Oleh
Izani Bin Mat IL
a. Pendahuluan
Sesuatu
karya
seni
sebenarnya
disempurnakan
oleh
seseorang
yang
memahaminya, jadi untuk mengapresiasi sesuatu karya seni kita harus memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang seni itu sendiri.
Perkataan apresiasi barasal dari kata asing appreciatie (Belanda),
appreciation (Inggeris), dan menurut kamus-kamus Inggeris, to appreciate,
yaitu bentuk kata kerjanya, bererti: to judge the value of; understand or enjoy
fully in the right way (Oxford); to estimate the quality of; to estimate rightly; to
be sensitively aware of (Webster); dan masih ada pula yang menambahnya to
be sensitive to the aesthetic value of.1
Dari petikan di atas dapatlah difahamkan secara baku bahawa pemahaman tentang
apresiasi seni adalah, mengetahui, menilai, menghayati serta peka pada nilai estetik.
Pemahaman tentang apresiasi seni cukup luas dan mendalam, malah untuk mengapresiasi
sesuatu karya seni, ianya tidak cukup hanya dengan pengetahuan formal mengenai seni
sahaja tetapi mencakup juga pengetahuan tentang latar belakang sesuatu ciptaan karya
seni. Kenyataan ini diperkuatkan lagi sebagai berikut ;
Sudarso Sp, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar untuk Apreasiasi Seni, Saku Dayar
Sana,Yogyakarta, 1990, p.77.
loc. Cit..
Mamannoor, Pendekatan Kosmologi Metafisik Kritik Seni Rupa Di Indonesia, Seni, VI/03,
Januari 1999, p. 233.
3
lain seperti, seni musik, seni tari, seni teater, seni sastera, seni media rekam dan juga
bidang-bidang lain yang berkaitan dengan seni.
Bagi mencapai tahap kesempurnaan dalam mengapresiasi seni, seseorang pengamat
harus mengetahui dan menguasai unsur yang utama yang berkaitan dengan karya seni.
Unsur utama yang dimaksudkan adalah unsur keindahan, unsur estetika dan seniman
pengkarya. Unsur-unsur tersebut di bantu lagi dengan unsur tambahan yang berkaitan
dengan lingkungan masyarakat seperti, unsur tradisi, unsur ekonomi, unsur politik dan
sebagainya.
Apresiasi Keindahan
Keindahan adalah suatu nilai yang wujud dalam pengamatan dan dianggap
sebagai kebaikan yang muktamad bagi pembentukan minat.4 Orang sering mengatakan
seni adalah keindahan. Menurut Ibrahin Titus Burckhardt, inti pati kesenian adalah
keindahan, dan keindahan dari sifat aslinya sendiri adalah realiti dalaman dan realiti
luaran sesuatu.5
4
Syed Ahmad Jamal, Rupa dan Jiwa, Dewan Bahasa dan Pustaka,Kuala Lumpur, 1992, p.5.
Ibrahim Titus Burckhardt, Peranan Seni Halus Dalam Pendidikan Muslimin, Falsafah
Kesusasteraan dan Seni Halus, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1989, p. 79.
Dalam konteks apresiasi seni, keindahan sesuatu karya bukan secara hakiki karya
tersebut indah. Keindahan dalam karya seni bukannya bersifat fisik atau yang dapat
dilihat oleh mata kasar, tetapi keindahan yang sebenar adalah nikmat yang dihayati dari
sifat dan fungsi karya tersebut. Nikmat dari keindahan ini mewujudkan kepuasan dan dari
kepuasan ini wujudlah penilaian estetika dalam diri pengamat.
Apresiasi keindahan disini adalah merupakan kesenangan dan kepuasan batin
yang diransang oleh karya seni. Pengamat harus berempati dan memahami makna dan
latar belakang karya tersebut. Untuk mengapresiasi keindahan sesuatu karya adalah
tergantung kepada emosi dan pengalaman pengamat. Sesuatu karya kuno yang dikaji
bukan di zamannya jelas tidak indah dalam konteks keindahan fisik. Karya tersebut
menjadi indah jika kita berempati dan memahami makna karya tersebut di zamannya.
b.
