Anda di halaman 1dari 10

BAB 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Jumlah Konidia
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa perbanyakan P. fumosoroseus
pada media beras isolat Wirowongso menghasilkan jumlah konidia terbanyak
yaitu 1,4 x 107 konidia per gram media. Jumlah konidia terendah di dapatkan dari
perbanyakan media beras jagung isolat Mumbulsari, sejumlah 1,65 x 10 6 konidia
per gram media (Gambar 3). Akan tetapi berdasarkan analsis sidik ragam terdapat
interaksi yang sangat nyata (ANOVA; Fhit(2;12) = 0,06 ; P = 0,000; = 5%) antara
jenis media dengan isolat pada jumlah konidia. Setelah diketahui terdapat
interaksi maka diuji lanjut dengan Tukey 5% (Tabel 3.)

16000000
14000000

14000000

12000000

10400000

10800000

10000000
8000000
6000000
4000000

2700000

2500000

1650000

2000000
0

beras

beras jagung

Isolat Wirowongso

beras dan jagung

Isolat Mumbulsari

Gambar 3. Jumlah konidia P. fumosoroseus isolat Wirowongso dan Mumbulsari


pada media beras, jagung, beras dan jagung

13

Tabel 3. Jumlah konidia P. fumosoroseus


Jenis media dan Isolat
Rata-rata sd
Mumbulsari x Beras
53.6667 2.12 b
Mumbulsari x Jagung
49.6667 2.21 ab
Mumbulsari x Beras Jagung
33.0000 1.24 a
Wirowongso x Beras Jagung
216.3333 3.10 cd
Wirowongso x Beras
280.0000 3.16 d
Wirowongso x Jagung
208.0000 3.58 c
Rata-rata jumlah konidia yang diikuti huruf yang sama menunjukan berbeda tidak
nyata pada uji Tukey taraf 0,05
4.1.2 Perkecambahan konidia
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media beras
berpengaruh sangat nyata terhadap perkecambahan konidia (P<0.01). Dan
terdapat interaksi yang nyata antara isolat dan media (ANOVA; Fhit (2;12) = 3,710; P
= 0.05; = 0,05). Setelah diketahui terdapat interaksi maka diuji lanjut dengan
Tukey 5% ( Tabel 4.)
Pengujian viabilitas konidia dilakukan 18 jam setelah konidia di
inokulasikan, dan memperlihatkan bahwa ketiga media isolat Wirowongso yang
digunakan sebagai media perbanyakan P. fumosoroseus berkemampuan tinggi
untuk berkecambah yaitu di atas 80 persen. Sedangkan untuk isolat Mumbulsari
konidia yang berkecambah di bawah 80 persen, namun perkecambahan tertinggi
diperoleh dari media beras (Gambar 4).
Tabel 4. Perkecambahan konidia P. fumosoroseus
Jenis media dan Isolat
Rata-rata sd
Mumbulsari x Beras
76.0067 3.09 b
Mumbulsari x Jagung
61.7700 3.06 a
Mumbulsari x Beras Jagung
60.5467 4.66 a
Wirowongso x Beras Jagung
91.0600 1.88 cd
Wirowongso x Beras
97.4933 0.71 d
Wirowongso x Jagung
88.1833 2.19 c
Rata-rata perkecambahan konidia yang diikuti huruf yang sama menunjukan
berbeda tidak nyata pada uji Tukey taraf 0,05

14

100

97.49

95.84

90.44

90
76.01

80
70

61.77

60.55

60
50
40
30
20
10
0

beras

jagung

Isolat Wirowongso

Gambar 4.

beras dan jagung

Isolat Mumbulsari

Perkecambahan konidia P. fumosoroseus isolat Wirowongso dan


Mumbulsari pada media beras, jagung, beras dan jagung

4.1.3 Patogenesitas P. fumosoroseus pada B. tabaci


Hasil pengujian patogenesitas P. fumosoroseus hasil perbanyakan terhadap
B. tabaci dapat dilihat pada Tabel 5. Gambar 5, 6 dan 7 merupakan persentase
kematian B. tabaci hasil inokulasi konidia P. fumosoroseus pada B. tabaci selama
tujuh hari.
Tabel 5. Persentase kematian B. tabaci
rata-rata kematian

