Full
Full
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
oleh:
Margareta Sunarto
NIM : 038114004
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
When you feel down, because you didnt get what you want,
Just sit tight and be happy.
Because God must has something better to be given to you.
KATA PENGANTAR
Syukur dan terima kasih kepada Bapa di surga, Tuhan Yesus, dan Bunda
Maria atas berkat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul Validasi Metode Spektrofotometri Visibel Untuk Penetapan Kadar
Amoksisilin Menggunakan Pereaksi Asetilaseton dan Formalin. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Farmasi
(S.Farm.) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. selaku dosen pembimbing.
Terima kasih untuk masukan, bimbingan, dorongan, waktu, pengertian
dan perhatian yang begitu besar, serta semangat yang selalu diberikan
selama penelitian dan penyusunan skripsi ini
3. Dra. A. Nora Iska Harnita, M.Si., Apt. selaku dosen penguji, terima
kasih atas dukungan, saran, dan waktu yang diberikan.
4. Drs. Sulasmono, Apt. selaku dosen penguji, terima kasih atas dukungan
saran, dan waktu yang diberikan.
5. Segenap dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
6. Papa, Mama, Andre, Ita, buat semua doa, cinta, dukungan, perhatian,
pengertian, kesabaran, canda, dan tawa yang buat Cici selalu kuat.
Makasih banyak ya.. I love you all...
7. Pak Bambang dan Bu Kis, laboratorium analisis obat dan makanan
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, yang selalu menemani dan
membantu selama penelitian. Terima kasih banyak ya Pak, Bu
8. Segenap laboran di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sanata
Dharma. Terima kasih untuk waktu dan bantuannya.
9. Arnie, Eta, teman seperjuanganku. Inget slogan kita: gagal itu biasa,
tetapi berhasil itu luar biasa Makasih banyak teman buat dukungan,
bantuan, dan kerjasamanya.
10. Mas Isun, kakak dan sahabatku, terima kasih untuk semua keceriaan,
kesedihan, semangat, harapan, kekecewaan, dan semua hal yang pernah
aku alami dengan adanya persahabatan kita. Hope our friendship will
last forever. Aku belajar banyak hal dari persahabatan kita.. Overall,
thanks for eveything.. I Love you brother..
11. Temen-temen Eternal Choir dan Koor Gregorius Caecilia buat semua
kebersamaan, kegilaan, kekompakkan, keceriaan, dan pengertiannya.
Thanks a lot..
12. Gurit buat editan dan ilmu-ilmu komputernya, Leli buat terjemahannya.
Makasih ya..
13. Vita, Mitul, BleQ, Shyu, Nandut, Jevi, Yeyen, Reni, Asep, buat curhatcurhat, gossip, dukungan, dan masukan buat aku.
Penulis
INTISARI
Amoksisilin memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin yang juga
memiliki gugus amin primer. Oleh karena itu, metode spektrofotometri visibel untuk
penetapan kadar sefaleksin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin
diharapkan dapat juga digunakan untuk penetapan kadar amoksisilin.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan
rancangan penelitian deskriptif. Pada penelitian ini dilakukan optimasi waktu reaksi,
pH, dan volume yang menghasilkan serapan maksimum. Hasilnya kemudian
digunakan dalam validasi metode. Selain itu, dilakukan pula aplikasi metode
penetapan kadar tersebut pada sediaan tablet amoksisilin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi mulai stabil setelah menit ke50 selama 30 menit, volume optimum pereaksi adalah 7 ml dan pH optimum adalah
4. Warna kuning yang terbentuk memberikan serapan maksimum pada panjang
gelombang 401 nm. Untuk validasi metode, didapat data sebagai berikut: koefisien
variansi sebesar 0,56%, perolehan kembali sebesar 104,09%, dan koefisien korelasi
(r) persamaan garis linier kurva baku sebesar 0,9995. Aplikasi metode penetapan
kadar pada sediaan amoksisilin menunjukkan hasil yang baik dengan kadar rata-rata
amoksisilin dalam tablet adalah 589,56 mg. Dari seluruh data yang diperoleh, dapat
disimpulkan bahwa metode penetapan kadar amoksisilin secara spektrofotometri
visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memiliki akurasi dan presisi
yang baik, namun akurasinya kurang baik.
Kata kunci: amoksisilin, asetilaseton, formalin, spektrofotometri visibel.
ABSTRACT
The structure of amoxicillin is similar to that of cephalexin which is also
has primary amine groups. For that reason, it is hoped that visible spectrophotometric
method in determining the amount of cephalexin by using acetylacetone and formalin
can also be used to determine the amount of amoxicillin.
This research is a non-experimental descriptive research. In this research,
the reaction time, the pH and the volume of the reagent have been optimized to
obtain the maximum absorption. Then, its result is used in the validation method. In
addition, the methods developed is applied to determine the amount of amoxicillin
in the tablets.
The research result shows that the reaction begin to stable from the fiftieth
minutes for 30 minutes, the optimal volume of the reagent is 7 ml, and the optimal
pH is 4. The yellow chromophore is scanned and showed 401 nm as a maximum
wavelength. From the validation method, the coefficient of variation is 0.56%, the
recovery is 104.09%, and the correlation coefficient (r) is 0.9995. The application of
the methods developed in determining amoxicillin in tablet showed a good result
with the average amount of amoxicillin is 589.56 mg/tablet. From the result it can be
concluded that visible spectrophotometric method to determine the amount of
amoxicillin by using acethylacetone and formalin gives a good precision and
linearity, but not the accuracy.
