MENINGITIS
Definisi
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura,
arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat
disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi
oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS).3
Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1
12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi
pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen,
kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif, perumahan padat
penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi yang
tidak diberikan ASI pada umur 2 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak
orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan.7
Etiologi
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri,
virus, parasit dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor
serebrospinal. Meningitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti
pada penyakit AIDS, keganasan, diabetes mellitus, cedera fisik atau obat obatan
tertentu yang dapat melemahkan sistem imun (imunosupresif).5
Risk and/or Predisposing Factor
Bacterial Pathogen
Age 0-4 weeks
Streptococcus agalactiae (group B
streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks
S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides
N meningitidis
S pneumoniae
H influenza
S pneumoniae
N meningitidis
H influenza
S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state
S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation,
including neurosurgery
Staphylococcus aureus
Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa
S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts
Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
Patofisiologi
Secara umum, pada meningitis bakterial infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman
yang ada dalam cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh
infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi
lumbal dan mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab
meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen
mempunyai tahap-tahap sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
predisposisi,
herniasi
dari
gyri
parahippocampal,
cerebellum,
atau
kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari batang otak menyebabkan
lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati, perubahan ini akan
menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif
menyebabkan henti nafas dan jantung.
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak
yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan
adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat
lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh
karena penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak
mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan vaskulopati.
Kelainan kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga
menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi metabolik
yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme
anaerob, keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat
timbulnya hipoglikorakia.
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia
sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah
peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan bahan toksis
bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris,
akibatnya terjadi refleks kontraksi otot otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit,
sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku kuduk. Manifestasi klinis
lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu
makan menurun dan sakit kepala. Gejala gejala tersebut dapat juga disebabkan
karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve
roots, makan timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan bahan toksis bakteri mula mula menimbulkan
hiperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang
subaraknoid, dan selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel fagosit dan sel
polimorfonuklear, serta merangsang sel polimorfonuklear untuk menembus endotel
pembuluh darah melalui tight junction dan selanjutnya memfagosit bakteri bakteri,
sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang cepat meluas
dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS diabsorpsi oleh vili
araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit
bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan
histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi
fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan
dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput
otak yang menyebabkan perlekatan perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah
sisterna basalis, maka akan menimbulkan hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di
aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus
obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga mengalami
pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan
trombus dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah,
sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat
menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari
pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol,
kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama
dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan
menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang
berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak yang
serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering
menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks
serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia,
invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan
fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul
setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi
intelek berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku; gangguan fungsi intelek
merupakan akibat kerusakan otak karena proses infeksinya, syok dan hipoksia.
Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau arakhnoid yang
berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid
Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala
dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk
dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada
meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hampir semua penulis
mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan
cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh karena itu setiap pasien dengan
kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada
stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya
didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang
sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini
didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih
banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi
lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti.
Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta.
Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada
meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat
ditemukan kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman
yang dapat dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan
binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi
terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi
dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya terdapat anemia
megaloblastik.9
Diagnosis banding
Abses otak
Encephalitis
Neoplasma
Kejang demam
Subarachnoid Hemorrhage
Komplikasi
Komplikasi dini :
Syok septik, termasuk DIC
Koma
Kejang (30-40% pada anak)
Edema serebri
Septic arthritis
Efusi pericardial
Anemia hemolitik
Komplikasi lanjut :
Gangguan pendengaran sampai tuli
Disfungsi saraf kranial
Kejang multipel
Paralisis fokal
Efusi subdural
Hidrocephalus
Defisit intelektual
Ataksia
Buta
Waterhouse-Friderichsen syndrome
Gangren periferal
Penatalaksanaan
Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum
antibiotik yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian
klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi
stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut masih
menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa negatif.8
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis
rentan untuk mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga
jangan
melebihi
50
mg
atau
1mg/kgBB/menit.
Dosis
selanjutnya
5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat
digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis
maintenance.1
Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen
umum: S pneumoniae, N meningitidis, dan H. influenzae.8 Menurut
Infectious
pusat. Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka.
Namun, bila S.pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk
cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60
mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang
resisten sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena
resiko kejang lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih
dalam penelitian. Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal pada terapi sebelumnya. 8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi betalaktam.8
Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya
relaps atau rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada
sekret nasofaring walopun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien
harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg dosis single selama 4 hari bila anak dengan
resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat penitipan anak. N.meningitidis dan
S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring setelah terapi meningitis
berhasil.8
Antibiotic
Dose (mg/kg/d)
Dosing
Ampicillin
IV
400
6-12 g
Interval
q6h
Vancomycin
60
2-4 g
q6h
Penicillin G
400,000 U
24 million
q6h
Cefotaxime
200-300
8-10 g
q6h
Ceftriaxone
100
4g
q12h
Ceftazidime
150
6g
q8h
Cefepime*
150
2-4 g
q8h
Imipenem
60
2-4 g
q6h
Meropenem
120
4-6 g
q8h
Rifampin
20
600 mg
q12h
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.10
Prognosis
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1.
Umur pasien
2.
Jenis mikroorganisme
3.
Berat ringannya infeksi
4.
Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5.
Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC
mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun
kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang
disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang
adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat
diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri
seperti H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat diturunkan
dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena
itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang, selain
pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan
temuan klinis pada saat itu.1,9
Patofisiologi Meningitis Thyposa
Seperti pada meningitis bakterial lainnya, pada umumnya meningitis
bakterial akut selalu bersifat purulenta. Meningitis ini timbul sebagai komplikasi
dari septikemia dimana dalam hal ini dari bakteremia kuman salmonella di dalam
darah. Terjadinya meningitis thyposa yang bermula dari demam tifoid dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen
setelah mengalami demam tifoid
terjadi reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus
bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif
digunakan untuk membuat diagnosis.
5. Lumbal Pungsi
Dengan lumbal pungsi dapat mengetahui jenis bakteri apa yang telah
menginfeksi
meningens,
apabila
meningitis
typhoid
akan
diperoleh