Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu pemicu terjadinya berbagai masalah dalam gangguan jiwa
adalah dampak modernisasi. Tidak semua orang siap untuk menghadapi
perubahan dan kemajuan teknologi baru. Gangguan jiwa merupakan bentuk
gangguan dalam fungsi alam pikiran dapat berupa disorganisasi (kekacauan)
isi pikiran, yang ditandai oleh adanya gejala gangguan pemahaman (delusi
waham), dan gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai
gangguan terhadap daya nilai realitas berupa perilaku aneh (bizzare).
Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun akan
menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban
bagi keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya (Agus, 2005).
Data statistik yang dikemukakan oleh World Health Organization
(WHO), pada Tahun 1990 menyebutkan bahwa setiap saat 1% penduduk di
dunia berada dalam keadaan membutuhkan pertolongan dan pengobatan
untuk suatu gangguan jiwa. Sementara 10% dari penduduk memerlukan
pertolongan medis pada suatu waktu dalam hidupnya (Hawari, 2007).
Menurut Arif (2006), salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di
seluruh dunia adalah gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia, tak terkecuali di
Indonesia.

Skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan jiwa yang menunjukkan


beberapa gejala psikotik. Pasien psikotik tidak dapat mengenali atau tidak
memiliki kontak dengan realitas (Arif, 2006). Menurut Kirkpatrick & Tek
(2005), skizofrenia dapat digolongkan ke dalam tiga dimensi, yaitu gejala
positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi halusinasi,
waham, gaduh gelisah, perilaku aneh, dan sikap bermusuhan. Gejala negatif
meliputi efek tumpul atau datar, menarik diri, berkurangnya motivasi, miskin
kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif dan apatis. Gejala
disorganisasi meliputi disorganisasi pembicaraan, disorganisasi perilaku, serta
gangguan dalam pemusatan perhatian dan pengolahan informasi.
Menurut Depkes RI (2000b), berdasarkan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III di Indonesia bahwa setiap gangguan
diberikan suatu deskripsi dan gambaran klinis utama, skizofrenia digolongkan
pada kategori F20. seperti : Skizofrenia paranoid (F20.0), Skizofrenia
hebefrenik (F20.1), Skizofrenia katatonik (F20.2), Skizofrenia tak terinci
(F20.3), Skizofrenia residual (F20.5), Skizofrenia simplek (F20.6) dan
Skizofrenia YTT (Yang tidak tergolongkan) (F20.9).
Berdasarkan riset kesehatan dasar Indonesia pada Tahun 2007
didapatkan prevalensi skizofrenia adalah 0.46% dari seluruh penduduk
Indonesia. Ditemukan sebanyak 7 provinsi mempunyai prevalensi di atas
prevalensi nasional, yaitu DKI Jakarta (2,03%), Nanggroe Aceh Darussalam
(1,85%), Sumatera Barat (1,67%), Nusa Tenggara Barat (0,99%), Sumatera

Selatan (0,92%), Bangka Belitung (0,87%), Kepulauan Riau (0,74%)


(Depkes RI, 2007).
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Prov. Kep. Babel) termasuk 7
provinsi terbanyak penyakit skizofrenia di indonesia. Upaya yang dilakukan
untuk mengatasi masalah ini, Prov. Kep. Babel memiliki rumah sakit khusus
yang menangani penyakit gangguan kejiwaan yakni RSJ Prov. Kep. Babel.
RSJ Prov. Kep. Babel merupakan satu-satunya RSJ yang ada di Prov. Kep.
Babel sehingga dijadikan rumah sakit rujukan untuk pasien gangguan
kejiwaan dari berbagai kabupaten. RSJ Prov. Kep. Babel mempunyai
pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Pelayanan rawat inap merupakan
pelayanan kesehatan yang menerima pasien menginap di rumah sakit
sehingga pengobatan dan perawatan pasien dapat terkontrol (RSJ Prov. Kep.
Babel, 2013).
Menurut profil RSJ Prov. Kep. Babel (2013), kasus skizofrenia di
Instalasi Rawat Inap RSJ Prov. Kep. Babel pada Tahun 2013 sebanyak 1161
kasus. Data dapat dilihat secara rinci pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Deskripsi Jumlah Kasus Penyakit Skizofrenia di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Tahun 2013.
No.
1
2
3
4
5

Diagnosis Skizofrenia
S. Paranoid
S. Hebefrenik
S. Residual
S. Katatonik
S. Yang Tak Tergolongkan
Jumlah Total
Sumber : RSJ Prov. Kep. Babel (2013)

Kode
F 20.0
F 20.1
F 20.5
F 20.2
F 20.9

Jumlah Kasus Tahun 2013


924
188
27
12
10
1161

Jumlah kasus skizofrenia di Instalasi Rawat Inap RSJ Prov. Kep. Babel
yang banyak, menyebabkan peneliti melakukan pengambilan data jumlah
pasien yang dirawat inap pada Tahun 2013 dengan diagnosis skizofrenia.
Data dapat dilihat secara rinci pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Deskripsi Jumlah Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Berdasarkan Data
Rekam Medik Tahun 2013.
Jumla
h