Key word: amoxicillin, acetylacetone, formalin, visible spectrophotometric
DAFTAR ISI
ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................
iii
iv
ix
ABSTRACT ............................................................................................................
xi
xv
A. Amoksisilin ......................................................................................
B. Asetilaseton ......................................................................................
C. Formalin ...........................................................................................
10
10
10
11
13
13
14
15
16
18
18
20
20
22
23
24
H. Hipotesis ...........................................................................................
24
25
25
25
25
26
26
26
27
28
29
5. Validasi metode...........................................................................
30
30
31
31
31
36
38
39
41
44
45
48
A. Kesimpulan ......................................................................................
48
B. Saran .................................................................................................
48
49
LAMPIRAN ..........................................................................................................
52
BIOGRAFI.............................................................................................................
60
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I.
23
Tabel II.
35
Tabel III.
38
Tabel IV.
39
Tabel V.
42
Tabel VI.
43
Tabel VII.
44
46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
10
Gambar 6.
12
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
33
35
36
Gambar 10. Reaksi Eliminasi Pada Reaksi Antara Amoksisilin dengan Asetilaseton
dan Formalin Pada Suasana Asam dan Basa ....................................
37
40
Gambar 12. Gugus pada senyawa hasil reaksi yang memberikan serapan pada
panjang gelombang 335 nm ..............................................................
41
43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
52
Lampiran 2.
53
Lampiran 3.
54
Lampiran 4.
Contoh Perhitungan........................................................................
55
Lampiran 5.
59
BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang
Agar dapat berefek maksimal, suatu obat harus memiliki dosis yang tepat.
Oleh karena itu, harus dilakukan pengawasan untuk menjamin mutu, khasiat, dan
keamanan penggunaan obat tersebut. Salah satu caranya adalah dengan melakukan
penetapan kadar zat aktif untuk menjamin ketepatan dosis yang akan diterima oleh
konsumen.
Amoksisilin dapat ditetapkan kadarnya dengan metode kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) dan metode titrasi iodometri (Anonim, 1995). Kedua metode
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode KCKT memberikan hasil yang
cepat karena tidak memerlukan pemisahan terlebih dahulu, tetapi operasionalnya
mahal, sedangkan metode titrasi iodometri membutuhkan biaya yang lebih sedikit,
tetapi kurang sensitif untuk analisis dalam jumlah kecil.
Menurut Patel dkk. (1992), sefaleksin (gambar 1) dapat ditetapkan
kadarnya secara spektrofotometri visibel berdasarkan reaksi antara gugus amin
primernya dengan hasil kondensasi antara 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin.
COOH
CH3
O
H
N
N
H
. H 2O
NH2
Gambar 1. Struktur sefaleksin
COOH
CH3
O
HO
N
N
H
CH3
. 3H2O
NH2
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang, maka diperoleh permasalahan sebagai berikut :
a.
b.
2. Keaslian penelitian
Sepengetahuan peneliti, belum pernah ada penelitian tentang validasi
metode penetapan kadar amoksisilin dengan pereaksi asetilaseton dan formalin
secara spektrofotometri visibel. Penetapan kadar amoksisilin yang pernah dilakukan
antara lain titrasi iodometri hasil hidrolisis amoksisilin secara coulometri (Hidayat,
1999) dan penetapan kadar penisilin sebagai pengotor pada produk obat yang beredar
di pasaran secara KCKT-spektrometri massa (Takada dkk., 2005).
Selain itu, telah dilakukan beberapa penelitian tentang penetapan kadar
yang mirip dengan metode penetapan kadar amoksisilin dengan pereaksi asetilaseton
dan formalin secara spektrofotometri, antara lain penelitian Patel dkk. (1992) tentang
penetapan kadar sefaleksin dalam berbagai sediaan secara spektrofotometri visibel
menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin, penelitian Rianti (2005) tentang
penetapan kadar sefadroksil secara spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi
etilasetoasetat dan formalin, penelitian Rofie (2005) tentang penetapan kadar
sefadroksil secara spektrofotometri ultraviolet menggunakan pereaksi etilasetoasetat
dan asetaldehid, penelitian Mirmayanti (2007) tentang penetapan kadar sefadroksil
secara spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin, dan
penelitian Roosita (2007) tentang penetapan kadar ampisilin secara spektrofotometri
visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.
3. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat untuk pengembangan
metode analisis yang mudah, murah, sederhana, sensitif, serta memiliki akurasi,
presisi, dan linearitas yang baik untuk menetapkan kadar amoksisilin.
B. Tujuan Penelitian
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Amoksisilin
Amoksisilin (gambar 2) adalah antibiotik golongan -laktam turunan
aminopenisilin yang bersifat bakterisid, bekerja dengan menghambat sintesis dinding
sel bakteri (Petri, 2001). Tanpa adanya dinding sel, bakteri tidak dapat bertahan
terhadap pengaruh luar. Selain itu, kerusakan membran dapat mengganggu
pertukaran zat aktif yang penting untuk kehidupan bakteri (Wattimena dkk., 1997).
Antibiotik ini mempunyai spektrum kerja yang luas, dapat mengalami absorpsi cepat
dan sempurna dari saluran pencernaan, serta tahan dalam suasana asam sehingga
dapat diberikan secara oral (Petri, 2001).
