Jika pada saat tertentu, pasien tiba-tiba
mengalami masalah jalan napas, pernapasan atau sirkulasi, maka
segera lakukan survei primer dan intervensi sesuai dengan indikasi.
Mnemonic yang digunakan untuk mengingat survei sekunder ialah
huruf F ke I. (Lamichhane P, et all., 2011).
F : Full Set of Vital Signs, Five Interventions, and Facilitation of
Family

Presence

(Tanda-tanda

vital,

intervensi,

dan

memfasilitasi kehadiran keluarga)


Full Set of Vital Signs (TTV)
Tanda-tanda vital ini menjadi dasar untuk penilaian selanjutnya.
Pasien yang kemungkinan mengalami trauma dada harus dicatat
denyut nadi radial dan apikalnya; nilai tekanan darah pada kedua
lengan. Termasuk suhu dan saturasi oksigen sebaiknya
dilengkapi pada tahap ini, jika belum dilakukan.

Five Interventions (5 Intervensi)


Lima intervensi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Pemasangan monitor jantung.
b. Pasang nasogastrik tube atau orogastrik tube (jika ada indikasi).
c. Pasang folley kateter (jika ada indikasi).
d. Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah lengkap, kimia
darah, urinalysis, urine, kadar ethanol, toxicologic screens
(urine, serum), clotting studies (prothrombin time, activated
partial thromboplastin time, fibrinogen, D dimer) untuk pasien
dengan yang mengalami gangguan koagulopati.

e. Pasang oksimetri.
Facilitation of Family Presence (Memfasilitasi Kehadiran Keluarga)
Memfasilitasi

kehadiran

keluarga

berarti

memberikan

kesempatan untuk bersama pasien meskipun berada dalam


situasi yang mengancam nyawa, tetapi hal ini masih menjadi hal
yang kontroversial sampai sekarang. Berdasarkan kesepakatan
Emergency Nurses Association (ENA), keluarga diberikan
kesempatan untuk bersama dengan pasien selama proses invasif
dan resusitasi. Rumah sakit atau klinik yang mengizinkan
kehadiran keluarga pasien harus memiliki standar prosedur
tentang bagaimana cara menenangkan, mendukung, dan
memberikan informasi pada anggota keluarga.
(Gerard M D, 2006)
G : Give Comfort Measures (Memberikan Kenyamanan)
Korban trauma sering mengalami masalah yang terkait dengan
kondisi fisik dan psikologis. Metode farmakologis dan nonfarmakologis banyak digunakan untuk menurunkan rasa nyeri
dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim
trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan intervensi
bila dibutuhkan.
H : History and Head-to-Toe Examination
Riwayat Pasien (History)
Jika pasien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada
pasien untuk memperoleh informasi tentang pengobatan, alergi,
dan riwayat penyakit yang bersangkutan. Anggota keluarga
pasien bisa juga menjadi sumber untuk memperoleh data ini.
Informasi penting tentang kondisi sebelum sampai di rumah
sakit seperti tempat kejadian, proses cedera, penilaian pasien
dan

intervensi

didapatkan

dari

petugas

EMS.

Untuk

mempermudah dalam melakukan pengkajian yang berkaitan


dengan riwayat kejadian pasien, maka dapat digunakan
mnemonic MIVT yaitu mechanism (mekanisme), injuries

suspected (dugaan adanya cedera), vital sign on scene (TTV di


tempat kejadian), dan treatment received (perawatan yang telah
diterima). (Lamichhane P, et all., 2011).
Head-to-toe Examination
(Pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki)
Kepala (Head)
Kepala dilakukan inspeksi secara sistematis dan dinilai adanya
luka-luka yang tampak, perubahan bentuk, dan kondisi kepala
yang tidak simetris. Raba tengkorak untuk mencari fragmen
tulang yang tertekan, hematoma, laserasi, ataupun nyeri.
Perhatikan area ekimosis atau perubahan warna. Ekimosis di
belakang telinga atau di daerah periorbital adalah indikasi
adanya fraktur tengkorak basilar (fraktur basis cranii). Berikut
adalah intervensi yang dapat dilakukan:
a. Jaga kondisi pasien agar tidak terjadi hipotensi atau
hipoksia.
b. Manitol dapat diberikan secara IV untuk menurunkan
tekanan intrakranial.
c. Pasien cedera kepala yang kondisinya terus memburuk,
harus dipertimbangkan pemberian terapi hiperventilasi untuk
menurunkan PaCO2 dari 30-35 mmHg.
d. Observasi tanda-tanda peningkatan TIK dan persiapkan
pasien jika diperlukan tindakan bedah. (Gerard M D, 2006)
Muka (Face)
Periksa dan perhatikan apakah terdapat luka paada wajah pasien
dan kondisi wajah yang tidak simetris. Perhatikan adanya cairan
yang keluar dari telinga, mata, hidung, dan mulut. Cairan jernih
yang berasal dari hidung dan telinga diasumsikan sebagai cairan
serebrospinal sampai diketahui sebaliknya. Evaluasi kembali
pupil yang meliputi kesimetrisan, respons cahaya, dan
akomodasi

mata,

serta

periksa

juga

fungsi

ketajaman

penglihatan. Minta pasien untuk membuka dan menutup mulut

untuk mengetahui adanya malocclusion, laserasi, gigi hilang


atau goyah, dan/atau benda asing. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut :
a. Scan noncontrast computerized axial tomographic.
b. Panoramic radiographic views of the jaw.
c. Intervensi yang dapat dilakukan adalah memberikan
perawatan luka.
Leher (Neck)
Periksa kondisi leher pasien dan pastikan pada saat melakukan
pengkajian posisi leher tidak bergerak. Lakukan palpasi dan
inspeksi terhadap adanya luka, jejas, ekimosis, distensi
pembuluh darah leher, udara di bawah kulit, dan deviasi trakea.
Arteri karotid juga dapat diauskultasi untuk mencari suara
abnormal. Lakukan palpasi untuk mengetahui perubahan bentuk,
kerusakan, lebam, jejas di tulang belakang. Trauma penetratif
pada leher jarang mengakibatkan cedera tulang belakang. Meski
begitu, kerusakan tulang belakang sebaiknya dipertimbangkan
sampai dibuktikan sebaliknya dengan penilaian klinis atau
radiografis. Empat pengamatan radiorafis yang dibutuhkan
untuk mendapatkan gambaran tulang belakang secara utuh
adalah sebagai berikut
a. Cross-table lateral (harus tampak C1-T1).
b. Anterior-posterior.
c. Lateral.
d. Open-mouth odontoid.

Dada (Chest)
Periksa dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan,
perubahan bentuk, trauma penetrasi atau luka lain, lakukan
auskultasi jantung dan paru-paru. Palpasi dada untuk mencari
perubahan bentuk, udara di bawah kulit dan area lebam/jejas.
Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:

a. Ambil portable chest radiograph jika pasien tidak dapat


duduk tegak untuk sudut posterior-anterior dan lateral.
b. Lakukan perekaman ECG 12-lead pada pasien yang diduga
atau memiliki trauma tumpul pada dada.
c. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan BGA jika
pasien menunjukkan distress napas atau telah memakai
ventilator mekanik.
Abdomen (Perut)
Periksa peruit untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi,
atau onjek yang menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi
perut, auskultasi suara perut di semua empat kuadran, dan secara
lembut palpasi dinding perut untuk memeriksa adanya
kekakuan, nyeri, rebound pain atau guarding. Tindakan yang
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut:
a. Periksa FAST (focused abdominal sonography for trauma)
yaitu proses pemeriksaan sonografi pada empat wilayah
perut (perikardial, perihepatik, perisplenik, dan pelvis)
digunakan untuk mengidentifikasi cairan intraperitoneal
pada pasien dengan trauma tumpul pada perut.
b. Diagnosis peritoneal lavage (jarang digunakan karena sudah
tersedia CT-scan).
c. CT scan bagian perut (dilakukan dengan tingakat kontras
medium).
d. Urutan pemeriksaan radiografis perut atau ginjal-uretrakandung kemih.

Pelvis (Panggul)
Periksa panggul untuk mengetahui adanya pendarahan, lebam,
jejas, perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki,
periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita periksa adanya
pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah,

feses, atau cedera lain. Pemeriksaan rektum dilakukan untuk


mengukur sphincter tone, adanya darah, dan untuk mengetahui
posisi prostat. Letak prostat pada posisi high-riding, darah pada
urinary meatus, atau adanya scrotal hematoma adalah
kontraindikasi untuk dilakukannya kateter sampai uretrogram
retrograde dapat dilakukan. Untuk mengetahui stabilitas
panggul lakukan penekanan secara halus ke arah dalam (menuju
midline) pada iliac crests. Lakukan palpasi pada daerah simfisis
pubis jika pasien mengeluh nyeri atau terdengar adanya gerakan,
hentikan pemeriksaan dan lakukan pemeriksaan X-rays.
(Lamichhane P, et all., 2011).

Ekstremitas (Extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan
bentuk, dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka
lain. Periksa sensorik-motorik dan kondisi neurovaskular pada
masing-masing ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui
adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidaknormalan suhu. Jika
ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovaskular
distal secara teratur dan sistematis. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan Xrays pada ekstremitas yang mengalami gangguan. Intervensi
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Balut bidai.
b. Perawatan luka.
(Lamichhane P, et all., 2011).
I : Inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian
Belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam
kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini
membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim
menilai keadaan posterior pasien dengan mencari tanda-tanda

jejas, lebam, perubahan warna, atau luka terbuka. Palpasi tulang


belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran,
atau nyeri. Pemeriksaan rektal dapat dilakukan pada tahap ini
apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan
pada kesempatan ini juga bisa digunakan untuk mengambil baju
pasien yang berada di bawah tubuh pasien. Apabila pada
pemeriksaan tulang belakang tidak didapatkan adanya kelainan
atau gangguan pada pasien dapat telentang, maka backboard
dapat diambil (dengan mengikuti protokol institusi). Tindakan
yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan X-ray pada tulang belakang (leher, toraks,
pinggang).
b. CT scan tulang belakang.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Jaga tulang belakang agar tidak bergeser, sampai pasien
sudah normal.
2) Pertimbangkan memberi lapisan atau mengambil papan.
Lihat tanda-tanda kerusakan kulit. (Lamichhane P, et
all., 2011).

J.

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat (Konsep)


1.

Pengkajian
a. Pengkajian primer
Airway (jalan nafas)
Pemeriksaan jalan napas pada pasien multi trauma merupakan
prioritas utama. Usaha untuk kelancaran jalan nafas harus di
lakukan dengan cara clin lift atau jaw thrust secara manual untuk
membuka jalan nafas.
Breathing (dan ventilasi)

Semua penderita trauma harus mendapat suplai oksigen yang tinggi


kecuali jika terdapat kontrindikasi terhadap tindakkan ini. Bantuan
ventilasi harus dimulai jika usaha pernapasan inadekuat.
Circrulation (sirkulasi)
Jika ada gangguan sirkulasi segera tanggani dengan pemasangan
IV line. Dan tentukan status sirkulasi dengan mengkaji
nadi,mencatat Irma dan ritmenya.
Disability (evaluasi neurologis)
Pantau status neurologis secara cepat meliputi tingkat kesadaran
dan

GCS,dan

ukur

reaksi

pupil

serta

tanda-tanda

vital.

(Lamichhane P, et all., 2011).


b. Pengkajian sekunder
Kepala
1) Inpeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala: hal ini penting
karna kulit kepala biasanya tidak terlihat karna tertup rambut.
2) Catat adanya pendarahan,laserasi memar,atau hematom.
3) Catat adanya darah atau drainase dari telinga.
4) Inpeksi adnya memar di belakang telinga.
5) Kaji respond an orientasi pasien akan waktu,tempat,dan diri .
observasi bagaimana pasien merespons pertanyaan dan
berinteraksi dengan lingkungan.
6) Catat adanya tremor atau kejang.
Wajah
1) Inpeksi dan palpasi tulang wajah
2) Kaji ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya.catat apakah
lensa kontak terpasang; jika ya lepaskan
3) Catat adanya darah atau drainage dari telinga,mata,hidung,atau
mulut.
4) Observasi bibir, daun telinga, dan ujung kuku terhadap sianosis
5) Cek adanya gigi yang tanggal
6) Cek adanya gigi palsu.jika ada pasien mengalami penurunan
tingkat kesadaran atau gigi palsu mempengaruhi jalan

nafas,lepaskan;lalu di beri nama dan simpan di tempat yang


aman (lebih baik berikan pada keluarganya )
7) Inpeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma.
(Gerard M D, 2006)
Leher
1) Observasi adanya bengkak atau deformitas di leher
2) Cek spinal servikal utuk devormitas dan nyeri pada
palpasi.perhatikan jangan menggerakkan leher atau kepala
pasien dengan kemungkinan trauma leher sampai fraktur
servikal sudah di pastikan
3) Observasi adanya deviasi trakea.
4) Observasi adanya distensi vena jugularis

Dada
1) Inpeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan
dan untuk kesimetriasan pergerakan.
2) Catat adanya segmen flailchest
3) Cek adanya fraktur iga padengan melakukan penekanan pada
tulang iga pada posisi lateral, lalu anterior dan posterior;
manufer ini menyebabkan nyeri pada pasien dengan fraktur iga
4) Catat keluhan pasien akan nyeri,dispnea,atau sensasi dada
terasa berat
5) Catat memar,pendarahan ,luka atau emfisema subkutaneus
6) Auskultasi paru utuk kualitas dan kesemetrisan bunyi napas.

Abdomen
1) Catat adanya distensi ,perdarahan , memar, atau abrasi ,
khususnya di sekitar organ vital seperti limpa atau hati
2) Auskultasi abdomen utuk bising usus sebelum mempalpasi
mengkaji secara benar.
(Gerard M D, 2006)
Genetalia dan pelvis

1) Oservasi untuk abrasi, perdarahan, hematoma, edema, atau


discharge.
2) Observasi adnya gangguan kemih.
Tulang belakang
1) Mulai tempatkan satu tangan di bawah leher pasien.dengan
lembut palpasi vertebrata, rasakan adanya deformitas, dan catat
lokasinya jika terdapat respon nyeri pada pasien
2) Perhatian : jangan pernah membalik pasien untuk memeriksa
tulang belakang sampai trauma spinal sudah di pastikan ! jika
anda harus membalik pasien (misalnya luka terbuka) gunakan
tehnik log-roll.
3) Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika mempalpasi
sudut costovertebral melewati ginjal.
(Gerard M D, 2006)
Ekstremitas
Cek adanya pendarahan, edema, pallor nyeri, atau asimetris tulang
atau sendi mulai pada segmen proksimal pada setiap ekstremitas
dan palpasi pada bagian distal. (Gerard M D, 2006).

TENSION PNEUMOTHORAX

A.

Definisi
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ
mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang
mengalami tekanan (Manjoer, 2000).

B.

Etiologi
Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:

Trauma benda tumpul atau tajam meliputi gangguan salah


satu pleura visceral atau parietal dan sering dengan patah
tulang rusuk (patah tulang rusuk tidak menjadi hal yang
penting bagi terjadinya Tension Pneumotoraks)

Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah


pusat), biasanya vena subclavia atau vena jugular interna (salah
arah kateter subklavia).

Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks


sederhana ke Tension Pneumotoraks

Ketidakberhasilan

mengatasi

pneumothoraks

terbuka

ke

pneumothoraks sederhana di mana fungsi pembalut luka


sebagai 1-way katup

Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan


pneumothoraks (Corwin, 2009).

C.

Manifestasi Klinis Tension Pneumothoraks


-

Terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga terjadi


kholaps total paru, mediastinal shift atau pendorong mediastinum ke
kontralateral, deviasi thrachea, hipotensi dan respiratory distres berat.

Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, tekanan jugularis meningkat, pergerakan dinding
dada yang asimetris, hipersonor dinding dada dan tidak ada suara
napas pada sisi yang sakit. (American College of Surgeons Commite
on Trauma, 2005).

D.

Pemeriksaan penunjang
-

Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) diperlukan apabila


pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan
ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks,

batas

antara

udara

dengan

cairan

intra

dan

ekstrapulmonal serta untuk membedakan antara pneumotoraks spontan


dengan pneumotoraks sekunder. (Corwin, 2009).

Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan


invasive, tetapi memilki sensivitas yang ebih besar dibandingkan
pemeriksaan CT-Scan.Ada 4 derajat. (Corwin, 2009).

Pemeriksaan foto dada tampak garis pleura viseralis, lurus atau


cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura
parietalis. Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens
karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vascular
pada daerah tersebut.
Sinar x dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural;
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal. (Corwin,
2009).

Pemeriksaan Laboratorium :
GDA : variable tergantung dari derajat paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau
menurun; saturasi oksigen biasanya menurun. Analisa gas darah arteri
memberikan gambaran hipoksemia. (Corwin, 2009).
Hb :

menurun, menunjukan kehilangan darah.

Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa. (Corwin,


2009).

2.
No

Analisa Data (Konsep)


Data subjektif-objektif

Etiologi

Masalah
Keperawatan

1.

Pre Hospital

Kecelakaan lalu lintas Gangguan


pertukaran gas

DS: klien merintih dan


mengeluh

adanya

Multiple trauma

sesak, nyeri dada


DO:

tampak

kesulitan

trauma pada dada

bernafas
-

Respirasi

rate

40x/menit

kerusakan pleura paru


Tension

In Hospital
DS:DO: - Trakea bergeser ke

udara tertahan
dilapisan pleura

kiri
-

RR: 40x/menit

Gerakan dinding
dada

asimetris,

memar di dada
kanan

Tekanan dalam
pleura meningkat

gangguan pertukaran
gas

bawah

sampai

ke

samping
-

Bunyi

nafas

kanan melemah
-

Bising nafas kiri


terdengar jelas

2.

AGD < 90 %

Pre Hospital
DS:

Multiple trauma

masyarakat

sekitar

mengatakan

terjadi

suatu

kecelakaan

trauma pada dada

Risiko syok

lalulintas sekitar 2 KM
dari

gerbang

terjadi fraktur iga

tol

brebes, sebuah mobil


yang melaju dengan
kecepatan

tinggi

menabrak

sebuah

kerusakan jaringan
paru

kolaps paru

pohon besar, bagian


depan mobil hancur,
kaca

depan

pecah,

gangguan ekspansi
paru

sopir mobil terlempar


keluar melalui kaca
gangguan oksigenasi

depan.
DO: - wajah dan bibir
terlihat kebiruan
-

Kulit pucat

Dingin

Berkeringat

Perdarahan pada
saluran napas

Saluran napas
tersumbat

dingin
-

GCS:

13

(E:3.

M:6, V:4)

hipoksia

Gangguan oksigenasi

In Hospital

DS: -

Hipoksia

DO: - klien sadar terlihat


bingung

Resiko Syok

- TD: 90/50 mmHg


- Nadi: 110x/menit

3.

Pre Hospital
Ds: -

Multiple trauma

Kerusakan
integritas kulit

DO:-klien terlihat kesulitan

Tulang Patah

bernafas
- Respirasi

rate

40x/menit

Perdarahan di
periosteum

In Hospital
DS: -

Kerusakan jaringan di
ujung tulang

DO:

- terdapat luka lecet


di dahi dan pelipis
kanan, Diameter 2-

Hematoma di kanal
medula

4 cm
- Pada

ekstremitas

paha

kanan

Peradangan (dolor,
kalor, rubor, tumor)

tampak
deformitas,

Kerusakan integritas
kulit

memar
- Hematom
paha

pada
tengah

kanan
4.

Pre Hospital
DS: DO: -

wajah dan bibir

terlihat kebiruan
-

Kulit pucat

Dingin

Berkeringat

Tekanan intra kranial

Ketidakefektifan

meningkat

perfusi jaringan

Edema serebral
TDL sistemik atau
hipoksia
Penghentian TD oleh
sol

dingin
In Hospital

Gangguan perfusi
jaringan

DS: -

DO: -

3.

Diagnosa Keperawatan

1.

Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran cappiler alveolar

2.

Risiko syok berhubungan dengan faktor risiko hipoksia

3.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik

4.

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan posisi tubuh


yang menghambat ekspansi paru.

4.

No
1

Rencana Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Diagnosa Keperawatan

Noc

Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan tindakan


perubahan membran cappiler keperawatan selama 5 menit
alveolar

diharapkan ketidakefektifan pola


napas teratasi, dengan kriteria hasil :
1.

Bebas dari tanda-tanda distress


pernafasan.

2.

Meningkatkan ventilasi dan


oksigenasi yang kuat

3.

Tand-tanda vital dalam rentang


normal.

Nic

Airway management
1. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
2. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.
3. Aukultasi dan catat bunyi napas
4. Berikan oksigen .

Oksigen teraphy
1. Pertahankan jalan napas
2. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem
humedifien

3.

2.

Risiko syok dengan faktor

Setelah dilakukan tindakan

risiko hipoksia

keperawatan selama jam,


diharapkan risiko syok dapat
dihindari. Dengan kriteria hasil:
Shock severity :

Berikan oksigen menggunakan sungkup .

Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
b. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.

1. mengidentifikasi faktor resiko


2. menguraikan strategi
pengendalian risiko yang
efektif.
3. mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.

c. Aukultasi dan catat bunyi napas


d. Berikan oksigen .
Oksigen teraphy
a. Pertahankan jalan napas
b. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem
humedifien

c.

3.

Ketidakefektifan perfusi

Setelah dilakukan tindakan

jaringan berhubungan dengan

keperawatan selama 5 menit

peningkatan TIK

diharapkan Ketidakefektifan perfusi


teratasi, dengan kriteria hasil :

Berikan oksigen menggunakan sungkup .

Circulation precaution
1. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
2. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
3. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
4. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.

4.

Kerusakan integritas kulit

Setelah dilakukan tindakan

berhubungan dengan faktor

keperawatan selama 5 menit

mekanik

diharapkan sebagian kerusakan

Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust

integritas kulit teratasi, dengan


kriteria hasil :

b. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi


ventilasi.

Tissue integrity : skin and mucous


membranes
a. Tidak da luka / lesi pada kulit
b. Menunjukkan terjadinya

c. Aukultasi dan catat bunyi napas


d. Berikan oksigen .
Oksigen teraphy

proses penyembuhan luka.


a. Pertahankan jalan napas
c. Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan

b. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem


humedifien

kelembaban kulit .
c.

Berikan oksigen menggunakan sungkup .

Circulation precaution
a. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
b. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
c. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
d. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

1. Identitas Klien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Tanggal Pengkajian
Diagnosa Medis

2. TRIAGE
P1

3. General Impression

Keluhan Utama : Klien mengeluh sesak

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : Tidak baik


Pasien sadar tapi terlihat bingung, dan cemas

4. Primary Survay
a.

Airway
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada

b. Breathing
Petugas penolong mengatakan klien terlihat kesulitan bernafas, respirasi
rate 40 x/menit.

c. Circulation

Nadi

CRT

Warna kulit

Perdarahan

Turgor kulit

Mukosa

d. Disability/Neurological

Respon

Kesadaran

e. Exposure

5. Secondary Survey
a. Anamnesis
1. KOMPAK
Keluhan
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri didada dan paha kanannya.
Obat
Tidak terdapat dalam kasus.
Makanan terakhir
Tidak terdapat dalam kasus.
Penyakit penyerta
Tidak terdapat dalam kasus.
Alergi
Tidak terdapat dalam kasus.
Kejadian
Suatu kecelakaan lalulintas sekitar 2 KM dari gerbang tol brebes,
sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak sebuah
pohon besar. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah, sopir
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Identitas supir tersebut
ialah seorang laki-laki 28 tahun. Melihat kecelakaan tersebut
masyarakat sekitar langsung menghubungi tim medis posko terdekat.
Ketika tim penolong datang klien tergeletak dan merintih, mengeluh
dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien sudah
dipindahkan ke pinggir jalan oleh warga.