Diagnosis

Bulan
F 20.0
28
23
23
26
25
22
26
25
20
23
20
27

F 20.1
F 20.5
Januari
3
Februari
3
Maret
4
3
April
2
Mei
4
1
Juni
6
Juli
2
Agustus
4
September
3
Oktober
2
November
2
Desember
3
Jumlah Total
Sumber : Data Primer yang telah diolah

F 20.2
1
1
-

F 20.9
1
-

31
26
30
28
30
30
28
29
23
26
22
30
333

Berdasarkan Tabel 1.1 dan 1.2 jumlah pasien skizofrenia Tahun 2013
sebanyak 333 pasien, sedangkan jumlah kasus skizofrenia di instalasi rawat
inap sebesar 1161 kasus. Hal ini dikarenakan seorang pasien dapat menerima
beberapa kasus, sehingga mengindikasikan bahwa pasien sering mengalami
kekambuhan. Menurut Andri (2008), kekambuhan atau relaps merupakan
keadaan pasien dengan gejala yang sama seperti sebelumnya dan
mengakibatkan pasien harus dirawat kembali.

Menurut Lehman, dkk (2004), Penanganan skizofrenia menggunakan 2


terapi yaitu terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi.

Terapi

nonfarmakologi merupakan terapi tanpa menggunakan obat-obatan dalam


proses perawatan. Terapi nonfarmakologi meliputi terapi psikososial, terapi
psikoreligius, terapi fisik berupa olahraga dan berbagai kegiatan seperti
kursus atau les. Terapi farmakologi merupakan terapi yang menggunakan
obat-obatan dalam proses perawatan. Obat yang digunakan adalah obat
golongan psikotropik yaitu antipsikotik.
Psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada sistem saraf
pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku (Maslim, 2001). Menurut Ganiswarna (2007), psikotropik dapat
dibedakan menjadi 4 golongan yaitu golongan antipsikotik, antianxietas,
antidepresi, dan antimania.
Antipsikotik memiliki indikasi mengurangi delusi, halusinasi, dan
gangguan proses isi pikiran. Hal ini menyebabkan golongan antipsikotik
direkomendasikan untuk menangani pasien skizofrenia. Obat yang sering
digunakan adalah klorpromazin, haloperidol, trifluperazin, risperidon,
olanzepin dan klozapin (Maslim, 2001).
Antianxietas disebut juga obat penenang karena memiliki efek
mengendurkan otot-otot, mengurangi ketegangan, membantu tidur dan
mengurangi kecemasan. Obat yang sering digunakan adalah diazepam,
lorazepam, clobazam, alprazolam dan sulpirid (Maslim, 2001).

Antidepresi ditujukan kepada penderita depresi dan mencegah


kekambuhan depresi. Umumnya obat yang digunakan adalah golongan
trisiklik karena lebih aman dan efektif dalam pengobatan penyakit depresif
akut dan jangka panjang. Golongan trisiklik misalnya imipramin, amitriptilin,
dothiepin dan lofepramin (Maslim, 2001).
Antimania digunakan untuk mengendalikan kecenderungan patologis
untuk suatu aktivitas tertentu yang tidak dapat dikendalikan. Obat yang
menjadi acuan adalah litium karbonat (Maslim, 2001).
Menurut Niken (2009), salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
dalam pengobatan skizofrenia adalah gambaran penggunaan obat. Gambaran
penggunaan obat adalah gambaran peresepan obat meliputi pemilihan jenis
dan golongan obat, jumlah yang diberikan, cara pemberian obat dan variasi
lama perawatan. Hasil penelitian Djuria (2006), menunjukkan bahwa obat
golongan antipsikotik adalah obat yang sering digunakan untuk mengobati
pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta
Tahun 2006, dari 424 pasien 100% obat yang digunakan untuk mengobati
pasien skizofrenia adalah antipsikotik.
Penelitian mengenai gambaran penggunaan obat antipsikotik di
Instalasi Rawat Inap RSJ Prov. Kep. Babel belum pernah dilakukan
sebelumnya. Penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah pola penggunaan
obat skizofrenia paranoid di Instalasi Rawat Jalan RSJ Prov. Kep. Babel
Tahun 2012 yang menunjukkan bahwa penggunaan antipsikotik sebesar
94,69% dan antianxietas 5,31% (Aditya,2013).

Berdasarkan latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan penelitian


dengan judul Gambaran Penggunaan Obat Antipsikotik Pada Pasien
Skizofrenia Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung Tahun 2013.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka rumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Penggunaan Obat
Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013 ? .
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran penggunaan obat antipsikotik pada pasien
skizofrenia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013.