Amoksisilin berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau. Amoksisilin
sukar
larut
dalam air
dan
metanol, tidak
larut
dalam benzen,
dalam
H3C
CH2COCH3
C
CH
C
H2
CH3
C
O O
H3C
CH
HCHO
CH3
H
N
R
CH3
sefaleksin
kromofor
COOH
O
R=
CH3
N
N
H
Maka, amoksisilin (gambar 2) yang juga memiliki gugus amin primer diharapkan
dapat ditetapkan kadarnya dengan cara tersebut.
B. Asetilaseton
O
C
H2
CH3
C. Formalin
Formalin merupakan larutan 37% uap formalin (gambar 5) atau HCHO
(BM = 30,03) di dalam air. Formalin berupa cairan jernih, tidak berwarna atau
hampir tidak berwarna, bau menusuk, serta memiliki uap yang merangsang selaput
lendir hidung dan tenggorokan. Jika disimpan di tempat dingin formalin akan
menjadi menjadi keruh. Formalin dapat bercampur dengan air, alkohol, dan aseton
(Anonim, 1989). Sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya, pada suhu di atas 20o (Anonim, 1995).
O
H
D. Spektrofotometri UV-Vis
=h.c. v
Keterangan:
E
= energi yang diabsorpsi (J)
h
= konsatante Planck sebagai faktor pembanding
= 6,63 x 10-27 erg.detik atau 6,63 x 10-34 Joule detik
v
= frekuensi radiasi (Hz)
c
= kecepatan cahaya
= 3 x 1010 cm/detik
Anti bonding
Anti bonding
Non bonding
Bonding
Bonding
molekul maka dinamakan absorpsi (Pecsok dkk., 1976). Agar dapat mengabsorpsi
radiasi UV-Vis, suatu molekul membutuhkan gugus yang dinamakan kromofor yang
merupakan suatu gugus kovalen tak jenuh terkonjugasi yang bertanggungjawab
untuk absorpsi radiasi UV-Vis (Fell, 1986). Selain itu, dikenal pula auksokrom yang
merupakan gugus yang mengandung heteroatom yang memberikan transisi n *.
Terikatnya gugus auksokrom oleh gugus kromofor secara langsung akan
mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke yang lebih panjang, disertai
peningkatan atau penurunan intensitas (Mulja dan Suharman, 1995).
Lambert
menyatakan
bahwa
intensitas
cahaya
yang
Dengan:
a = daya serap
c = konsentrasi larutan
b = tebal kuvet
A = serapan
Io = intensitas energi yang mencapai cuplikan
I = intensitas pancaran yang dikeluarkan dari cuplikan.
Nilai a atau daya serap menggambarkan nilai serapan yang spesifik dan
sering disebut
1%
1cm
pelarut tertentu pada kuvet setebal 1 cm adalah suatu angka yang spesifik (Fell,
1986).
serap molar () yang kurang dari 1000 (Williams dan Fleming, 1980). Nilai serapan
jenis adalah karakteristik penyerapan molekul pada pelarut dan panjang gelombang
tertentu, dan tidak tergantung konsentrasi serta lamanya radiasi (Pecsok dkk., 1976).
7. Kesalahan fotometrik
Ketepatan dan ketelitian pembacaan intensitas sinar yang sampai pada
detektor digambarkan sebagai nilai kesalahan fotometrik. Ketepatan fotometrik
berkurang pada nilai serapan rendah maupun pada nilai serapan tinggi. Pada serapan
yang rendah, intensitas sinar yang ditransmisikan baik ada maupun tidak ada sampel
hampir sama sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan sangat besar. Hal tersebut
karena ada keterbatasan kepekaan detektor. Pada serapan yang tinggi, intensitas sinar
yang sampai pada detektor sangat rendah sehingga tidak dapat diukur dengan tepat
(Pecsok dkk., 1976).
Untuk pembacaan serapan (A) atau transmitan (T) pada daerah terbatas,
kesalahan penentuan kadar hasil analisis dinyatakan sebagai:
C
0,4343 T
x
=
C
log T
T
T adalah nilai rentang skala transmitan terkecil dari alat yang masih dapat terbaca
kesalahan analisis yang dapat diterima yaitu sebesar 0,5-1% untuk T = 1 (Mulja
dan Suharman, 1995).
Apabila pengukuran dilakukan di luar rentang A (0,2-0,8) atau %T (1565%), maka sebaiknya dalam pengukuran digunakan panjang gelombang yang paling
tepat dan menggunakan sel dengan pencahayaan paling tepat. Hal ini untuk
menghindari besarnya kesalahan pembacaan serapan, yang berakibat pada kesalahan
penetapan kadar (Pecsok, 1976).
a. syarat konsentrasi.
Penyimpangan Hukum Beer dapat disebabkan dari nilai yang
tergantung dari indeks bias larutan. Hubungan tersebut dapat dilihat dari
persamaan berikut (Willard dkk., 1988):
Besar penyimpangan =
.n
(n + 2) 2
2
Keterangan:
= daya serap molar
n = indeks bias larutan
Pada konsentrasi < 0,01 M, indeks bias larutan relatif konstan tetapi
pada konsentrasi tinggi indeks bias ternyata berubah sehingga perlu dikoreksi
agar diperoleh nilai serapan yang sesuai.
