PENDAHULUAN
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik
pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri
tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang,
merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani.1 Perdarahan melalui hidung dapat berasal dari rongga hidung, sinus
paranasal atau nasofaring. Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan
posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan
hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis
posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang
A.sfenopalatina atau A.ethmoidhalis posterior. Perlu diingatkan epistaksis adalah
gejala dan bukan penyakit.
Epistaksis merupakan salah satu gejala karsinoma nasofaring sehingga harus
di periksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop.2 Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. M
Umur
: 19 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Ma. Jambi
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 31 Maret 2015
Keluhan Utama
Keluar darah dari hidung sebelah kiri sejak 2 minggu yang lalu
Riwayat Perjalanan Penyakit
Os. mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kiri sejak 2 minggu
yang lalu, secara tiba-tiba tanpa ada keluhan apapun, nyeri (-), demam (-),
Os sulit menelan (+) dan sakit saat membuka mulut (+) sejak 5 hari yang
lalu, sulit menelan dirasakan semakin berat, makan-makanan cair (+), Os
terasa benjolan pada leher kiri, nyeri pada benjolan (-), benjolan ini timbul
sejak 4 bulan yang lalu, os tidak berobat ke RS pada saat itu karena merasa
hanya benjolan biasa.
Sebelumnya os berobat ke Puskesmas tetapi tidak ada perubahan, dari
puskesmas os di rujuk ke RS Raden Mattaher Jambi
Riwayat Pengobatan
Os. tidak pernah mendapatkan pengobatan dengan penyakit yang sama
sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit seperti ini sebelumnya (-), hipertensi (-), riwayat DM (-),
riwayat alergi obat (-), Riwayat asma (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama
dengan OS. Keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan pada telinga,
hidung, dan tenggorokan. Riwayat hipertensi dan DM dalam keluarga
tidak ada.
TELINGA
HIDUNG
TENGGOROK
LARING
Ka / Ki
Gatal
: -/-
Ka/ki
Rinore : -/-
Sukar Menelan : +
Suara parau : -
Dikorek : -/-
Buntu
Sakit Menelan : -
Afonia
: -/-
:-
Nyeri
: -/-
Bersin
Trismus
:-
Sesak napas : -
Bengkak : -/-
* Dingin/Lembab : -
Ptyalismus
:-
Rasa sakit
Otore
: -/-
* Debu Rumah
Rasa Ngganjal : -
Tuli
: -/-
Berbau
Tinitus
: -/-
Mimisan : +/+
:-
: -/-
Vertigo : -
Mual
Suara sengau : +
:-
:-
Rasa ngganjal :-
:-
: compos mentis
Pernapasan
: 22 x/menit
Suhu
: 36,8 C
Nadi
: 88 x/menit
TD : 120/80 mmHg
Anemia
: +/+
Sianosis
: -/-
Stridor inspirasi
: -/-
: -/-
Retraksi epigastrial
: -/-
a) Telinga
Daun Telinga
Kanan
Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia -
Keloid
Perikondritis
Kista
Fistel
Ott hematoma
Liang Telinga
Kanan
Kiri
Atresia
Serumen
Minimal
Epidermis prop
Korpus alineum
Jaringan granulasi
Exositosis
Osteoma
Furunkel
Membrana Timpani
Kanan
Kiri
Hiperemis
Edema
Retraksi
Bulging
Atropi
Perforasi
Bula
Sekret
Refleks Cahaya
Arah jam 5
Arah jam 7
Retro-aurikular
Kanan
Kiri
Fistel
Kista
Abses
Pre-aurikular
Kanan
Kiri
Fistel
Kista
Abses
b) Hidung
Rinoskopi Anterior
Kanan
Vestibulum nasi
Kavum nasi
Kiri
Deviasi (-)
DBN
DBN
Konka media
DBN
DBN
DBN
DBN
Polip
Korpus alineum
Massa tumor
Rinoskopi
Kanan
Kiri
Selaput lendir
Septum nasi
Lantai
+
dasar
hidung
Konka inferior
Posterior
Kavum nasi
Sulit dinilai
Selaput lendir
Koana
Septum nasi
Konka superior
Konka superior
Meatus nasi media
Muara tuba
Adenoid
Massa tumor
Fossa rossenmuller
Transiluminasi
Sinus
Tidak dilakukan
Kanan
Kiri
c) Mulut
Hasil
Selaput lendir mulut
DBN
Bibir
Lidah
Gigi
Kelenjar ludah
DBN
d) Faring
Hasil
Uvula
Sulit dinilai
Palatum mole
Palatum durum
Plika anterior
Tonsil
Plika posterior
Mukosa orofaring
e) Laringoskopi indirect
Hasil
Pangkal lidah
Epiglotis