2. Head to toe
Perubahan bentuk
Trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi. Pada pemeriksaan
thorak tampak gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal,
memar di sekitar dada kanan bawah sampai ke samping. Nyeri tekan
pada dada kanan bawah, sampai ke samping (lokasi memar),
krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi terdengar
kanan hiper sonor, kiri sonor. Terdengar bunyi napas kanan
melemah, bising napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar
jelas, cepat. Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas, memar,
hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Tumor
Tidak terdapat dalam kasus.
Luka
Luka lecet di dahi dan dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm.
Sakit
Pada ekstermitas paha kanan nyeri
3. Tanda-tanda vital
TD
Nadi
Suhu
Respirasi

A.

Analisa Data (Kasus)

No

Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

(Subjektif Objektif)
Pre Hospital
1.

DS:

Gangguan pertukaran gas

Klien mengeluh adanya sesak, nyeri


dada
DO:
a.

Klien merintih, bingung, dan


cemas

b.

Tampak kesulitan bernafas.

c.

Respirasi rate 40x/menit.

2.

DS:

Risiko syok

DO:
a.

Wajah dan bibir terlihat kebiruan.

b.

Kulit pucat.

c.

Dingin

d.

Berkeringat dingin

e.

TD 90/50 mmHg

f.

Nadi 110x/menit.

g.

GCS: 13 (E:3. M:6, V:4)


In Hospital

1.

DS:

Kecelakaan lalu lintas

DO:
a.

Trakea bergeser ke kiri.

Multiple trauma

Gangguan pertukaran gas

b.

Vena jgularis distensi.

c.

RR: 40x/menit.

d.

Nadi : 110x/menit.

e.

Thorak tampak gerakan dinding


dada asimetris, memar di dada

trauma pada dada

kerusakan pleura paru

kanan bawah sampai ke samping.


f.

Bunyi nafas kanan melemah

g.

Bising nafas kiri terdengar jelas,

Tension

bunyi jantung terdengar jelas dan


cepat
h.

Krepitasi pada kosta 9, 10, 11

Tekanan dalam pleura


meningkat

kanan depan.
i.

Perkusi terdengar kanan hiper


sonor, kiri sonor.

udara tertahan
dilapisan pleura

gangguan pertukaran
gas
2.

DS: -

Multiple trauma

Risiko syok

DO:
a.

TD: 90/50 mmHg

b.

Nadi: 110x/menit

trauma pada dada


terjadi fraktur iga

kerusakan jaringan
paru

kolaps paru

gangguan ekspansi
paru

gangguan oksigenasi

hipoksia

Perdarahan pada
saluran napas

Saluran napas
tersumbat

Gangguan oksigenasi

Hipoksia

Resiko Syok

B.

Diagnosa Keperawatan (Kasus)


1.Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran cappiler alveolar
2. Risiko syok dengan faktor risiko hipoksia

C.
N

Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosa Keperawatan

Noc

Nic

Rasional

o
1

1. Gangguan
gas

b.d

membran
alveolar

pertukaran Setelah dilakukan tindakan


perubahan keperawatan selama 5 menit
cappiler diharapkan ketidakefektifan

1.

pola napas teratasi, dengan


kriteria hasil :
2.

Airway management
Buka jalan napas

thrust.

sehingga kebutuhan

posisikan pasien (flat) untuk

oksigen terpenuhi.

normal :

ventilasi.

oksigenasi yang adekuat.

4.

Berikan oksigen sebanyak 12


LPM

b. Memelihara kebersihan
paru-paru dan bebas dari

Auskultasi dan catat bunyi


napas

peningkatan ventilasi dan

Oksigen teraphy

tanda-tanda distress
pernafasan.

1.

1. Membantu jalan
masuknya udara ke paru

memaksimalkan potensi

a. Mendemostrasikan

Airway management

menggunakan teknik jaw

Tanda-tanda vital dalam batas

3.

Pertahankan jalan
napasmenggunakan NPA

2. Mempermudahkan jalan
nafas dan pernapasan.
3. Mengetahui nilai adakah
bunyi nafas tambahan.
4. Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.
Oksigen teraphy

2.

3.

Atur peralatan oksigen dan

1.

Meningkatkan rasa

kelola sistem humedifier

nyaman pada jalan nafas

Berikan oksigen

dan pernafasan.

menggunakan NRM

2.

Mempertahankan
sirkulasi oksigenasi pada
pasien.

3.

Memperbaiki status
oksigenasi pasien.

2.

Risiko syok dengan faktor

Setelah dilakukan tindakan

risiko hipoksia

keperawatan selama jam,


diharapkan risiko syok dapat

1.

dihindari. Dengan kriteria


hasil:
2.

Airway management
Buka jalan napas

1.

Airway management
Membantu jalan

menggunakan teknik jaw

masuknya udara ke paru

thrust.

sehingga kebutuhan

posisikan pasien (flat) untuk

oksigen terpenuhi.

memaksimalkan potensi

2.

Mempermudahkan jalan

ventilasi.

Shock severity :

3.
Aukultasi dan catat bunyi
1. m
napas.
e
4.
Berikan oksigen 12 LPM
n
g
i
Oksigen teraphy
d
1. e Pertahankan jalan napas.
2. n Atur peralatan oksigen dan
t
3. i
f

nafas dan pernapasan.


3.

bunyi nafas tambahan.


4.

Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.

Oksigen teraphy
1.

Meningkatkan rasa
nyaman pada jalan nafas

kelola sistem humedifien.

dan pernafasan.

Berikan oksigen
menggunakan NRM

Mengetahui nilai adakah

2.

Mempertahankan

sirkulasi oksigenasi pada

pasien.

a
s
i

3.

Memperbaiki status
oksigenasi pasien.

f Circulation precaution

Circulation precaution

1.

Mengetahui tingkat

a
1.

k
t
o
r

2.

r
e
s
i

3.

k
m
e
n

4.

g
u
r
a

Lakukan penilian
komperhensif sirkulasi

keparahan sirkulasi

perifer(cek nadi

perifer pasien.

perifer,edema, CRT, warna,


suhu ekstremitas, dan index

2.

hambatan pada saat

brachial ankle).

tindakan IV

Jangan lakukan IV/


pengambilan darah pada kaki

Mencegah terjadinya

3.

Kekentalan darah dapat

yang terkena injuri.

menghambat perfusi

Kelola hidrasi yang adekuat

jaringan.

untuk mencengah
peningkatan kekentalan
darah.
Berikan cairan RL yang
dihangatkan 40

Mencegah terjadinya
keparahan yang dialami.

i
k
a
n

s
t
r
a
t
e
g
i

p
e
n
g
e

n
d
a
l
i
a
n

r
i
s
i
k
o

y
a
n
g

e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.
1. m
e
n
g
i
d
e

n
t
i
f
i
k
a
s
i

f
a
k
t
o
r

r
m

e
n
g
u
r
a
i
k
a
n

s
t
r
a
t
e
g
i

p
e
n
g
e
n
d
a
l
i
a
n

r
i
s
i
k

y
a
n
g

e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.

KESENJANGAN ANTARA TEORI DAN KASUS

Setelah memahami makalah di atas terdapat kesenjangan teori


dengan kasus, yaitu manifestasi yang timbul pada teori di jelaskan bahwa
adanya penurunan kesadaran sedangkan pada kasus pasien sadar tapi
terlihat bingung dan cemas.
Selain itu di dalam kasus tidak dijelaskan secara detail mengenai
data pemeriksaan penunjang yang memperkuat diagnosis pada kasus
tersebut. Pada

teori

data

penunjang

yang

harus di

lakukan

pemeriksaan penunjang adalah Cedera thorax bagian bawah, Eksplorasi


local luka dan pemeriksaan serial.

BAB IV
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Kecelakaan lalu lintas dari gerbang tol Brebes, mobil melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak sebuah pohon besar. Klien tergeletak dan
merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien
sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernapas, respirasi rate 40
x/menit, nadi 110 x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg, wajah dan bibir
terlihat kebiruan, kulit pucat, dingin, berkeringat dingin, GCS: 13 (E:3, M:6,
V:4).
Hasil pengkajian di IGD diperoleh data terdapat luka lecet di dahi dan
dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm, trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis
distensi. Pada pemeriksaan thorak tampak gerakan dinding dada asimetris,
kanan tertinggal, frekuensi napas 40x/menit, memar di sekitar dada kanan
bawah sampai ke samping. Terdengar bunyi napas kanan melemah, bising
napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi
110 x/menit. Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping
(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.
Pada pemeriksaan abdomen dinding perut datar, bising usus normal,
palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas,
memar, hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Dari data yang diperoleh klien mengalami multripel trauma yang
dapat menyebabkan tension pneumothoraks (udara di dalam rongga pleura).
Oleh karena itu tindakan yang dilakukan pemasangan neck collar setelah itu
buka jalan nafas dengan teknik chin lift, diberikan O2 dengan menggunakan
NRM (Non Rebreating Mask) 10 12 LPM, kemudian dilanjut dengan
memberikan cairan infus 2 jalur dengan cairan RL (Ringer Laktat) yang
dihangatkan 1-2 liter diguyur. Jangan lupa ambil sample darah untuk uji lab

darah. Setelah itu dilakukan needle thoracosintesis di ICS 2 mid klavikula,


dengan melakukan kolaborasi dengan dokter untuk tindakan pemasangan
Chest tube/WSD
B.

Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam
keadaan darurat secara cepat dan tepat, perlu dilakukan prosedur primary
survey dan secondary survey yang dapat digunakan setiap hari. Dengan di
lengkapi buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk
klien.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmani, Farzad., Soleimanpour, Hassan., dan Bakhtavar, Hanieh Ebrahimi.


2014. Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in Multiple Trauma
Patients. Emergency Medicine: Open Access, 4(3):2014.
http://www.omicsgroup.org/journals/effect-of-neck-collar-on-pulmonaryfunction-in-multiple-trauma-patients-2165-7548.1000e138.php?aid=25567
Diakses pada tanggal 20 Juli 2016.
Eliastam, Michael. 2005. PENUNTUN KEDARURATAN MEDIS, Jakarta
EGC.

KM Fock, Philip Eng.2006. PENUNTUN PENGOBATAN DARURAT.


Yokyakarta Kerjasama YAYASAN ESSENTIA MEDICA dan Andi.

Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.


Jakarta : Salemba Medika

Gerard J. Tortora,Bryan Derrickson, 2006. Principles of Anatomy and


Physiology:11th Edition. printed byBiological Sciences Textbooks, Inc. and
Bryan Derrickson. USA: 1077-1080.
Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders.

Craig M.A, Beppler G.A, Santos C, Raffa R.B. 2005. A second (non genomic)
steroid

mechanism

of

action:

possible

opportunity

for

novel

pharmacotherapy? Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics. 30:305312.

Emergency Medicine: Open


Access

Rahmani et al., Emergency Med 2014, 4:3


http://dx.doi.org/10.4172/2165-7548.1000e138

Editorial

Open Access

Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in Multiple Trauma Patients


Farzad Rahmani1*, Hassan Soleimanpour2 and Hanieh Ebrahimi Bakhtavar1
1Department
2Road

of Emergency Medicine, Tabriz University of Medical Sciences, Daneshgah Street, Tabriz 51664, Iran

Traffic Injury Research Center, Tabriz University of Medical Sciences, Daneshgah Street, Tabriz 51664, Iran

*Corresponding

author: Farzad Rahmani, Assistant professor, Department of Emergency medicine, Tabriz University of Medical Sciences, Daneshgah Street, Tabriz
51664, Iran, Tel: 984113352078; E-mail: Rahmanif@tbzmed.ac.ir

Received date: April 24, 2014; Accepted date: April 26, 2014; Published date: April 30, 2014
Citation: Rahmani F (2014) Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in Multiple Trauma Patients. Emergency Med 4: e138. doi: 10.4172/2165-7548.1000e138
Copyright: 2014 Rahmani F, et al. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted
use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original author and source are credited.

Editorial
Accidents and traumas on the one hand can lead to physical and
psychological harm and on the other hand can lead to destruction of
capital and economic losses. Deaths from traffic injuries accounted the
highest rate of deaths due to unintentional injuries in the world.
Traumas caused by car accidents annually kill about 1.2 million people
and more than 50 million are injured or disabled due to these traumas.
Damage caused by the severe trauma can be minimized by rapid onset
of treatment and taking care of trauma patient. Most deaths caused by
trauma usually occur in the period before reaching the hospital or in
the early hours after the injury [1]. According to The World Health
Organization estimation, mortality and injury caused by vehicles in
2020 will be increased to 67% in the Middle East, North Africa and
Asia and a daily average of 23 people in the world will die [2].
Spine injuries involve 4.8% of injuries and the halves of them are
cervical spine injuries. Car accidents are the leading cause of these
injuries and after that falling from heights, injuries caused by gunshot
and sports injuries are the other causes of the injuries [3]. Criteria of
pre-hospital spinal immobilization have been transformed with the
development of emergency medical systems. Academy of Orthopaedic
Surgeons Committee of America emphasize on the symptoms of
potential damages of spinal cord [4]. Evaluation of the cervical spine
should be done in simultaneously with airway control and the neck
collar should be fastened for all patients [5]. According to ATLS
guidelines, for each multi trauma patient neck collar should be
fastened in the primary survey, simultaneously with checking of the
airway and subsequent imaging studies of the cervical spine injury
should be done at a later stage [6].

main cause of dyspnea and oxygen desaturation in patients [10]. The


rate of change in pulmonary function tests after using neck collar was
as bellow: FVC decreased by 3.6%, FEV1 decreased by 4.3% and
FEF25-75 decreased by 8.4% [13]. In another study, the overall change
is reported 15% [12].
Considering the mentioned studies, it seems that ventilation
monitoring, especially in multiple trauma patients with cervical collar
is necessary. According to previous content using cervical collar in
traumatic patients, it has been found to lead to impaired pulmonary
function tests. So it is likely that using cervical collar has an adverse
impact on the ventilation of trauma patients. This adverse effect may
affect mortality and morbidity in patients.
One of the most important tools available to control the ventilation
of patients is the use of Capnography. The mechanism of Capnography
is determination of end-tidal carbon dioxide partial pressure [ETCO2];
because it is closely related to the partial pressure of carbon dioxide in
arterial blood. Using Capnography ventilation problems of patients
can be realized and should be taken immediately in order to eliminate
it [13]. Capnography can be used in trauma patients using cervical
collar to accurately monitor the status of the ventilation of patients. We
recommend that further studies should be done to investigate this
situation and the results can help us to monitor ventilation of trauma
patients with cervical collar much better.

References
1. Khodadadi N, Babaei ZH, Charmi L, Alinia S, Asli A (2010) Epidmiology

Spirometry or checking the pulmonary performance is an important


tool to check the status of the lung and lung-related diseases. Four
important factors that will be examined in spirometry are FVC, FEV1,
FEF25-75 and FEV1/FVC which are impressed in pulmonary or
musculoskeletal diseases and they are used to diagnose [7,8]. External
factors that affect breathing can interfere with these assays. For
example, using backpack, based on weight and feeling pressure on
shoulders and back can interfere with pulmonary function tests and
cause shortness of breath [9].

2.

It seems that most patients with cervical collar complain of


shortness of breath and have a desire to open it. Several different
studies have done about the impact of using neck collar in trauma
patients on the pulmonary function tests. The results of these studies
shows that using neck collar and spine stabilization in multiple trauma
patients with normal lung function, leads to a significant reduction in
lung volumes, particularly FVC, FEV1 and FEF25-75 [10-12]. In one of
the studies Kendrick Extrication Device [KED] was referred to as the

6.

Emergency Med
ISSN:2165-7548 EGM, an open access journal

3.
4.
5.

7.
8.

of trauma due to driving accidents in Poursina Trauma Research. Nursing


and Midwifery Faculties of Gilan Province Journal 20: 22-26.
Peden M (2005) Global collaboration on road traffic injury prevention. Int J
Inj Contr Saf Promot 12: 85-91.
Baron BJ, Scalea TM (2011) Spinal cord injuries: Tintinalli JE: Emegency
medicine: a comprehensive study guide (6thedn), Mc Graw Hill, New York,
USA.
Domeier RM (1999) Indications for prehospital spinal immobilization.
National Association of EMS Physicians Standards and Clinical Practice
Committee. Prehosp Emerg Care 3: 251-253.
Kwan I, Bunn F, Roberts I (2001) Spinal immobilisation for trauma
patients. Cochrane Database Syst Rev 2: CD002803.
ACS Committee on Trauma (2013) Initial Assessment and Management:
Advanced Trauma Life Support (9thedn), United States.
Johnson JD, Theurer WM (2014) A stepwise approach to the interpretation
of pulmonary function tests. Am Fam Physician 89: 359-366.
Decramer M, Janssens W, Derom E, Joos G, Ninane V, et al. (2013)
Contribution of four common pulmonary function tests to diagnosis of
patients with respiratory symptoms: a prospective cohort study. Lancet
Respir Med 1: 705-713.

Volume 4 Issue 3 1000e138

Citation:

Rahmani F, Soleimanpour H, Bakhtavar HE (2014) Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in Multiple Trauma Patients.
Emergency Med 4: e138. doi:10.4172/2165-7548.1000e138

Page 2 of 2
9. Bygrave S, Legg SJ, Myers S, Llewellyn M (2004) Effect of backpack fit on

lung function. Ergonomics 47: 324-329.


10. Ay D, Akta C, Yeilyurt S, Sarkaya S, Cetin A, et al. (2011) Effects of spinal
immobilization devices on pulmonary function in healthy volunteer
individuals. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg 17: 103-107.
11. Legg SJ, Cruz CO (2004) Effect of single and double strap backpacks on
lung function. Ergonomics 47: 318-323.

Emergency Med
ISSN:2165-7548 EGM, an open access journal

12. Bygrave S, Legg SJ, Myers S, Llewellyn M (2004) Effect of backpack fit on
lung function. Ergonomics 47: 324-329.

13. Soleimanpour H, Gholipouri C, Golzari SEJ, Rahmani F, Sabahi M (2012)


Capnography in the Emergency Department. Emergency Med 2: e123.

Volume 4 Issue 3 1000e138

RESEARCH RECHERCHE

Needle thoracostomy for tension pneumothorax:


the Israeli Defense Forces experience
LTC Jacob Chen, MD, PhD
Capt Roy Nadler, MD
Maj Dagan Schwartz, MD
Col Homer Tien, MD
LTC Andrew P. Cap, MD, PhD
Col Elon Glassberg, MD, MHA

Background: Point of injury needle thoracostomy (NT) for tension pneumothorax is


potentially lifesaving. Recent data raised concerns regarding the efficacy of conventional NT devices. Owing to these considerations, the Israeli Defense Forces Medical
Corps (IDF-MC) recently introduced a longer, wider, more durable catheter for the
performance of rapid chest decompression. The present series represents the IDFMC experience with chest decompression by NT.

Accepted for publication:


Nov. 12, 2014

Results: During the study period a total of 111 patients underwent chest decompression by NT. Most casualties (54%) were wounded as a result of gunshot wounds
(GSW); motor vehicle accidents (MVAs) were the second leading cause (16%). Most
(79%) NTs were performed at the point of injury, while the rest were performed during evacuation by ambulance or helicopter (13% and 4%, respectively). Decreased
breath sounds on the affected side were one of the most frequent clinical indications
for NT, recorded in 28% of cases. Decreased breath sounds were more common in
surviving than in nonsurviving patients. (37% v. 19%, p < 0.001). A chest tube was
installed on the field in 35 patients (32%), all after NT.

Correspondence to:
E. Glassberg
Trauma & Combat Medicine Branch
Surgeon Generals Headquarters,
Medical Corps
Israel Defense Forces
Ramat Gan, Israel
idf_trauma@idf.gov.il
DOI: 10.1503/cjs.012914

Methods: We reviewed the IDF trauma registry from January 1997 to October 2012
to identify all cases in which NT was attempted.

Conclusion: Standard NT has a high failure rate on the battlefield. Alternative meas
ures for chest decompression, such as the Vygon catheter, appear to be a feasible
alternative to conventional NT.
Contexte: La thoracotomie laiguille (TA) pour le pneumothorax sous tension sur
les lieux mmes du traumatisme peut sauver des vies. Des donnes rcentes ont mis en
doute lefficacit des dispositifs de TA classiques. Cest pourquoi le corps mdical de
larme isralienne (CMAI) a rcemment propos un cathter plus long, plus large et
plus rsistant pour dcomprimer rapidement le pneumothorax. Le prsent article
rsume lexprience du CMAI en matire de dcompression des pneumothorax au
moyen de la TA.
Mthodes: Nous avons pass en revue le registre des traumatismes de larme isralienne entre janvier 1997 et octobre 2012 pour relever tous les cas o une TA a t
tente.
Rsultats : Durant la priode de ltude 111 patients en tout ont subi une dcompression laide dune TA. La plupart des cas (54 %) rsultaient de blessures par
balles; les accidents de la route venaient au second rang (16 %). La plupart (79 %) des
TA ont t effectues sur les lieux, tandis que les autres ont t effectues durant
lvacuation par ambulance ou par hlicoptre (13 % et 4 %, respectivement).
Lattnuation des bruits respiratoires du ct affect tait lune des indications cliniques les plus frquentes de la TA, enregistre dans 28 % des cas. Lattnuation des
bruits respiratoires tait plus frquente chez les patients qui ont survcu (37 % c.
19 %, p < 0,001). Un drain thoracique a t install sur le terrain chez 35 patients
(32%), chaque fois aprs une TA.
Conclusion: La TA standard saccompagne dun taux dchec lev sur le champ de
bataille. Une autre mesure de dcompression, comme le cathter Vygon, semble tre
une solution de rechange envisageable la TA classique.

S118

J can chir, Vol. 58 (No 3 Suppl 3) juin 2015

2015 8872147 Canada Inc.

