Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Islam di Indonesia 1

Menurut Matta dalam bukunya gelombang ketiga Indonesia mengatakan


bahwa para ahli sejarah mencatat ada dua gelombang masuknya Islam di
Nusantara, yaitu abad ke-7 dan abad ke-13. Agama ini di bawah oleh pedagang
dari Arab yang menetap di kota-kota pelabuhan Nusantara. Pada abad ke-8 telah
berdiri perkampungan muslim di pesisir Sumatera. Pada awalnya, Sumatera (dan
Nusantara pada umumnya) hanyalah persinggahan para pedagang Arab menuju
Tiongkok dan Jawa.

Islam di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat kompleks,


terdapat banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perkembangan awal
Islam. Oleh karena itu, para sarjana sering berbeda pendapat. Harus diakui
bahwa penulisan sejarah Indonesia diawali oleh golongan orientalis yang sering
ada usaha untuk meminimalisasi peran Islam, di samping usaha para sarjana
Muslim yang ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur (Sunanto, 2012:
7).

enurut Suryanegara bahwa ada beberapa teori yang


membahas terkait awal mula masuknya Islam di
Indonesia. Teori-teori ini mencoba memberikan jawaban
atas permasalahan tentang masuknya agama Islam ke
Nusantara dengan perbedaan pendapatnya: Pertama,

mengenai waktu masuknya agama Islam. Kedua, tentang asal negara yang
menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga,
tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
Berikut akan dipaparkan terkait teori masuknya Islam di Indonesia, diantaranya
sebagai berikut:
Pertama, teori Gujarat. Menurut Suryanegara (1996:75) bahwa peletak dasar
teori ini kemungkinan adalah Snouck Hurgronje dalam bukunya L Arabie et les
Indes Neerlandaises, atau Revue de IHistoire des Religious. Snouck Hurgronje
lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat berdasarkan: Pertama,
kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama
terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra
memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Suryanegara (1996: 75-76) mengutip pendapat W.F. Stutterheim dalam
bukunya De Islam en Zijn Komst In de Archipel yang menyatakan bahwa
masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 13. Pendapatnya juga di dasarkan
pada bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik
As-Saleh yang wafat pada 1297. Selanjutnya ditambahkan tentang asal negara
yang mempengaruhi masuknya agama Islam ke Nusantara adalah Gujarat.
Dengan alasan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara

Indonesia - Cambay (Gujarat) - Timur Tengah - Eropa. Sama halnya


dengan pendapat W.F. Stutterheim, Snouck Hurgronje berpendapat pula bahwa
awal masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke 13 M dari Gujarat.
Kedua, teori Makkah. Menurut Hamka sebagaimana dikutip oleh Sunanto
(2012:8-9) dalam bukunya bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad
pertama Hijriyah (kurang lebih abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab
dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah
dimulia jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui
selat Malaka yang menghubungkan Dinasi Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya
di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Senada dengan Suryanegara
dalam Api Sejarah (2012:99) sebagaimana mengutip pendapat Hamka bahwa
masuknya Islam ke Nusantara Indonesia terjadi pada abad ke-7 M. Dalam berita
Cina Dinasti Tang menuturkan ditemuinya daerah hunian wirausahawan Arab
Islam di pantai Barat Sumatera maka dapat disimpulkan Islam masuk dari
daerah asalnya Arab. Dibawa oleh wiraniagawan Arab. Sedangkan kesultanan
Samudera Pasai yang didirikan pada 1275 M atau abad ke-13 M, bukan awal
masuknya agama Islam, melainkan perkembangan agama Islam.
Menurut Matta (2014:34) dalam bukunya gelombang ketiga Indonesia
mengatakan bahwa para ahli sejarah mencatat ada dua gelombang masuknya
Islam di Nusantara, yaitu abad ke-7 dan abad ke-13. Agama ini di bawah oleh
pedagang dari Arab yang menetap di kota-kota pelabuhan Nusantara. Pada abad
ke-8 telah berdiri perkampungan muslim di pesisir Sumatera. Pada awalnya,
Sumatera (dan Nusantara pada umumnya) hanyalah persinggahan para
pedagang Arab menuju Tiongkok dan Jawa. Pada abad ke-13, Samudera Pasai
menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara, disusul berdirinya kerajaan
Demak pada abad ke-15. Awalnya, Raden Fatah adalah wakil kerajaan Majapahit

