Anda di halaman 1dari 2

Dialektika...

Karir Engineer di Negara Berkembang


Berumur Pendek?
Ir. Rony Ardiansyah, MT, IP-U.
Pengamat Perkotaan dan Dosen Magister Teknik Sipil UIR
Profesi seorang engineer, baik dalam dunia teknik sipil, struktur bangunan ataupun
geoteknik, mengalami banyak sekali permasalahan dan hambatan (Worsak, 2000; Xhiang A.,
2003). Diantaranya; produk seorang engineer sangat unik. Sangat sukar untuk membandingkan
karya dua orang engineer secara adil dan objektif. Namun, seringkali pekerjaan atau proyek
didapat melalui koneksi. Seorang engineer yang dapat bersikap manis dan menyenangkan
mendapatkan kesempatan dan proyek yang lebih banyak daripada engineer yang bersikap tegas
dan objektif.
Faktor keamanan yang tinggi dan penerapan peraturan-peraturan konstruksi (code)
membantu memyembunyikan engineer yang berkemampuan kurang. Teori/teknik canggih dan
terbaru sangat jarang diterapkan dalam praktek. Peraturan (code of practice), keterbatasan waktu
dan peralatan canggih mematikakan kreativitas, seringkali engineer menjadi operator yang
hanya mengulang apa yang sudah pernah ada dan sudah pernah dikerjakan.
Banyak engineer, terpaksa atau tidak, menjadi-yes-man yang melakukan segala
permintaan para investor/pemilik proyek. Seringkali engineer hanya menjadi alat sang
investor/pemilik proyek, (dengan terpaksa atau tidak) merencanakan dan membangun proyek
yang sesungguhnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan tatanan kehidupan sosial.
Engineer tidak mampu mempresentasekan aspirasi dan pengetahuannya terhadap para investor.
Sebaliknya, sang Arsitek dan atau Pemilik modal jauh lebih mampu mempresentasekan aspirasi
kehendaknya, sekalipun hal itu diluar pengetahuannya, engineer bekerja, orang lain yang
mendapatkan pujian.
Karir seorang engineer di negara berkembang berumur pendek. Katanya: tidak ada yang
tidak dapat dikerjakan engineer kecuali tetap bekerja dalam bidang engineering! (Nothing under
the sun engineer can not do, except continuing to do engineering!). Pekerjaan lain lebih
menjanjikan, mengapa tidak?.
Diluar engineering, pengetahuan engineer sering kali sangat terbatas. Di era globalisasi
ini, pengetahuan akan engineering saja tidak cukup! Proses tender yang selalu mencari
penawaran terendah membawa dampak yang merusak Sistem tender yang menciptakan suasana
sangat kompetitif itu membuat engineer bergulat demi mempertahankan kelangsungan profesi
dan perusahaannya. Sang engineer tidak hanya membanting tulang, tetapi juga membanting
harga dan seringkali menjadi korban.

Pemilik perusahaan terpaksa menekan honor engineer. Pada gilirannya suasana ini akan
mematikan kreativitas dan Etika sang engineer. Atau paling tidak, memaksa sebahagian besar
engineer meninggalkan dunia engineering.
Singkatnya, kecuali kita selaku engineer bersedia berubah, mengubah sikap kita terhadap
permasalahan ini, maka pada akhirnya kita hanya menjadi komoditi dalam dunia konstruksi dan
tidak lagi sebagi engineer yang bernilai dan berkredibilitas tinggi apalagi sebagai Pilar
Pembangunan bangsa dan negara.
Dan, yang lebih meyedihkan, kata-kata sejenis ini terdengar dari mulut beberapa engineer
yang notabene cukup punya nama: Kalau aku tahu profesi ini akan seperti ini jatuhnya,
mendingan aku jualan bakmi saja dari dahulu. Aku sudah bilang sama anak-anak, jangan sekolah
teknik sipil, cari bidang lain saja. Nah loh....., kalau demikian bukankah nantinya Engineer akan
sulit dicari?. Bagus, dong. Dengan demikian harga engineer akan naik. Apa kita harus
menunggu hal seperti itu terjadi, untuk menaikkan nilai (value/harkat) seorang engineer?.
Dalam pembicaraan-pembicaraan sesama engineer seringkali terdengar kata-kata:
problem sudah kita ketahui, bagaimana seorang engineer ideal bersikap juga sudah kita ketahui.
Namun apa yang bisa kita lakukan ? Sistemnya memang sudah demikian! Semua hal
memerlukan dana, memasang tarif tertentu untuk menaikkan engineer fee? Percuma! Akan
dilanggar juga oleh sesama Engineer!
Tidak bisa dipungkiri, persoalan yang pada akhirnya terkait pada masalah uang, atau
meminjam istilah anak-anak muda sekarang: (UUD=Ujung-Ujungnya Duit), memang sangat
peka dan sulit. Namun, fakta juga tidak bisa dipungkiri, bahwa kita perlu dan memerlukan
perubahan. Tentu kearah yang lebih baik.
Nothing is constant, only the changs is constant! Tidak ada yang abadi, yang abadi
hanyalah perubahan, Dr. J. Spencer dalam bukunya Who Move My Cheese, menekankan
pentingnya mengantisipasi dan proaktif terhadap perubahan. Old beliefs do not lead you to new
chees, the quicker you let go of old chees, the sooner you find new chees. Dengan kata lain,
keyakinan lama tidak akan membawa kemajuan. Semakin cepat kita melepaskan keyakinan
lama, semakin cepat kita menuju hal-hal yang baru.***

Anda mungkin juga menyukai