RESEARCH

ension pneumothorax (TPTX) is a life-threatening


condition and the third most frequent cause of preventable deaths on the battlefield.1 Autopsy studies
from the Vietnam War suggested that TPTX led to
3%5% of all potentially preventable deaths.2 The clinical
definition of TPTX is a PTX that results in hemodynamic
compromise, as the increased intrathoracic pressure interferes with the venous return to the right atrium. Viewed on
chest imaging, lateral shift of the mediastinum concurrent
with respiratory distress (or difficult ventilation) and/or
hypotension is considered the hallmark of TPTX,3,4 even
though obtaining a chest radiograph for suspected tension
TPTX is considered an unjustified delay. The Advanced
Trauma Life Support (ATLS) guideline proposed by the
American College of Surgeons recommends that the diagnosis be made based only on clinical grounds. Tension PTX
is caused by the progressive buildup of air within the pleural
space, and positive pressure ventilation may accelerate this
process, which may result in traumatic arrest. The ATLS
recommends that needle thoracostomy should be performed
at the second intercostal space (ICS) in the midclavicular
line using a catheter more than 5 cm long.5
While the urgent evacuation of a patient with PTX is a
component of all emergency medical algorithms,5 controversy remains regarding the optimal timing and means of
treatment prior to evacuation. Some consider needle
decompression (also called needle thoracostomy [NT]) as a
temporary means for pressure release and bridging therapy
until the insertion of a tube thoracostomy (TT). Others
suggest that NT can sometimes be definitive therapy, and
that not every NT should be followed by a TT insertion.
Finally, some suggest TT, rather than NT, as the primary
therapy.4,6,7 The reported success rates and the level of
training required for these procedures vary.8
Prehospital NT can be life-saving, but technical aspects
of the procedure have given rise to a discussion of whether
it should be considered only a temporary measure. Investigators have reported chest wall thickness to be a key factor
accounting for failures to successfully evacuate the chest,
and therefore recommend the use of longer needles.
Stevens and colleagues9 retrospectively examined thoracic
computed tomography (CT) studies and determined the
chest wall thickness at the midclavicular line to be
4145mm compared to the 14-gauge angiocatheter length
of 4.5cm. They concluded that the standard angiocatheter
was likely to be unsuccessful in 50% of trauma patients on
the basis of body habitus alone.
Similar findings were reported raising the same concerns.10-12 In other reports, techniques such as cadaver
dissection13,14 and ultrasonography15,16 were used to detect
the penetration of catheters. On the basis of these findings, a recommendation for change was issued, and many
prehospital organizations have adopted the use of longer
catheters. Tactical Combat Casualty Care (TCCC)
guidelines recommend decompress[ing] the chest on the

side of the injury with a 14-gauge, 3.25 inch (8.25 cm)


needle/catheter.17,18
The catheters diameter is another concern. Martin and
colleagues19 used a porcine model to show that the decompression of the chest by a 14-gauge needle should not be
expected to result in relief of tension physiology, as a substantial air leak necessary to cause TPX physiology cannot
be effectively drained with a 14-gauge tube.
The preferred NT insertion site itself is subject to
debate, with evidence suggesting that the fourth and fifth
ICS (at the anterior axillary line, similar to the recommended TT insertion site) may be superior to the classic
site (the midclavicular line).12,14 Others raised concerns
regarding the function of the NT inserted in this site, and
both insertion site options are currently considered valid.4
Despite these and other concerns, the current recommended needle used for decompression is a 14-gauge
angiocatheter.5
Owing to these considerations, along with concerns
regarding catheter kinking20 and blockage, in 2006 the
Israeli Defense Forces Medical Corps (IDF-MC) introduced a thicker, longer catheter for the performance of
rapid chest decompression.
We report our experience with NT and preliminary
data on our use of a 10-French Vygon TT unit (thoracic
trocar and drain; Vygon), instead of the traditional
14-gauge angiocatheter, as the preferred means for rapid
chest decompression.

Methods
The IDF clinical practice guidelines for thoracic
injury.
The IDF-MC clinical practice guidelines (CPGs) concerning thoracic injury advocate a high index of suspicion for
TPTX in patients with thoracic injuries. Casualties sustaining a penetrating injury to the thorax presenting with
severe dyspnea, decreased oxygen saturation or hemodynamic compromise should undergo chest decompression.
Initial decompression is performed by NT; a TT is
installed if initial NT fails to improve the patients hemodynamic status or oxygen saturation. A TT should also be
installed following NT when casualty evacuation time to
the next echelon of care is expected to exceed 45 minutes
(Fig. 1). While the TCCC guidelines instruct the sealing of

Fig. 1. Vygon tube thoracostomy unit (thoracic trocar and


10-French drain) for pleural drainage in neonates.
Can J Surg, Vol. 58 (Issue 3 Suppl 3) June 2015

S119

RECHERCHE
chest wounds using a vented chest seal,21 the IDF CPGs on
the management of thoracic injuries instruct thoracic
decompression as the mainstay of therapy for any casualty
with a thoracic injury prior to sealing the wound.
Needle decompression in the IDF
From 1997 to 2007, a 14-gauge angiocatheter inserted
into the second ICS in the midclavicular line was the
method of choice for NT. In 2007, the IDF-MC intro-

duced the pediatric Vygon TT unit to be used for NT in


adults (Fig. 2). The device consists of a10-French drain
made of transparent polyvinyl chloride with X.R.O. line,
1lateral eye and markings at every centimetre. The tube is
8cm long with a proximal female Luer-lock connector.
The procedure is performed preferably under aseptic
conditions using a suitable skin disinfectant. Using a
No. 11 blade, a small incision is made through the skin,
subcutaneous tissue and muscle. The tube and the drain
are inserted bluntly and perpendicularly through the

Significant chest injury?

No

Yes

Yes

Signs of tension pneumothorax?*

No
1.

Profound hemodynamic shock (no radial pulse or systolic blood


pressure < 80 mmHg), not explainable by any source of
bleeding.

2.

Casualty with chest injuries suffering loss of vital signs over the
course of resuscitation. (absent pulse and unmeasurable
blood pressure)

Yes

No
Tactical and clinical judgment considerations:
1.

Level of medical safeguarding/escort

2.

Mode of transportation

3.

Estimated evacuation time

4.

Positive pressure ventilation

5.

Type of chest wound (sucking wound)

6.

Hypoxic signs or oxygen saturation 90% despite


supplemental oxygen

Yes

Consider chest decompression


Continue assessment and
treatment

No
Continue treatment and evacuation with best medical escort (ALS
is preferred)

Chest decompression

Provide oxygen and analgesic drugs as required

*Signs of tension PTX are loss of breath sounds on the injured side,
provided the tracheal tube is correctly placed, plus signs of lifethreatening hemodynamic and respiratory compromise

Bilateral chest decompression is indicated

Needle thoracostomy (NT) as a temporary bridge before


TT insertion

Fig. 2. Algorithm for the treatment of chest injuries on the battlefield according to Israeli Defense Forces Medical Corps clinical practice guidelines. ALS = advanced life support; TT = tube thoracostomy.

S120

J can chir, Vol. 58 (No 3 Suppl 3) juin 2015

RESEARCH
a nterior chest wall at the second ICS in the midclavicular
line, penetrating the pleural cavity to relieve the TPTX.
The trocar is removed and the tube is firmly attached to
the chest by means of adhesive tape.
Study population
The IDF trauma registry is a prehospital military
trauma registry containing data on trauma casualties
(civilian or military) cared for by military medical teams.
Data are collected in the form of casualty cards. Cas
ualty cards are followed by a more comprehensive after
action medical debriefing. Hospital data are collected
directly from treating hospitals medical charts. All
available information is being integrated to the ITR at
the Combat and Trauma Medicine Branch at the Surgeon Generals headquarters.
We searched through the registry for records from January 1997 to October 2012 to identify all patients in whom
NT was attempted. We collected data on patient demographic characteristics, type of injury, vital signs, life-
saving procedures, number of NT attempts, success of NT
(subjective improvement after NT was recorded, yes v.
no), TT insertion, identity of caregiver, survival, iatrogenic
injuries and complications. Predefined signs and symptoms
of PTX were extracted from charts and assigned as NT
clinical indications.
Statistical analysis
Data were entered into a Microsoft Excel spreadsheet and
analyzed using JMP statistical software. We obtained
descriptive statistics for all variables. Continuous variables
are presented as means standard deviations with 95%
confidence intervals (CI). Categorical variables are presented as numbers and percentages where appropriate.
We compared categorical variables using the Fisher exact
test, and continuous variables were compared using the
Wilcoxon rank-sum test.

Results
During the study period, 4621 patients were recorded in
the IDF-MC database. A total of 111 (2.5%) of these
patients underwent NT as part of their treatment, making
up the study group. Seventeen (15%) patients underwent
bilateral decompression, and 26 (23%) required multiple
NT attempts on a single hemithorax. Thirty-five (32%)
patients had a chest tube placed in the field, all following
NT attempts.
The patients mean age was 21 (range 2025.5) years.
Most (101 of 111, 91%) patients were men.
Eighty-seven (78%) patients sustained penetrating
injuries, 21 (19%) were victims of blunt trauma, and in the
remaining 3 (3%) patients the mechanism of injury was not

specified. Eighty (72%) patients received medical care in


an austere environment or under threat, while 31 (28%)
patients received care in a safe setting.
Most (54%) casualties were wounded as a result of gunshot wounds (GSW); motor vehicle accidents (MVA) were
the second leading cause (16%), and blast injuries caused
by improvised explosive devices (IED) were the third most
frequent cause (13%; Table 1).
The clinical indications for NT are shown in
Figure 3. Decreased breath sounds on the affected side
were one of the most frequent clinical indications for
NT, occurring in 28% of all cases. Decreased breath
sound was more common in surviving than in nonsurviving patients. (37% v. 19%, p < 0.001). Nonresponsiveness and absent peripheral pulses had similar overall frequency to decreased breath sounds; however, these
features were more common in nonsurviving than surviving patients (47% v. 6%, p < 0.001). Shortness of
breath was present in 15% of patients, while low oxygen
saturation was observed in 17%.
Engorged neck veins and limited chest expansion were
observed in only a minority (7%) of patients, and tracheal
deviation was not reported.
The care providers reported a subjective improvement
in patient respiratory function following NT in 83% of the
surviving patients and in 86% of the nonsurviving patients.
Unfortunately no further specification was available.
The mean ISS was 31 24.6, which indicates a cohort
of severely injured patients undergoing NT. Seventy-four
(67%) patients were classified as urgent for evacuation by
the medical provider at the point of injury, and only 10
(9%) patients were classified as nonurgent (Fig. 4).
The overall mortality was 51%. Twenty-three (21%)
casualties were defined as killed in action (KIA), and 7 (6%)
were pronounced dead on arrival at the trauma centre.
None of the KIA patients had a return of spontaneous circulation in the field. Twenty-one (19%) patients died from
their wounds after hospital admission.22
Chest decompression was often performed rapidly in a
complex resuscitation environment with patients under
going multiple concurrent interventional procedures. Other
life-saving procedures performed on this study population
were endotracheal intubation (48%), cricothyroidectomy
Table 1. Mechanisms of injury
Mechanism

% of injuries

Penetrating

78

Gunshot wounds

54

Blast injuries (improvised explosive device)

13

Fragmentation

Stab wounds
Blunt

3
19

Motor vehicle accident

16

Fall from height

Not specified

Can J Surg, Vol. 58 (Issue 3 Suppl 3) June 2015

S121

RECHERCHE
(9%) and tourniquet application (6%). Twenty-six (23%)
patients did not receive additional advanced live-saving
procedures.
Prehospital NT was performed by military physicians in
44% of patients, by military paramedics in 9% and by civilian
emergency medical services (EMS) paramedics in conjunction with military medical teams (to soldiers and civilians
injured in areas with civilian EMS availability) in 12%.
Unfortunately, the care providers identities were not
recorded in 39 (35%) cases. Subjective patient improvement
was reported by military physicians in 41 (84%) casualties, by
military paramedics in 9 (90%) and by civilian EMS paramedics in 11 (85%). Despite the impressive clinical improvement, mortality remained surprisingly high in the military
physicians and military paramedics groups: 55% and 90%,
respectively. The lowest mortality (23%) was found in the
civilian EMS paramedics group (p = 0.007).
The catheter used for NT was a 14-gauge angiocatheter in
88 (79%) patients and a Vygon TT unit in 6 (5%) casualties,
all of whom were treated after 2007. For 16 (15%) patients
the documentation did not mention which type of device was
chosen, and in 1 (1%) patient both devices were used owing
to suspected failure of the 14-gauge angiocatheter.
Most (79%) cases of NT were performed at the point of
injury, and the rest were performed during transportation
on ambulance or helicopter (13% and 4% of the patients,
respectively). In 4 (4%) patients the location of chest
decompression was not specified.
No iatrogenic injuries or complications due to prehospital NT were reported.

Discussion
Classic hallmarks of TPTX include a variety of signs and
symptoms, the majority of which are nonsensitive and nonspecific.5 An analysis designed to assess the clinical presentation
guiding the decision to perform chest decompression in our
study population revealed decreased breath sound, absent
radial pulses and a low GCS to be the most common presentations. Unsurprisingly, decreased breath sounds as a clinical
presentation of TPTX was more common in patients who
survived their injuries than in patients who did not, whereas
depressed GCS (nonresponsiveness) and absent radial pulses
(both clinical indicators for decreased blood perfusion) were
more common in patients who died following their injuries.
This finding is probably indicative of the more deranged
physiology associated with a PTX that resulted in hemodynamic compromise. Tracheal deviation was not detected in
any of the casualties in this series, whereas dilated neck veins
were reported in only 7% of casualties. These 2 symptoms,
which were once considered hallmarks of TPTX, are no longer considered necessary for diagnosis as they appear infrequently in patients with TPTX and accordingly were not used
to instruct chest decompression in our series. Decreased level
of consciousness and hypotension as well as decreased oxygen
saturation, the second and third most prevalent indicators for
chest decompression in this series, are considered inconsistent
or even rare signs of TPTX23 and are thus less useful for its
diagnosis. However, as our series included a subset of patients
who required prehospital decompression of TPTX, these
findings, suggestive of a significant disturbed physiology, were

Clinical indications for NT treatment


28%

27%

17%
15%

7%
4%
0%
DBS

TD

ENV

LOS

SOB

DCE

U&APP

Fig. 3. Percentage of cases in which each clinical indication was used by flight surgeons to determine neddle decompression (NT) or tube thoracostomy treatment. Specific indications include decreased breath
sounds (DBS) on 1 side, tracheal deviation (TD), engorged neck veins (ENV), low oxygen saturation (LOS),
shortness of breath (SOB), decreased chest expansion (DCE) and unconsciousness and absent peripheral
pulse (U&APP).

S122

J can chir, Vol. 58 (No 3 Suppl 3) juin 2015

RESEARCH
more frequent than other symptoms indicating chest decompression. This finding is consistent with the IDF-MC CPGs
for thoracic injuries that instruct NT or CD in casualties with
thoracic injuries who present with hemodynamic compromise
or decreased oxygen saturation.
Current CPGs use a wide variety of indications for NT,
which inevitably results in chest decompression performed on
patients who do not necessarily have TPTX. While the presented data support the possibility to narrow the spectrum of
signs and symptoms used to diagnose TPTX, the IDF CPGs
were not altered owing to the assumption that overdiagnosis
and treatment of TPTX is preferable to underdiagnosis.
A mean ISS of 31 in the present series suggests a cohort
of severely injured patients. This is unsurprising considering
the relatively high rate of GSW-related injuries, specifically
when considering that in a military population the majority
of GSWs are the result of high-velocity weapons. Postmortem examinations in Israel are rarely performed, mainly
because of religious considerations; it is therefore difficult to
determine cause of death. However, considering the high
mean ISS and the fact that in 77% of patients NT was not
the only life-saving intervention performed, it is reasonable
to assume that injuries other than TPTX contributed substantially to the high mortality.
Despite a substantial failure rate,7,24-26 NT can relieve
intrapleural pressure and rapidly change a tension to a simple PTX, allowing time to prepare for TT.
In Israel, NT is the only procedure that EMS paramedics are allowed to perform in the civilian environment to
treat a suspected TPTX. However, military paramedics are
trained and authorized to insert a CD, according to phys
ician instruction, following an unsuccessful NT.
In the present series, medical providers reported a clinical
improvement in the patient respiratory status following NT
in 83% of surviving patients and in 86% of the patients who
Evacuation priority of NT patients
Dead on scene
3%

Limitations

Nonurgent
9%

This study has several limitations. It was a small study with no


formal sample size calculation. Data were collected retrospect
ively, resulting in incomplete data collection. Several end
points were subjective, potentially resulting in reporting biases.
Barton and colleagues24 reported that medical personnel may
have documented the release of air or improved compliance to
justify the use of NT; however, these are difficult to verify and
may be influenced by wishful thinking. Finally, the study was
performed in only a military environment in Israel. This population may not be representative of other trauma systems.

Not specified
21%

Urgent
67%

Fig. 4. Evacuation priority of needle decompression (NT) patients.


eventually died from their injuries. This clinical success rate


seems exceptionally high considering evidence suggesting
that NT may fail to decompress TPTX in up to 50% of
patients.9-12, 27 Furthermore, because a similar rate of clinical
improvement was reported in patients surviving their injur
ies as in patients who did not survive, it seems that these
high success rates are the result of inaccurate subjective
assessment. In the present study, 32% of patients under
going NT eventually had a CD installed in the prehospital
setting, implying a true failure rate more consistent with
that reported in the available literature.
While literature review revealed that major complications (hemorrhage and cardiac injuries) occur, no major
complications as a result of NT were reported in our
series.28,29 However, as the majority of trauma victims in the
IDF do not undergo postmortem examination, this may be
the result of undiagnosed complications and could also have
been a result of the retrospective limitation of this report.
Some authors now advocate that longer catheters should
be used for NT, particularly in a military context,30-32 but
occlusion by blood or tissue and slippage out of the chest wall
remain important concerns.33 Jones and Hollingsworth34
described 3 cases suggesting angiocatheter failure attributed
to kinking and proposed the use of a blunt-ended rigid device
designed to treat TPTX. The catheter chosen by the IDFMC to serve as the NT is a 10-French TT. The use of smallcalibre chest tubes in the treatment of adult PTX was first
described by Sargent and Turner.35 They used a 9-French
(rather than the usual 32-French) catheter in combination
with a Heimlich valve, which was simple to insert. Several
subsequent series reported the use of a 9-French catheter for
the treatment of PTX, most frequently postlung biopsy.
These series report high success rates of 87%-95%.36-38
The present series represents a transition in the device
used to alleviate TPTX in the IDF, and while it is a preliminary report that was not designed to assess outcomes,
initial experience suggest the feasibility of this method.

Conclusion
We have described our experience with standard NT and
our preliminary results using Vygon TT in patients with
Can J Surg, Vol. 58 (Issue 3 Suppl 3) June 2015

S123

RECHERCHE
suspected TPTX. Standard NT has many limitations, while
NT using a Vygon catheter offers a potentially safe and reasonable alternative. It does not require advanced surgical skill
or training and can be inserted efficiently and safely by
ATLS providers. This device should become an accepted
part of the military emergency care tool kit. Further pro
spective studies should be performed to substantiate the efficacy and theoretical advantages of the Vygon TT unit over a
14-gauge angiocatheter.
Affiliations: From the IDF Medical Corps, Israel (Chen, Nadler,
Schwartz, Glassberg); Department of Surgery, Rabin Medical Center,
Beilinson Campus, Petach Tikva, Sackler Faculty of Medicine, Tel Aviv
University, Tel Aviv, Israel (Chen); Department of Emergency Medicine,
Ben Gurion University of the Negev, Beer Sheva, Israel (Schwartz); US
Army Institute of Surgical Research, Fort Sam, Houston, Texas (Chen,
Cap); Canadian Armed Forces (Tien); and Sunnybrook Health Sciences
Centre, University of Toronto, Toronto, Ont. (Tien).
Competing interests: None declared.
Contributors: J. Chen designed the study. J. Chen and R. Nadler acquired
the data, which all authors analyzed. J. Chen, A. Cap and E. Glassberg
wrote the article, which all authors reviewed and approved for publication.

References
1. Eastridge BJ, Mabry RL, Seguin P, et al. Death on the battlefield (20012011): implications for the future of combat casualty care. J Trauma
Acute Care Surg 2012;73(Suppl 5):S431-7.
2. McPherson JJ, Feigin DS, Bellamy RF. Prevalence of tension pneumothorax in fatally wounded combat casualties. J Trauma 2006;60:573-8.
3. Kaufmann CR. Initial assessment and management. 6th ed: McGraw-Hill
Medical; 2008.
4. Ball CG, Wyrzykowski AD, Kirkpatrick AW, et al. Thoracic needle
decompression for tension pneumothorax: clinical correlation with
catheter length. Can J Surg 2010;53:184-8.
5. American College of Surgeons. Advanced trauma life support for doctors.
8th ed: American College of Surgeons; 2008.
6. Dominguez KM, Ekeh AP, Tchorz KM, et al. Is routine tube thoracostomy necessary after prehospital needle decompression for tension
pneumothorax? Am J Surg 2013;205:329-32.
7. Cullinane DC, Morris JA Jr, Bass JG, et al. Needle thoracostomy
may not be indicated in the trauma patient. Injury 2001;32:749-52.
8. Cantwell K, Burgess S, Patrick I, et al. Improvement in the prehospital recognition of tension pneumothorax: the effect of a change to
paramedic guidelines and education. Injury 2014:45;71-6
9. Stevens RL, Rochester AA, Busko J, et al. Needle thoracostomy for tension pneumothorax: failure predicted by chest computed tomography.
Prehosp Emerg Care 2009;13:14-7.
10. Akoglu H, Akoglu EU, Evman S, et al. Determination of the appropriate
catheter length and place for needle thoracostomy by using computed
tomography scans of pneumothorax patients. Injury 2013;44:1177-82.
11. Yamagiwa T, Morita S, Yamamoto R, et al. Determination of the
appropriate catheter length for needle thoracostomy by using computed tomography scans of trauma patients in Japan. Injury 2012;43:
42-5.
12. Inaba K, Ives C, McClure K, et al. Radiologic evaluation of alternative sites for needle decompression of tension pneumothorax. Arch
Surg 2012;147:813-8.
13. Harcke HT, Pearse LA, Levy AD, et al. Chest wall thickness in military
personnel: implications for needle thoracentesis in tension pneumo
thorax. Mil Med 2007;172:1260-3.
14. Inaba K, Branco BC, Eckstein M, et al. Optimal positioning for emergent needle thoracostomy: a cadaver-based study. J Trauma 2011;71:
1099-103.
15. Blaivas M. Inadequate needle thoracostomy rate in the prehospital set-

S124

J can chir, Vol. 58 (No 3 Suppl 3) juin 2015

ting for presumed pneumothorax: an ultrasound study. J UltraSound


Med 2010;29:1285-9.
16. McLean AR, Richards ME, Crandall CS, et al. Ultrasound determination of chest wall thickness: implications for needle thoracostomy.
Am J Emerg Med 2011;29:1173-7.
17. Unites States Army Institute of Surgical Research. Tactical Combat
Casualty Care Guidelines. 2012.
18. Dickey N, Jenkins D. Needle decompression of tension pneumothorax and
cardiopulmonary resuscitation: Tactical Combat Casualty Care Guidelines
recommendation. Defense Health Board memorandum 2011.
19. Martin M, Satterly S, Inaba K, et al. Does needle thoracostomy provide
adequate and effective decompression of tension pneumothorax?
JTrauma Acute Care Surg 2012;73:1412-7.
20. Beckett A, Savage E, Pannell D, et al. Needle decompression for tension
pneumothorax in Tactical Combat Casualty Care: Do catheters placed
in the midaxillary line kink more often than those in the midclavicular
line? J Trauma 2011;71(Suppl 1):S408-12.
21. Butler FK, Dubose JJ, Otten EJ, et al. Management of open pneumothorax in Tactical Combat Casualty Care: TCCC guidelines change
13-02. J Spec Oper Med 2013;13:81-6.
22. Glassberg E, Lipsky AM, Abramovich A, et al. Apples and oranges:
looking forward to the next generation of combat casualty care statistics. J Trauma Acute Care Surg 2013;74:683-6.
23. Leigh-Smith S, Harris T. Tension pneumothorax time for a rethink? Emerg Med J 2005;22:8-16.
24. Barton ED, Epperson M, Hoyt DB, et al. Prehospital needle aspiration and tube thoracostomy in trauma victims: a six-year experience
with aeromedical crews. Emerg Med J 1995;13:155-63.
25. Davis DP, Pettit K, Rom CD, et al. The safety and efficacy of prehospital needle and tube thoracostomy by aeromedical personnel.
Prehosp Emerg Care 2005;9:191-7.
26. Eckstein M, Suyehara D. Needle thoracostomy in the prehospital
setting. Prehosp Emerg Care 1998;2:132-5.
27. Zengerink I, Brink PR, Laupland KB, et al. Needle thoracostomy in
the treatment of a tension pneumothorax in trauma patients: What size
needle? J Trauma 2008;64:111-4.
28. Butler KL, Best IM, Weaver WL, et al. Pulmonary artery injury and
cardiac tamponade after needle decompression of a suspected tension
pneumothorax. J Trauma 2003;54:610-1.
29. Rawlins R, Brown KM, Carr CS, et al. Life threatening haemorrhage
after anterior needle aspiration of pneumothoraces. A role for lateral
needle aspiration in emergency decompression of spontaneous pneumo
thorax. Emerg Med J 2003;20:383-4.
30. Britten S, Palmer SH. Chest wall thickness may limit adequate drainage
of tension pneumothorax by needle thoracocentesis. J Accid Emerg Med
1996;13:426-7.
31. Britten S, Palmer SH, Snow TM. Needle thoracocentesis in tension
pneumothorax: insufficient cannula length and potential failure.
Injury 1996;27:321-2.
32. Givens ML, Ayotte K, Manifold C. Needle thoracostomy: implications
of computed tomography chest wall thickness. Acad Emerg Med
2004;11:211-3.
33. Wayne MA, McSwain NE Jr. Clinical evaluation of a new device for
the treatment of tension pneumothorax. Ann Surg 1980;191:760-2.
34. Jones R, Hollingsworth J. Tension pneumothoraces not responding to
needle thoracocentesis. Emerg Med J 2002;19:176-7.
35. Sargent EN, Turner AF. Emergency treatment of pneumothorax. A
simple catheter technique for use in the radiology department. Am J
Roentgenol Radium Ther Nucl Med 1970;109:531-5.
36. Perlmutt LM, Braun SD, Newman GE, et al. Transthoracic needle
aspiration: use of a small chest tube to treat pneumothorax. AJR Am
J Roentgenol 1987;148:849-51.
37. Casola G, vanSonnenberg E, Keightley A, et al. Pneumothorax:
radiologic treatment with small catheters. Radiology 1988;166:89-91.
38. Conces DJ Jr, Tarver RD, Gray WC, et al. Treatment of pneumothoraces utilizing small caliber chest tubes. Chest 1988;94:55-7.