Apresiasi Estetika
Estetika bererti sesuatu yang berkaitan dengan deria pengamatan terhadap sesuatu
perkara atau suasana yang menekankan aspek kesenian atau keindahan, bukan
menekankan aspek kegunaannya.6 Mengikut Herbert Read, dalam membuat pengamatan
estetika kita harus melakukan tiga tingkat aktivitas;
Pertama, ialah pengamatan terhadap kwalitas materil, -- warna, suara, sikap dan
banjak lagi reaksi2 fisis lainnja; Kedua, ialah penjusunan dari hasil pengamatan
tersebut mendjadi bentuk serta pola yang menjenangkan. ketiga, jaitu bila
susunan tadi itu pembuatannja dihubungkan dengan emosi atau perasaan jang
dirasakan sebelumnja. Maka dapatlah dikatakan bahwa emosi dan perasaan itu
diekspresikan.7 [sic.]
Pengamatan seni dalam konteks penikmatan estetika adalah sesuatu yang
memerlukan pengamatan perasaan dan emosi dalam diri pengamat. Apresiasi seni dalam
konteks penikmatan estetika hampir sama dengan apresiasi seni dalam konteks
6
7
p. 6.
penikmatan keindahan cuma, dalam proses penikmatan estetika kita harus mengasingkan
karya seni dengan persekitarannya ataupun kegunaannya secara fisik. Ini adalah karena
sesuatu yang tidak indah dapat diterima dengan cara yang indah dalam pengamatan
estetika.
Teori rasa yang diperkenalkan di India pada abad ke-4 M hingga ke-5 M yang
telah coba mengabungkan antara estetika dengan rasa. Teori rasa menempatkan emosi
kepada rasa. Emosi menjadi rasa, iaitu keadaan kebahagiaan yang tulen keadaan
yang biasa menjadi luar biasa seolah-olah jiwa merenungi sesuatu yang muktamad. 8
Dalam teori rasa ini, peraga akan memfokuskan emosi dan perasaannya kedalam
suasana yang diinginkan. Apabila perasaan dan emosinya telah berempati dengan suasana
tersebut, perasaannya dapat mengapresiasikan nilai estetika dari suasana tersebut, di sini
diri peraga telah dikuasai emosi dan perasaan seolah-olah dihipnotis. Hal ini dapat kita
lihat pada perayaan Taipusan bagi suku kaum India, mereka menembusi badan dan
lidahnya dengan jarum dan besi tampa merasa sakit, malah ia merupakan kepuasan
terhadap ujian dalam menunjukkan rasa kesetian yang mendalam kepada dewanya. Di
sini perasaan peraga telah mengapresiasikan nilai estetika mengikut kepercayaannya.
c.
sosiologi seniman. Seniman adalah makhluk budaya yang tidak lepas dari kehidupan
masyarakat. Seniman akan mengekspresikan ide dan pengalamannya kedalam karya yang
diciptakan. Di sini karya seni merupakan media perantara di antara seniman dengan
masyarakat. Dengan kata lain, apa pun yang dilukiskan oleh seorang seniman, karyanya
itu pasti akan mencerminkan peribadinya, akan merupakan satu hasil pengamatan yang
khas darinya.9
Dalam proses mengapresiasi seniman kita tidak boleh terbatas pada aspek
peribadi seniman semata-mata, contohnya tahap pengetahuan seniman (ilmu pengetahuan
dan tehnik), tahap ekspresi dan tahap imajinasi, sebaliknya kita harus masukkan juga
8
9
unsur luar seperti aspek sosial dan budaya seniman, daerah tempat tinggal, status
ekonomi masyarakat, kepercayaan dan sebagainya. Di sini kita dapat mengapresiasi
sesuatu karya seni dari seniman serta lingkungannya dan kita juga dapat mengapresiasi
seniman dari karyanya.
Perbedaan yang nyata, dalam mengapresiasi seniman pengkarya dengan
mengapresiasi karya seni adalah bentuk apresiasi. Apresiasi seniman pengkarya bisa
berubah-rubah mengikut emosi dan keadaan diri seniman, sedangkan apresiasi karya seni
adalah statik (tidak berubah) karena karya adalah jelmaan ide yang muktamad dari
seniman.
yang menggunakan
pendekatan Barat (bentuk karya modern dari Barat yang dibawa masuk ke Indonesia).