2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui nama obat antipsikotik yang digunakan pada setiap tipe
skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013.
b. Mengetahui dosis obat antipsikotik yang digunakan pada setiap tipe
skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013.

c. Mengetahui golongan obat antipsikotik yang digunakan pada setiap


tipe skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013.
d. Mengetahui kombinasi obat antipsikotik yang digunakan pada setiap
tipe skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013.
e. Mengetahui frekuensi penggunaan obat antipsikotik yang digunakan
pada setiap tipe skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
1.

Bagi Peneliti
Sebagai sarana untuk melatih diri peneliti dalam melakukan penelitian
dan menambah wawasan mengenai pengobatan skizofrenia.

2. Bagi Poltekkes Kemenkes RI Pangkalpinang


Menjadi bahan referensi dalam sarana kepustakaan dan menambah
informasi mahasiswa untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut
mengenai pengobatan skizofrenia.
3. Bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Memberikan informasi dan sumbangan pemikiran mengenai penggunaan
obat antipsikotik pada pasien skizofrenia, sehingga bisa dijadikan sebagai
bahan acuan untuk pelaksanaan manajemen kefarmasian, terutama
perencanaan dan pengadaan obat.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini adalah gambaran penggunaan obat antipsikotik pada
pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap RSJ Prov. Kep. Babel Tahun 2013.
Penelitian mengenai gambaran penggunaan obat antipsikotik di instalasi
rawat inap RSJ Prov. Kep. Babel belum pernah dilakukan sebelumnya.
Penelitian ini dilaksanakan di RSJ Prov. Kep. Babel pada Februari - Agustus
Tahun 2014 dengan menggunakan metode observasional dengan jenis
deskriptif pendekatan kuantitatif secara retrospektif yaitu melakukan
observasi dengan melihat kejadian di masa lalu dan menggambarkan hasil
berupa angka tanpa menarik suatu kesimpulan.
Penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu : nama, dosis,
golongan, kombinasi dan frekuensi penggunaan obat. Populasi penelitian
adalah seluruh data rekam medik penderita skizofrenia di RSJ Prov. Kep.
Babel pada Tahun 2013 yang berjumlah 333 pasien.

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia
1.

Definisi
Secara harfiah istilah skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, yaitu
shizo (perpecahan/split) dan pheros (pikiran). Kata ini dipakai untuk
menggambarkan buruknya hubungan atau terpecahnya proses berpikir
penderita dengan fungsi lain dari pikiran seperti emosi dan perilaku
(World Federation for Mental Health, 2008).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau
kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan antara pikiran, emosi
dan perilaku pasien yang terkena (Kaplan & Sadock, 2004). Menurut
Stuart (2006), skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten serius
yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan
dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan
masalah.

2.

Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat
dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup
secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai
hampir 1% populasi dewasa dan biasanya terjadi pada usia remaja akhir
atau awal masa dewasa (Kaplan & Sadock, 2004).

10

11

Menurut Sinaga (2007), penyebaran skizofrenia dapat timbul


karena faktor psikososial dan lingkungan. Seseorang yang rentan jika
dikenai stressor akan lebih mudah untuk menjadi skizofrenia.
Lingkungan emosional yang tidak stabil mempunyai risiko yang besar
pada perkembangan skizofrenia. Stressor sosial juga mempengaruhi
perkembangan suatu skizofrenia. Diskriminasi pada komunitas minoritas
mempunyai angka kejadian skizofrenia yang tinggi.
3.

Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia, antara lain :
a. Faktor Keturunan
Menurut Maramis (2004), faktor keturunan juga menentukan
terjadinya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian
tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anakanak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,80,9%, bagi saudara kandung 7-15%, bagi anak dengan salah satu
orang tua menderita skizofrenia 7-16%, jika kedua orang tua
menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua telur (heterozigot)
2-15%, kembar satu telur (monozigot) 61-86%.
Menurut Durand dan Berlow (2007), skizofrenia melibatkan
lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait
loci. Skizofrenia yang paling sering dilihat mungkin disebabkan oleh
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di
seluruh kromosom. Hal ini juga mengklarifikasikan mengapa ada

12

gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami


gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk
mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya
jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.
b. Faktor Psikososial
Sirait (2008), menyebutkan ada 3 teori yang berhubungan
dengan faktor psikososial yakni sebagai berikut :
1) Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa
kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di
tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan
kurangnya identitas diri. Salah interpretasi terhadap realitas dan
menarik diri dari hubungan sosial pada penderita skizofrenia.
2) Teori Belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang
menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir
irasional orang tua yang mungkin memiliki masalah emosional
yang bermakna. Hubungan interpersonal yang buruk dari
penderita skizofrenia akan berkembang karena mempelajari
model yang buruk selama anak-anak.

13

3) Teori Keluarga
Tidak ada teori yang terkait dengan peran keluarga dalam
menimbulkan

skizofrenia.

Namun,

beberapa

penderita

skizofrenia berasal dari keluarga yang disfungsional.


4.