Pada konsentrasi tinggi, jarak rata-rata diantara zat-zat pengabsorpsi
menjadi kecil sehingga masing-masing zat mempengaruhi distribusi muatan
tetangganya. Interaksi ini dapat mengubah kemampuan untuk mengabsorpsi
cahaya pada panjang gelombang yang diberikan. Oleh karena interaksi ini
bergantung
pada
konsentrasi,
maka
peristiwa
ini
menyebabkan
pembentukan
warna.
Reaksi
tersebut
umumnya
dilakukan
dengan
memodifikasi kromofor dari suatu molekul sehingga dapat dideteksi di daerah visibel
(Fell, 1986). Kadarnya kemudian ditetapkan dengan membandingkan serapannya
dengan kurva baku yang dibuat menggunakan baku pembanding (Rooth dan
Blaschke, 1994).
Keuntungan utama reaksi pembentukan warna adalah bahwa metode ini
dapat menambah sensitivitas dan selektivitas spektroskopi absorpsi (Fell, 1986).
Kriteria untuk reaksi pembentukan warna yang baik adalah sebagai berikut
(Vogel, 1978):
1. kespesifikan reaksi warna
Sangat sedikit reaksi yang spesifik untuk zat-zat tertentu. Oleh karena itu,
harus diupayakan agar reaksi yang terjadi spesifik untuk zat tertentu. Caranya antara
lain mereaksikan zat dengan reagen yang spesifik, mengubah kondisi percobaan, dan
mengendalikan pH.
2. kesebandingan antara warna dan konsentrasi
Intensitas warna larutan hendaknya meningkat secara linier dengan naiknya
konsentrasi zat yang akan ditetapkan.
3. kestabilan warna
Warna yang dihasilkan hendaknya cukup stabil dalam waktu tertentu untuk
memungkinkan pembacaan yang tepat.
4. reprodusibilitas
Hasil yang didapat harus dapat diulang jika dilakukan pada kondisi yang
sama.
5. kejernihan larutan
Larutan harus bebas dari endapan agar tidak menghamburkan ataupun
menyerap cahaya.
6. kepekaan tinggi
Diharapkan reaksi warna sangat peka bahkan untuk zat dalam jumlah kecil.
F. Validasi, Kesalahan, dan Parameter Metode Analisis
1. Validasi metode analisis
masing hasil analisis dari beberapa pengukuran di bawah kondisi analisis yang sama.
Ketelitian biasanya dinyatakan dengan standar deviasi atau relatif standar deviasi
(koefisien variasi) (Anonim, 2005).
Presisi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (Anonim, 2005):
1). repeatability adalah presisi yang dihasilkan dari pengujian suatu metode yang
dilakukan oleh individu yang sama dengan menggunakan prosedur yang sama
dan dikerjakan dalam waktu yang singkat.
2). intermediate precission adalah presisi yang dihasilkan dari pengujian suatu
metode yang dilakukan oleh individu yang berbeda dengan menggunakan
prosedur dan instrumen yang sama.
3). reproducibility adalah presisi yang dihasilkan dari pengujian suatu metode
analisis yang dikerjakan pada laboratorium yang berbeda.
Untuk kadar analit 10% biasanya disepakati koefisien variasi tidak boleh
lebih dari 2,7% (Yuwono dan Indrayanto, 2005).
c.
analit yang dapat terdeteksi tetapi tidak perlu secara kuantitatif. Penentuan LOD
dilakukan dengan cara membandingkan respon pengukuran analit dengan blangko.
Rasio signal-to-noise yang diterima untuk LOD adalah 2:1 atau 3:1 (Anonim, 2005).
d.
terkecil analit dalam sampel yang dapat diukur dengan ketelitian dan ketepatan yang
diterima di bawah kondisi percobaan yang ditetapkan metode tersebut. Rasio signalto-noise yang diterima untuk LOQ adalah 10:1 (Anonim, 2005).
e.
secara akurat dan spesifik dengan kehadiran komponen lain (zat aktif, eksipien,
pengotor, dan produk degradasi) dalam matriks sampel (Anonim, 2005).
f.
secara langsung atau melalui perhitungan matematika mendapatkan hasil uji yang
sebanding dengan kadar analit dalam sampel (Anonim, 2005).
g.
kadar terendah sampai tertinggi analit yang dapat diukur secara kuantitatif
menggunakan metode analisis tertentu dan menghasilkan ketelitian dan ketepatan,
dan linearitas yang mencukupi (Anonim, 2005).
Ada dua macam kesalahan pada analisis kimia menurut Mulja dan
Suharman (1995) yaitu:
Uji yang paling umum dan prosedur pengukuran dapat dibagi menjadi
empat kategori, yaitu (Anonim, 2005):
a. Kategori I. Kategori ini meliputi metode analisis untuk kuantifikasi
komponen terbesar dalam obat atau zat aktif (termasuk pengawet) dalam sediaan.
Kategori I
Accuracy
Precision
Specificity
LOD
LOQ
Linearity
Range
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Kategori II
Kuantitatif
Uji batas
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
*
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
*
Kategori III
Kategori IV
*
Ya
*
*
*
*
*
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
(Anonim, 2005)
G. Landasan Teori
amoksisilin dengan hasil kondensasi antara satu mol formalin dan dua mol
asetilaseton membentuk warna kuning yang intensitasnya kemudian diukur
menggunakan spektrofotometri visibel pada panjang gelombang serapan maksimum.