Apabila kita membicarakan apresiasi seni sesuatu tradisional yang bersifat
regional ianya akan bersifat khas. Adalah kurang sesuai jika kita menggunakan metode
pengetahuan teoritik dengan cara pandang Barat untuk mengapresiasi seni tradisional
yang bersifat regional, ini adalah karena iklim seni di Indonesia mempunyai ciri yang
tersendiri, contohnya bentuk-bentuk seni tradisi yang berkaitan dengan keparcayaan dan
keagamaan. Dalam apresiasi seni tradisional di Indonesia khususnya, atau di kepulauan
Nusantara umumnya, budaya regional masyarakat yang meletakkan seni budaya bangsa
adalah milik bersama. Contohnya kesenian tradisional di Bali diungkapkan oleh
Sudarso Sp.:
seni dan budaya tradisi milik bersama ini telah membentuk suatu
masyarakat yang harmonis kearah terbentuknya persatuan dan kesatuan masyarakat. Hal
yang sedemikian juga dapat dilihat jika kita singgung isi dari kitab Cilpasastra (kitab
pembuatan candi umat Hindu). Dalam kitab tersebut gabungan dua unsur utama
disatukan dalam proses mendirikan candi. Sthapati (arsitek) dan Sthapaka (ahli
agama) bergabung dengan jentera pembuat candi seperti Sudragrahin (juru ukur),
Sutradara (juru hias), Taksaka (penyusun batu) dan Wardhakin (tukang lepa). Hasil
kerjasama inilah telah mewujudkan karya seni milik bersama, dan akibat daripada itu
apresiasi seni dikalangan mereka adalah tinggi karena setiap masyarakat dapat
mengapresiasi kasenian mereka jika sekiranya mereka ikut langsung melibatkan diri
dalam kesenian tersebut.
Perkara yang menjadi hambatan dalam apresissi kesenian tradisional yang bersifat
ragional adalah untuk membentuk suatu kesenian yang diterima umum oleh masyarakat
Indonesia. Sebagai contoh, jika diangkat kesenian tari Slawatan Angguk Rame menjadi
kesenian nasional Indonesia, jelaslah tidak semua masyarakat Indonesia dapat
mengapresiasi tarian tersebut, kecuali masyarakat desa Nagargatanatra dan masyarakat di
desa sekitarnya. Untuk mengatasi masalah apresiasi ini perlu diadakan penyuluhan agar
masyarakat Indonesia dapat mengetahui, menghayati dan mengapresiasi tarian tersebut.
Dalam proses apresiasi karya seni tradisional yang bersifat regional kita
memerlukan metodenya yang tersendiri. Manakala apresiasi karya seni modern yang
telah diberi nafas tradisional juga harus menggunakan pengetahuan teoritik dan cara
pandang barat tetapi harus disesuaikan dengan situasi setempat. Sementara apresiasi
karya seni modern yang bersifat universal kita harus menggunakan pendekatan Barat.
Perkara ini
10
Ibid.,p. 78.
daripada perubahan fungsi atau kerativiti seniman. Sebagai contoh, Prof. Dr. I Made
Bandem mengatakan, masyarakat di Bali telah mengklasifikasikan tari Bali berdasarkan
sifat dan fungsinya menjadi tari Wali (tarian sacral), tari bebali (tari untuk upacara
keagamaan), dan balih-balihan (untuk tontonan dan hiburan).11 Dari contoh tersebut,
untuk mengapresiasi tari wali dan tari bebali bagi masyarakat Bali tentunya tidak
mengalami hambatan, tetapi untuk mengapresiasi tari balih-balihan akan menghadapi
hambatan karena tari balih-balihan adalah tarian untuk tontonan dan hiburan (samada
wisatawan atau masyarakat setempat) yang telah meninggalkan fungsi asal tarian tersebut
(tarian yang bersifat magis atau agamais). Apabila sesuatu kesenian yang berunsurkan
magis atau kepercayaan bagi sesuatu masyarakat di alih fungsi, apresiasi dalam konteks
penghargaan akan berkurangan dan ini akan menjadi salah satu masalah dalam apresiasi
seni.
Dalam apresiasi seni modern (yang telah menerima pengaruh barat), pengetahuan
adalah merupakan hambatan dalam apresiasi seni. Seni modern yang biasanya bercirikan
induvidualistik dalam menghasilkan karya akan membentuk jarak di antara karya seni
dan masyarakat. Ini adalah karena seni tersebut tidak sepenuhnya merupakan cara hidup
masyarakat Indonesia. Pengamat akan mengalami hambatan dalam mengapresiasi karya
seni karena kurangnya pengetahuan untuk mengapresiasi karya yang sedemikian. Untuk
mengapresiasi seni modern masyarakat Indonesia harus diberi penyuluhan yang sesuai
dengan bidang seni yang akan diapresiasi. Mamannoor mengungkapkan:
karena dasar pemahaman dan cara penikmatan serta tolok ukur penilaian seni
rupa di Indonesia ini menganut asas kesamaan dengan seni rupa di dunia, maka
ketergantungan seni rupa Indonesia terhadap hal-hal yang berkait dengan dasar
pengetahuan selalu cenderung berada di dalam bayang-bayang Barat.12
Dalam konteks seni modern, seniman adalah pencipta yang menggunakan
pengetahuan dan sumber di sekitarnya untuk menciptakan ide dalam menghasilkan karya.