Patofisiologi
Skizofrenia diakibatkan dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia diakibatkan dari aktivitas neurotransmitter dopamine
yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan
sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup
untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan
norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand & Berlow,
2007).
Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya neurotransmiter
lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamat dan GABA. Selain
perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian menggunakan
CT-Scan (computerized tomography scanner) ternyata ditemukan
perubahan anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi koteks
atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama pada penderita kronis
skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2004).

14

5.

Manifestasi Klinis
Menurut Hawari (2007), terdapat dua gejala pada penderita
skizofrenia yakni gejala positif dan negatif.
a. Gejala positif :
1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
Meskipun

telah

dibuktikan

secara

obyektif

bahwa

keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap


meyakini kebenarannya.
2) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada
rangsangan. Misalnya penderita mendengar bisikan - bisikan di
telinganya padahal tidak ada sumber dari bisikan itu.
3) Kekacauan

alam

pikir,

yang

dapat

dilihat

dari

isi

pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak


dapat diikuti alur pikirannya.
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif,
bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.
5) Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu, serba
hebat dan sejenisnya.
6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada
ancaman terhadap dirinya.
7) Menyimpan rasa permusuhan.

15

b. Gejala negatif :
1) Alam perasaan tumpul dan mendatar. Gambaran alam
perasaan

ini

dapat

terlihat

dari

wajahnya

yang

tidak

menunjukkan ekspresi.
2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain dan suka melamun.
3) Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara dan
pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berpikir abstrak.
6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif
serba malas.
6.

Diagnosis
Arif (2006), menyebutkan saat ini belum terdapat uji laboratorium
dan fisik yang dapat secara pasti mendiagnosis skizofrenia. Diagnosis
skizofrenia dilakukan secara klinis dengan anamnesis gejala.
Menurut Lauriello & Keith (2005), diagnosis juga dapat ditegakkan
jika terdapat minimal dua gejala yang harus selalu ada secara jelas, yaitu:
a.

Halusinasi yang menetap dari panca indera, dapat diikuti oleh


waham atau ide-ide berlebihan yang menetap terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

b.

Arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan, yang berakibat


inkoherensi atau bicara tidak relevan.

16

c.

Perilaku katatonik, seperti gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu, atau


fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

d.

Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara jarang, dan respons


emosional tumpul atau tidak wajar, sehingga mengakibatkan menarik
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial.

7.

Tipe-tipe / Klasifikasi
Menurut Depkes RI (2000b), berdasarkan Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III di Indonesia bahwa setiap
gangguan diberikan suatu deskripsi dan gambaran klinis utama,
skizofrenia digolongkan pada kategori F20. Menurut First & Tasman
(2004), skizofrenia terbagi atas subtipe secara klinik, berdasarkan
kumpulan simptom yang paling menonjol yakni skizofrenia paranoid
(F20.0), skizofrenia hebefrenik (F20.1), skizofrenia katatonik (F20.2),
skizofrenia tak terinci (F20.3), depresi paska-skizofrenia (F20.4),
skizofrenia residual (F20.5), skizofrenia simplek (F20.6), skizofrenia
lainnya (F20.8), dan skizofrenia yang tidak tergolongkan / YTT (F20.9).
Skizofrenia paranoid (F20.0) memiliki kriteria diagnosis umum,
dan memiliki diagnosis tambahan seperti : halusinasi suara berupa
ancaman, perintah, bunyi peluit, dengung, atau tawa; halusinasi
pembauan atau pengecapan rasa, atau perasaan tubuh; dan waham
dikendalikan, dipengaruhi, dan keyakinan dikejar-kejar terlihat lebih
jelas. Skizofrenia hebefrenik (F20.1) memiliki kriteria diagnosis umum,
dan kriteria khas, untuk meyakinkannya dibutuhkan pengamatan selama
2-3 bulan. Karakteristik gejala yang bertahan adalah perilaku tidak

17

bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan; menyendiri; hampa


tujuan dan perasaan; afek dangkal dan tidak wajar disertai cekikikan;
serta perasaan puas diri. Proses berpikir mengalami disorganisasi dan
bicara tidak menentu.
Skizofrenia katatonik (F20.2) memiliki kriteria diagnosis umum,
dan kriteria diagnosis khas subkategori ini, adalah stupor (berkurangnya
respon terhadap lingkungan) dan mutisme (tidak berbicara); gaduh
gelisah, mempertahankan posisi tubuh tertentu, negativisme, rigiditas,
fleksibilitas, serta pengulangan kata-kata dan kalimat. Gejala katatonik
dapat dicetuskan oleh penyakit lain seperti penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan.
Skizofrenia tak terinci / undifferentiated (F20.3) memiliki
gangguan skizofrenia dengan gejala tidak khas yang tidak dapat
digolongkan pada subkategori lain. Depresi paska-skizofrenia (F20.4)
adalah diagnosis ditegakkan jika gangguan skizofrenia secara umum
sudah mencapai 12 bulan. Gejala masih ada tetapi tidak mendominasi
gambaran kliniknya. Gejala depresif lebih menonjol dan mengganggu,
menetap minimum 2 minggu. Pada kondisi tidak terdapat gangguan
skizofrenia akan menjadi Episode Depresif (F32.-), sedangkan jika masih
terdapat gangguan skizofrenia maka diagnosis tetap salah satu dari
subkategori F20.0 sampai F20.3.