H. Hipotesis
menggunakan
pereaksi
asetilaseton
dan
formalin.
Metode
yang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Definisi Operasional
C. Alat-alat Penelitian
D. Bahan-bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tablet amoksisilin 500
mg dari suatu pabrik (kode=AM), standar amoksisilin (Brataco Chemika).
Asetilaseton, formalin, asam asetat glasial, natrium asetat (p.a., E. Merck), dan
akuades (Fakultas Farmasi UGM).
Larutan baku amoksisilin dipipet sebanyak 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 ml,
masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, ditambahkan pereaksi dengan
pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time pada suhu 35 oC,
diencerkan dengan akuades sampai tanda. Kemudian diukur serapannya pada
panjang gelombang serapan maksimum. Dilakukan juga pengukuran blangko. Dibuat
kurva hubungan kadar vs serapan dan ditentukan persamaan regresi linier serta
koefisien korelasinya.
a. pengambilan sampel.
Sampel yang digunakan terdiri dari 1 merek tablet yang mengandung 500 mg
amoksisilin yang beredar di pasaran (tablet AM). Tablet amoksisilin yang
dipilih adalah tablet dengan nomor batch yang sama.
b. penentuan bobot rata-rata tablet.
Ditimbang 20 tablet satu persatu, kemudian dihitung bobot rata-rata tiap
tablet.
c. penetapan kadar amoksisilin dalam tablet AM (Patel dkk., 1992).
Ditimbang seksama sejumlah serbuk dari 20 tablet yang setara dengan 209,7
mg amoksisilin. Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, diencerkan dengan
akuades sampai tanda. Dipipet 1,0 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml,
ditambahkan pereaksi dengan pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan
selama operating time pada suhu 35 oC, diencerkan dengan akuades sampai
tanda. Kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang serapan
maksimum Dilakukan juga pengukuran blangko
5. Validasi metode
Ditimbang seksama sejumlah serbuk dari 20 tablet yang setara dengan 104,85
mg amoksisilin dan 104,85 mg baku amoksisilin. Dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 ml, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Dipipet 1,0 ml,
dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, ditambahkan pereaksi dengan pH dan
volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time pada suhu 35 oC,
diencerkan dengan akuades sampai tanda. Kemudian diukur serapannya pada
panjang gelombang serapan maksimum. Dilakukan juga pengukuran blangko.
Setelah itu dihitung jumlah perolehan kembali sampel.
b. presisi (dinyatakan dengan koefisien variasi).
Penetapan koefisien variasi dilakukan dengan menggunakan data kadar
amoksisilin dalam tablet AM.
c. linearitas (dinyatakan dengan koefisien korelasi).
Penetapan koefisen korelasi dilakukan dengan menggunakan koefisien
korelasi korva baku amoksisilin.
F. Analisis Hasil
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Larutan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan baku
amoksisilin 0,005 M dalam akuades. Larutan ini dibuat dengan cara melarutkan
209,7 mg baku amoksisilin dalam 100,0 ml akuades. Pelarut yang digunakan adalah
akuades karena amoksisilin larut dalam akuades (Anonim, 1995).
O
H 3C
C
H2
CH3
H3C
OH
-H
H
C
CH3
asetilaseton
O
H 3C
OH
C
H
CH3
enol asetilaseton
O
H3C
O
O
C
CH
C
H3C
CH2
CH2
- H2O
CH3
-H
H3C
C
C
-hidroksi karbonil
HC
CH2
formalin
H3C
H3C
enol asetilaseton
H3C
C
H
H3C
OH
C
H2
C
CH3
enol asetilaseton
H3C
CH
O O
CH3
CH3
H3C
p.s.
C
CH
C
H2
CH
C
H3C
CH3
C
O
CH3
3,5-diasetil-2,6-heptanadion
Gambar 7. Usulan mekanisme reaksi pembuatan pereaksi asetilaseton-formalin
H3 C
C
CH
C
H2
C
H3 C
CH3
CH
O O
H3C
C
CH
CH3
H3 C
CH
C
H2
H3C
C
NH
H
COOH
O
R = HO
N
N
H
OH
Amoksisilin
CH3
CH3
S
CH3
H3C
H C
p.s.
CH
C
C
H2
-H2O
CH
C
H2
-H
H3C
H3C
H3C
CH3
H3C
O
HN
OH2
CH3
CH3
H3C
O
H3C
CH3
H2
C
C
CH
CH
C
H2
H
O
C
C
C
C
CH3
H2C
C
N
CH3
O
H
H3C
p.s.
H3C
H2
C
CH3
-H2O
-H
N
OH2
R
CH3
CH3
R
CH3
kromofor
Rep. 1
Serapan*
Rep. 2
Rep. 3
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
0,530
0,581
0,625
0,662
0,680
0,695
0,724
0,739
0,742
0,748
0,744
0,745
0,749
0,538
0,585
0,598
0,654
0,667
0,686
0,695
0,701
0,703
0,716
0,724
0,729
0,724
0,525
0,574
0,630
0,669
0,697
0,714
0,732
0,748
0,746
0,762
0,764
0,770
0,763
*) Serapan senyawa hasil reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
Dari penelitian didapat bahwa reaksi stabil setelah menit ke-50, berarti
pembentukan reaksi warna telah selesai pada menit ke-50 tersebut. Selanjutnya,
RNH3+
Akibatnya, konsentrasi amina menjadi menjadi kecil sekali bahkan dapat diabaikan.
