Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

MENINGITIS
Definisi
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura,
arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat
disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi
oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS).3
Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1
12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi
pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen,
kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif, perumahan padat
penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi yang
tidak diberikan ASI pada umur 2 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak
orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan.7
Etiologi
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri,
virus, parasit dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor
serebrospinal. Meningitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti
pada penyakit AIDS, keganasan, diabetes mellitus, cedera fisik atau obat obatan
tertentu yang dapat melemahkan sistem imun (imunosupresif).5
Risk and/or Predisposing Factor
Bacterial Pathogen
Age 0-4 weeks
Streptococcus agalactiae (group B
streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks

S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides

Age 3 months to 18 years

N meningitidis
S pneumoniae
H influenza

Age 18-50 years

S pneumoniae
N meningitidis
H influenza

Age older than 50 years

S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli

Immunocompromised state

S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli

Intracranial manipulation,
including neurosurgery

Staphylococcus aureus
Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa

Basilar skull fracture

S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci

CSF shunts

Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes

Patofisiologi
Secara umum, pada meningitis bakterial infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman
yang ada dalam cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh
infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi
lumbal dan mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh

kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir


Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran

hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab
meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen
mempunyai tahap-tahap sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)

2. Bakteri menembus rintangan mukosa


3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit
dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Gambar 4. Patogenesis Meningitis Bakterial


Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui
semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang
berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada
satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi
oleh interaksi beberapa faktor, yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan
lingkungan yang menunjang.
Faktor Host
Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:

1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis


dibandingkan dengan wanita. Pada neonates sepsis menyebabkan meningitis,
laki-laki dan wanita berbanding 1,7 : 1
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita
meningitis disbanding bayi cukup bulan
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama
kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya
sepsis dan meningitis
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit,
defisiensi beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya
properdin serum, rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer
melalui plasenta pada bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak
di transfer melalui plasenta), akan mempermudah terjadinya infeksi atau
meningitis pada neonates. Rendahnya IgM dan IgA berakibat kurangnya
kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau
dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan
sel B dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis
6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit
Hodgkin menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga
mempermudah terjadinya infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah
terjadinya infeksi
8. Malnutrisi
Faktor Mikroorganisme
Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri.
Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode
neonatal bakteri penyebab utama adalah golongan enterobacter terutama Escherichia
Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B, Streptococcus
pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp. Sedangkan pada bayi umur 2 bulan
sampai 4 tahun yang terbanyak adalah Haemophillus influenza type B disusul oleh
Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides. Pada anak lebih besar dari 4
tahun yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitides.
Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang gram
negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter, Klebsiella Sp dan Seprata Sp.
Faktor Lingkungan

Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial


ekonomi rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi.
Pada tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan.
Adanya vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu

predisposisi,

untuk terjadinya leptospirosis.


Akhir akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis
bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen komponen bakteri dan
mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak
(meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan
tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia atau embolus septik,
yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat dengan jalan
menembus rintangan darah otak melalui tempat tempat yang lemah, yaitu di
mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang
baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah
bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri
dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas
fagositosis dalam cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang
subaraknoid.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan
melepaskan dinding sel atau komponen komponen membran sel (endotoksin,
teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan
peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam
skema tersebut di bawah, sehingga timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada
waktu lisis akan melepaskan lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif
akan melepaskan teichoic acid (asam teikoat).

Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1


Produk produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator
inflamasi seperti Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator
inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial, yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran
darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga terjadi syndrome inappropriate
antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena proses peradangan
akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin endogen
sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini
menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun
osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu
mengantuk, iritabel dan kejang.
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal
dan terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini
menyebabkan

herniasi

dari

gyri

parahippocampal,

cerebellum,

atau

keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis menyebabkan terjadinya gangguan

kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari batang otak menyebabkan
lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati, perubahan ini akan
menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif
menyebabkan henti nafas dan jantung.
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak
yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan
adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat
lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh
karena penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak
mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan vaskulopati.
Kelainan kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga
menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi metabolik
yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme
anaerob, keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat
timbulnya hipoglikorakia.
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia
sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah
peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan bahan toksis
bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris,
akibatnya terjadi refleks kontraksi otot otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit,
sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku kuduk. Manifestasi klinis
lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu
makan menurun dan sakit kepala. Gejala gejala tersebut dapat juga disebabkan
karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve
roots, makan timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan bahan toksis bakteri mula mula menimbulkan
hiperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang
subaraknoid, dan selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel fagosit dan sel
polimorfonuklear, serta merangsang sel polimorfonuklear untuk menembus endotel
pembuluh darah melalui tight junction dan selanjutnya memfagosit bakteri bakteri,
sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang cepat meluas

dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS diabsorpsi oleh vili
araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit
bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan
histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi
fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan
dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput
otak yang menyebabkan perlekatan perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah
sisterna basalis, maka akan menimbulkan hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di
aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus
obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga mengalami
pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan
trombus dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah,
sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat
menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari
pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol,
kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama
dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan
menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang
berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak yang
serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering
menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks
serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia,
invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan
fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul
setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi
intelek berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku; gangguan fungsi intelek
merupakan akibat kerusakan otak karena proses infeksinya, syok dan hipoksia.
Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau arakhnoid yang
berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid

menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang


subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan
manifestasi neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain
barrier) menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu
atau hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstitial. Meskipun kuman
jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan penetrasi toksin kuman
dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis; kelainan saraf kranial
pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya peradangan lokal pada
perineurium dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf cranial, terutama saraf VI,
III dan IV, sedang ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan
akibat infiltasi kuman ke selaput otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan
batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid,
sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe
konduktif. Kelain saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan
tetapi dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri, sehingga
terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh
trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan peradangan yang
menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk
prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi mental.
Gejala klinis
Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam,
sakit kepala dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain,
seperti :
Mual
Muntah
Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
Perubahan atau penurunan kesadaran
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).

2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.


a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis,
Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih
besar).
3. Gejala rangsangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di
atas terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan
punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat
diandalkan sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu
dilakukan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 6. Tanda Brudzinski

Gambar 7. Tanda Kernig

Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa


Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah
pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan
pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan
serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan
sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan
intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial hypertension), pungsi lumbal juga
dilakukan untuk memasukkan obat-obat tertentu.

Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala
dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk
dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada
meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hampir semua penulis
mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan
cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh karena itu setiap pasien dengan
kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada
stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya
didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang
sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini
didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih
banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi
lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti.
Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta.
Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada
meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat
ditemukan kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman
yang dapat dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan
binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi

terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi
dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya terdapat anemia
megaloblastik.9
Diagnosis banding

Abses otak
Encephalitis
Neoplasma
Kejang demam
Subarachnoid Hemorrhage

Komplikasi
Komplikasi dini :
Syok septik, termasuk DIC
Koma
Kejang (30-40% pada anak)
Edema serebri
Septic arthritis
Efusi pericardial
Anemia hemolitik
Komplikasi lanjut :
Gangguan pendengaran sampai tuli
Disfungsi saraf kranial
Kejang multipel
Paralisis fokal
Efusi subdural
Hidrocephalus
Defisit intelektual
Ataksia
Buta
Waterhouse-Friderichsen syndrome
Gangren periferal
Penatalaksanaan
Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum
antibiotik yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian
klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi
stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut masih
menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa negatif.8
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis
rentan untuk mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga

berkontribusi terhadap timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit. 8


Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan
memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan
jenis yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus
menerima cairan cukup untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg,
output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan yang memadai. Meskipun
menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan risiko penurunan
perfusi serebral sama-sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik lain mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang memadai.8
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB
secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam
dapat diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan
dengan pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam
kemudian diberikan dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam
intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan
dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1
menit

jangan

melebihi

50

mg

atau

1mg/kgBB/menit.