18

Skizofrenia residual (F20.5) suatu stadium skizofrenia yang kronik


dengan perkembangan prograsif dari stadium awal ke stadium lanjut.
Pada subkategori ini, gejala negatif skizofrenia lebih dominan; adanya
riwayat satu episode psikotik skizofrenia yang jelas di masa lampau;
penurunan intensitas dan frekuensi gejala seperti waham dan halusinasi
serta timbul sindrom negatif.
Skizofrenia simplek (F20.6) pada subkategori ini, terjadi
perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari gejala negatif
yang khas pada F20.5, tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau
gejala psikotik. Perubahan perilaku pribadi yang bermakna, dengan
manifestasi sebagai kehilangan minat, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial.
Skizofrenia lainnya (F20.8) Ciri-ciri utama adalah tidak ada gejala
akut terjadi di masa lalu. Gejala-gejala negatif dapat timbul, seperti
isolasi sosial, menarik diri dan gangguan fungsi peran.
8.

Terapi Pengobatan
Menurut Lehman, dkk (2004), pengobatan skizofrenia tergantung
pada fase timbulnya gejala. Penyebab timbulnya gejala belum diketahui
dengan pasti maka tujuan umum pengobatan adalah untuk mengurangi
keparahan dan mengendalikannya. Pengendalian gejala memungkinkan
penderita hidup normal dan aktif dalam kegiatan sehari-hari di tengah
masyarakat. Pengobatan terhadap gejala skizofrenia dapat dilaksanakan
dengan terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi.

19

a. Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi merupakan terapi perawatan tanpa
menggunakan obat-obatan, seperti:
1) Terapi Psikososial
Menurut Surilena (2005), terapi psikososial merupakan
terapi perawatan untuk membantu penderita mengatasi penyakit
sehingga menjadi lebih mandiri, serta lebih teratur dalam
menjalani pengobatan dan dapat menghindari kekambuhan.
Tujuan dari terapi psikososial adalah membantu penderita dalam
melakukan penyesuaian dengan kehidupan di dalam masyarakat,
meningkatkan

hubungan,

dan

mengambil

bagian

dalam

kesembuhannya. Beberapa macam metode psikososial yang


dapat dilakukan, yaitu :
a) Psikoterapi individual.
b) Psikoterapi kelompok.
c) Psikoterapi keluarga.
d) Manajemen kasus.
2) Terapi Psikoreligius
Menurut Sinaga (2007), terapi keagamaan terhadap
penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat misalnya,
gejala-gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat
hilang. Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa
kegiatan

ritual

keagamaan

seperti

sembahyang,

berdoa,

20

memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan


dan kajian kitab suci.
3) Terapi fisik berupa olahraga.
4) Berbagai kegiatan seperti kursus atau les.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi merupakan terapi yang menggunakan obatobatan dalam proses perawatan. Menurut Niken (2009), salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan dalam pengobatan skizofrenia
adalah gambaran penggunaan obat. Gambaran penggunaan obat
adalah gambaran peresepan obat meliputi pemilihan jenis dan
golongan obat, jumlah yang diberikan, cara pemberian obat dan
variasi lama perawatan.
Menurut Maslim (2001), obat yang digunakan untuk pasien
skizofrenia adalah obat golongan antipsikotik karena memiliki
indikasi mengurangi delusi, halusinasi, dan gangguan proses isi
pikiran.Antipsikotik dikenal sebagai neuroleptik dan juga sebagai
transquilizer mayor. Obat antipsikotik pada umumnya membuat
tenang dengan mengganggu kesadaran dan tanpa menyebabkan
eksitasi paradoksikal (Depkes RI, 2000a). Antipsikotik dapat
diberikan pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan
jiwa yang berat. Menurut Gunawan (2007), ciri terpenting obat
antipsikotik yaitu:

21

1) Berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas


emosional pada pasien psikotik.
2) Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun
anesthesia.
3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau
ireversibel.
4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan
fisik dan psikis.
Lehman, dkk (2004), menyebutkan golongan obat antipsikotik
ada 2 macam yaitu: golongan antipsikotik tipikal dan golongan
antipsikotik atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan generasi lama
yang bekerja memblok reseptor D2 mempunyai efek samping gejala
ekstrapirimidal (GEP) yang besar dan efektif mengatasi gejala
positif. Antipsikotik atipikal merupakan generasi lebih baru Tahun
1990-an yang bekerja memblok reseptor 5-HT2 mempunyai efek
samping GEP lebih kecil dan efektif untuk mengatasi gejala baik
positif maupun negatif.
Menurut Katzung (1998), obat antipsikotik tipikal seperti
klorpromazin

dan

thioridazine

bekerja

menghambat

adrenoreseptor lebih kuat dari reseptor D 2. Kedua obat ini juga


menghambat reseptor serotonin 5-HT2 dengan kuat. Namun, afinitas
untuk reseptor D1 seperti diukur dengan penggeseran ligan D1 yang
selektif, relatif lemah, sedangkan perphenazine bekerja terutama

