Bab 4
Bab 4
16000000
14000000
14000000
12000000
10400000
10800000
10000000
8000000
6000000
4000000
2700000
2500000
1650000
2000000
0
beras
beras jagung
Isolat Wirowongso
Isolat Mumbulsari
13
14
100
97.49
95.84
90.44
90
76.01
80
70
61.77
60.55
60
50
40
30
20
10
0
beras
jagung
Isolat Wirowongso
Gambar 4.
Isolat Mumbulsari
2 hsi
3 hsi
4 hsi
5 hsi
6 hsi
7 hsi
Mumbulsari*Beras
0.00 a
2.78 a
15.61 a
31.14 a
45.83 a
58.62 a
80.66 a
Mumbulsari*Jagung
0.00 a
7.57 a
24.23 a
44.36 ab
69.58 ab
78.81 ab
84.70 a
Mumbulsari*Beras Jagung
Wirowongso*Beras
Jagung
0.00 a
13.36 a
32.62 ab
47.60 ab
65.16 ab
73.02 ab
83.82 a
0.00 a
7.76 a
26.11 ab
42.12 ab
57.24 ab
75.58 ab
89.65 a
Wirowongso*Beras
0.79 a
19.93 a
39.62 ab
62.11 b
69.22 ab
85.10 b
89.20 a
Wirowongso*Jagung
8.38 a
20.66 a
51.36 b
71.80 b
85.87 b
91.24 b
92.11 a
15
yang sama
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa isolat dan media tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap patogenesitas. Namun tidak terdapat
interaksi (ANOVA; Fhit(2;12) = 0,06; P = 0.942; = 0.05) antara jenis media
dengan isolat pada patogenesitas
100
90
80
70
60
Persentase Kematian
Isolat Wirowongso
50
40
Isolat Mumbulsari
30
20
10
0
1
Waktu (hari)
16
100
90
80
Persentase Kematian
Isolat Wirowongso
70
60
50
40
30
20
10
Isolat Mumbulsari
0
1
Waktu (hari)
Isolat Mumbulsari
Waktu (hari)
17
sama sedangakan pada gambar 5, 6 dan 7 terlihat bahwa kematian setiap harinya
menunjukkan peningkatan.
4.2 Pembahasan
Kriteria dasar penilaian kualitas hasil perbanyakan jamur pada suatu media
adalah jumlah spora yang dihasilkan , viabilitas atau daya kecambah spora, dan
virulensi atau tingkat keganasannya terhadap suatu hama (Ferron, 1981). Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan media padat yang baik dan sesuai
bagi pertumbuhan dan perkembangana P. fumosoroseus
4.2.1 Jumlah konidia
Pembentukan konidia cendawan di pengaruhi oleh kandungan bahan
nutrisi media terutama kandungan protein dan karbohidrat. Protein yang disentesis
dalam proses reproduksi didapatkan dari penyerapan protein media selama
pertumbuhan vegetatif. Kebutuhan protein untuk pembentukan spora yang baik
secara umum dapat dikatakan sama dengan yang dibutuhkan untuk mendapatkan
pertumbuhan vegetatif yang baik. Selain protein media, perbandingan antara
kandungan karbohidrat sebagai sumber karbon dengan protein sebagai sumber
nitrogen menentukkan pembentukan konidia jamur (Cliquet and Jackson, 1999).
Menurut Bilgrami dan Verma (1981) menyatakan bahwa karbohidrat yang
berkonsentrasi tinggi mampu mendorong pembentukan vegetatif jamur,
Berdasarkan hasil perlakuan pada media beras isolat Wirowongso
diketahui bahwa jumlah spora yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan
perlakuan isolat yang berasal dari Mumbulsari, hal ini disebabkan karena produksi
spora yang dihasilkan pada saat di media SDA yeast lebih banyak isolat
Wirowongso sehingga berpengaruh pada media perbanyakan. Hasil tersebut
menunjukan bahwa P. fumosoroseus membentuk spora yang lebih banyak pada
media beras yang mengandung karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan
jagung dan beras jagung.
Jumlah spora hasil perbanyakan pada ketiga jenis media tersebut dapat
dikatakan cukup baik, karena menurut Jackson (2003) jumlah spora jamur hasil
18
suatu perbanyakan yang layak digunakan untuk suatu pengujian ialah berkisar
antara 106-108 spora per gram media.
4.2.2 Perkecambahan konidia P. fumosoroseus
Perkecambahan konidia P. fumosoroseus diawali dengan terjadinya
pembengkakan konidia. Setelah periode pembengkakan, terjadi penonjolan pada
dinding konidia yang merupakan bakal tabung kecambah. Tabung kecambah
kemudian terbentuk dan memanjang membentuk hifa kecambah. Perkecambahan
konidia tunggal P. fumosoroseus (Gambar 8).
Perbedaan hasil persentase konidia yang berkecambah dapat disebabkan
oleh perbedaan perbandingaan bahan nutrisi dalam ketiga media yang digunakan.
Bahan nutrisi media disintesis oleh jamur untuk membentuk organel sel spora, dan
sebagian disimpan sebagai cadangan makanan. Selain itu, menurut Garraway dan
Evans dalam Kus Hardono (1996), protein media yang diserap dalam bentuk asam
amino digunakan untuk menyusun beberapa enzim dalam spora yang berperan
dalam aktivitas perkecambahan.
19
20
c
Gambar 9. Patogenesitas P. fumosoroseus pada B. tabaci
(a) Awal inokulasi; (b) satu hari setelah inokulasi; (c) 5 hari setelah
inokulasi.
21
fumosoroseus
menunjukkan gejala gerak yang lamban, aktifitas makan berkurang dan akhirnya
tidak mau makan, kemudian mati. Tubuhnya mengeras dan pada kondisi lembab
permukaan tubuh serangga akan diselimuti oleh pertumbuhan jamur berwarna
putih dan tampak seperti bertepung yaitu kenampakan dan massa konidia yang
terbentuk.
Pada waktu melakukan penetrasi dan menembus integumen, cendawan
membentuk tabung kecambah (appresorium). Pada tahap ini, proses tersebut
sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen dengan titik penetrasi
kecambah cendawan. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan
mengeluarkan enzim dan toksin. Beberapa jenis cendawan entomopatogen
mempunyai kurang lebih lima jenis enzim, yaitu khitinase, amilase, proteinase,
pospatase, dan esterase, destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya
blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa
sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Tanada dan Kaya, 1993).
Pada uji patogenesitas ketiga media tidak berpengaruh terhadap
moratalitas serangga, karena jumlah kerapatan sporanya berkisar 10 6-107. Menurut
Jackson (2003) salah satu yang mempengaruhi mortalitas adalah kerapatan spora
jumlah spora jamur hasil suatu perbanyakan yang layak digunakan untuk suatu
pengujian ialah berkisar antara 106-108 spora per gram media.
22