Pathway Multiple Trauma Teori


Kecelakaan lalu lintas
Multiple Fraktur

Open fraktur
humerus dextra

Fraktur klavikula
dextra

Close fraktur
femur dextra

Tibia dan fibula


dextra

Multiple trauma

Trauma pada
dada

Trauma dada

Trauma pada dada

Terjadi fratur iga

Kerusakan pleura
paru

Kerusakan
jaringan paru

Tension

Tekanan dalam
pleura meningkat
Udara tertahan
dilapisan pleura

Kolaps paru
Gangguan
ekspansi paru

Hipoksia
a
Resiko syok

Trauma Kepala

Cedera
jaringan otak
Kerusakan
neuromuskular
Obstruksi
trakeobronkial
Pola napas tidak
efektif

Tauma abdomen

Trauma abdomen

Fraktur ekstremitas

Penurunan perfusi
pada ginjal

Penekanan
langsung pada
pusat muntah

Tulang patah

Jumlah urine
menurun
Retensi cairan
meningkat
Ketidak seimbangan
volume cairan

Muntah proyektil

Ujung-ujung
patah tulang
bergeser satu
sama lain
krepitasi

Perubahan bentuk tulang


Hambatan
mobilitas fisik

Gangguan
pertukaran gas

Perdarahan di periosteum
Hireremi
(peningkatan volume darah,
peningkatan permeabilitas
kapiler, vasodilatasi arterial)

Pasien tampak gelisah


Pasien bertanya-tanya
tentang keadaannya
Ansietas

Kejang
kekacauan mental
Resiko cidera

Tekanan intra
kranial (TIK)
meningkat

Perubahan motorik
dan sensorik
Kerusakan persepsi
atau kognitif
Penurunan kerusakan
atau tahanan

Disorientasi terhadap
tempat atau waktu dan
orang
Perub. Pola komunikaso
Perub. Pola perilaku
propiosepsi
Perubahan
persepsi Sensori

Tingkat kesadaran
menurun

Hambatan
mobilitas fisik

Hematoma di kanal medula


Peradangan (dolor,kalor, rubor,tumor)

Nyeri akut

Perubahan perfusi
jaringan serebral

Edema serebral

Kelemahan otot
Tidak mampu
mencerna

Penghentian TD
oleh sol

Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh

Kerusakan jaringan di ujung tulang

Tegangan durat dan


pembuluh darah

TDL sistemik atau


hipoksia

Muntah proyektil
Tidak mampu
bergerak
sesuai tuju

Respon
peradangan

Perubahan perfusi
jaringan serebral

Patologis otak

Kerusakan integritas kulit

Peningkatan
vasokomiksi tubuh

kejang
Darah lebih
ke paru
Oedem pulmonal

SEVEN JUMP KASUS III


BLOK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I
SEMESTER VI REGULER PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKes MAHARDIKA CIREBON

I.

STUDI KASUS III


Suatu kecelakaan lalul intas terjadi sekitar 2 KM dari gerbang tol
Brebes, sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak
sebuah pohon besar. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah, sopir
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Identitas supir tersebut ialah
seorang laki-laki 28 tahun. Melihat kecelakaan tersebut masyarakat sekitar
langsung menghubungi tim medis posko terdekat. Ketika tim penolong
datang klien tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri dada
dan paha kanannya. Klien sudah dipindahkan ke pinggir jalan oleh warga.
Melalui pemeriksaan sekilas, diperoleh data pasien sadar tapi terlihat
bingung, cemas, dan kesulitan bernapas, respirasi rate 40 x/menit, nadi 110
x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg, wajah dan bibir terlihat kebiruan, kulit
pucat, dingin, berkeringat dingin, GCS: 13 (E:3, M:6, V:4) Setelah
melakukan penanganan seadanya, tim penolong langsung membawa sopir
ke IGD.
Hasil pengkajian di IGD diperoleh data terdapat luka lecet di dahi dan
dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm, trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis
distensi. Pada pemeriksaan thorak tampak gerakan dinding dada asimetris,
kanan tertinggal, frekuensi napas 40x/menit, memar di sekitar dada kanan
bawah sampai ke samping. Terdengar bunyi napas kanan melemah, bising
napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi
110 x/menit. Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping

(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.Pada pemeriksaan abdomen dinding
perut datar, bising usus normal, palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas
paha kanan tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kanan,
nyeri tekan, ROM pasif; limitasi gerakan, aktif; limitasi gerakan.

II.

TUGAS MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas, mahasiswa membahas
dan menganalisis kasus tersebut dengan kelompok, dipimpin oleh ketua
dan yang mencatat adalah sekretaris.
2. Melakukan

aktivitas

pembelajaran

individual

di

kelas

dengan

menggunakan buku ajar, jurnal dan internet untuk mencari informasi


tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa dihadiri fasilitator) untuk
melakukan jejak pendapat bebas antar anggota kelompok untuk
menganalisa informasi melalui sumber literartur dalam menyelesaikan
masalah.
4. Berkonsultasi

pada

fasilitator

yang

telah

ditetapkan,

sebagai

pendamping dalam berjalannya pembelajaran.


5. Mengikuti kuliah khusus berupa mini lecture untuk masalah yang belum
jelas atau belum ditemukan jawabannya, sehingga mampu memecahkan
masalah yang ada serta melakukan praktikum klinik berdasarkan kajian
analisis keperawatan gawat darurat I.

III. PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok mahasiswa diharapkan dapat menganalisis
dan memecahkan masalah yang terdapat dalam scenario kasus III dengan
mengikuti 7 langkah penyelesaian masalah di bawah ini:
1. Klarifikasi istilah yang tidak jelas dalam skenario di atas, dan tentukan
kata atau kalimat kunci skenario di atas.
2. Identifikasi problem dasar skenario, dengan membuat beberapa
pertanyaan penting.

3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan


pertanyaan di atas.
4. Klarifikasikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas
kasus di atas. Langkah 1 sampai 5 dilakukan dalam diskusi tutorial
pertama dengan fasilitator.
6. Cari informasi tambahan, informasi tentang kasus di atas di luar
kelompok tatap muka; dilakukan dengan belajar mandiri
7. Laporkan hasil diskusi dan hasil kajian informasi-informasi yang baru
ditemukan; dilakukan dalam kelompok diskusi dengan fasilitator.
8. Seminar; untuk kegiatan diskusi panel dan semua pakar duduk bersama
untuk memberikan penjelasan atas hal-hal yang belum jelas.

IV.

PENJELASAN
1. Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi
yang diperlukan untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6
bisa diulangi dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7.
2. Selanjutnya, langkah di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial dan
setelah informasi dirasa cukup dilakukan langkah nomor 8.

STEP I
KATA KUNCI

I.

Kata kunci yang dimasukkan ke dalam istilah belum dipahami:


1. Kecelakaan lalu lintas
2. IGD
3. Trauma
4. Memar
5. Dada sesak
6. Luka lecet
7. Nyeri tekan
8. Cemas
9. GCS dengan nilai 13
10. Trakea bergeser ke kiri
11. Vena jugularis distensi
12. Terdengar bunyi nafas kanan melemah, suara nafas kiri terdengar jelas
13. Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110 x/menit
14. Krepitasi
15. Saat perkusi terdengar hipersonor
16. Deformitas
17. Hematoma
18. ROM aktif dan ROM pasif

II.

Penjelasan kata kunci


1. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak
terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi
menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera (Bhaswata, 2009).
kecelakaan

dapat

diartikan

sebagai

tiap

kejadian

yang

tidak

direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia,

situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal


tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cedera
ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan ataupun kejadian yang
tidak diinginkan lainnya (Bhaswasta, 2009).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas
adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja
yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
Kecelakaan lalu lintas adalah kejadian pada lalu lintas jalan yang
sedikitnya melibatkan satu kendaraan yang menyebabkan cedera atau
kerusakan atau kerugian pada pemiliknya (Kartika, 2009).

2. IGD
Prinsip Umum
a. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat
yang memiliki kemampuan : (Kemenkes, 2009)
b. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat,
melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving).
c. Formulir 2
d. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat
memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam
seminggu.
e. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di
rumah sakit diseragamkan menjadi INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD).
f. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat
menangani kasus gawat darurat.
g. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit
setelah sampai di IGD.
h. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan pada
organisasi multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi, dengan

struktur organisasi fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan


dan

unsur

pelaksana,

yang

bertanggung

jawab

dalam

pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat darurat di Instalasi


Gawat Darurat (IGD), dengan wewenang penuh yang dipimpin
oleh dokter.
i. Setiap Rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan
pelayanan gawat daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi
berikut.
Klasifikasi
Klasifikasi pelayanan Instalasi Gawat Darurat terdiri dari :
(Kemenkes, 2009)
1. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level IV sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas A.
2. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas B.
3. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas C.
4. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai standar
minimal untuk Rumah Sakit Kelas D.

PERSYARATAN SARANA
Persyaratan Fisik Bangunan :
1. Luas bangunan IGD disesuaikan dengan beban kerja RS dengan
memperhitungkan kemungkinan penanganan korban massal /
bencana.
2. Lokasi gedung harus berada dibagian depan RS, mudah
dijangkau oleh masyarakat dengan tanda-tanda yang jelas dari
dalam dan luar Rumah Sakit.

3. Harus mempunyai pintu masuk dan keluar yang berbeda dengan


pintu utama (alur masuk kendaraan/pasien tidak sama dengan
alur keluar) kecuali pada klasifikasi IGD level I dan II.
4. Ambulans/kendaraan yang membawa pasien harus dapat sampai
di depan pintu yang areanya terlindung dari panas dan hujan
(catatan: untuk lantai IGD yang tidak sama tinggi dengan jalan
ambulans harus membuat ramp).
5. Pintu IGD harus dapat dilalui oleh brankar.
6. Memiliki area khusus parkir ambulans yang bisa menampung
lebih dari 2 ambulans (sesuai dengan beban RS)
7. Susunan ruang harus sedemikian rupa sehingga arus pasien
dapat lancar dan tidak ada cross infection , dapat menampung
korban bencana sesuai dengan kemampuan RS, mudah
dibersihkan dan memudahkan kontrol kegiatan oleh perawat
kepala jaga.
8. Area dekontaminasi ditempatkan di depan/diluar IGD atau
terpisah dengan IGD.
9. Ruang triase harus dapat memuat minimal 2 (dua) brankar.
10. Mempunyai ruang tunggu untuk keluarga pasien.
11. Apotik 24 jam tersedia dekat IGD.
12. Memiliki ruang untuk istirahat petugas (dokter dan perawat)
(Kemenkes, 2009)
Gawat darurat adalah suatu keadaan yang mana penderita memerlukan
pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi
penderita. Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu unit di rumah sakit
yang harus dapat memberikan pelayanan, darurat kepada masyarakat yang
menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan standar.
IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua
pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi
pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang bagaimana gambaran Rumah
Sakit itu sebenarnya. Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan
mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi dan gawat serta

juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak gawat. IGD juga menyediakan


sarana penerimaan untuk penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, hal
ini merupakan bagian dari perannya di dalam membantu keadaan bencana
yang terjadi di tiap daerah. Ruang IGD, selain sebagai area klinis, IGD juga
memerlukan fasilitas yang dapat menunjang beberapa fungsi-fungsi penting
sebagai berikut: kegiatan ajar mengajar, penelitian/riset, administrasi, dan
kenyamanan staff.
Adapun area-area yang ada di dalam kegiatan pelayanan kesehatan bagi
pasien di IGD adalah :
1. Area administratif
2. Reception/Triage/Waiting area
3. Resuscitation area
4. Area Perawat Akut (pasien yang tidak menggunakan ambulan)
5. Area Konsultasi (untuk pasien yang menggunakan ambulan)
6. Staff work stations
7. Area Khusus, misalnya : Ruang wawancara untuk keluarga pasien, Ruang
Prosedur, Plaster room, Apotik, Opthalmology/ENT, Psikiatri, Ruang
Isolasi, Ruang Dekontaminasi, Area ajar mengajar.
8. Pelayanan Penunjang, misalnya : Gudang /Tempat Penyimpanan,
Perlengkapan bersih dan kotor, Kamar mandi, Ruang Staff, Tempat Troli
Linen.
9. Tempat peralatan yang bersifat mobile Mobile X-Ray equipment bay
10. Ruang alat kebersihan.
11. Area tempat makanan dan minuman.
12. Kantor Dan Area Administrasi
13. Area diagnostic misalnya medis imaging area laboratorium

14. Departemen keadaan darurat untuk sementara/ bangsal observasi jangka


pendek/ singkat (opsional)
15. Ruang Sirkulasi.
Ukuran Total IGD dimana total area internal IGD, tidak termasuk
bangsal pengamatan dan area internal imaging sekarang ini sebaiknya,
harus sedikitnya 50 m2/1000 kehadiran tahunan atau 145 m2/1000
jumlah pasien yang masuk setahun, ukuran yang manapun boleh dipakai
tetapi lebih baik dipilih yang lebih besar. Ukuranyang minimum suatu
IGD akan lebih fungsional apabila seluas 700 m2.
Total ukuran dan jumlah area perawatan akan juga akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : Jumlah angka pasien,
pertumbuhan yang diproyeksikan, anti pasti perubahan di dalam
teknologi, keparahan penyakit, waktu penggunaan laboratorium dan
imaging medis, jumlah atau susunan kepegawaian dan struktur.
3. Memar
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis
akibat pecahnya kapiler dan vena, yang disebabkan oleh kekerasan
benda tumpul. Luka memar kadangkala memberikan petunjuk tentang
bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya adalah
suatu perdarahan tepi (Budiyanto, 2007).
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat
terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau
tertimpa benda berat (Black & Hawks, 2009). Kontusio paru
menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam jaringan paruparu, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan elastisitas normal.
Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam pertama setelah
cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus yang lebih
serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya, memar paru
berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan hipoksia
(Black & Hawks, 2009).

4. Dada sesak
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh
yang sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan
tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering
menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak
dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah
atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya
utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan
dalam dan tusukan terhadap organ (Black & Hawks, 2009).
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan
goresan yang dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka
dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi (tumpul). Luka dada
penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi
keempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan
mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat
menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain
(Black & Hawks, 2009).
Sesak adalah pernafasan yang sukar (Corwin, 2009). Distres nafas
(sesak) dapat disebabkan oleh: Fraktura iga atau flail chest,
pneumotoraks, pneumotoraks tension, hemotoraks, kontusio paru,
penumotoraks terbuka, aspirasi (Black & Hawks, 2009).

5. Luka lecet
Luka lecet adalah luka yang terjadi di permukaan kulit saja, tanpa
mengakibatkan robekan ke lapisan kulit yang lebih dalam. Luka
lecet disebut juga luka permukaan (superfisial), atau vulnus laserasi atau
laseratum di dunia medis (Mansjoer, 2008).
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya
pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur aspal jalan, atau

sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan kulit


(Budiyanto, 2007).

6. Nyeri tekan
Perasaaan tidak enak (menderita) akibat rangsangan ujung sarafsaraf khusus (Black & Hawks, 2009). Nyeri timbul karena rangsangan
(mekanik, termal atau kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di
hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk
impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di
proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk
persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami) (Corwin, 2009).

7. Cemas
Perasaan ketakutan tanpa stimulus yang jelas, berkaitan dengan
perubahan fisiologis (takhikardia, berkeringat, dan lain-lain) (Tarwoto &
Wartonah, 2011).
Gangguan kecemasan dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan
kimiawi dalam tubuh. Gejala-gejala kecemasan yang bersifat fisik
diantaranya adalah : jari tangan dingin, detak jantung makin cepat,
berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak
nyenyak, dada sesak (Mansjoer, 2008).

8. GCS dengan nilai 13


Jika disimpulkan dengan hasil hitung nilai GCS:
a. Composmentis : 15-14
b. Apatis : 13-12
c. Delirium : 11-10
d. Somnolen : 9-7
e. Stupor : 6-4
f. Coma : 3

1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar


sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya (Manjoer, 2008).
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh (Manjoer, 2008).
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal
(Tarwoto & Wartonah, 2011).
4) Somnolen (Obtundasi,

Letargi), yaitu

kesadaran

menurun,

respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun


kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal
(Tarwoto & Wartonah, 2011).
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri (Mansjoer, 2008).
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya) (Tarwoto & Wartonah, 2011).
Pada kecelakaan lalu lintas dapat pula menimbulkan trauma serta
cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindungi oleh kulit
hanya mampu menahan benturan sampai 40 pound/inch. Cedera
kepala atau otak karena trauma dapat mempengaruhi kondisi
kesedaran pasien (Black & Hawks), (Budiyanto, 2007). Berikut
kalsifikasi cedera otak:

Tabel 1. Klasifikasi cedera otak (Budiyanto, 2007).

9. Trakea bergeser ke kiri


Trakea adalah saluran napas kelanjutan dari laring yang panjangnya
berkisar 11 cm, dimulai dari batas bawah kartilago krikoid sampai
karina. Trakea disusun oleh kartilago yang berbentuk cincin C,
berjumlah 18-22, kira-kira terdiri dari 2 cincin tiap 1 cm.7 Sebagian
besar trakea terletak di rongga torak. Pada posisi leher hiperekstensi,
setengah trakea akan nampak di daerah leher. Aliran darah trakea
dipasok dari banyak pembuluh arteri terminalis kecil. Trakea bagian atas
dipendarahi terutama oleh cabang arteri tiroidea inferior, sedangkan
bagian bawah oleh cabang arteri bronkialis. Pembuluh-pembuluh darah
tersebut memasuki trakea melalui pedikel-pedikel lateral yang sangat
halus dan sedikit kolateral. Bidang pretrakeal dan bidang antara trakea
dan esofagus adalah bidang yang avaskular. Pada bagian anterior
terdapat glandula tiroid, pembuluh darah arteri, vena, dan otot-otot

daerah anterior leher. Esofagus berada di posterior laringotrakea dan


diapit oleh vertebra servikalis. Struktur anatomi tersebut menjelaskan
mekanisme trauma tumpul laringotrakea sehingga laringotrakea terjepit
diantara vertebra servikal dan benda yang menyebabkan trauma.
Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi
atau trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh
darahnya (Evelyn Pierce, 2009).
Insiden trauma laringotrakea sangat jarang terjadi dan biasanya
terjadi bersama dengan kasus trauma dada seperti trauma penetrasi, tapi
penyebab tersering adalah trauma tumpul thorax atau leher (Black &
Hawks, 2009).
Kebocoran udara dari tempat trauma pada trauma laringotrakea
bisa menyebar ke mediastinum dan terus ke vena-vena besar.
Penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi trauma inhalasi, trauma
intubasi, trauma tajam, trauma tumpul dan penyebab lainnya, seperti
iatrogenic injuries, electrical injuries, caustic injuries dan lain-lain.
Pada trauma laringotrakea, gejala dan tanda klinis yang biasanya
didapatkan adalah sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis
(pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan suara juga merupakan
tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas. Tujuan
utama penanganan adalah menjaga jalan napas tetap adekuat.
Penatalaksanaan trauma laringotrakea dapat secara konservatif maupun
pembedahan. Morbiditas dan mortalitas akibat trauma ini masih cukup
tinggi, namun dengan diagnosis yang cepat dan tatalaksana yang tepat
akan memberikan hasil yang baik (Budiyanto, 2007).

10. Vena jugularis distensi


Jugular venous pressure (JVP) atau tekanan vena jugularis adalah
tekanan sistem vena yang dapat diamati secara tidak langsung.
Pengukuran tekanan vena jugularis merupakan tindakan mengukur
besarnya jarak pertemuan dua sudut antara pulsasi vena jugularis dan

sudut sternum tepatnya di Angle of Louis yang berguna untuk


mengetahui tentang fungsi jantung klien (Black & Hawks, 2009).
Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena jugularis, yaitu JVP
tampak hingga setinggi leher; jauh lebih tinggi daripada normal (Black
& Hawks, 2009).
a. Penurunan kesadaran
b. Hipoksia yang terus berlanjut kurangnya suplai O2 ke
otak gangguan fungsi otak.
c. Penurunan kesadaran
d. Trakea

terdorong

(deviasi

trakea) menjauhi

paru

yang

mengalami tension pneumothorax:


e. Tension pneumothorax tekanan udara yang tinggi menekan
kesegala arah trakea terdorong ke arah kontralateral.
f. Distensi vena leher (bisa terjadi bila hipotensi berat)
g. Tension pneumothorax penekanan vena cava superior, tahanan
darah yang kembali ke jantung.
h. JVP meningkat vena leher terdistensi
i. Hipotensi Tension pneumothorax penekanan jantung dan vena
cava superior serta inferior darah yang kembali ke jantung
berkurang caridiac output berkurang, tekanan darah turun
(hipotensi akibat shock obstruktif),
j. Sianosis, tension pneumothorax, pertukaran udara tidak adekuat
darah mengandung sedikit O2 pewarnaan yang kebiruan pada
darah tampak warna kebiruan pada kulit dan mukosa (Black &
Hawks, 2009) (Corwin, 2009).

11. Terdengar bunyi nafas kanan melemah, suara nafas kiri terdengar
jelas
a. Keadaan normal bunyi nafas kiri dan kanan sama.
b. Interpretasi terjadi gangguan ventilasi (penurunan bunyi nafas
pada daerah trauma).