Jenis media dan Isolat


1 hsi

2 hsi

3 hsi

4 hsi

5 hsi

6 hsi

7 hsi

Mumbulsari*Beras

0.00 a

2.78 a

15.61 a

31.14 a

45.83 a

58.62 a

80.66 a

Mumbulsari*Jagung

0.00 a

7.57 a

24.23 a

44.36 ab

69.58 ab

78.81 ab

84.70 a

Mumbulsari*Beras Jagung
Wirowongso*Beras
Jagung

0.00 a

13.36 a

32.62 ab

47.60 ab

65.16 ab

73.02 ab

83.82 a

0.00 a

7.76 a

26.11 ab

42.12 ab

57.24 ab

75.58 ab

89.65 a

Wirowongso*Beras

0.79 a

19.93 a

39.62 ab

62.11 b

69.22 ab

85.10 b

89.20 a

Wirowongso*Jagung

8.38 a

20.66 a

51.36 b

71.80 b

85.87 b

91.24 b

92.11 a

15

Rata-rata Persentase kematian B. tabaci yang diikuti huruf


menunjukan berbeda tidak nyata pada uji Tukey taraf 0,05

yang sama

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa isolat dan media tidak
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap patogenesitas. Namun tidak terdapat
interaksi (ANOVA; Fhit(2;12) = 0,06; P = 0.942; = 0.05) antara jenis media
dengan isolat pada patogenesitas

100
90
80
70
60
Persentase Kematian
Isolat Wirowongso

50
40

Isolat Mumbulsari

30
20
10
0
1

Waktu (hari)

Gambar 5. Hubungan antara waktu dengan persentase kematian B. tabaci pada


media jagung

16

100
90
80

Persentase Kematian
Isolat Wirowongso

70
60
50
40
30
20
10

Isolat Mumbulsari

0
1

Waktu (hari)

Gambar 6. Hubungan antara waktu dengan persentase kematian B. tabaci pada


media beras dan jagung
100
90
80
70
60
Persentase Kematian 50
40
Isolat Wirowongso
30
20
10
0
1

Isolat Mumbulsari

Waktu (hari)

Gambar 7. Hubungan antara waktu dengan persentase kematian B. tabaci pada


media beras
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan pada 7 hari setelah
inokulasi tidak terdapat hasil yang beda nyata hal ini dapat diketahui dari huruf
pada hari ke- 7 pada setiap isolat dan jenis media ditunjukkan dengan huruf yang

17

sama sedangakan pada gambar 5, 6 dan 7 terlihat bahwa kematian setiap harinya
menunjukkan peningkatan.
4.2 Pembahasan
Kriteria dasar penilaian kualitas hasil perbanyakan jamur pada suatu media
adalah jumlah spora yang dihasilkan , viabilitas atau daya kecambah spora, dan
virulensi atau tingkat keganasannya terhadap suatu hama (Ferron, 1981). Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan media padat yang baik dan sesuai
bagi pertumbuhan dan perkembangana P. fumosoroseus
4.2.1 Jumlah konidia
Pembentukan konidia cendawan di pengaruhi oleh kandungan bahan
nutrisi media terutama kandungan protein dan karbohidrat. Protein yang disentesis
dalam proses reproduksi didapatkan dari penyerapan protein media selama
pertumbuhan vegetatif. Kebutuhan protein untuk pembentukan spora yang baik
secara umum dapat dikatakan sama dengan yang dibutuhkan untuk mendapatkan
pertumbuhan vegetatif yang baik. Selain protein media, perbandingan antara
kandungan karbohidrat sebagai sumber karbon dengan protein sebagai sumber
nitrogen menentukkan pembentukan konidia jamur (Cliquet and Jackson, 1999).
Menurut Bilgrami dan Verma (1981) menyatakan bahwa karbohidrat yang
berkonsentrasi tinggi mampu mendorong pembentukan vegetatif jamur,
Berdasarkan hasil perlakuan pada media beras isolat Wirowongso
diketahui bahwa jumlah spora yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan
perlakuan isolat yang berasal dari Mumbulsari, hal ini disebabkan karena produksi
spora yang dihasilkan pada saat di media SDA yeast lebih banyak isolat
Wirowongso sehingga berpengaruh pada media perbanyakan. Hasil tersebut
menunjukan bahwa P. fumosoroseus membentuk spora yang lebih banyak pada
media beras yang mengandung karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan
jagung dan beras jagung.
Jumlah spora hasil perbanyakan pada ketiga jenis media tersebut dapat
dikatakan cukup baik, karena menurut Jackson (2003) jumlah spora jamur hasil