Seni modern justeru mengejar novelty, mengejar yang baru, yang lain daripada yang lain.
Horison seni modern tidak kenal batas, kecuali batas kemampuan imajinasi senimannya. 13
Peryataan sikap seniman modern yang sering mengejar novelty ini telah menyebabkan
11
I Made Bandem, Etnologi Tari Bali, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996, p. 29.
Mamannoor, op. cit., p. 236.
13
Sudarso Sp., op.cit., p.79.
12
menampilkan keperibadian nasional lewat karya yang dihasilkan seperti yang diusahakan
oleh, Abas Alibasjah dan Widyat yang menggunakan patung primitif, topeng-topeng
sebagai materi lukisan mereka.14
Pengangkatan unsur-unsur tradisi didalam karya seni, khususnya seni rupa
modern akhirnya menjadi kendala kepada perjuangan kelompok pelukis yang berusaha
untuk menampilkan keperibadian nasional dalam lukisan mereka. Kendala yang mereka
hadapi adalah penyimpangan apresiasi seni yang mereka perjuangkan oleh pengamat
seni. Masyarakat pengamat seni masih lagi menggunakan pola Barat untuk mengapresiasi
hasil karya yang menampilkan keperibadian nasional karena sampai hari ini Indonesia
belum memiliki banyak piranti pengetahuan seni rupa ala Indonesia.15
Bila kita membincangkan apresiasi seni di dalam konteks seni rupa di Indonesia,
perubahan aliran seni dalam bidang seni rupa di Indonesia yang diransang oleh perubahan
seni rupa Barat juga telah membuatkan kwalahan para pengapresiasi serta kritikus seni
rupa tanah air, sebagai contohnya dari Conceptual art hinggalah kepada installation art
telah memerlukan pengetahuan pendidikan yang mendalam untuk mengetahui
memahaminya, apa lagi untuk mengapresiasinya.
Berbeda pula halnya dengan seni musik, seni musik adalah seni yang abstrak,
dimana tidak ada unsur peniruan alam. Kita menggunakan telinga sebagai pancaindra
untuk menikmati dan menghayati musik. Apresiasi seni dalam bidang seni musik
sepenuhnya menggunakan sensitivity dan daya tanggap seseorang terhadap apresiasi seni
musik. Aprsiasi seni musik sepenuhnya menggunakan perasaan estetika. Seseorang yang
tidak tahu menahu mengenai musik bisa mengapresiasikan musik.Sebagai contoh,
seorang bapak melarang anaknya bermain musik karena pada tanggapan si bapak
keturunannya tidak mewarisi bakat bermain musik. Tetapi kenyataannya kehidupan setiap
hari si bapak sentiasa diiringi dengan alunan musik.
14
15
Ibid., p. 72.
Mamannoor, op. cit.,p. 236.
IV.
mengapresiasi seni kita biasanya menggunakan pola Barat tetapi dalam mengapresiasi
seni yang bersifat regional kita harus mengabungkan pola regional dengan pola universal.
Gabungan dari dua unsur ini akhirnya mengangkat seni yang bersifat ragional ke
peringkat antarabangsa.
16
17
10
V.
Kesimpulan
Krya seni di Indonesia yang mengalami perubahan demi perubahan mengikut
perjalanan
kreativiti,
11
DAFTAR PUSTAKA
Herbert Read, The Meaning of Art, diterjemahkan oleh Sudarso Sp., STSRI. ASRI.
Yogyakarta, April 1971.
Ibrahim Titus Burckhardt, Peranan Seni Halus Dalam Pendidikan Muslimin, Falsafah
kesusasteraan dan Seni Halus, diterjemah oleh Baharuddin Ahmad, Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1989.
I Made Bandem, Etnologi Tari Bali, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996.
Mamannoor, Pendekatan Kosmologi Metafisik Kritik Seni Rupa Di Indonesia, Seni,
VI/03, Januari, 1999.
Othman Mohd. Yatim, Islamic Arts, Kementerian Pendidikan Malaysia, Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1995.
12
Siti Zainon Ismail, The Traditional Malay Handicraft Design, Kementerian Pendidikan
Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1977.
Syed Ahmad Jamal, Rupa dan Jiwa, Kementerian Pendidikan Malaysia, Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala lunpur, 1992.
Sudarso Sp., Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana,
Yogyakarta, 1990.
13