Sinus piriformis
Aritenoid
Sulit dinilai
Sulcus aritenoid
Corda vocalis
Massa
f) Kelenjar Getah Bening Leher
Kanan
Kiri
Regio I
DBN
DBN
Regio II
DBN
DBN
Regio III
DBN
DBN
Regio IV
DBN
DBN
Regio V
DBN
DBN
Regio VI
DBN
DBN
area Parotis
DBN
DBN
Area postauricula
DBN
DBN
Area occipital
DBN
DBN
Area supraclavicula
DBN
DBN
Kanan
Kiri
DBN
DBN
Nervus VII
DBN
Nervus IX
DBN
Nervus XII
DBN
DBN
Kanan
Kiri
Tes rinne
Tes weber
Tes schwabach
Sama dg pemeriksa/N
Sama dg pemeriksa/N
Tes berbisik
Tidak Dilakukan
Kesimpulan : Fungsi Pendengaran telinga kanan dan kiri normal
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan
Kesan : Tumor nasofaring ditengah agak ke kiri yang mengobliserasi
fossa russen muleri dan tuba eustachii kiri meluas ke sinus sfenoidalis kiri
Ca Nasofaring ? tak tampak perluasan ke intra cranial
2. Laboratorium
Hb
: 10,9 gr/dL
Masa perdarahan : 1
Trombosit
: 250.103/mm3
Leukosit
: 16,5 103/mm3
GDS
: 130 mg/dl
2.6 DIAGNOSIS
Epistaksis Posterior et causa suspek Karsinoma Nasofaring
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Karsinoma Nasofaring
Angiofibroma Nasofaring
2.8 PENATALAKSANAAN
- Diagnostik : Rencana Biopsy Nasofaring
- Terapi
:
IVFD RL 20 gtt/i
Ceftriaxon 1 X 2 gr
Ranitidin 2 X 1 amp
10
Vaskularisasi hidung
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum
nasi melalui :
1) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior
dan dinding lateral hidung.
2) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri
ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral
superior.
11
3.2 Epistaksis
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak di jumpai sehari-hari baik
pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri
tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang,
merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak ditangani segera.1
Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan local pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing,
tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital. 1
1. Trauma. Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya
mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu
keras, atau sebagai akibat trauma yag lebih hebat seperti kena pukul, jatuh
atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda
asing tajam atau trauma pembedahan.
12
hemoragik
herediter
atau (hereditary
hemorrhagic
13
10. Gangguan hormonal. Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau
menopause karena pengaruh perubahan hormonal.
Sumber Perdarahan1
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan
walaupun kadang-kadang sulit.
Epistaksis anterior
Kebanyakan dari pleksus kisselbach di septum bagian anterior atau dari
arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena
keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan
kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena pecaahnyaa arteri sfenopalatina.
Penatalaksanaan1
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan
umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi
terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh
darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya
dilihat apakah perdarahaan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang diperlukan
untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat pengisap.
Anamnesis yang lengkap sngat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknyaa
setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan
jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak dipangku,
badan dan tangan Pasien duduk dipangku dipeluk, kepala dipegangi agar tegak
dan tidak bergerak-gerak.
14
15
17
kanker
nasofaring
mungkin
multifaktorial,
proses
Virus EB
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen spesifik
seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini
c.
18
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Nikel sulfat dalam air
minum atau makanan dapat memacu efek karsinogenesis pada proses
d.