Sehingga reaksi akan menjadi lambat. Tahap kedua dalam reaksi itu adalah eliminasi
gugus H2O (gambar 8). Berbeda dengan reaksi tahap pertama, laju reaksi ini akan
bertambah dengan meningkatnya keasaman. Jika suasana larutan terlalu basa, gugus
-OH2+ tidak akan terbentuk. Sebagai gantinya, akan terbentuk gugus OH yang
merupakan gugus pergi yang kurang baik dibandingkan dengan gugus -OH2+
(gambar 10).
H3C
H C
CH
C
H3C
C
H2
H3C
CH3
H3C
H C
CH
C
C
OH2
H3C
O
HN
suasana asam
C
H2
H3C
CH3
C
C
OH
HN
suasana basa
Gambar 10. Reaksi eliminasi pada reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
pada suasana asam dan basa
Jika hal tersebut terjadi, maka reaksi tahap kedua tidak akan berlangsung sehingga
reaksi tidak sempurna. Dari kedua tahap reaksi tersebut dapat disimpulkan bahwa
bertambahnya keasaman akan menyebabkan reaksi tahap dua berjalan cepat
sedangkan reaksi tahap satu berjalan lambat, demikian pula sebaliknya. Jadi perlu
dicari pH optimum yang memberikan laju reaksi paling cepat (Fessenden dan
Fessenden, 1994).
Hasil penetapan pH optimum pereaksi dapat dilihat pada tabel III berikut:
Tabel III. Hasil penetapan pH optimum pereaksi
pH Pereaksi
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
Rep. 1
Serapan*
Rep. 2
Rep. 3
0,586
0,746
0,447
0,274
0,258
0,608
0,750
0,487
0,265
0,250
0,592
0,740
0,458
0,269
0,252
*) Serapan senyawa hasil reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rep. 1
Serapan*
Rep. 2
Rep. 3
0,439
0,619
0,708
0,758
0,771
0,787
0,800
0,797
0,793
0,759
0,440
0,617
0,709
0,760
0,774
0,785
0,799
0,798
0,804
0,800
0,442
0,620
0,707
0,761
0,772
0,788
0,802
0,796
0,799
0,799
*) Serapan senyawa hasil reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
Dari penelitian didapat bahwa serapan amoksisilin stabil saat direaksikan dengan 7
ml hingga 10 ml pereaksi. Untuk selanjutnya volume pereaksi yang digunakan
adalah 7 ml.
a.
b.
c.
Selain itu, pada spektrum terlihat bahwa senyawa hasil reaksi juga
memberikan serapan pada panjang gelombang nm. Diperkirakan, serapan tersebut
adalah serapan gugus fenol pada amoksisilin (gambar 12).
COOH
O
HO
C
O
C
C
H2
N
N
H
CH3
S
CH3
CH3
H3C
H3C
CH3
Gambar 12. Gugus pada senyawa hasil reaksi yang diperkirakan memberikan serapan pada
panjang gelombang 335 nm
0,067
0,084
0,101
0,117
0,134
Serapan*
Rep. 1
Rep. 2
Rep. 3
0,384
0,461
0,546
0,615
0,687
A = 0,0807
B = 4,5516
r = 0,9995
= 77,60o
Vx
0 = 1,009%
0,386
0,462
0,539
0,615
0,678
A = 0,0921
B = 4,4127
r = 0,9993
= 77,23o
Vx
0 = 1,721%
0,384
0,460
0,542
0,614
0,682
A = 0,0846
B = 4,4912
r = 0,9995
= 77,44o
Vx
0 = 1,269%
*) Serapan senyawa hasil reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
dilakukan modifikasi satuan konsentrasi larutan baku sehingga didapat data yang
dapat dilihat pada tabel VI berikut:
Tabel VI. Hasil modifikasi kurva baku amoksisilin
Konsentrasi Amoksisilin
Baku (mg/ml)
Konsentrasi Amoksisilin
Baku (mg/5ml)
Serapan*
0,067
0,084
0,101
0,117
0,134
0,335
0,420
0,505
0,585
0,670
0,384
0,461
0,546
0,615
0,687
*) Serapan senyawa hasil reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
0,8
0,7
y = 0,9103x + 0,0807
0,6
0,5
0,4
0,3
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
Gambar 13. Hubungan konsentrasi amoksisilin dan serapan senyawa hasil reaksi antara
amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
Penimbangan
Sampel (mg)
150,0
150,0
150,0
Serapan*
Kadar (mg)
Per tablet
% kadar
Dlm tablet
0,533
0,530
0,528
0,536
0,526
0,529
0,532
0,532
0,532
592,24
588,42
585,80
596,29
583,18
586,99
591,04
591,04
591,04
118,45
117,68
117,16
119,26
116,64
117,40
118,21
118,21
118,21
x =589,56
x =117,91
KV (%)
0,55
1,14
0
KV =0,56
*) Serapan senyawa hasil reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
Dari data didapat kadar rata-rata amoksisilin dalam tablet adalah 589,56 mg
atau sekitar 117,91%. Hasil tersebut masih memenuhi syarat karena tablet
amoksisilin mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0%
amoksisilin dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 2005), karena menurut
etiket, tablet amoksisilin yang digunakan (tablet AM) mengandung zat aktif
amoksisilin 500 mg/tablet.