22

pada reseptor D2, efek pada reseptor 5-HT2 dan 1 ada tetapi pada
reseptor D1 dapat dikesampingkan.
Menurut Tjay dan Rahardja (2007), obat antipsikotik atipikal
seperti klozapin bekerja dengan menghambat reseptor-D2 agak
ringan (20%) dibandingkan obat-obat generasi lama (60-75%).
Namun, efek antipsikotiknya kuat, yang bisa dianggap paradoksal.
Afinitasnya

pada

reseptor

lain

dengan

efek

antihistamin,

antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah relatif tinggi.


Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat
dari reseptor -D2, -D4, dan -5HT2.
Blokade reseptor-muskarin dan -D4 diduga mengurangi GEP,
sedangkan blokade 5HT2 meningkatkan sintesa dan pelepasan
dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian blokade D 2, tetapi
mengurangi risiko GEP. Risperidon bekerja dengan menghambat
reseptor -D2 dan -5HT2, dengan perbandingan afinitas 1:10, juga dari
reseptor -1,-2, dan

-H1. Blokade 1 dan 2 dapat menimbulkan

masing-masing hipotensi dan depresi sedangkan blokade H1


berkaitan dengan sedasi. Olanzapine bekerja menghambat semua
reseptor dopamine (D1 s/d D5) dan reseptor H1, -5HT2, adrenergis dan
kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk reseptor 5-HT2
dibandingkan D2 (Tjay dan Rahardja, 2007).
Menurut Tjay dan Rahardja (2007), penggunaan antipsikotik
dapat menimbulkan efek samping, sebagai berikut:

23

1) GEP dapat berbentuk antara lain:


a) Parkinsonisme (gejala penyakit parkinsonisme) yakni
hipokinesia (daya gerak berkurang, berjalan langkah demi
langkah) dan kekakuan anggota tubuh, kadang-kadang
tremor tangan dan keluar liur berlebihan.
b) Akathisia yaitu selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk
diam tanpa mengerakkan kaki, tangan atau tubuh.
c) Dyskinesia tarda yaitu gerakan abnormal tidak sengaja,
khususnya otot-otot muka dan mulut yang dapat menjadi
permanen.
d) Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan
otot dan GEP.
2) Sedasi yaitu efek mengantuk.
3) Efek antikolinergis yang bercirikan mulut kering, penglihatan
buram, obstipasi, retensi kemih, terutama pada lansia.
4) Gejala penarikan, jika penggunaannya dihentikan mendadak
dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia
dan rasa takut.
Selain itu, Mansjoer, dkk (1999), juga menjelaskan efek
samping yang irreversibel seperti tardive dyskinesia (gerak, tidur
akan berulang involunter pada lidah, wajah, mulut/rangka, dan
anggota gerak, pada waktu tidur gejala tersebut menghilang).
Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang dan pasien lanjut

24

usia. Obat antipsikosis harus dihentikan perlahan-lahan, pemberian


obat 2,5 mg/hari (dopamine depleting agent). Obat pengganti
antipsikosis yang paling baik adalah klozapin 50-100 mg/hari. Pada
pemakaian obat antipsikotik jangka panjang secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini perubahan
akibat efek samping obat.
Efek

samping

penggunaan

antipsikotik

juga

dapat

menyebabkan terjadi Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) yang


dapat mengancam kehidupan terutama pada pasien dengan kondisi
dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, SNM ditandai dengan
hiperpireksia, rigitas, inkontinensia urin, dan perubahan status
mental serta kesadaran (Mansjoer dkk, 1999).
Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat adalah gejala
psikosis yang dominan dan efek samping obat. Contoh klorpromazin
dan thioridazine yang efek samping sedatif kuat terutama digunakan
untuk sindrom psikosis dengan gejala dominan gaduh gelisah,
hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, perilaku, dan
lain-lain. Antipsikotik lain seperti trifluperezine, fluperidol dan
haloperidol yang memiliki efek sedatif lemah digunakan untuk
sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri,
perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham,
halusinasi, dan lain-lain (Mansjoer dkk, 1999).

25

Penggunaan obat dimulai dengan awal sesuai dengan dosis


anjuran. Peningkatan dosis setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis
efektif (mulai timbul peredaan gejala). Evaluasi dilakukan tiap dua
minggu dan jika perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis
optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilitas),
kemudian diturunkan setiap dua minggu, sampai mencapai dosis
pemeliharaan dan dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi
masa bebas obat 1-2 hari/minggu), selanjutnya tapering off, dosis
diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan (Mansjoer dkk, 1999).
B. Rumah Sakit
1.