Gambaran Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu Gejala
nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek atau sumbatan di telinga. 3,4,5
Gejala telinga, gangguan pada telinga terjadi akibat tempat asal tumor
dekat dengan muara tuba eustachi (Fossa Rosenmuller) dan menimbulkan
obstruksi sehingga dapat terjadi penurunan pendengaran, otitis media serous
maupun supuratif, tinnitus, gangguan keseimbangan, rasa tidak nyaman dan rasa
nyeri di telinga. Adanya otitis media serosa yang unilateral pada orang dewasa
meningkatkan kecurigaan akan terjadinya karsinoma nasofaring. 3,4,5
Gejala saraf yaitu gangguan oftalmoneurologik terjadi karena nasofaring
behubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, sehingga
gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF. Penjalaran
melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula
ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dulu ke
dokter mata. Gejala mata lain berupa penurunan reflex kornea, eksoftalmus dan
kebutaan (berkaitan dengan saraf otak II). Neuralgia terminal merupakan gejala
yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang
berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan
XII jika penjalaran melalui foremen jugulare yang relatif jauh dari nasofaring,
sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut
sindrom unilateral. Ada juga yang dikenal dengan trias Trotter yaitu tuli
19
Histopatologi2
Klasifikasi
gambaran
histopatologi
yang
direkomendasikan
oleh
2.
3.
20
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus EpsteinBarr. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Stadium Kanker
Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On
Cancer (AJCC 2002)
T = Tumor primer
T0
Tis
T1
T2
T2b
T3
T4
N = Nodule
N
NX
N0
N1
N2
N3
21
N3b
M = Metastasis jauh
MX
M0
M1
22
Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
23
Penatalaksanaan
- Stadium I
- Stadium II & III
: Radioterapi
: Kemoradiasi
24
: Kemoradiasi
: Kemoterapi dosis penuh kemoradiasi
Terapi
Untuk mengobati penderita KNF sampai sekarang masih banyak rumah
sakit yang menggunakan pesawat teletherapy bertenaga tinggi yaitu Telecobalt
(Cobalt60dan Linac (4 MV, 6 MV, 10 MV). Hanya sejumlah kecil penderita
(sangat selektif, atau untuk tujuan penelitian) mendapat terapi tambahan berupa
kemoterapi. Secara umum, pengobatan KNF dengan cam seperti ini (radioterapi
konvensional saja) hasilnya kurang memuaskan (buruk). Ini ditunjukkan dari
angka rerata respon tumor terhadap radiasi (ORR) yang tidak terlalu tinggi yaitu
sekitar 25%-65%, kegagalan kendali loko- regional (loco-regional failure)
mencapai 40%-80%, metastasis jauh pasca radioterapi sebesar 15%-57% dan
angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40%. ( 12,13,14, 15)
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,
interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan
tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap
terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cisplatinum sebagai inti.Pemberian anjuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan
5-fluororacil dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula
telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan
cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan
harapan kesembuhan lebih baik. ( 1, 12,13,14, 15)
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluoroucil oral
setiap
hari
sebelum
diberikan
radiasi
yang
bersifat
radiosensitizer
25
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi. ( 1)
Pencegahan
Pemberian vaksinasi denganvaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan resiko tinggi. ( 1,4 )
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinankemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA
anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring secara lebih dini. .( 1)
BAB IV
ANALISIS KASUS
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada Tn. M, laki-laki 19 tahun,
Os. mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kiri sejak 2 minggu yang lalu,
secara tiba-tiba tanpa ada keluhan apapun, nyeri (-), demam (-), Os sulit menelan
(+) dan sakit saat membuka mulut (+) sejak 5 hari yang lalu, sulit menelan
dirasakan semakin berat, makan-makanan cair (+), Os terasa benjolan pada leher
kiri, nyeri pada benjolan (-), benjolan ini timbul sejak 4 bulan yang lalu, os tidak
berobat ke RS pada saat itu karena merasa hanya benjolan biasa.
26
BAB V
KESIMPULAN
Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan
medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah
kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak ditangani segera. Melihat asal
perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.
Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan walaupun kadangkadang sulit.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo, Endang dan Wardani, Retno S.. Epistaksis dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Keenam. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 hal. 155159.
2. Roezin, Averdi dan Adham, Marlinda. Karsinoma Nasofaring dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Keenam. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 hal. 182
187.
3. Bull, Tony. 2003. Color Atlas of ENT diagnosis. Thime. Clinical science.
28
29