Auskultasi:
1) Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat
masuk antara 2 iga (dalam ruang antar iga). Urutan pemeriksaan
seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus
pernapasan (inspirasi-ekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada
tempat simetris (Bickely, 2009).
2) Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari
ekspirasi.

Penjelasan

serta

perpanjangan

fase

ekspirasi

mempunyai arti penting. Kita mulai dengan melukiskan suara


dasar dahulu kemudian

melukiskan suara tambahannya.

Kombinasi ini, bersama dengan palpasi dan perkusi memberikan


diagnosis serta diferensial diagnosis penyakit paru (Bickely,
2009).
3) Suara dasar :
Vesikuler : suara paru normal, inspirium > ekspirium serta lebih
jelas. Vesikuler melemah : pada bronchostenose, emfisema paru,
pneumothorak, eksudat, atelektase masif, infiltrat masif, tumor.
Vesikuler mengeras : terdengar lebih keras. Vesikuler mengeras
dan memanjang : pada radang. Bronchial : ekspirasi lebih jelas,
seperti suara dekat trachea, dimana paru lebih padat tetapi
bronchus masih terbuka (kompresi, radang). Amforik : seperti
bunyi yang ditimbulkan kalau kita meniup diatas muut botol
kosong sering pada caverne. Ekspirasi jelas (Bickely, 2009).
4) Suara tambahan :
Ronchi kering (bronchitis geruis, sonorous, dry rales). Pada fase
inspirasi maupun ekspirasi dapat nada tinggi (sibilant) dan nada
rendah (sonorous) = ronchi, rogchos berarti ngorok. Sebabnya
ada getaran lendir oleh aliran udara. Dengan dibatukkan sering
hilang atau berubah sifat (Bickely, 2009). Rhonchi basah (moist
rales). Timbul letupan gelembung dari aliran udara yang lewat
cairan. Bunyi di fase inspirasi;
o Ronkhi basah halus (suara timbul di bronchioli),

o Ronkhi basah sedang (bronchus sedang),


o Ronkhi basah kasar (suara berasal dari bronchus besar).
o Ronkhi basah meletup. Sifatnya musikal, khas pada infiltrat,
pneumonia, tuberculosis.
o Krepitasi. Suara halus timbul karena terbukanya alveolus
secara mendadak, serentak terdengar di fase inspirasi.
(contoh: atelectase tekanan)
o Suara gesekan (wrijfgeruisen, frection-rub). Ada gesekan
pleura dan gesek perikardial sebabnya adalah gesekan dua
permukaan yang kasar (mis : berfibrin) (Bickely, 2009).

12. Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit


a. Keadaan normal bunyi jantung terdengar jelas, sedang, frekuensi
60-100x/menit.
b. Interpretasi jantung berusaha memompa keras, takhikardia.
c. Mekanisme aliran darah ke jantung tidak adekuat jantung
berusaha memompa lebih kuat dan cepat (Guyton, 2006).

13. Krepitasi
Krepitasi tulang adalah suara-suara yang dihasilkan oleh gesekangesekan dari segmen-segmen tulang (Black & Hawks, 2009).
a. Keadaan normal tidak ada krepitasi
b. Interpretasi fraktur costae
14. Saat perkusi terdengar hipersonor
Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas dan
menentukan kualitas jaringan paru-paru. Perkusi dapat cara : (direk:
langsung mengetuk dada atau iga-cara klasik Auenbrugger) atau indirek:
ketukan pada jari kiri yang bertindak sebagai plessimeter oleh jari
kanan. Di bagian depan mulai di fossa supraclav. Terus ke bawah,
demikian juga pada bagian belakang dada. Ketukan perkusi dapat keras
atau lemah. Makin keras makin dalam suara dapat tertembus.
Misalnya untuk batas paru bawah yang jaringan parunya mulai menipis,

dengan perkusi keras maka akan terkesan jaringan di bawahnya


sedangkan dengan perkusi lemah maka masih terdeteksi paru yang tipis
ini sehingga masih terdengar suara sonor (Sudoyo, 2006).
a.

Suara sonor (resonant) : suara perkusi jaringan paru normal


(latihlah di paru anda) (Sudoyo, 2006).

b.

Hipersonor (hyperresonant) disini suara lebih keras, contoh pada


bagian paru yang di atas daerah yang ada cairannya, suara antara
sonor dan timpani, karena udara bertambah misalnya pada
emfisema pulmonum, juga pneumothorak (Sudoyo, 2006).

15. Deformitas
Deformitas musculoskeletal adalah kelainan dan trauma pada
sistem muskuloskeletal yang bermanifestasi dari bentuk yang abnormal
dari ekstremitas atau batang tubuh. (Sudoyo, 2006). Deformitas yang
dapat terjadi pada tulang:
a. Ketidaksejajaran tulang (loss of alignment)
Tulang panjang dapat mengalami gangguan dalam kesejajaran
(alignment) karena terjadi deformitas torsional atau deformitas
angulasi.
b. Abnormalitas panjang tulang (abnormal length)
Kelainan panjang pada tulang dapat berupa tulang memendek/
menghilang sama sekali atau panjangnya melebihi normal.
c. Pertumbuhan abnormal tulang (bony outgrowth)
Abnormalitas pertumbuhan tulang dapat terjadi akibat adanya
kelainan pada tulang, misalnya osteoma atau ostekondroma.

(Sudoyo, 2006).

1.1 Gambar Deformitas


https://i.ytimg.com/vi/lUHXKreJqjw/hqdefault.jpg

16. Hematoma
Hematoma adalah kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh
darah (Corwin, 2009). Kumpulan darah ini bisa berukuran setitik kecil,
tapi bisa juga berukuran besar dan menyebabkan pembengkakan.
Hematoma dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja. Darah yang
keluar dari pembuluh darah bisa menyebabkan rasa nyeri pada jaringan
sekitarnya dan muncul gejala peradangan atau inflamasi. Tapi jika
pembuluh darah terkena tekanan hebat, dan kerusakan dinding
pembuluh darah luas, maka darah akan selalu bocor melalui dinding
pembuluh yang rusak (perdarahan lebih lama). Darah yang keluar terus
menerus akan membuat hematoma semakin membesar. Penyebab umum
terjadinya hematoma adalah trauma atau cedera. Trauma atau cedera
yang terjadi bisa disebabkan karena kecelakaan, terjatuh, cedera kepala,
patah tulang. luka tembak, bersin yang terlampau keras, atau terkilirnya
lengan dan kaki (Black & Hawks, 2009).

17. ROM aktif dan ROM pasif


Range of motion ( ROM ) adalah gerakan dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun, et all, 2008).

Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk


mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan

persendian

secara

normal

dan

lengkap

untuk

meningkatkan massa otot dan tonus otot (Black & Hawks, 2009). ROM
Aktif adalah kontraksi otot secara aktif melawan gaya gravitasi seperti
mengangkat tungkai dalam posisi lurus. ROM Pasif yaitu gerakan otot
klien yang dilakukan oleh orang lain dengan bantuan oleh klien.
a. Indikasi ROM Aktif
1) Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif
dan menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan atau
tidak.
2) Pada saat pasien memiliki kelemahan otot dan tidak dapat
menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan AAROM
(Active-Assistive ROM, adalah jenis ROM Aktif yang mana
bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual
atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan
bantuan untuk menyelesaikan gerakan).
3) ROM Aktif dapat digunakan untuk program latihan aerobik.
4) ROM Aktif digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas diatas
dan dibawah daerah yang tidak dapat bergerak (Carpenito,
2009).
b. Indikasi ROM Pasif
1) Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut yang
apabila dilakukan pergerakan aktif akan menghambat proses
penyembuhan.
2) Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk
bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya keadaan
koma, kelumpuhan atau bed rest total (Carpenito, 2009).
c. Kontraindikasi ROM
Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan
ROM menurut Carpenito (2009) yaitu: Latihan ROM tidak boleh
diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan

cedera, gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas


gerakan yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan
memperlihatkan manfaat terhadap penyembuhan dan pemulihan,
terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang
salah, termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan.

STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH

1.

Mengapa sopir tersebut mengeluh dada sesak (penyebab dan


mekanisme) ?

2.

Bagaimana prinsip tatalaksana kasus emergency tersebut (saat


dirumah sakit) ?

3.

Bagaimana mekanisme trauma dalam kasus ini ?

4.

Apa faktor penyebab terjadinya kecelakaan tersebut ?

STEP 3
ANALISIS MASALAH

1. Apa faktor penyebab terjadinya kecelakaan tersebut ?


Faktor risiko kecelakaan lalu lintas
Secara garis besar ada 5 faktor yang berkaitan dengan peristiwa
KLL, yaitu faktor-faktor pengemudi, penumpang, pemakai jalan,
kendaraan, dan fasilitas jalanan. Ditemukan kontribusi masing-masing
faktor: manusia/pengemudi 75%, 5% faktor kendaraan, 5% kondisi jalan,
1% kondisi lingkungan, dan faktor lainnya.
1. Faktor manusia: pejalan kaki, penumpang sampai pengemudi. Faktor
manusia ini menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.
a. Faktor pengemudi: dianggap sebagai salah satu faktor utama yang
menentukan KLL. Faktor pengemudi ditemukan memberikan
kontribusi 75-80% terhadap KLL. Faktor manusia yang berada di
belakang kemudi ini memegang peranan penting.
b. Faktor penumpang: Misalnya jumlah muatan (baik penumpangnya
maupun barangnya) yang berlebih. Secara psikologis ada juga
kemungkinan penumpang menggangu pengemudi.
c. Faktor pemakai jalanan: Pemakai jalan di Indonesia bukan saja
terdiri dari kendaraan. Di sana ada pejalan kaki atau pengendara
sepeda. Selain itu, jalan raya dapat menjadi tempat numpang
pedagang kaki lima, peminta-minta dan semacamnya. Hal ini
membuat samakin semrawutnya keadaan di jalanan. Jalan umum
juga dipakai sebagai sarana perparkiran. Tidak jarang terjadi, mobil
terparkir mendapat tabrakan.
2. Faktor Kendaraan
Jenis-jenis kendaraan:
Jalan raya penuh dengan berbagai jenis kendaraan, berupa:
a. Kendaraan tidak bermotor: sepeda, becak, gerobak, bendi/delman.

b. Kendaraan bermotor: sepeda motor, roda tiga/bemo, oplet, sedan,


bus, truk gandengan.
Di antara jenis kendaraan, KLL paling sering terjadi pada kendaraan
sepeda motor.
3. Faktor jalanan: keadaan fisik jalanan, rambu-rambu jalanan.
a. Kebaikan jalan: antara lain dilihat dari ketersediaan rambu-rambu
lalu lintas.
b. Sarana jalanan:
- Panjang jalan yang tersedia dengan jumlah kendaraan yang tumpah
di atasnya. Di kota-kota besar tampak kemacetan terjadi dimanamana, memancing terjadinya kecelakaan. Dan sebaliknya, jalan
raya yang mulus memancing pengemudi untuk balap, juga
memancing kecelakaan.
- Keadaan fisik jalanan: pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya
kurang memadai, misalnya lubang-lubang dapat menjadi pemicu
terjadinya kecelakaan.
Keadaan jalan yang berkaitan dengan kemungkinan KLL berupa:
- struktur: datar/mendaki.menurun; lurus/berkelok-kelok/
- kondisi: baik/berlubang-lubang.
- Luas: lorong, jalan tol
- Status: jalan desa, jalan provinsi negara.
4. Faktor lingkungan: cuaca, geografik
Dapat diduga bahwa dengan adanya kabut, hujan, jalan licin akan
membawa risiko KLL.
Bentuk kecelakaan di Jalan
Dilihat dari pihak yang terlibat, bisa berupa kecelakaan tabrakan
single, double, triple atau multiple. Dilihat dari pihak yang terlibat
dapat mengenai:
1. manusia: a) pengemudi, b) penumpang, c) pemakai jalan lainnya.
2. kendaraan: sepeda sampai mobil truk
3. binatang
4. tumbuhan

5. bangunan
Cidera
Berdasarkan

konsep

Trias

Epidemiologi,

bila

terdapat

ketidakseimbangan manusia, agen, dan lingkungan maka terjadilah


cidera. Keparahan tergantung pada kelebihan serta kekuatan energi
melampai daya tahan manusia. KLL dapat mengakibatkan berbagai
cidera sampai kematian seperti: cidera kepala (trauma capitis), Fraktur
(patah tulang), Ruptura lien (pecah limpa). Cidera kepala merupakan
bentuk cidera yang paling sering dan berbahaya dan menjadi penyebab
utama kematian. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi motor.
Faktor Risiko kematian kasus cidera
Kasus cidera yang dapat bertahan hidup merupakan tujuan
sistem penaggulangan cidera optimal. Dari beberapa penelitian antara
lain Morris (1990:1942) dan Sampalis (1993: 252-61), dapat
dikategorikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kematian kasus
cidera. Faktor tersebut adalah:
1. Karateristik kasus cidera
Umur, jenis kelamin serta penyakit penyerta merupakan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kematian pada kasus cidera,
sedangkan faktor perilaku belum terbukti sebagai faktor risiko.
2. Karakteristik cidera
Faktor karakteristik cidera yang berpengaruh pada kematian
kasus adalah waktu cidera, tempat cidera serta mekanisme cidera,
jenis jejas cidera, dan keparahan cidera. Mengetahui keparahan
kasus cidera merupakan tujuan sistem penanggulangan cidera. Suatu
cidera biasanya digambarkan dalam bentuk cidera anatomis maupun
cidera fisiologis.
3. Manajemen penanggulangan kasus cidera
Faktor manajemen cidera yang berpengaruh terhadap kematian
kasus digambarkan Shacford sebagai berikut:
a. interval waktu penanggulangan
b. penanggulangan kasus cidera

4. Karakteristik Lingkungan, terdiri dari Pusat trauma dan tim trauma.


(Simarmata, 2008)

2.

Bagaimana mekanisme trauma dalam kasus ini ?

Kita semua sadar akan ungkapan Accidents dont just happen, they are
caused. Kecelakaan tidak begitu saja terjadi, tetapi ada penyebabnya.
Dipandang sudut epidemiologi, kecelakaan adalah suatu kejadian sebagai
akibat dari interaksi antara 3 komponen, yaitu: agent (penyebab), host
(penerima), dan environment (lingkungan).
a. Agent:
Pada suatu penyakit tertentu, terutama pada penyakit menular
penyebabnya dapat merupakan bakteri tunggal (agent). Lain halnya dengan
kecelakaan; dijumpai sedikit kesulitan karena sejumlah faktor penyebab ikut
serta dalam menentukan terjadinya kecelakaan (multipel). Pada kecelakaan
lalu lintas penyebabnya dapat terletak pada:
(1) keadaan jalan, (2) keadaan kendaraan, (3) pengemudi kendaraan dan
sebagainya. Cidera atau kematian terjadi serentak dengan kecelakaan atau
dalam waktu yang sangat pendek.
b. Host:
Host adalah orang yang mengalami cidera atau kematian pada suatu
kecelakaan. Faktor host adalah elemen intrinsik yang mempengaruhi
kerentanan (susceptibility) terhadap penyebabnya (agent). Untuk menetukan
host mana yang rentan perlu diteliti karakter host tersebut seperti umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Terdapat perbedaan
yang nyata pada bentuk kecelakaan yang menimpa seseorang. Cidera karena
keracunaan merupakan masalah anak kecil dan angka kematian akibat
kecelakaan lalu lintas adalah tinggi pada remaja dan lebih tinggi pada lakilaki daripada wanita.
c. Environment:

Environment menggambarkan keadaan lingkungan tempat kejadian.


Faktor environment adalah elemen ekstrinsik yang mempengaruhi
terjadinya kecelakaan. Dalam faktor environment selain termasuk faktor
keadaan fisik (keadaan cuaca, penerangan, keadaan jalan dan sebagainya),
ada juga yang memasukkan faktor lingkungan sosial budaya. (Simarmata,
2008).
Cidera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,
atau karena kena lemparan benda tumpul. Cidera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak
seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah
secara kasar dan cepat.
Mengemudi ketika lelah atau kantuk dapat menjadi sumber bahaya bagi
pengemudi di bawah pengaruh obat. Pengemudi yang bijak akan mengambil
di sisi jalan dan beristrirahat hingga dapat terjaga. Setiap orang yang di
bawah ketegangan emosi seharusnya tidak mengemudi. Jika seseorang
mempunyai penglihatan yang buruk harus menggunakan lensa yang baik,
atau jika perlu mengemudi harus dibatasi.
Mobil melaju kencangsopir tidak menggunakan selt belt(sabuk
pengaman )nabrak pohon besarbagian depan mobil hancur dan kaca
depan pecah sopir terlempar keluar multipel trauma (kemungkinan
cedera seluruh tubuh) (Sumber: Corwin, 2009), (Guyton, 2006), (Black &
Hawks, 2009).

3.

Bagaimana prinsip tatalaksana kasus emergency tersebut (saat dirumah


sakit) ?
Perinsip tatalaksana kasus ini sesuai dengan inisial assesment pre-Hospital:
a. Triase: nilai keadaan umum pasien pasien sadar tapi bingung,
nyeri dada, sesak napas, tanda fraktur dan jejas di beberapa bagian
tubuh.

b. Primary

survey:

airway,

breathing,

circulation,

disability,

exposure.
1) Airway
Nilai jalan nafas: tidak ada obstruksi (pasien dapat bicara,
mengeluh daerah sakit), gerakan udara pada hidung, mulut,
pergerakan dada bersihkan jalan nafas dari darah (Maryuani
Anik, 2009).
2) Breathing
Nilai ventilasi dan oksigenasi, buka leher dan dada, observasi
perubahan

pola

pernapasan:

tentukan

laju

dan

dalam

pernafasan, dan look, listen, feel (diketahui tanda-tanda


pneumotoraks) dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan insersi jarum yang berukuran besar(needle thoraco
syntesis) pada ICS 2 dilinea mid clavikula (Maryuani Anik,
2009).
3) Circulation
Nilai TD, nadi, warna kulit dan sumber perdarahan.
Bersihkan dan Tutup luka di kepala dengan perban.
(Maryuani Anik, 2009)
4) Disability
Niali GCS: 13 cedera kepala sedang
Cidera Kepala Ringan : 14-15
Cidera Kepala Sedang : 9-13
Cidera Kepala Berat : 3-8
5) Exposure
Berdasarkan pengamatan klinis diduga,
Fraktur femur: pasang bidai, apabila tidak ada bebat anggota
gerak yang sakit ke anggota gerak yang sehat.
Fraktur iga: diberi analgesik dosis rendah IV agar tidak nyeri
sehingga mempermudah pernafasan. (Maryuani Anik, 2009)

4.

Mengapa sopir tersebut mengeluh dada sesak (penyebab dan


mekanisme) ?

Kemungkinan penyebab:
a. Sesak nafas kardiak
b. Obstruksi jalan nafas
c. Sesak nafas pada prenkim paru difus
d. Emboli paru
e. Kelainan vaskular
f. Gangguan transport oksigen
g. Kelainan pleura dan mediastinum (pneumotoraks, hemotoraks, tension
pneumotoraks) (Budiyanto, 2007).
h. Fraktur pada costae
Mekanisme pada kasus:
Kecelakaan lalu lintas dada membentur stir dan dashboard trauma
tumpul rongga toraks Fraktur costae 9,10,11 udara dari dalam paru
bocor ke dalam rongga pleura udara tidak dapat keluar dari pleura
(fenomena ventil) tekanan dalam pleura meningkat paru kolaps
mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam
rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak
dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura akan
meningkatkan dan melibihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal nafas. (Guyton, 2006 )

STEP 4
MIND MAPPING

Kecelakaan lalu
lintas

KERANGKA
KONSEP

Sopir terbentur dan


terlempar keluar

Multipel
trauma

Fraktur femur

Fraktur iga (coste


9,10,11)

Tekanan
saraf di
daerah femur

Kontusio
paru
Tulang coste menusuk
pleura dan parenkim paru

Rangsangan
nosiseptor di
pleura parietal

Nyeri di dada
kanan

- terdapat krepitasi
- tampak deformitas
-limitasi gerakan
(aktif dan pasif)

Nyeri
tekan di
paha

Pembuluh darah
pecah

Fenomena one way valve:


udara masuk ke paru tidak
dapat keluar lagi.

Memar
tekanan intrapleura

Paru-paru
kolaps

Mediastinum
terdorong ke sisi yang
sehat

Hambatan
venous
retrun

Deviasi
trakea ke kiri

JVP

Hipotensi

CO 2

Syok

Hematom

KERANGKA TEORI
(MIND MAPPING)

Pemeriksaan Penunjang (Lanjutan):


Diagnostik peritoneal lavage, FAST (Focused
Assesment Sonography in Trauma)
Computed Tomography (CT), Pemeriksaan
radiologi: Rontgen Cervical lateral, thorax
AP, Pelvis AP, Abdomen.,Pemeriksaan
laboratorium: darah lengkap, HCT/HB,
Koagulasi.

Definisi:
Multipel trauma adalah istilah medis yang
menggambarkan kondisi seseorang yang telah
mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang
serius (Lammichane, P.,2011).

Etiologi:
Benda tajam, benda
tumpul, atau peluru
(Lammichane, 2011).

Manifestasi Klinis:
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Nyeri
g. Pendarahan
h. Penurunan kesadaran
i. Sesak
(Scheets, 2002).

MULTIPEL
TRAUMA

Web Of Caution
(Terlampir)

Komplikasi:
Hemoragi dan cedera kepala, penyebab
lambat kematian (dalam 3 hari): sepsis.

Tn.L
(28 Tahun)

Planning ASKEP KGD:


Pengkajian CABD
Analisa Data
Diagnosa Keperawatan
NCP:
a. Tujuan: NOC
b. Intervensi: NIC :
c. Implementasi
d. Evaluasi

Tata Laksana:
Evdence Based: Analisa Jurnal
1. jurnal teori
2. jurnal kasus

STEP 5
LEARNING OBJEKTIF

1. Mahasiswa mampu memahami teori kegawat daruratan multipel trauma


yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas.
2. Mahasiswa mampu menganalisis kasus klien dengan multipel trauma
sesuai dengan TRIAGE gawat darurat.
3. Mahasiswa mampu mengaplikasikan tindakan gawat darurat dengan tepat,
cepat, dan benar pada klien dengan multipel trauma.
4. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan gawat darurat pada
klien dengan multipel trauma .

STEP 6
INFORMASI TAMBAHAN

A.

Jurnal Teori
1. Identitas Jurnal
Judul

: Effect of Neck Collar on Pulmonary Function in


Multiple Trauma Patients

Peneliti

: Rahmani, Farzad., Soleimanpour, Hassan., dan


Bakhtavar, Hanieh Ebrahimi

Tahun
Penerbit

: 2014
: Emergency Medicine: Open Access.