Definisi
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan yang menyelenggarakan
pelayanan medik dasar, medik spesialistik, pelayanan penunjang medik,
pelayanan perawatan termasuk rawat jalan, rawat inap, dan pelayanan
kesehatan (Depkes RI, 2004). Menurut Siregar (2004), upaya kesehatan
diselenggarakan

dengan

pendekatan,

pemeliharaan,

peningkatan

kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan


penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Rumah sakit di Indonesia merupakan rujukan pelayanan kesehatan
untuk pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), terutama upaya
penyembuhan dan pemulihan. Hal ini dikarenakan rumah sakit
mempunyai fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang

26

bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi penderita. Selain itu,


pengertian tersebut menunjukkan bahwa pelayanan rumah sakit untuk
penderita rawat jalan dan rawat inap hanya bersifat spesialistik atau
subspesialistik, sedangkan pelayanan yang bersifat non spesialistik atau
pelayanan dasar harus dilakukan di puskesmas (Siregar, 2004).
2.

Tujuan, Tugas dan Fungsi


Menurut Agung (2003), tujuan rumah sakit ada 2 yaitu :
a. Tujuan umum adalah terwujudnya derajat kesehatan setiap pasien
yang dirawat di rumah sakit secara optimal dengan pelayanan
rumah sakit spesialistik yang terjangkau semua pihak.
b. Tujuan khusus :
1) Pelayanan medik spesialistik yang lengkap dan terjangkau.
2) Pelayanan rujukan spesialistik yang profesional.
3) Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, tepat sasaran, dan
penuh empati.
4) Penurunan angka kematian di rumah sakit
5) Kepuasan pasien.
6) Kesejahteraan semua karyawan rumah sakit.
Menurut Depkes RI (2002), tugas rumah sakit berdasarkan
Keputusan

Menteri

Kesehatan

RI

(Kepmenkes

RI)

Nomor:

159/B/MENKES/PER/II/1998 tentang Tugas Rumah Sakit adalah


melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya dan berhasil
guna, serasi, dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan, serta
pelaksanaan upaya rujukan. Selain itu, dalam Kepmenkes RI Nomor:

27

983/Menkes/SK/XI/1992, tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit


Umum, tugas rumah sakit adalah mengutamakan upaya penyembuhan
dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan
upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan
(Siregar, 2004).
Fungsi rumah sakit berdasarkan Kepmenkes RI Nomor:
164/B/Menkes/Per/II/1998 tentang Fungsi Rumah Sakit ada 2 yakni :
a) Fungsi profesional
1) Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medik.
2) Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan penunjang
medik.
3) Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi
medik.
4) Sebagai tempat pendidikan dan pelatihan tenaga medik.
5) Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang kesehatan.
b) Fungsi rujukan
Fungsi rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal
balik atas masalah yang timbul baik vertikal maupun horizontal. Ada
dua sistem rujukan yang digunakan, yaitu:

28

1) Rujukan medik untuk penyembuhan dan pemulihan penyakit,


misalnya dengan merujuk pasien dari puskesmas ke rumah sakit,
mengirim tenaga ahli, sampel darah, atau informasi.
2) Rujukan untuk peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
dengan bantuan sarana, teknologi, dan keterampilan, kegiatan
langsung melakukan survei epidemiologi.
3.

Klasifikasi
Menurut Depkes RI (2000a). klasifikasi rumah sakit berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor: 986/Menkes/Per/11/1992 tentang Klasifikasi
Rumah Sakit ada 4 yakni :
a. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas
oleh pemerintah. Rumah sakit ini telah ditetapkan sebagai tempat
pelayanan rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut juga
rumah sakit pusat.
b. Rumah Sakit Kelas B
Rumah sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan
subspesialis terbatas. Rumah sakit tipe B rencananya akan didirikan
di setiap ibukota propinsi (provincial hospital) yang menampung
pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit
pendidikan yang tidak termasuk tipe A juga diklasifikasikan sebagai
rumah sakit tipe B.

29

c. Rumah Sakit Kelas C


Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat
empat macam pelayanan spesialis yakni tersedianya pelayanan
penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak, serta
pelayanan kebidanan dan kandungan. Rumah sakit tipe C ini akan
didirikan di setiap kabupaten/kota (regency hospital) yang
menampung pelayanan rujukan dari puskesmas.
d. Rumah Sakit Kelas D
Rumah sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat akan
ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan
rumah sakit tipe D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran
umum dan kedokteran gigi. Sama halnya dengan rumah sakit tipe C,
rumah sakit tipe D juga menampung pelayanan yang berasal dari
puskesmas.
e. Rumah Sakit Kelas E
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus yang
menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja.
Pada saat ini banyak tipe E yang didirikan pemerintah, misalnya
rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit jantung, dan rumah
sakit ibu dan anak.