18

suatu perbanyakan yang layak digunakan untuk suatu pengujian ialah berkisar
antara 106-108 spora per gram media.
4.2.2 Perkecambahan konidia P. fumosoroseus
Perkecambahan konidia P. fumosoroseus diawali dengan terjadinya
pembengkakan konidia. Setelah periode pembengkakan, terjadi penonjolan pada
dinding konidia yang merupakan bakal tabung kecambah. Tabung kecambah
kemudian terbentuk dan memanjang membentuk hifa kecambah. Perkecambahan
konidia tunggal P. fumosoroseus (Gambar 8).
Perbedaan hasil persentase konidia yang berkecambah dapat disebabkan
oleh perbedaan perbandingaan bahan nutrisi dalam ketiga media yang digunakan.
Bahan nutrisi media disintesis oleh jamur untuk membentuk organel sel spora, dan
sebagian disimpan sebagai cadangan makanan. Selain itu, menurut Garraway dan
Evans dalam Kus Hardono (1996), protein media yang diserap dalam bentuk asam
amino digunakan untuk menyusun beberapa enzim dalam spora yang berperan
dalam aktivitas perkecambahan.

19

Gambar 8. Perkecambahan konidia tunggal


P. fumosoroseus.
(a) Satu konidia P. fumosoroseus pada awal inokulasi; (b) pembentukan
bakal tabung kecambah pada 6 jam setelah inokulasi; (c) hifa
kecambah 12 jam setelah inokulasi; (d) hifa kecambah setelah 18 jam
inokulasi ( pembesaran 1000 x )
Penggunaan karbohidrat dalam perkecambahan spora dilakukan bersamasama dengan penggunaan lipida endogenus (Bilgrami dan Verma, 1981).
Karbohidrat dan lipida endogenus digunakan untuk mendapatkan energi dalam
perkecambahan spora.

20

4.2.2 Patogenesitas P. fumosoroseus


Pengamatan pada uji patogenisitas menunjukkan bahwa nimfa B. tabaci
yang terinfeksi P. fumosoroseus dicirikan dengan timbulnya gejala tubuh kering,
dari tubuh keluar bentukan-bentukan panjang berwarna putih, dan selanjutnya
tubuh hama diselimuti lapisan jamur berwarna putih (Gambar 9).

c
Gambar 9. Patogenesitas P. fumosoroseus pada B. tabaci
(a) Awal inokulasi; (b) satu hari setelah inokulasi; (c) 5 hari setelah
inokulasi.

21

Tanda-tanda terjadinya infeksi pada inang dapat diperlihatkan dengan


adanya kelainan pada morfologi dan struktur tubuh serangga, perubahan warna,
malformasi integumen, dll. Inang yang terinfeksi menunjukkan adanya gerakan
yang abnormal, kurang peka terhadap rangsangan, gangguan pencernaan, dll.
(Tannada dan Kaya, 1993).
Menurut Widayat, dkk (1996), serangga jamur P.

fumosoroseus

menunjukkan gejala gerak yang lamban, aktifitas makan berkurang dan akhirnya
tidak mau makan, kemudian mati. Tubuhnya mengeras dan pada kondisi lembab
permukaan tubuh serangga akan diselimuti oleh pertumbuhan jamur berwarna
putih dan tampak seperti bertepung yaitu kenampakan dan massa konidia yang
terbentuk.
Pada waktu melakukan penetrasi dan menembus integumen, cendawan
membentuk tabung kecambah (appresorium). Pada tahap ini, proses tersebut
sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen dengan titik penetrasi
kecambah cendawan. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan
mengeluarkan enzim dan toksin. Beberapa jenis cendawan entomopatogen
mempunyai kurang lebih lima jenis enzim, yaitu khitinase, amilase, proteinase,
pospatase, dan esterase, destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya
blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa
sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Tanada dan Kaya, 1993).
Pada uji patogenesitas ketiga media tidak berpengaruh terhadap
moratalitas serangga, karena jumlah kerapatan sporanya berkisar 10 6-107. Menurut
Jackson (2003) salah satu yang mempengaruhi mortalitas adalah kerapatan spora
jumlah spora jamur hasil suatu perbanyakan yang layak digunakan untuk suatu
pengujian ialah berkisar antara 106-108 spora per gram media.

22

Anda mungkin juga menyukai