2. Isi Jurnal
Kecelakaan dan trauma dapat menyebabkan kerusakan fisik,
psikologis dan disisi lain dapat menyebabkan kerusakan modal dan
kerugian ekonomi. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebagai
tingkat tertinggi kematian akibat cedera yang tidak disengaja di
dunia. Trauma yang disebabkan oleh kecelakaan mobil setiap
tahunnya membunuh sekitar 1,2 juta orang dan lebih dari 50 juta
terluka atau cacat akibat trauma tersebut. Kerusakan yang
disebabkan oleh trauma berat dapat diminimalkan dengan onset
pengobatan yang cepat dan dengan segera merawat pasien trauma.
Sebagian besar kematian disebabkan oleh trauma, biasanya terjadi
pada saat sebelum mencapai rumah sakit atau pada jam-jam awal
setelah cedera.
Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
kematian dan cedera yang disebabkan oleh kendaraan pada tahun
2020 akan meningkat menjadi 67% di Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia dan rata-rata harian dari 23 orang mati di dunia.
Menurut pedoman ATLS, untuk setiap multi-trauma, leher
pasien di pasang neck collar dalam primary primer, bersamaan
dengan pemeriksaan jalan napas.
Tampaknya sebagian besar pasien dengan cervical collar
mengeluhkan

sesak

napas

dan

memiliki

keinginan

untuk

membukanya. Beberapa studi yang berbeda telah dilakukan tentang


dampak penggunaan neck collar pada pasien trauma pada tes fungsi
paru. Hasil studi ini menunjukkan bahwa menggunakan neck collar
dan stabilisasi tulang belakang dalam beberapa pasien trauma
dengan fungsi paru-paru normal, menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam volume paru-paru, terutama FVC, FEV1 dan
FEF25-75.
Dalam salah satu studi Kendrick Extrication Device [KED]
menyebutkan bahwa menggunakan cervical collar sebagai penyebab
utama dyspnea dan desaturasi oksigen pada pasien. Mengingat
penelitian tersebut, tampaknya bahwa pemantauan ventilasi,
terutama pada beberapa pasien trauma dengan cervical collar perlu
dilakukan. Menurut studi sebelumnya, menggunakan cervical collar
pada pasien trauma, telah ditemukan menyebabkan gangguan tes
fungsi paru. Jadi ada kemungkinan bahwa menggunakan cervical
collar memiliki dampak negatif pada ventilasi pasien trauma. Efek
samping ini dapat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada
pasien.
3. Kesimpulan
Penggunaan neck collar pada pasien dengan multi-trauma
disarankan daripada menggunakan cervical collar. Neck collar lebih
menguntungkan dari segi pernafasan dan fungsi paru yang lebih baik
daripada menggunakan cervical collar yang memiliki dampak negatif
pada ventilasi pasien trauma.

B. Jurnal Kasus
1. Identitas Jurnal
Judul

: Needle thoracostomy for tension pneumothorax:


the Israeli Defense Forces experience

Peneliti

: LTC Jacob Chen, MD, PhD Capt Roy Nadler, MD


Maj Dagan Schwartz, MD Col Homer Tien, MD
LTC Andrew P. Cap, MD, PhD Col Elon Glassberg,
MD, MHA

Tahun

: 2015

Penerbit

: PubMed

2. Isi Jurnal
Tension pneumotoraks adalah kondisi yang mengancam jiwa,
yang menghasilkan perubahan hemodinamik, seperti tekanan
intratorak meningkat dan mengganggu aliran balik vena ke atrium
kanan. Tension pneumotoraks disebabkan oleh penumpukan
progresif udara dalam rongga pleura, dan ventilasi tekanan positif
dapat mempercepat proses ini, yang dapat mengakibatkan traumatis.
Needle Tthoracostomy (NT) berpotensi menyelamatkan nyawa pada
tension pneumothorax. Prehospital needle thoracostomy dilakukan
oleh dokter dan paramedis militer atas instruksi dokter di Israel.
The ATLS merekomendasikan bahwa needle thoracostomy
harus dilakukan di ruang intercostal kedua (ICS) di linea. Jarum
direkomendasikan saat ini digunakan untuk dekompresi adalah
angiocatheter 14-gauge.

Pada jurnal

ini

tindakan

needle

thoracostomy menggunakan unit Vygon TT 10-Perancis, bukan


menggunakan angiocatheter 14-gauge sebagai sarana yang disukai
untuk dekompresi dada cepat.

Gambar. Vygon TT 10-Perancis

Gambar. Angiocatheter 14-gauge


Jurnal ini menjelaskan pengalaman kami dengan needle
thoracostomy menggunakan Vygon TT menawarkan alternatif yang
berpotensi aman dan wajar dibandingkan dengan needle standar
banyak keterbatasan. Menggunakan Vygon TT tidak memerlukan
keterampilan bedah canggih atau pelatihan dan dapat dimasukkan
secara efisien dan aman oleh penyedia ATLS.
3. Kesimpulan
Needle thoracostomy (NT) berpotensi menyelamatkan nyawa
pada tension pneumothorax. Tindakan needle thoracostomy dapat
dilakukan dengan jarum Angiocatheter 14-gauge yang
direkomendasikan ATLS atau Vygon TT 10-Perancis yang
berpotensi aman dan wajar.

STEP 7
LAPORAN PENDAHULAN
(Terlampir)

*Lampiran 1 Teori dan Analisis Kasus


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Multipel trauma merupakan istilah medis yang menggambarkan
kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti
cedera kepala serius selain luka bakar yang serius.Multipel trauma atau
politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal
pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al.,
2011). Trauma saat ini merupakan penyebab kematian paling sering di
empat dekade pertama kehidupan dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di setiap negara (Gad, 2012). Data WHO (World
Health Organization) menyebutkan sebanyak 5,6 juta orang meninggal dan
sekitar 1,3 juta orang mengalami cacat fisik akibat kecelakaan lalu lintas di
seluruh dunia selama tahun 2011. Sementara di indonesia tahun 2016
jumlah kecelakaan pemudik tercatat sebanyak 1.289 kasus (Kemenhub,
RI).
Oleh sebab itu maka makalah ini akan membahas tentang multipel
trauma serta asuhan keperawatan yang diberikan pada kasus-kasus
multipel trauma.
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan laporan ini akan dibahas mengenai laporan
seven jump kasus 3 pada Keperawatan Gawat Darurat dengan klien
Multipel Trauma

yang meliputi tinjauan

analisa kesenjangan teori dan kasus.

teori, pembahasan kasus,

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep teori dan kasus mengenai asuhan
keperawatan pada klien Gawat Darurat dengan multipel trauma serta
kesenjangan antara teori dengan kasus tersebut.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui Definisi Multipel Trauma
b. Untuk Mengetahui Etiologi Multipel Trauma
c. Untuk mengetahui manifestasi Multipel Trauma
d. Untuk

mengetahui

pemeriksaan

penunjang

Multipel

Trauma
e. Untuk mengetahui patofisiologi Multipel Trauma
f. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara teori
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Multipel Trauma
secara kasus
h. Untuk mengetahui kesenjangan antara asuhan keperawatan
teori dengan asuhan keperawatan kasus yang di alami klien.
D. Manfaat
1.

Mahasiswa
Diharapkan mahasisiwa/i dapat mengerti dan memahami
tentang keperawatan gawat darurat sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan pada klien yang mengalami Multipel Trauma

2.

Masyarakat
Diharapkan masyarakat mengerti dan memahami tanda dan
gejala dari Multipel Trauma sehingga menambah wawasan dan
pengetahuan.

3.

Tenaga Kesehatan
Diharapkan tenaga kesehatan mengerti dan memahami
tentang penanganan Multipel Trauma sehingga dapat melakukan
pencegahan dan penatalaksanaan pada klien yang mengalami
Multipel Trauma.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

Definisi
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi
seseorang yang telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera
kepala serius selain luka bakar yang serius. Multipel trauma atau politrauma
adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio
atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan
memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial
dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et all., 2011).

B.

Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam,benda tumpul,atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ
apa yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui
biomekanik terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari
luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh
benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia.
Akibat cedera ini dapat menybabkan cedera muskuloskletal,dan kerusakan
organ. (Lamichhane P, et all., 2011).

C.

Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, yaitu:
1. Trauma tumpul
a. Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.
b. Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak.
c. Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat
(karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis).
d. Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan.
2. Trauma tajam
a. Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan

senapan.

b. Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada

system retroperitoneal.
c. Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami

kerusakan.
d. Luka tusukan mungkin akan menembus dinding peritoneum dan

seringkali merusak secara konservatif, bagaimana pun luka akibat


tembakan

senapan

selalu

membutuhkan

pembedahan

dan

penyelidikan lebih awal untuk mengendalikan cedera intraperitoneal.


(Catherino, 2003)

D.

Patofisioogi
Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan serta infeksi pada
tubuh penderita. Adanya kerusakan jaringan dan infeksi tersebut
menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif
tubuh untuk mengeliminasi jaringan yang rusak serta untuk mengeliminasi
jaringan yang terinfeksi (Gerard M D, 2006).
Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling
berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin
(tumor

necrosis

faktor-),

interleukins,

interferons,

leukotrienes,

prostaglandins, nitric oxide, reactive oxgen species, serta produk dari


classic inflammatory pathway (complement, histamine, bradykin). Ketika
mediator-mediator tersebut berkumpul di jaringan yang rusak maka
mediator-mediator tersebut akan melakukan rekrutmen sel-sel sistem imun
innate

dan

adaptive

untuk

menghancurkan

mikroorganisme

yang

menginvasi serta untuk melakukan proses perbaikan di jaringan yang


terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui kemampuan tubuh
untuk beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat lokal
menjadi sistemik yang kemudian disebut dengan Systemic Inflammatory
Response Syndrome atau SIRS (Craig S R et., 2005).
SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi
yang tinggi sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik
dan meningkatkan kebutuhan akan oksigen. Keadaan hemodinamik yang
hiperdinamik akan menyebabkan peningkatan beban metabolik yang disertai

dengan muscle wasting, kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein.


Keadaan hipermetabolik ini akan disertai dengan peningkatan suhu tubuh
inti dan disregulasi suhu tubuh. Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan
resusitasi yang adekuat maka konsumsi energi yang tinggi akan
menyebabkan terjadinya burn out (Gerard M D, 2006).
SIRS kemudian akan menyebabkan gangguan terhadap metabolisme
sel dan microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup
berat maka akan menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan
manifestasi berupa disfungsi beberapa organ tubuh, yaitu :
1. Disfungsi otak : delirium
2. Disfungsi paru-paru : hipoksia
3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema
4. Disfungsi ginjal : oligouria
5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus
6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia
7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia.
Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan
terhadap sistem imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom
tersebut dikenal dengan multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). MODS kemudian akan menyebabkan terjadinya multiple
organ failure (MOF) yang kemudian berakhir dengan kematian
(Gerard M D, 2006). Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan
juga dapat meyebabkan terjadinya acute respiratory distress syndrome
(ARDS). Hal tersebut disebabkan oleh karena pada respon inflamasi
yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada permukaan alveolarcapillary sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya protein ke
rongga alveoli yang akan menimbulkan manifestasi klinis ARDS
(Gerard M D, 2006).
E.

Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar, ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus

4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda Bruit (bunyi abnormal pada auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis).
7. Nyeri.
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal.
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal.
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis.
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe. (Lamichhane P,
et all., 2011).
F.

Komplikasi
1.

Penyebab kematian dini (dalam 72 jam)


Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian
dini setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka
perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi
ligasi (pengikatan) dan pembungkusan, dan embolisasi dengan
angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple,
sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC.
Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan
akhirnya terjadi penurunan perfusi organ. (Lamichhane P, et all.,
2011).

2.

Penyebab kematian lambat (setelah 3 hari)

Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma


multiple. Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang
mengarah pada penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan
arus balik vena. Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk
mengimbangi penurunan tekanan vaskular sistemik. Akhirnya,
mekanisme kompensasi terlampaui dan curah jantung menurun sejalan
dengan tekanan darah dan perfusi. Sumber infektif harus ditemukan
dan di basmi. Diberikan antibiotik, dilakukan pemeriksaan kultur,
mulai dilakukan pemeriksaan radiologok, operasi eksplorasi sering
dilakukan. Abses intra abdomen merupakan penyebab sepsis paling
sering . Sebagaian abses dapat keluarkan perkuatan, sedangkan yang
lainnya memerlukan pembedahan. Setelah pembedahan drainase abses
abdomen, insisi di biarkan terbuka, dengan drainase terpasang, untuk
memungkinkan

penyembuhan

dan

menghindari

kekambuhan.

Sumber-sumber infeksi lainnya yang perlu diperhatikan adalah selang


invasif, saluran kemih, dan paru-paru. Di perkirakan bahwa pemberian
nutrisi yang dini dapat menurunkan perkembangan sepsis dan gagal
organ multipel. (Lamichhane P, et all., 2011).
G.

Pemeriksaan Diagnostik
1.

Trauma Tumpul
a.

Diagnostik Peritoneal Lavage


DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan
dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal.
Harus dilaksanakan oleh tim bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama
bila dijumpai :
1)

Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,


kecanduan obat-obatan.

2)

Perubahan sensasi trauma spinal.

3)

Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra


lumbalis.

4)

Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.

5)

Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien


dalam waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera
extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya
Angiografi.

6)

Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan


kecurigaan trauma usus (Lamichhane P, et all., 2011).

DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik


normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak
memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu
kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas
untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain adanya
operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai
tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger) di infraumbilikal oleh
dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu
hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita
mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus
yang

membesar.

Adanya

aspirasi

darah

segar,

isi

gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,


melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila
tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses, dilakukan
lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg).
Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun
melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di
laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun
empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004). Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000
mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk
bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma

tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada


aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets,
2002).
b.

FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)


Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan
USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan
adanya peralatan khusus di tangan mereka yang berpengalaman,
ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk
meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan
DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan cara yang tepat,
noninvansive,

akurat

dan

murah

untuk

mendeteksi

hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat


digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi,
yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur
diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya
sama dengan indikasi DPL. (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2006).
c.

Computed Tomography (CT)


Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa
untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang
sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004).

2.

Trauma Tajam
a.

Cedera thorax bagian bawah


Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan
pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.

b.

Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan


dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien
yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi

pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan


diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi
diagnostik.
c.

Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double


atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk
pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast,
maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk
pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi
simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi
cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang
linea axillaries anterior (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2006)

H.

Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul.
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax
AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar
lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi
petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
c. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam.
d. Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik

yang

abnormal,

rontgen

foto

thorax

tegak

bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau


pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas
intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal,

pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka
tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya
udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
2.

Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah
itu sendiri.
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin.
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
d. Koagulasi : PT, PTT
e. MRI
f. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic.
g. CT Scan
h. Radiograf

dada

mengindikasikan

peningkatan

diafragma,

kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.


i. Scan limfa
j. Ultrasonogram
k. Peningkatan serum atau amylase urine
l. Peningkatan glucose serum
m. Peningkatan lipase serum
n. DPL (+) untuk amylase
o. Penigkatan WBC
p. Peningkatan amylase serum
q. Elektrolit serum
r. AGD
(Lamichhane P, et all., 2011)..
3.

Penilaian Pasien Trauma


Trauma didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi
dari lingkungan ke tubuh manusia. Trauma adalah penyebab utama
kecacatan di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 150 ribu kematian
tiap tahunnya. Trauma dapat dikategorikan sebagai kejadian yang
disengaja dan tidak disengaja. Di Amerika Serikat, trauma yang tidak
disengaja menjadi penyebab utama nomor lima timbulnya kematian di

semua golongan usia dan menjadi penyebab nomor satu di kategori


usia 1-34 tahun. (Lamichhane P, et all., 2011).
Mekanisme cedra mengacu pada proses yang memungkinkan
energi berpindah dari lingkungan pada pasien yang menderita
trauma. Energi merupakan agen penyebab timbulnya cedera fisik,
sedangkan tipe energi yang dapat menimbulkan trauma adalah
energi mekanik, elektrik, panas, kimia, dan radiasi. Berdasarkan
jenis energi, cedera yang disebabkan oleh energi mekanik paling
sering terjadi. Proses tersalurnya energi mekanik pada pasien bisa
melalui kejadian seperti kecelakaan, jatuh, serangan benda tumpul,
penikaman, dan luka tembak. Cedera yang diakibatkan oleh tekanan
mekanik dapat dibedakan menjaadi cedera tumpul dan penetratif.
Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dapat dikategorikan
sebagai cedera tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk
merupakan contoh dari cedera penetratif. Tabel 4.1 menjelaskan pola
cedera yang umumnya terjadi pada pengemudi yang mengalami
kecelakaan tanpa memakai alat pengaman. (Lamichhane P, et all.,
2011).
Tabel 2. 1. Mekanisme dan Pola Cedera
Mekanisme Cedera

Kemungkinan Pola Cedera

Tabrakan depan
Pola jaring laba-laba atau pola Patah tulang belakang daerah serviks,
bulls eye pada kaca depan.

trauma wajah.

Setir mobil tertekuk.

Anterior flail chest, cidera kardiak


tumpul, pneumothoraks, cidera hati
atau limpa, gangguan aortik.

Bekas lutut pada dasboard.

Patah / dislokasi lutut, femur dan


panggul.

Tabrakan samping
Kontak kepala dengan jendela Patah tulang belakang daerah serviks,
samping.

cedera kepala.

Pintu

terdorong

ke

ruang Lateral flail chest.

penumpang.

Cedera hati atau limpa (tergantung sisi


yang terkena tumbukan).

Tabel 2.2. Skoring Trauma


Kemungkinan Selamat
Ukuran

Skor

Total Skor

Numerik

Persentase
Pasien
Selamat (%)

Tekanan darah sistolik (mmHg)


>89

76-89

50-75

1-49

Laju pernapasan

12

99,5

11

96,9

10

87,9

76,6

66,7

63,6

63

45,5

3 atau 4

33,3

28,6

25

3,7

(inspirasi spontan per menit)*


10-29

>29

6-9

1-5

*Pasien memulai bernapas


sendiri, tidak menggunakan
ventilasi mekanis
Skor skala koma Glasgow
13-15

9-12

6-8

4-5

Tabel 2.3. Penilaian primer dan sekunder bagi pasien trauma.


Komponen

Penilaian

Kemungkinan
Intervensi

A Airway/Saluran
pernapasan

Dengarkan suara
terbuka/tersumbat?
Cari serpihan benda-

Buka saluran
pernapasan
menggunakan chin-

benda, darah,

lift atau manuver

muntah, dan benda

modified jaw-thrust.

asing.

Bersihkan saluran
pernapasan, sedot dan
bersihkan dari bendabenda asing.
Berikan saluran
pernapasan buatan:
saluran pernapasan
orofaring atau
nasofaring, intubasi
trakea, atau saluran
pernapasan lewat
proses bedah.

Breathing/
pernapasan

Amati respirasi

Berikan oksigen

spontan, chest

dengan laju tinggi

excursion, laju dan

melalui non-

kedalaman respirasi,

rebreather mask.

dan usaha untuk


bernapas.
Auskultasi suara
pernapasan.

Ganti udara dengan


menggunakan tekanan
positif (bag-valvemask)
Bantu dengan
menggunakan
intubasi trakea atau

penempatan saluran
napas lewat proses
bedah.
C Circulation/
Sirkulasi

Cari pendarahan
yang tampak jelas.
Periksa kulit untuk
warna, suhu,

Lakukan penekanan/
letakkan luka di posisi
yang lebih tinggi.
Masukkan dua atau

kelembapan, dan

lebih kateter large-

capillary refill time.

bore intravenous.

Raba denyut nadi


sentral dan distal.

Berikan bolus dari


crystalloids atau
darah.
Lakukan transfusi
darah dada.
Gunakan splint untuk
mengontrol
pendarahan.
Fasilitasi intervensi
bedah untuk kondisi
pendarahan internal
atau eksternal yang
parah.
Sediakan resusitasi
kardiopulonary/
advanced cardiac life
support bila
diperlukan.

D Disability/
Ketidakmampuan

Periksa akondisi

Jangan sampai pasien

neurologis

mengalami hipotensif

menggunakan

atau hipoksia.

mnemonic AVPU.

Jaga dengan hati-hati

Periksa pupil,
simetris atau tidak,
dan reaksi terhadap
cahaya.

kondisi tulang
belakang.
Pertimbangkan
pemberian manitol,
tindakan untuk
memperbaiki laju
pembuluh vena dari
otak, pembedahan
atau hiperventilasi
singkat.

Exposure

and Periksa seluruh tubuh.

Berikan penghangat

environmental
(Pemaparan

Lepas semua baju.

dan

tubuh.

Lingkungan)
F

Full set of vital


signs,

five

interventions, and
family presence

Dapatkan data-data
vital.
Nilai kebutuhan
psikologis pasien
dan keluarga.

Mulai pengawasan
kardiak berkelanjutan
dan saturasi oksigen.
Pertimbangkan untuk
memasukkan pipa
nasogastrik atau
orogastrik dan kateter
saluran urine.

G Give

comfort Ukur tingkat kesakitan.

measures

Berikan obat untuk


nyeri seperti
disarankan.
Gunakan cara
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri.

History
H

Jika pasien sadar,

Dapatkan informasi

kumpulkan sejarah data

MIVT dari jasa medis

medis.

darurat.

Head-to-toe

Lakukan pemeriksaan

examination

dari kepala ke kaki;


inspeksi, auskultasi, dan
raba pasien dari kepala
ke kaki.

Inspect posterior Miringkan pasien ke


surfaces

satu sisi. Periksa dan


raba semua permukaan
tubuh bagian belakang.

I.

Penatalaksanaan
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif,
dan mengontrol pendarahan. (Lamichhane P, et all., 2011).
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal. Puncak
morbiditas pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.
Kematian ini diakibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah
besar, otak, atau saraf tulang belakang. Cedera seperti ini sangat parah dan
jumlah pasien yang dapat diselamatkan relatif kecil. Puncak kedua kematian
terjadi dalam hitungan menit sampai jam sesudah trauma terjadi. Kematian
dalam periode ini terjadi pada umumnya karena memar intrakranial atau
pendarahan yang tidak terkontrol akibat patah tulang panggul, robekan pada
solid organ (organ padat) atau beberapa luka. Perawatan yang diterima
dalam satu jam pertama (golden period) sesudah cedera sangat penting
untuk mempertahankan nyawa pasien.
The Trauma Nursing Core Course (TNCC) dan Advanced Trauma
Life Support (ATLS) menggunakan pendekatan primary dan secondary
survey. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan kematian dan cacat pada
jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas ketiga terjadi
beberapa hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode ini

terjadi karena sepsis, kegagalan beberapa organ dan pernapasan, atau


komplikasi lain.
Oleh karena kerumitan, keparahan cedera, serta kebutuhan akan
evaluasi dan intervensi secara bersamaan, pasien yang mengalami multipel
trauma

memerlukan

tindakan

dari

tim

yang

terkoordinasi

untuk

menyelamatkan pasien. Pemimpin dalam tim mengamati jalannya usaha


penyelamatan pasien. Komposisi tim berbeda-beda dari tempat ke tempat
yang lain, terapi biasanya terdiri atas paling tidak satu satu dokter, satu
perawat, dan petugas perawat tambahan. (Lamichhane P, et all., 2011).
1.