Dari hasil penelitian didapat data yang disajikan pada tabel VIII berikut:
Tabel VIII. Data hasil penetapan perolehan kembali
Kadar
Sebanarnya
(mg/ml)
2,29
2,28
2,28
Serapan*
Kadar didapat
(mg/ml)
Perolehan Kembali
(%)
0,515
0,510
0,518
0,514
0,516
0,509
0,516
0,510
0,513
2,39
2,36
2,40
2,38
2,39
2,35
2,39
2,36
2,38
104,37
103,06
104,80
104,39
104,82
103,07
104,82
103,06
104,39
x = 104,09
KV = 0,76%
*) Serapan senyawa hasil reaksi antara amoksisilin dengan asetilaseton dan formalin
Dari data dapat dilihat bahwa rata-rata perolehan kembali yang didapat
adalah 104,09%. Hal tersebut tidak memenuhi syarat karena untuk kadar analit
10% biasanya disepakati perolehan kembali harus masuk dalam rentang 98-102%
(Yuwono dan Indrayanto, 2005). Berarti metode penetapan amoksisilin secara
spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin
memiliki akurasi yang kurang baik.
2. presisi.
Presisi adalah kedekatan masing-masing hasil analisis dari beberapa
pengukuran di bawah kondisi analisis yang sama. Presisi biasanya dinyatakan
dengan persen simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi)
(Anonim, 2005).
Pada penelitian ini, penetapan presisi dilakukan dengan menggunakan data
penetapan kadar amoksisilin dalam tablet AM. Dari tabel V terlihat bahwa rata-
rata koefisien variasi yang didapat adalah 0,56%. Hal tersebut masih memenuhi
syarat karena untuk kadar analit 10% biasanya disepakati koefisien variasi
tidak boleh lebih dari 2,7% (Yuwono dan Indrayanto, 2005). Berarti metode
penetapan amoksisilin secara spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi
asetilaseton dan formalin memiliki presisi yang baik.
3. linearitas.
Linearitas ditentukan dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) hitung pada
persamaan regresi linier kurva baku. Dari hasil penentuan kurva baku, didapat
persamaan y = 0,9103x + 0,0807 dengan r = 0,9995. Nilai koefisien korelasi (r)
hitung tersebut lebih besar dari koefisien korelasi (r) tabel dengan taraf
kepercayaan 99% dan derajat bebas 3 yaitu 0,959 (Cann, 2003). Dapat dikatakan
ada korelasi bermakna antara serapan dan konsentrasi amoksisilin. Selain itu,
didapat nilai koefisien variasi fungsi (Vx0) sebesar 1,009%. Menurut Mulja dan
Hanwar (2003), nilai Vx0 tidak boleh lebih dari 2%. Berarti metode penetapan
amoksisilin secara spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton
dan formalin memiliki linearitas yang baik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
I. Kesimpulan
spektrofotometri
visibel
untuk
penetapan
kadar
amoksisilin
J. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Patel, I. T., Devani, M. B., and Patel, T. M., 1992, Spectrophotometric Method for
Determination of Cephalexin in Its Dosage Forms, J. of AOAC Int., 75 (6):
994-998.
Pelczar, M. J. and Chan, E. C. S., 1988, Elements of Microbiology, Ed III, 561,
Diterjemahkan oleh Ratna Siri Hadi Oetomo, Penerbit UI, Jakarta.
Pecsok, R. L., Shields L. D., Cairns, T. Mc. and William, T. G., 1976, Modern
Methods Of Chemical Analysis, 2nd ed., 117, 139, 142-143, 226-235, John
Wiley & Sons Inc., New York.
Petri, W. A., 2001, Antimicrobial Agents Penicillins, Cephalosporins, and Other Lactam Antibiotics in Goodman and Gilmans The Pharmalogical Basis of
Therapeutics, 10th ed., Mc-Graw-Hill Companies Inc., USA.
Rianti, A., 2005, Penetapan Kadar Sefadroksil Secara Spektrofotometri Visibel
dengan Pereaksi Etilasetoasetat dan Formaldehid, Skripsi, Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rofie, F., 2005, Penetapan Kadar Sefadroksil dalam Kapsul Menggunakan Metode
Spektrofotometri Ultraviolet dengan Pereaksi Etilasetoasetat dan
Asetaldehid, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Roosita, A., 2007, Validasi Metode Penetapan Kadar Ampisilin dengan Pereaksi
Asetilaseton dan Formaldehid secara Spektrofotometri Visibel, Skripsi,
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Roth H. J. and Blaschke G., 1994, Pharmazeutische Analytik, diterjemahkan oleh
Sarjono Kisman dan Slamet Ibrahim, 359-361, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Schirmer, R. E., 1982, Modern Methods of Pharmaceuticals Analysis, I: 60-74, CRC
Press Inc., Florida.
Silverstein, R. M., Bassler, G. C., and Morrill, T. C., 1991, Spectrometric
Identification of Organic Compounds, 5th ed, 292, John Wiley & Sons Inc.,
Canada.
Skoog, D. A., 1985, Principles of Instrumental Analysis, 3rd ed., 67, 164-168, 185186, Saunders College Publishing, Japan.
Takada, W., Adachi, T., Kihara, N., Kitamura, S., Kitagawa, T., Mifune, M., and
Saito, Y., 2005, Quantitative Determination Method for Trace Amount of
Penicillin Contaminants in Comercially Available Drug Product by HPLC
Coupled with Tandem Mass Spectrometry, Chem. Pharm. Bull., 53 (2):
172-176.