Dosis

selanjutnya

5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat
digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis
maintenance.1
Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen
umum: S pneumoniae, N meningitidis, dan H. influenzae.8 Menurut

Infectious

Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for bacterial meningitis


tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime dianjurkan
bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan berdasarkan
pada kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang adekuat
terhadap pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten
beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap
penumococcus dan tidak dapat digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau
ceftriaxone.8
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis
yang lebih tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf

pusat. Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka.
Namun, bila S.pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk
cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60
mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang
resisten sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena
resiko kejang lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih
dalam penelitian. Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal pada terapi sebelumnya. 8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi betalaktam.8
Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya
relaps atau rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada
sekret nasofaring walopun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien
harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg dosis single selama 4 hari bila anak dengan
resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat penitipan anak. N.meningitidis dan
S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring setelah terapi meningitis
berhasil.8
Antibiotic

Dose (mg/kg/d)

Maximum Daily Dose

Dosing

Ampicillin

IV
400

6-12 g

Interval
q6h

Vancomycin

60

2-4 g

q6h

Penicillin G

400,000 U

24 million

q6h

Cefotaxime

200-300

8-10 g

q6h

Ceftriaxone

100

4g

q12h

Ceftazidime

150

6g

q8h

Cefepime*

150

2-4 g

q8h

Imipenem

60

2-4 g

q6h

Meropenem

120

4-6 g

q8h

Rifampin

20

600 mg

q12h

*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.


Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.
Tabel 8. Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial 8
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan
anak dnegan meningitis bakterial sebagai berikut : 10
Usia 1 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +

Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau


- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil

kultur dan resistensi.


Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of
bacterial meningitis adalah sebagai berikut :8
N meningitidis - 7 hari
H influenzae - 7 hari
S pneumoniae - 10-14 hari
S agalactiae - 14-21 hari
Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
L monocytogenes - 21 hari atau lebih
Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan
edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe
B yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens
gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan
pendengaran. Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason
pada kasus meningits oleh H.influenza tipe B 10 20 menit sebelum atau saat
pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke
SSP. Oleh karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan
kasus, resiko dan manfaatnya.8

Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.10
Prognosis
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1.
Umur pasien
2.
Jenis mikroorganisme
3.
Berat ringannya infeksi
4.
Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5.
Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC
mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun
kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang
disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang
adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat
diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri
seperti H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat diturunkan
dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena
itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang, selain
pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan
temuan klinis pada saat itu.1,9
Patofisiologi Meningitis Thyposa
Seperti pada meningitis bakterial lainnya, pada umumnya meningitis
bakterial akut selalu bersifat purulenta. Meningitis ini timbul sebagai komplikasi
dari septikemia dimana dalam hal ini dari bakteremia kuman salmonella di dalam
darah. Terjadinya meningitis thyposa yang bermula dari demam tifoid dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen
setelah mengalami demam tifoid
terjadi reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus

pembuluh darah mengalami hiperemi


penyebaran sel sel leukosit PMN ke dalam ruang subarachnoid
terbentuk eksudat
(pada lapisan luar berisi leukosit PMN, lapisan dalam berisi makrofag)
Dalam beberapa hari terbentuk limfosit dan histosit
Setelah 2 minggu terbentuk sel sel plasma
Sumber : Jameson, 2006
Salmonella yang masuk menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan
bawah korteks dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral.
Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,
vaskulitis, dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak
dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel
serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial,
yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak
(barrier otak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien
meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari
pasien ini menyebabkan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan
dengan meluasnya hemoragi (pada sindrom Waterhouse-Friderichssen) sebagai
akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan
oleh bakteri. (Arisandi, 2008).
Penegakkan Diagnosis Meningitis Thyposa
1. Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis
2. Pemeriksaan darah tepi :
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis, relatif dan aneosinofillia, pada
permulaan sakit mungkin terdapat anemia dan trombositpenia ringan.
3. Pemeriksaan sumsum tulang :
Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel
makrofag,sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis
berkurang.
4. Pemeriksaan widal :
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi, untuk membuat
diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O.titer yang

bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif
digunakan untuk membuat diagnosis.
5. Lumbal Pungsi
Dengan lumbal pungsi dapat mengetahui jenis bakteri apa yang telah
menginfeksi

meningens,

apabila

meningitis

Salmonella typhi pada lumbal pungsi tersebut.

typhoid

akan

diperoleh

Anda mungkin juga menyukai