Primary Survey
Penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan
survei sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mempersiapkan dan
menyediakan metode perawatan individu yang mengalami multiple
trauma secara konsisten dan menjaga tim agar tetap terfokus pada
prioritas perawatan. Masalah-masalah yang mengancam nyawa terkait
jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran pasien
diidentifikasi, dievaluasi, serta dilakukan tindakan dalam hitungan
menit sejak datang di unit gawat darurat. Kemungkinan kondisi
mengancam nyawa seperti pneumothoraks, hemotoraks, flail chest,
dan pendarahan dapat dideteksi melalui survei primer. Ketika kondisi
yang mengancam nyawa telah diketahui, maka dapat segera dilakukan
intervensi yang sesuai dengan masalah/ kondisi pasien. Pada survei
primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan evaluasi yang
bekelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai berikut :
A : Airway (jalan napas)
B : Breathing (pernapasan)
C : Circulation (sirkulasi)
D : Disability (defisit neurologis)
E: Exposure and environmental control (pemaparan dan kontrol
lingkungan). (Lamichhane P, et all., 2011).
A : Airway (Jalan Napas)

Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada


penanganan pasien trauma. Penilaian jalan napas dilakukan
bersamaan dengan menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher
pada posisi netral dengan tetap mempertahankan leher dengan
menggunakan servical collar dan meletakkan pasien pada long
spine board. Dengarkan suara spontan yang menandakan
pergerakan udara melalui pita suara. Jika tidak ada suara, buka
jalan napas pasien menggunakan chin-lift atau manuver modified
jaw-thrust. Periksa orofaring, jalan napas mungkin terhalang
sebagian atau sepenuhnya oleh cairan (darah, saliva, muntahan)
atau serpihan kecil seperti gigi, makanan, atau benda asing.
Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suctioning, reposisi) dan
kemudian evaluasi kepatenan jalan napas. Alat-alat untuk
mempertahankan jalan napas seperti nasofaring, orofaring,
LMA, pipa trakea, Combitute, atau cricothyrotomy mungkin
dibutuhkan untuk membuat dan mempertahankan kepatenan
jalan napas. (Lamichhane P, et all., 2011).
B : Breathing (Pernapasan)
Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma sering
terjadi kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat
dari kondisi serius pada status neurologis pasien. Untuk menilai
pernapasan, perhatikan proses respirasi spontan dan catat
kecepatan, kedalaman, serta usaha melakukannya. Periksa dada
untuk mengetahui penggunaan otot bantu pernapasan dan
gerakan naik turunnya dinding dada secara simetris saat
respirasi. Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera
tertentu misalnya luka terbuka, flail chest dapat dilihat dengan
mudah. Lakukan auskultasi suara pernapasan bila didapatkan
adanya kondisi serius dari pasien. Selalu diasumsikan bahwa
pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja sama berada
dalam kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya. Intervensi
selama proses perawatan meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Oksigen tambahan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan


volume tidal yang cukup, gunakan non-rebreather mask
dengan reservoir 10-12 l/menit.
b. Persiapkan alat bantu pertukaran udara bila diperlukan.
Gunakan bag-valve-mask untuk mendorong tekanan positif
oksigen pada pasien saat kondisi respirasi tidak efektif.
Pertahankan jalan napas efektif dengan intubasi trakea jika
diperlukan dan siapkan ventilator mekanis.
c. Pertahankan posisi pipa trakea. Begitu pasien terintubasi,
pastikan posisi pipa benar; verifikasi ulang bila dibutuhkan.
Perhatikan gerakan simetris naik turunnya dinding dada,
auskultasi daerah perut kemudian paru-paru dan perhatikan
saturasi oksigen melalui pulseoximeter.
d. Bila didapatkan trauma toraks, maka perlu tindakan yang
serius. Tutup luka dada selama proses pengisapan, turunkan
tekanan pneumotoraks, stabilisasi bagian-bagian yang flail,
dan masukkan pipa dada.
e. Perlu dilakukan penilaian ulang status pernapasan pasien
yang meliputi pengukuran saturasi oksigen dan udara dalam
darah (arterial blood gase). (Lamichhane P, et all., 2011).
C : Circulation (Sirkulasi)
Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma
mencakup evaluasi adanya pendarahan, denyut nadi, dan
perfusi.
a. Pendarahan
Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif dan
tekan langsung daerah tersebut. Jika memungkinkan, naikkan
daerah yang mengalami pendarahan sampai di atas ketinggian
jantung. Kehilangan darah dalam jumlah besar dapat terjadi
di dalam tubuh. (Lamichhane P, et all., 2011).
b. Denyut nadi

Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi,


kualitas, laju, dan
dilihat

secara

ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat

langsung

sesudah

trauma,

hipotermia,

hipovolemia, dan vasokonstriksi pembuluh darah yang


disebabkan respons sistem saraf simpatik yang sangat intens.
Raba denyut nadi karotid, radialis, dan femolar. Sirkulasi
dievaluasi melalui auskultasi apikal. Cari suara degupan
jantung yang menandakan adanya penyumbatan perikardial.
Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut
untuk pasien yang tidak teraba denyut nadinya. Pasien yang
mengalami trauma cardiopulmonary memiliki prognosis
yang jelek, terutama setelah terjadi trauma tumpul. Pada
populasi pasien trauma, selalu pertimbangkan tekanan
pneumotoraks dan adanya sumbatan pada jantung sebagai
penyebab hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat kembali
normal

apabila

dilakukan

needle

thoracentesis

dan

pericardiocentesis.
c. Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akral dingin, kulit
basah,

pucat,

sianosis,

atau

bintik-bintik

mungkin

menandakan keadaan syok hipovolemik. Cek warna, suhu


kulit, adanya keringat, dan capillary refill. Waktu capillary
refill adalah ukuran perfusi yang cocok pada anak-anak, tapi
kegunaanya berkurang seiring dengan usia pasien dan
menurunnya kondisi kesehatan. Namun demikian, semua
tanda-tanda syok tersebut belum tentu akurat dan tergantung
pada pengkajian. Selain kulit, tanda-tanda hipoperfusi juga
tampak pada orang lain, misalnya oliguria, perubahan tingkat
kesadaran, takikardi, dan disritmia. Selain itu, perlu
diperhatikan

juga

adanya

penggelembungan

atau

pengempisan pembuluh darah di leher yang tidak normal.


Mengembalikan volume sirkulasi darah merupakan tindakan

yang penting untuk dilakukan dengan segera. Pasang IV line


dua jalur dan infus dengan cairan hangat. Gunakan blood set
dan bukan infuse set karena blood set mempunyai diameter
yang lebih lebar dari infuse set sehingga memungkinkan
tetesannya lebih cepat dan apabila ingin memberikan
transfusi darah, maka bisa langsung digunakan tanpa harus
diganti.
Berikan 1-2 l cairan isotonic crystalloid solution (0,9% normal
saline atau Ringers lactate). Pada anak-anak, pemberiannya
berdasarkan berat badan yaitu 20 ml/kgBB. Dalam pemberian
cairan perlu diperhatikan respons pasien dan setiap 1 ml darah
yang hilang dibutuhkan 3 ml cairan crystalloids. Pada kondisi
multiple trauma sering terjadi perdarahan akibat kehilangan akut
volume darah. Secara umum volume darah orang dewasa adalah
7% dari berat badan ideal (BBI) sementara volume darah anakanak berkisar antara 8-9% BBI. Jadi orang dewasa dengan berat
badan 70 kg diperkirakan memiliki volume darah. Klasifikasi
perdarahan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) Perdarahan kelas 1 (kehilangan darah sampai 15%)
Gejala minimal, takikardi ringan, tidak ada perubahan yang
berarti dari tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan.
Pada penderita yang sebelumnya sehat tidak perlu dilakukan
transfusi. Pengisian kapiler dan mekanisme kompensasi lain
akan memulihkan volume darah dalam 24 jam.
2) Perdarahan kelas 2 (kehilangan darah 15-30%)
Gejala klinis meliputi takikardia, takipnea, dan penurunan
tekanan

nadi.

Penurunan

tekanan

nadi

ini

terutama

berhubungan dengan peningkatan komponen distolik karena


pelepasan katekolamin. Katekolamin bersifat inotropik yang
menyebabkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh
darah perifer. Tekanan sistolik hanya sedikit berubah
sehingga lebih tepat mendeteksi perubahan tekanan nadi.

Perubahan sistem saraf sentral berupa cemas, ketakutan, dan


sikap bermusuhan. Produksi urine sedikit terpengaruh yaitu
antara 20-30 ml/jam pada orang dewasa. Ada penderita yang
terkadang memerlukan transfusi darah, tetapi kebanyakan
masih bisa distabilkan dengan larutan kristaloid.
3) Perdarahan kelas 3 (kehilangan darah 30-40%)
Gejala klinis klasik akibat perfusi inadekuat hampir selalu
ada yaitu takikardi, takipnea, penurunan status mental dan
penurunan tekanan darah sistolik. Penderita ini sebagian
besar memerlukan transfusi darah.
4) Perdarahan kelas 4 (kehilangan darah >40%)
Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan tekanan darah
sistolik yang besar dan tekanan nadi yang sempit (tekanan
distolik tidak teraba), produksi urin hampir tidak ada,
kesadaran jelas menurun, kulit dingin, dan pucat. Transfusi
sering kali harus diberikan secepatnya. Bila kehilangan darah
lebih dari 50% volume darah, maka akan menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran, kehilangan denyut nadi dan
tekanan darah. (Lamichhane P, et all., 2011).
Penggunaan klasifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi jumlah
cairan kristaloid yang harus diberikan. Berdasarkan hukum 3 for
1 rule artinya jika terjadi perdarahan sekitar 1.000 ml, maka
perlu diberikan cairan kristaloid 3 x 1.000 ml yaitu 3.000 ml
cairan kristaloid. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian cairan IV secara agresif pada pasien trauma dapat
memperburuk kondisi perdarahan pasien. Hal ini karena dapat
menurunkan

hemostatic

plugs

yang

terbentuk

untuk

menghentikan pendarahan, tetapi kondisi ini hanya terjadi pada


beberapa kelompok pasien saja. Secara umum, apabila seorang
pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap tidak stabil secara
hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloids 2-3 l,
sebaiknya pasien segera diberikan transfusi darah. Pemberian

transfusi darah disesuaikan dengan jenis dan golongan darah


pasien.
D : Disability (Status Kesadaran)
Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunakan
mnemonic AVPU. Sebagai tambahan, cek kondidi pupil, ukuran,
kesamaan, dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat survei primer,
penilaian neurologis hanya dilakukan secara singkat. Pasien
yang memiliki risiko hipoglikemi (misal: pasien diabetes) harus
dicek kadar gula dalam darahnya. Apabila didapatkan kondisi
hipoglikemi berat, maka diberikan Dekstrose 50%. Adanya
penurunan tingkat kesadaran akan dilakukan pengkajian lebih
lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung segera setelah
pemeriksaan survei sekunder. Mnemonic AVPU meliputi: awake
(sadar); verbal (berespons terhadap suara/ verbal); pain
(berespons terhadap rangsang nyeri), dan unresponsive (tidak
berespons).
E : Exposure and Environmental Control (Pemaparan dan
Kontrol Lingkungan)
Pemaparan (Exposure)
Lepas semua pakaian pasien secara cepat untuk memeriksa
cedera, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi
pasien secara umum, catat kondisi tubuh, atau adanya bau zat
kimia seperti alkohol, bahan bakar, atau urine.
Kontrol Lingkungan (Environmental Control)
Pasien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting
karena ada kaitannya dengan vasokonstriksi pembuluh darah
dan koagulopati. Pertahankan atau kembalikan suhu normal
tubuh dengan mengeringkan pasien dan gunakan lampu
pemanas, selimut, pelindung kepala, sistem penghangat udara,
dan berikan cairan IV hangat. (Lamichhane P, et all., 2011).
2.

Secondary Survey

Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait


dengan jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan status kesadaran telah
selesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah survei
sekunder. Pada survei sekunder pemeriksaan lengkap mulai dari head
to toe. Berbeda dengan survei primer, dalam pemeriksaan survei
sekunder ini apabila didapatkan masalah, maka tidak diberikan
tindakan dengan segera. Hal-hal tersebut dicatat dan diprioritaskan
untuk tindakan selanjutnya. Jika pada saat tertentu, pasien tiba-tiba
mengalami masalah jalan napas, pernapasan atau sirkulasi, maka
segera lakukan survei primer dan intervensi sesuai dengan indikasi.
Mnemonic yang digunakan untuk mengingat survei sekunder ialah
huruf F ke I. (Lamichhane P, et all., 2011).
F : Full Set of Vital Signs, Five Interventions, and Facilitation of
Family

Presence

(Tanda-tanda

vital,

intervensi,

dan

memfasilitasi kehadiran keluarga)


Full Set of Vital Signs (TTV)
Tanda-tanda vital ini menjadi dasar untuk penilaian selanjutnya.
Pasien yang kemungkinan mengalami trauma dada harus dicatat
denyut nadi radial dan apikalnya; nilai tekanan darah pada kedua
lengan. Termasuk suhu dan saturasi oksigen sebaiknya
dilengkapi pada tahap ini, jika belum dilakukan.

Five Interventions (5 Intervensi)


Lima intervensi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Pemasangan monitor jantung.
b. Pasang nasogastrik tube atau orogastrik tube (jika ada indikasi).
c. Pasang folley kateter (jika ada indikasi).
d. Pemeriksaan laboratorium meliputi: darah lengkap, kimia
darah, urinalysis, urine, kadar ethanol, toxicologic screens
(urine, serum), clotting studies (prothrombin time, activated
partial thromboplastin time, fibrinogen, D dimer) untuk pasien
dengan yang mengalami gangguan koagulopati.

e. Pasang oksimetri.
Facilitation of Family Presence (Memfasilitasi Kehadiran Keluarga)
Memfasilitasi

kehadiran

keluarga

berarti

memberikan

kesempatan untuk bersama pasien meskipun berada dalam


situasi yang mengancam nyawa, tetapi hal ini masih menjadi hal
yang kontroversial sampai sekarang. Berdasarkan kesepakatan
Emergency Nurses Association (ENA), keluarga diberikan
kesempatan untuk bersama dengan pasien selama proses invasif
dan resusitasi. Rumah sakit atau klinik yang mengizinkan
kehadiran keluarga pasien harus memiliki standar prosedur
tentang bagaimana cara menenangkan, mendukung, dan
memberikan informasi pada anggota keluarga.
(Gerard M D, 2006)
G : Give Comfort Measures (Memberikan Kenyamanan)
Korban trauma sering mengalami masalah yang terkait dengan
kondisi fisik dan psikologis. Metode farmakologis dan nonfarmakologis banyak digunakan untuk menurunkan rasa nyeri
dan kecemasan. Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim
trauma harus bisa mengenali keluhan dan melakukan intervensi
bila dibutuhkan.
H : History and Head-to-Toe Examination
Riwayat Pasien (History)
Jika pasien sadar dan kooperatif, lakukan pengkajian pada
pasien untuk memperoleh informasi tentang pengobatan, alergi,
dan riwayat penyakit yang bersangkutan. Anggota keluarga
pasien bisa juga menjadi sumber untuk memperoleh data ini.
Informasi penting tentang kondisi sebelum sampai di rumah
sakit seperti tempat kejadian, proses cedera, penilaian pasien
dan

intervensi

didapatkan

dari

petugas

EMS.

Untuk

mempermudah dalam melakukan pengkajian yang berkaitan


dengan riwayat kejadian pasien, maka dapat digunakan
mnemonic MIVT yaitu mechanism (mekanisme), injuries

suspected (dugaan adanya cedera), vital sign on scene (TTV di


tempat kejadian), dan treatment received (perawatan yang telah
diterima). (Lamichhane P, et all., 2011).
Head-to-toe Examination
(Pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki)
Kepala (Head)
Kepala dilakukan inspeksi secara sistematis dan dinilai adanya
luka-luka yang tampak, perubahan bentuk, dan kondisi kepala
yang tidak simetris. Raba tengkorak untuk mencari fragmen
tulang yang tertekan, hematoma, laserasi, ataupun nyeri.
Perhatikan area ekimosis atau perubahan warna. Ekimosis di
belakang telinga atau di daerah periorbital adalah indikasi
adanya fraktur tengkorak basilar (fraktur basis cranii). Berikut
adalah intervensi yang dapat dilakukan:
a. Jaga kondisi pasien agar tidak terjadi hipotensi atau
hipoksia.
b. Manitol dapat diberikan secara IV untuk menurunkan
tekanan intrakranial.
c. Pasien cedera kepala yang kondisinya terus memburuk,
harus dipertimbangkan pemberian terapi hiperventilasi untuk
menurunkan PaCO2 dari 30-35 mmHg.
d. Observasi tanda-tanda peningkatan TIK dan persiapkan
pasien jika diperlukan tindakan bedah. (Gerard M D, 2006)
Muka (Face)
Periksa dan perhatikan apakah terdapat luka paada wajah pasien
dan kondisi wajah yang tidak simetris. Perhatikan adanya cairan
yang keluar dari telinga, mata, hidung, dan mulut. Cairan jernih
yang berasal dari hidung dan telinga diasumsikan sebagai cairan
serebrospinal sampai diketahui sebaliknya. Evaluasi kembali
pupil yang meliputi kesimetrisan, respons cahaya, dan
akomodasi

mata,

serta

periksa

juga

fungsi

ketajaman

penglihatan. Minta pasien untuk membuka dan menutup mulut

untuk mengetahui adanya malocclusion, laserasi, gigi hilang


atau goyah, dan/atau benda asing. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut :
a. Scan noncontrast computerized axial tomographic.
b. Panoramic radiographic views of the jaw.
c. Intervensi yang dapat dilakukan adalah memberikan
perawatan luka.
Leher (Neck)
Periksa kondisi leher pasien dan pastikan pada saat melakukan
pengkajian posisi leher tidak bergerak. Lakukan palpasi dan
inspeksi terhadap adanya luka, jejas, ekimosis, distensi
pembuluh darah leher, udara di bawah kulit, dan deviasi trakea.
Arteri karotid juga dapat diauskultasi untuk mencari suara
abnormal. Lakukan palpasi untuk mengetahui perubahan bentuk,
kerusakan, lebam, jejas di tulang belakang. Trauma penetratif
pada leher jarang mengakibatkan cedera tulang belakang. Meski
begitu, kerusakan tulang belakang sebaiknya dipertimbangkan
sampai dibuktikan sebaliknya dengan penilaian klinis atau
radiografis. Empat pengamatan radiorafis yang dibutuhkan
untuk mendapatkan gambaran tulang belakang secara utuh
adalah sebagai berikut
a. Cross-table lateral (harus tampak C1-T1).
b. Anterior-posterior.
c. Lateral.
d. Open-mouth odontoid.

Dada (Chest)
Periksa dada untuk mengetahui adanya ketidaksimetrisan,
perubahan bentuk, trauma penetrasi atau luka lain, lakukan
auskultasi jantung dan paru-paru. Palpasi dada untuk mencari
perubahan bentuk, udara di bawah kulit dan area lebam/jejas.
Diagnosis yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:

a. Ambil portable chest radiograph jika pasien tidak dapat


duduk tegak untuk sudut posterior-anterior dan lateral.
b. Lakukan perekaman ECG 12-lead pada pasien yang diduga
atau memiliki trauma tumpul pada dada.
c. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan BGA jika
pasien menunjukkan distress napas atau telah memakai
ventilator mekanik.
Abdomen (Perut)
Periksa peruit untuk mengetahui adanya memar, massa, pulsasi,
atau onjek yang menancap. Perhatikan adanya pengeluaran isi
perut, auskultasi suara perut di semua empat kuadran, dan secara
lembut palpasi dinding perut untuk memeriksa adanya
kekakuan, nyeri, rebound pain atau guarding. Tindakan yang
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut:
a. Periksa FAST (focused abdominal sonography for trauma)
yaitu proses pemeriksaan sonografi pada empat wilayah
perut (perikardial, perihepatik, perisplenik, dan pelvis)
digunakan untuk mengidentifikasi cairan intraperitoneal
pada pasien dengan trauma tumpul pada perut.
b. Diagnosis peritoneal lavage (jarang digunakan karena sudah
tersedia CT-scan).
c. CT scan bagian perut (dilakukan dengan tingakat kontras
medium).
d. Urutan pemeriksaan radiografis perut atau ginjal-uretrakandung kemih.

Pelvis (Panggul)
Periksa panggul untuk mengetahui adanya pendarahan, lebam,
jejas, perubahan bentuk, atau trauma penetrasi. Pada laki-laki,
periksa adanya priapism, sedangkan pada wanita periksa adanya
pendarahan. Inspeksi daerah perineum terhadap adanya darah,

feses, atau cedera lain. Pemeriksaan rektum dilakukan untuk


mengukur sphincter tone, adanya darah, dan untuk mengetahui
posisi prostat. Letak prostat pada posisi high-riding, darah pada
urinary meatus, atau adanya scrotal hematoma adalah
kontraindikasi untuk dilakukannya kateter sampai uretrogram
retrograde dapat dilakukan. Untuk mengetahui stabilitas
panggul lakukan penekanan secara halus ke arah dalam (menuju
midline) pada iliac crests. Lakukan palpasi pada daerah simfisis
pubis jika pasien mengeluh nyeri atau terdengar adanya gerakan,
hentikan pemeriksaan dan lakukan pemeriksaan X-rays.
(Lamichhane P, et all., 2011).

Ekstremitas (Extremity)
Periksa keempat tungkai untuk mengetahui adanya perubahan
bentuk, dislokasi, ekimosis, pembengkakan, atau adanya luka
lain. Periksa sensorik-motorik dan kondisi neurovaskular pada
masing-masing ekstremitas. Lakukan palpasi untuk mengetahui
adanya jejas, lebam, krepitasi, dan ketidaknormalan suhu. Jika
ditemukan adanya cedera, periksa ulang status neurovaskular
distal secara teratur dan sistematis. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan Xrays pada ekstremitas yang mengalami gangguan. Intervensi
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Balut bidai.
b. Perawatan luka.
(Lamichhane P, et all., 2011).
I : Inspect the Posterior Surfaces (Periksa Permukaan Bagian
Belakang)
Dengan tetap mempertahankan posisi tulang belakang dalam
kondisi netral, miringkan pasien ke satu sisi. Prosedur ini
membutuhkan beberapa orang anggota tim. Pemimpin tim
menilai keadaan posterior pasien dengan mencari tanda-tanda

jejas, lebam, perubahan warna, atau luka terbuka. Palpasi tulang


belakang untuk mencari tonjolan, perubahan bentuk, pergeseran,
atau nyeri. Pemeriksaan rektal dapat dilakukan pada tahap ini
apabila belum dilakukan pada saat pemeriksaan panggul dan
pada kesempatan ini juga bisa digunakan untuk mengambil baju
pasien yang berada di bawah tubuh pasien. Apabila pada
pemeriksaan tulang belakang tidak didapatkan adanya kelainan
atau gangguan pada pasien dapat telentang, maka backboard
dapat diambil (dengan mengikuti protokol institusi). Tindakan
yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan X-ray pada tulang belakang (leher, toraks,
pinggang).
b. CT scan tulang belakang.
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Jaga tulang belakang agar tidak bergeser, sampai pasien
sudah normal.
2) Pertimbangkan memberi lapisan atau mengambil papan.
Lihat tanda-tanda kerusakan kulit. (Lamichhane P, et
all., 2011).

J.

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat (Konsep)


1.

Pengkajian
a. Pengkajian primer
Airway (jalan nafas)
Pemeriksaan jalan napas pada pasien multi trauma merupakan
prioritas utama. Usaha untuk kelancaran jalan nafas harus di
lakukan dengan cara clin lift atau jaw thrust secara manual untuk
membuka jalan nafas.
Breathing (dan ventilasi)

Semua penderita trauma harus mendapat suplai oksigen yang tinggi


kecuali jika terdapat kontrindikasi terhadap tindakkan ini. Bantuan
ventilasi harus dimulai jika usaha pernapasan inadekuat.
Circrulation (sirkulasi)
Jika ada gangguan sirkulasi segera tanggani dengan pemasangan
IV line. Dan tentukan status sirkulasi dengan mengkaji
nadi,mencatat Irma dan ritmenya.
Disability (evaluasi neurologis)
Pantau status neurologis secara cepat meliputi tingkat kesadaran
dan

GCS,dan

ukur

reaksi

pupil

serta

tanda-tanda

vital.