Vogel, A. I., 1978, A Textbook of Quantitative Inorganic Analysis, 4th ed., 809-810,
846-849, The English Language Book Society, Richard Clay Ltd., Bungay.
Wattimena, J. R., Sugiarso, W. C., Widianto, M. B., Sukandar E. Y., dan Setiadi, A.
R., 1997, Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik, 56-61, 66, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Williams, D. H. dan Fleming, I., 1980, Spectroscopic Methods in Organic Chemistry,
3rd ed., 4, McGraw Hill Book Company, United Kingdom.
Willard, H. H., Merritt, L. L., Dean, J. A., and Settle, F. A., 1988, Instrumental
Methods of Analysis, 7th ed., 162, Wadsworth Publishing Company,
Belmont, California.
Wiratih, 2002, Gambaran Resep Antibiotik di Apotek-apotek yang Terletak di
Perbatasan Bagian Utara Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman,
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Yuwono, M. dan Indrayanto, G., 2005, Validation of Chromatographic Methods of
Analysis, Profiles of Drug Substances, Excipients, and Related
Methodology, 32: 243-259.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Penimbangan Baku Amoksisilin
506,6
297,0
Zat (mg)
209,6
0,7187
0,7183
0,7176
0,7110
0,7095
0,7219
0,7194
0,7239
0,7100
0,7219
b. Penimbangan Sampel
Kertas + zat (g)
Kertas + sisa (g)
Zat (g)
Rep, 1
0,4276
0,2776
0,1500
Rep, 2
0,4516
0,3016
0,1500
Rep, 3
0,4514
0,3014
0,1500
123,64
x 100% = 82,43%
150
Kertas+zat
Kertas+sisa
zat
Rep. 1
Sampel
0,4091 g
0,3043 g
0,1048 g
0,4596 g
0,3095 g
0,1501 g
Baku
Rep. 2
Sampel
0,4091 g
0,3043 g
0,1048 g
0,4593 g
0,3094 g
0,1499 g
Baku
0,4091 g
0,3043 g
0,1048 g
= 228,53 mg
= 228,53 mg/100ml
= 2,29 mg/ml
0,4602 g
0,3104 g
0,1498 g
82,43
x 150,1 = 123,73 mg
100
Rep. 3
Sampel
209,6
= 2,096 mg/ml
100
v1 . c = v2 . c1
0,8 . 2,096 = 25 . c1
c1 = 0,067 mg/ml
1,0 ml
v1 . c = v2 . c2
1,0 . 2,096 = 25 . c2
c2 = 0,084 mg/ml
1,2 ml
v1 . c = v2 . c3
1,2 . 2,096 = 25 . c3
c3 = 0,101 mg/ml
1,4 ml
v1 . c = v2 . c4
1,4 . 2,096 = 25 . c4
c4 = 0,117 mg/ml
1,6 ml
v1 . c = v2 . c5
1,6 . 2,096 = 25 . c5
c5 = 0,134 mg/ml
Seri kadar tersebut kemudian diplotkan vs serapan yang diperoleh sehingga diperoleh
persamaan kurva baku yang akan digunakan dalam penetapan kadar.
b. Penetapan Kadar Sampel
Serapan yang didapat = 0,533, dimasukkan ke dalam persamaan kurva baku
0,533 = 0,9103x + 0,0807
x = 0,4967 mg/5 ml
x = 2,484 mg/ml
x = 2,484 x 50 ml
x = 124,2 mg dalam 50 ml sampel
x = 124,2 mg dalam 150 mg sampel
kadar anoksisilin dalam tablet =
124,2
x 715,26 = 592,24 mg
150,0
592,24
x 100% = 118,45%
500
c. Penetapan Recovery
Kadar sebenarnya = kadar amox dalam sampel + kadar amox baku
Kadar sebenarnya = 123,73 mg + 104,8 mg
Kadar sebenarnya = 228,53 mg
Serbuk tersebut kemudian dilarutkan dalam aquadest 100 ml
Kadar sebenarnya =
228,53
= 2,29 mg/ml
100
0,0954
x 100% = 104,15%
0,0916
c. Perhitungan Vx0
Vx0 dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Harmita, 2004):
( y1 y1 ) /( N 2)
Sy =
Di mana y1 = Bx + A
Sx0 =
Sy
; Sx0 = standar deviasi fungsi
B
Vx0 =
Sx0
; Vx0 = koefisien variasi fungsi
x1
0,384
0,461
0,546
0,615
0,687
y1
0,386
0,463
0,540
0,613
0,691
Sy =
Sx0 =
4,619.103
= 1,015 x 10-3
4,5516
1,015.10 3
Vx0 =
x 100% = 1,009%
0,1006
y1 )
-2 x 10-3
-2 x 10-3
6 x 10-3
2 x 10-3
-4 x 10-3
(y1 -
y1 )2
4 x 10-6
4 x 10-6
3,6 x 10-5
4 x 10-6
1,6 x 10-5
= 6,4 x 10-5
(y1 -
x1
0,067
0,084
0,102
0,117
0,133
x1 = 0,1006
BIOGRAFI
Penulis
skripsi
Spektrofotometri
yang
Visibel
berjudul
Untuk
Validasi
Penetapan
Metode
Kadar