di daerah itu yang kemudian dia memutuskan masuk Islam dan mendirikan
kerajaan sendiri.
J.C. Van Leur dalam bukunya Indonesia: Trade and Society menyatakan
bahwa pada 674 M di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan
(Koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan
perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan
perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M dan 626 M. Tahun-tahun
berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai mempraktikan
ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang
terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. Dari keterangan J.C.
Van Leur ini masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13,
melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat
perkembangan Islam (Suryanegara, 1996: 6).
Sejumlah ahli Indonesia dan beberapa ahli Malaysia mendukung teori Arab
dan mazhab tersebut. Dalam seminar-seminar tentang kedatangan Islam ke
Indonesia yang diadakan pada 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang
datang ke Indonesia langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama
kali datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi,
bukan abad ke-12 atau ke-13 M. (Huda, 2007: 36).
Ketiga, Teori Persia. Menurut Suryanegara (1996:90) bahwa pembangunan
teori Persia ini di Indonesia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus
pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda
dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah
Gujaratnya, serta Mazhab Syafiinya. Teori Persia lebih menitikberatkan
tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam
Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.

Menurut Suryanegara kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat


Islam Indonesia antara lain:
Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah
atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur
Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di
Sumatera tengah sebelah Barat, disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan
mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan
lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab (Suryanegara,
1996: 90).
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi
Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/ 922 M, tetapi
ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan
Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya
(Suryanegara, 1996:90).

Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk
tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal:
Bahasa Iran
Jabar - Zabar
Jer - Ze-er
Pes - Pyes

Bahasa Arab
Fathah
Kasrah
Dhammah

Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim
(1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini, teori Persia mempunyai
kesamaan mutlak dengan teori Gujarat (Suryanegara, 1996: 91).

Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafii sebagai


mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah mazhab Syafii,
Hoesein Djajadiningrat mempunyai kesamaan dengan G.E. Morrison, tetapi
berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka di depan Hoesein
Djajadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam di Indonesia
kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang
Mazhab Syafii terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat
mazhab Syafii di Makkah (Suryanegara, 1996: 91).
Sunanto (2012: 10-12) menyebutkan beberapa saluran-saluran yang menjadi
media tersebarnya Islam di Indonesia, di antaranya sebagai berikut:
1. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
2. Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para
pedagang. Para mubaligh itu bisa jadi juga para sufi pengembara.
3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, mubaligh dengan
anakbangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial,
yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara
tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat
kharisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar kawin dengan
putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota
kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain.
4.

Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai


kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian
itu berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusatpusat pendidikan dan dawah Islam di kerajaan Samudera Pasai berperan sebagai
pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubaligh

lokal, di antaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa. Selain menjadi


pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan
markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam
pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung Jati,
Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh
Dzatu Kahfi; Maulana Hasanudiidn yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati
yang kelak menjadi Sunan Banten pertama.
5. Tasawuf dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang,
datang pula para ulama, dai, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada
yang kemudian diangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan.
Di Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin arRaniri, Abdul Rauf Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa
mempunyai penasihat yang bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
6. Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa
adalah seni. Wali Songo, terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak
cabang seni untuk Islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyayian, dan seni
busana.

Menurut Huda (2007: 39) dengan beberapa perbedaan tentang Islamisasi


tersebut, haruslah diupayakan sintesis dari beberapa pendapat yang ada. Di
antara upaya itu adalah dengan membuat fase-fase atau tahapan tentang
Islamisasi di Indonesia, seperti tahap permulaan kedatangan yang terjadi pada
abad ke-7 M. Adapun pada abad ke-13 M, dipandang sebagai proses penyebaran
dan terbentuknya masyarakat Islam di Nusantara. Para pembawa Islam pada
abad ke-7 sampai abad ke-13 tersebut adalah orang-orang Muslim Arab, Persia
dan India (Gujarat, Bengal). Hal serupa juga dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita
yang mengatakan bahwa sebelum abad ke-13 merupakan tahap proses Islamisasi.

Abad ke-13 itu sendiri dipandang sebagai masa pertumbuhan Islam sebagai
kerajaan bercorak Islam yang pertama di Indonesia. AFM
Bersambung ke: Sejarah Islam di Indonesia 2
Sumber: DakwatunaWikipedia
Sumber Gambar:
Kiri, Peta Indonesia by Ibrahim Muteferrika (1674-1745).png
Kanan, Collectie Tropen Museum Een Koranschool op Java TMnr 10002385.jpg

Anda mungkin juga menyukai