(Lamichhane P, et all., 2011).


b. Pengkajian sekunder
Kepala
1) Inpeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala: hal ini penting
karna kulit kepala biasanya tidak terlihat karna tertup rambut.
2) Catat adanya pendarahan,laserasi memar,atau hematom.
3) Catat adanya darah atau drainase dari telinga.
4) Inpeksi adnya memar di belakang telinga.
5) Kaji respond an orientasi pasien akan waktu,tempat,dan diri .
observasi bagaimana pasien merespons pertanyaan dan
berinteraksi dengan lingkungan.
6) Catat adanya tremor atau kejang.
Wajah
1) Inpeksi dan palpasi tulang wajah
2) Kaji ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya.catat apakah
lensa kontak terpasang; jika ya lepaskan
3) Catat adanya darah atau drainage dari telinga,mata,hidung,atau
mulut.
4) Observasi bibir, daun telinga, dan ujung kuku terhadap sianosis
5) Cek adanya gigi yang tanggal
6) Cek adanya gigi palsu.jika ada pasien mengalami penurunan
tingkat kesadaran atau gigi palsu mempengaruhi jalan

nafas,lepaskan;lalu di beri nama dan simpan di tempat yang


aman (lebih baik berikan pada keluarganya )
7) Inpeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma.
(Gerard M D, 2006)
Leher
1) Observasi adanya bengkak atau deformitas di leher
2) Cek spinal servikal utuk devormitas dan nyeri pada
palpasi.perhatikan jangan menggerakkan leher atau kepala
pasien dengan kemungkinan trauma leher sampai fraktur
servikal sudah di pastikan
3) Observasi adanya deviasi trakea.
4) Observasi adanya distensi vena jugularis

Dada
1) Inpeksi dinding dada untuk kualitas dan kedalaman pernafasan
dan untuk kesimetriasan pergerakan.
2) Catat adanya segmen flailchest
3) Cek adanya fraktur iga padengan melakukan penekanan pada
tulang iga pada posisi lateral, lalu anterior dan posterior;
manufer ini menyebabkan nyeri pada pasien dengan fraktur iga
4) Catat keluhan pasien akan nyeri,dispnea,atau sensasi dada
terasa berat
5) Catat memar,pendarahan ,luka atau emfisema subkutaneus
6) Auskultasi paru utuk kualitas dan kesemetrisan bunyi napas.

Abdomen
1) Catat adanya distensi ,perdarahan , memar, atau abrasi ,
khususnya di sekitar organ vital seperti limpa atau hati
2) Auskultasi abdomen utuk bising usus sebelum mempalpasi
mengkaji secara benar.
(Gerard M D, 2006)
Genetalia dan pelvis

1) Oservasi untuk abrasi, perdarahan, hematoma, edema, atau


discharge.
2) Observasi adnya gangguan kemih.
Tulang belakang
1) Mulai tempatkan satu tangan di bawah leher pasien.dengan
lembut palpasi vertebrata, rasakan adanya deformitas, dan catat
lokasinya jika terdapat respon nyeri pada pasien
2) Perhatian : jangan pernah membalik pasien untuk memeriksa
tulang belakang sampai trauma spinal sudah di pastikan ! jika
anda harus membalik pasien (misalnya luka terbuka) gunakan
tehnik log-roll.
3) Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika mempalpasi
sudut costovertebral melewati ginjal.
(Gerard M D, 2006)
Ekstremitas
Cek adanya pendarahan, edema, pallor nyeri, atau asimetris tulang
atau sendi mulai pada segmen proksimal pada setiap ekstremitas
dan palpasi pada bagian distal. (Gerard M D, 2006).

TENSION PNEUMOTHORAX

A.

Definisi
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ
mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang
mengalami tekanan (Manjoer, 2000).

B.

Etiologi
Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:

Trauma benda tumpul atau tajam meliputi gangguan salah


satu pleura visceral atau parietal dan sering dengan patah
tulang rusuk (patah tulang rusuk tidak menjadi hal yang
penting bagi terjadinya Tension Pneumotoraks)

Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah


pusat), biasanya vena subclavia atau vena jugular interna (salah
arah kateter subklavia).

Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks


sederhana ke Tension Pneumotoraks

Ketidakberhasilan

mengatasi

pneumothoraks

terbuka

ke

pneumothoraks sederhana di mana fungsi pembalut luka


sebagai 1-way katup

Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan


pneumothoraks (Corwin, 2009).

C.

Manifestasi Klinis Tension Pneumothoraks


-

Terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga terjadi


kholaps total paru, mediastinal shift atau pendorong mediastinum ke
kontralateral, deviasi thrachea, hipotensi dan respiratory distres berat.

Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, tekanan jugularis meningkat, pergerakan dinding
dada yang asimetris, hipersonor dinding dada dan tidak ada suara
napas pada sisi yang sakit. (American College of Surgeons Commite
on Trauma, 2005).

D.

Pemeriksaan penunjang
-

Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) diperlukan apabila


pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan
ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks,

batas

antara

udara

dengan

cairan

intra

dan

ekstrapulmonal serta untuk membedakan antara pneumotoraks spontan


dengan pneumotoraks sekunder. (Corwin, 2009).

Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan


invasive, tetapi memilki sensivitas yang ebih besar dibandingkan
pemeriksaan CT-Scan.Ada 4 derajat. (Corwin, 2009).

Pemeriksaan foto dada tampak garis pleura viseralis, lurus atau


cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura
parietalis. Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens
karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vascular
pada daerah tersebut.
Sinar x dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural;
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal. (Corwin,
2009).

Pemeriksaan Laboratorium :
GDA : variable tergantung dari derajat paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau
menurun; saturasi oksigen biasanya menurun. Analisa gas darah arteri
memberikan gambaran hipoksemia. (Corwin, 2009).
Hb :

menurun, menunjukan kehilangan darah.

Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa. (Corwin,


2009).

2.
No

Analisa Data (Konsep)


Data subjektif-objektif

Etiologi

Masalah
Keperawatan

1.

Pre Hospital

Kecelakaan lalu lintas Gangguan


pertukaran gas

DS: klien merintih dan


mengeluh

adanya

Multiple trauma

sesak, nyeri dada


DO:

tampak

kesulitan

trauma pada dada

bernafas
-

Respirasi

rate

40x/menit

kerusakan pleura paru


Tension

In Hospital
DS:DO: - Trakea bergeser ke

udara tertahan
dilapisan pleura

kiri
-

RR: 40x/menit

Gerakan dinding
dada

asimetris,

memar di dada
kanan

Tekanan dalam
pleura meningkat

gangguan pertukaran
gas

bawah

sampai

ke

samping
-

Bunyi

nafas

kanan melemah
-

Bising nafas kiri


terdengar jelas

2.

AGD < 90 %

Pre Hospital
DS:

Multiple trauma

masyarakat

sekitar

mengatakan

terjadi

suatu

kecelakaan

trauma pada dada

Risiko syok

lalulintas sekitar 2 KM
dari

gerbang

terjadi fraktur iga

tol

brebes, sebuah mobil


yang melaju dengan
kecepatan

tinggi

menabrak

sebuah

kerusakan jaringan
paru

kolaps paru

pohon besar, bagian


depan mobil hancur,
kaca

depan

pecah,

gangguan ekspansi
paru

sopir mobil terlempar


keluar melalui kaca
gangguan oksigenasi

depan.
DO: - wajah dan bibir
terlihat kebiruan
-

Kulit pucat

Dingin

Berkeringat

Perdarahan pada
saluran napas

Saluran napas
tersumbat

dingin
-

GCS:

13

(E:3.

M:6, V:4)

hipoksia

Gangguan oksigenasi

In Hospital

DS: -

Hipoksia

DO: - klien sadar terlihat


bingung

Resiko Syok

- TD: 90/50 mmHg


- Nadi: 110x/menit

3.

Pre Hospital
Ds: -

Multiple trauma

Kerusakan
integritas kulit

DO:-klien terlihat kesulitan

Tulang Patah

bernafas
- Respirasi

rate

40x/menit

Perdarahan di
periosteum

In Hospital
DS: -

Kerusakan jaringan di
ujung tulang

DO:

- terdapat luka lecet


di dahi dan pelipis
kanan, Diameter 2-

Hematoma di kanal
medula

4 cm
- Pada

ekstremitas

paha

kanan

Peradangan (dolor,
kalor, rubor, tumor)

tampak
deformitas,

Kerusakan integritas
kulit

memar
- Hematom
paha

pada
tengah

kanan
4.

Pre Hospital
DS: DO: -

wajah dan bibir

terlihat kebiruan
-

Kulit pucat

Dingin

Berkeringat

Tekanan intra kranial

Ketidakefektifan

meningkat

perfusi jaringan

Edema serebral
TDL sistemik atau
hipoksia
Penghentian TD oleh
sol

dingin
In Hospital

Gangguan perfusi
jaringan

DS: -

DO: -

3.

Diagnosa Keperawatan

1.

Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran cappiler alveolar

2.

Risiko syok berhubungan dengan faktor risiko hipoksia

3.

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik

4.

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan posisi tubuh


yang menghambat ekspansi paru.

4.

No
1

Rencana Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Diagnosa Keperawatan

Noc

Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan tindakan


perubahan membran cappiler keperawatan selama 5 menit
alveolar

diharapkan ketidakefektifan pola


napas teratasi, dengan kriteria hasil :
1.

Bebas dari tanda-tanda distress


pernafasan.

2.

Meningkatkan ventilasi dan


oksigenasi yang kuat

3.

Tand-tanda vital dalam rentang


normal.

Nic

Airway management
1. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
2. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.
3. Aukultasi dan catat bunyi napas
4. Berikan oksigen .

Oksigen teraphy
1. Pertahankan jalan napas
2. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem
humedifien

3.

2.

Risiko syok dengan faktor

Setelah dilakukan tindakan

risiko hipoksia

keperawatan selama jam,


diharapkan risiko syok dapat
dihindari. Dengan kriteria hasil:
Shock severity :

Berikan oksigen menggunakan sungkup .

Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust
b. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi
ventilasi.

1. mengidentifikasi faktor resiko


2. menguraikan strategi
pengendalian risiko yang
efektif.
3. mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.

c. Aukultasi dan catat bunyi napas


d. Berikan oksigen .
Oksigen teraphy
a. Pertahankan jalan napas
b. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem
humedifien

c.

3.

Ketidakefektifan perfusi

Setelah dilakukan tindakan

jaringan berhubungan dengan

keperawatan selama 5 menit

peningkatan TIK

diharapkan Ketidakefektifan perfusi


teratasi, dengan kriteria hasil :

Berikan oksigen menggunakan sungkup .

Circulation precaution
1. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
2. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
3. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
4. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.

4.

Kerusakan integritas kulit

Setelah dilakukan tindakan

berhubungan dengan faktor

keperawatan selama 5 menit

mekanik

diharapkan sebagian kerusakan

Airway management
a. Buka jalan napas menggunakan teknik chin lift/ jaw
thrust

integritas kulit teratasi, dengan


kriteria hasil :

b. posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi


ventilasi.

Tissue integrity : skin and mucous


membranes
a. Tidak da luka / lesi pada kulit
b. Menunjukkan terjadinya

c. Aukultasi dan catat bunyi napas


d. Berikan oksigen .
Oksigen teraphy

proses penyembuhan luka.


a. Pertahankan jalan napas
c. Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan

b. Atur peralatan oksigen dan kelola sistem


humedifien

kelembaban kulit .
c.

Berikan oksigen menggunakan sungkup .

Circulation precaution
a. Lakukan penilian komperhensif sirkulasi perifer
(cek nadi perifer,edema, CRT, warna, suhu
ekstremitas, dan index brachial ankle)
b. Jangan lakukan IV/ pengambilan darah pada kaki
yang terkenah.
c. Kelola hidrasi yang adekuat untuk mencengah
peningkstan kekentalan darah
d. Anjurkan pasien dan keluarga melindungi area
yang terkena dari injuri.

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

1. Identitas Klien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Tanggal Pengkajian
Diagnosa Medis

2. TRIAGE
P1

3. General Impression

Keluhan Utama : Klien mengeluh sesak

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : Tidak baik


Pasien sadar tapi terlihat bingung, dan cemas

4. Primary Survay
a.

Airway
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada

b. Breathing
Petugas penolong mengatakan klien terlihat kesulitan bernafas, respirasi
rate 40 x/menit.

c. Circulation

Nadi

CRT

Warna kulit

Perdarahan

Turgor kulit

Mukosa

d. Disability/Neurological

Respon

Kesadaran

e. Exposure

5. Secondary Survey
a. Anamnesis
1. KOMPAK
Keluhan
Klien mengeluh dadanya sesak, nyeri didada dan paha kanannya.
Obat
Tidak terdapat dalam kasus.
Makanan terakhir
Tidak terdapat dalam kasus.
Penyakit penyerta
Tidak terdapat dalam kasus.
Alergi
Tidak terdapat dalam kasus.
Kejadian
Suatu kecelakaan lalulintas sekitar 2 KM dari gerbang tol brebes,
sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak sebuah
pohon besar. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah, sopir
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Identitas supir tersebut
ialah seorang laki-laki 28 tahun. Melihat kecelakaan tersebut
masyarakat sekitar langsung menghubungi tim medis posko terdekat.
Ketika tim penolong datang klien tergeletak dan merintih, mengeluh
dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien sudah
dipindahkan ke pinggir jalan oleh warga.

2. Head to toe
Perubahan bentuk
Trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi. Pada pemeriksaan
thorak tampak gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal,
memar di sekitar dada kanan bawah sampai ke samping. Nyeri tekan
pada dada kanan bawah, sampai ke samping (lokasi memar),
krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi terdengar
kanan hiper sonor, kiri sonor. Terdengar bunyi napas kanan
melemah, bising napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar
jelas, cepat. Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas, memar,
hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Tumor
Tidak terdapat dalam kasus.
Luka
Luka lecet di dahi dan dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm.
Sakit
Pada ekstermitas paha kanan nyeri
3. Tanda-tanda vital
TD
Nadi
Suhu
Respirasi

A.

Analisa Data (Kasus)

No

Data

Etiologi

Masalah Keperawatan

(Subjektif Objektif)
Pre Hospital
1.

DS:

Gangguan pertukaran gas

Klien mengeluh adanya sesak, nyeri


dada
DO:
a.

Klien merintih, bingung, dan


cemas

b.

Tampak kesulitan bernafas.

c.

Respirasi rate 40x/menit.

2.

DS:

Risiko syok

DO:
a.

Wajah dan bibir terlihat kebiruan.

b.

Kulit pucat.

c.

Dingin

d.

Berkeringat dingin

e.

TD 90/50 mmHg

f.

Nadi 110x/menit.

g.

GCS: 13 (E:3. M:6, V:4)


In Hospital

1.

DS:

Kecelakaan lalu lintas

DO:
a.

Trakea bergeser ke kiri.

Multiple trauma

Gangguan pertukaran gas

b.

Vena jgularis distensi.

c.

RR: 40x/menit.

d.

Nadi : 110x/menit.

e.

Thorak tampak gerakan dinding


dada asimetris, memar di dada

trauma pada dada

kerusakan pleura paru

kanan bawah sampai ke samping.


f.

Bunyi nafas kanan melemah

g.

Bising nafas kiri terdengar jelas,

Tension

bunyi jantung terdengar jelas dan


cepat
h.

Krepitasi pada kosta 9, 10, 11

Tekanan dalam pleura


meningkat

kanan depan.
i.

Perkusi terdengar kanan hiper


sonor, kiri sonor.

udara tertahan
dilapisan pleura

gangguan pertukaran
gas
2.

DS: -

Multiple trauma

Risiko syok

DO:
a.

TD: 90/50 mmHg

b.

Nadi: 110x/menit

trauma pada dada


terjadi fraktur iga

kerusakan jaringan
paru

kolaps paru

gangguan ekspansi
paru

gangguan oksigenasi

hipoksia

Perdarahan pada
saluran napas

Saluran napas
tersumbat

Gangguan oksigenasi

Hipoksia

Resiko Syok

B.

Diagnosa Keperawatan (Kasus)


1.Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran cappiler alveolar
2. Risiko syok dengan faktor risiko hipoksia

C.
N

Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosa Keperawatan

Noc

Nic

Rasional

o
1

1. Gangguan
gas

b.d

membran
alveolar

pertukaran Setelah dilakukan tindakan


perubahan keperawatan selama 5 menit
cappiler diharapkan ketidakefektifan

1.

pola napas teratasi, dengan


kriteria hasil :
2.

Airway management
Buka jalan napas

thrust.

sehingga kebutuhan

posisikan pasien (flat) untuk

oksigen terpenuhi.

normal :

ventilasi.

oksigenasi yang adekuat.

4.

Berikan oksigen sebanyak 12


LPM

b. Memelihara kebersihan
paru-paru dan bebas dari

Auskultasi dan catat bunyi


napas

peningkatan ventilasi dan

Oksigen teraphy

tanda-tanda distress
pernafasan.

1.

1. Membantu jalan
masuknya udara ke paru

memaksimalkan potensi

a. Mendemostrasikan

Airway management

menggunakan teknik jaw

Tanda-tanda vital dalam batas

3.

Pertahankan jalan
napasmenggunakan NPA

2. Mempermudahkan jalan
nafas dan pernapasan.
3. Mengetahui nilai adakah
bunyi nafas tambahan.
4. Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.
Oksigen teraphy

2.

3.

Atur peralatan oksigen dan

1.

Meningkatkan rasa

kelola sistem humedifier

nyaman pada jalan nafas

Berikan oksigen

dan pernafasan.

menggunakan NRM

2.

Mempertahankan
sirkulasi oksigenasi pada
pasien.

3.

Memperbaiki status
oksigenasi pasien.

2.

Risiko syok dengan faktor

Setelah dilakukan tindakan

risiko hipoksia

keperawatan selama jam,


diharapkan risiko syok dapat

1.

dihindari. Dengan kriteria


hasil:
2.

Airway management
Buka jalan napas

1.

Airway management
Membantu jalan

menggunakan teknik jaw

masuknya udara ke paru

thrust.

sehingga kebutuhan

posisikan pasien (flat) untuk

oksigen terpenuhi.

memaksimalkan potensi

2.

Mempermudahkan jalan

ventilasi.

Shock severity :

3.
Aukultasi dan catat bunyi
1. m
napas.
e
4.
Berikan oksigen 12 LPM
n
g
i
Oksigen teraphy
d
1. e Pertahankan jalan napas.
2. n Atur peralatan oksigen dan
t
3. i
f

nafas dan pernapasan.


3.

bunyi nafas tambahan.


4.

Dapat meningkatkan
bersihan nafas klien.

Oksigen teraphy
1.

Meningkatkan rasa
nyaman pada jalan nafas

kelola sistem humedifien.

dan pernafasan.

Berikan oksigen
menggunakan NRM

Mengetahui nilai adakah

2.

Mempertahankan

sirkulasi oksigenasi pada

pasien.

a
s
i

3.

Memperbaiki status
oksigenasi pasien.

f Circulation precaution

Circulation precaution

1.

Mengetahui tingkat

a
1.

k
t
o
r

2.

r
e
s
i

3.

k
m
e
n

4.

g
u
r
a

Lakukan penilian
komperhensif sirkulasi

keparahan sirkulasi

perifer(cek nadi

perifer pasien.

perifer,edema, CRT, warna,


suhu ekstremitas, dan index

2.

hambatan pada saat

brachial ankle).

tindakan IV

Jangan lakukan IV/


pengambilan darah pada kaki

Mencegah terjadinya

3.

Kekentalan darah dapat

yang terkena injuri.

menghambat perfusi

Kelola hidrasi yang adekuat

jaringan.

untuk mencengah
peningkatan kekentalan
darah.
Berikan cairan RL yang
dihangatkan 40

Mencegah terjadinya
keparahan yang dialami.

i
k
a
n

s
t
r
a
t
e
g
i

p
e
n
g
e

n
d
a
l
i
a
n

r
i
s
i
k
o

y
a
n
g

e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.
1. m
e
n
g
i
d
e

n
t
i
f
i
k
a
s
i

f
a
k
t
o
r

r
m

e
n
g
u
r
a
i
k
a
n

s
t
r
a
t
e
g
i

p
e
n
g
e
n
d
a
l
i
a
n

r
i
s
i
k

y
a
n
g

e
f
e
k
t
i
f
.
mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko.

KESENJANGAN ANTARA TEORI DAN KASUS

Setelah memahami makalah di atas terdapat kesenjangan teori


dengan kasus, yaitu manifestasi yang timbul pada teori di jelaskan bahwa
adanya penurunan kesadaran sedangkan pada kasus pasien sadar tapi
terlihat bingung dan cemas.
Selain itu di dalam kasus tidak dijelaskan secara detail mengenai
data pemeriksaan penunjang yang memperkuat diagnosis pada kasus
tersebut. Pada

teori

data

penunjang

yang

harus di

lakukan

pemeriksaan penunjang adalah Cedera thorax bagian bawah, Eksplorasi


local luka dan pemeriksaan serial.

BAB IV
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Kecelakaan lalu lintas dari gerbang tol Brebes, mobil melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak sebuah pohon besar. Klien tergeletak dan
merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri dada dan paha kanannya. Klien
sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernapas, respirasi rate 40
x/menit, nadi 110 x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg, wajah dan bibir
terlihat kebiruan, kulit pucat, dingin, berkeringat dingin, GCS: 13 (E:3, M:6,
V:4).
Hasil pengkajian di IGD diperoleh data terdapat luka lecet di dahi dan
dan pelipis kanan, diameter 2-4 cm, trakhea bergeser ke kiri, vena jugularis
distensi. Pada pemeriksaan thorak tampak gerakan dinding dada asimetris,
kanan tertinggal, frekuensi napas 40x/menit, memar di sekitar dada kanan
bawah sampai ke samping. Terdengar bunyi napas kanan melemah, bising
napas kiri terdengar jelas, bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi
110 x/menit. Nyeri tekan pada dada kanan bawah, sampai ke samping
(lokasi memar), krepitasi pada kosta 9, 10, 11, kanan depan. Saat perkusi
terdengar kanan hiper sonor, kiri sonor.
Pada pemeriksaan abdomen dinding perut datar, bising usus normal,
palpasi; nyeri tekan (-). Pada ekstermitas paha kanan tampak deformitas,
memar, hematom pada paha tengah kanan, nyeri tekan, ROM pasif; limitasi
gerakan, aktif; limitasi gerakan.
Dari data yang diperoleh klien mengalami multripel trauma yang
dapat menyebabkan tension pneumothoraks (udara di dalam rongga pleura).
Oleh karena itu tindakan yang dilakukan pemasangan neck collar setelah itu
buka jalan nafas dengan teknik chin lift, diberikan O2 dengan menggunakan
NRM (Non Rebreating Mask) 10 12 LPM, kemudian dilanjut dengan
memberikan cairan infus 2 jalur dengan cairan RL (Ringer Laktat) yang
dihangatkan 1-2 liter diguyur. Jangan lupa ambil sample darah untuk uji lab

darah. Setelah itu dilakukan needle thoracosintesis di ICS 2 mid klavikula,


dengan melakukan kolaborasi dengan dokter untuk tindakan pemasangan
Chest tube/WSD
B.

Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam
keadaan darurat secara cepat dan tepat, perlu dilakukan prosedur primary
survey dan secondary survey yang dapat digunakan setiap hari. Dengan di
lengkapi buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk
klien.

Anda mungkin juga menyukai