30

4.

Pelayanan
Menurut Nursalam (2001), pelayanan ada 2 yakni :
a. Pelayanan Rawat Inap
Pelayanan rawat inap merupakan salah satu unit pelayanan di
rumah sakit yang memberikan pelayanan secara komprehensif untuk
membantu menyelesaikan masalah yang dialami oleh pasien. Unit
rawat inap merupakan salah satu revenew center rumah sakit
sehingga tingkat kepuasan pelanggan atau pasien bisa dipakai
sebagai salah satu indikator mutu pelayanan.
b. Pelayanan Rawat Jalan
Pelayanan rawat jalan adalah satu bentuk dari pelayanan
kedokteran. Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan
rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan untuk
pasien tidak dalam bentuk rawat inap. Pelayanan rawat jalan ini
termasuk tidak hanya yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan
kesehatan yang telah lazim dikenal rumah sakit atau klinik, tetapi
juga yang diselenggarakan di rumah pasien serta di rumah
perawatan.
Bentuk pertama dari pelayanan rawat jalan adalah yang
diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan rumah sakit.
Jenis pelayanan rawat jalan di rumah sakit secara umum dapat
dibedakan atas 4 macam yaitu :
1) Pelayanan gawat darurat yaitu untuk menangani pasien yang
butuh pertolongan segera dan mendadak.

31

2) Pelayanan rawat jalan paripurna yaitu memberikan pelayanan


kesehatan paripurna sesuai dengan kebutuhan pasien.
3) Pelayanan rujukan yaitu hanya melayani pasien-pasien rujukan
oleh sarana kesehatan lain. Biasanya untuk diagnosis atau terapi,
sedangkan perawatan selanjutnya tetap ditangani oleh sarana
kesehatan yang merujuk.
4) Pelayanan bedah jalan yaitu memberikan pelayanan bedah yang
dipulangkan pada hari yang sama.
C. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (RSJ Prov. Kep.
Babel)
RSJ Prov. Kep. Babel adalah satu-satunya rumah sakit khusus yang
menangani gangguan jiwa di Prov. Kep. Babel. Struktur Organisasi RSJ Prov.
Kep.

Babel

dengan

dikeluarkannya

Kepmenkes

RI

Nomor:

135/Menkes/SK/IV/1979 ditetapkan sebagai RSJ kelas B yang mampu


memberikan pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis
terbatas (RSJ Prov. Kep. Babel, 2013).
Berdasarkan profil RSJ Prov. Kep. Babel, tugas dan fungsinya adalah
sebagai berikut :
1. Tugas : menyelenggarakan pelayanan pencegahan, penyembuhan,
pemulihan dan rehabilitasi kesehatan jiwa dan ketergantungan obat yang
dilaksanakan secara terpadu dan bermutu, sebagai tempat pengembangan
sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan bagi
tenaga kesehatan jiwa.

32

2. Fungsi :
a. Memberikan pelayanan pencegahan, penyuluhan, bimbingan dan
konseling kesehatan jiwa dan narkoba pada individu dan masyarakat.
b. Memberikan pelayanan penyembuhan dan rehabilitasi psikiatri pada
penderita anak remaja, dewasa dan usia lanjut.
c. Memberikan pelayanan penyembuhan dan rehabilitasi penderita
akibat narkoba.
d. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis.
e. Menyelenggarakan pelayanan asuhan keperawatan jiwa dan narkoba.
f. Menyelenggarakan pelayanan uji kecakapan dan kelayakan individu.
g. Melaksanakan sistem rujukan (referral).
h. Menyelenggarakan pengembangan SDM.
i. Melakukan penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa dan
narkoba.
j. Melaksanakan pengelolaan administrasi dan keuangan.

33

D. Kerangka Teori
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Rawat Inap

Rawat Jalan

Diagnosis

Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia Residual
Skizofrenia Disorganize
Skizofrenia Katatonik
Skizofrenia yang tak tergolongkan
Nonfarmakologi

Farmakologi

Penggunaan Obat
Keterangan :
Nama
Dosis

Yang diteliti
Yang tidak diteliti

golongan

Sumber : Arif (2006), Niken (2009)Kombinasi


dan Nursalam (2001)
Frekuensi Penggunaan Obat

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian tentang Gambaran Penggunaan Obat


Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013

34

E. Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka yang diperoleh selanjutnya disusun
kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Variabel Tunggal
Penggunaan Obat

Nama
Dosis
golongan
Kombinasi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian tentang Gambaran Penggunaan Obat


Frekuensi Penggunaan Obat
Antipsikotik Pada
Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013

35

F.

Definisi Operasional
Definisi operasional dari kerangka konsep tersebut dapat digambarkan

pada tabel berikut:


Tabel 2.1 Definisi Operasional Penelitian tentang Gambaran Penggunaan Obat
Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013

36

No.

Variabel

Definisi
Operasional

Cara
Ukur

Alat
Ukur

Hasil Ukur

Skala
Ukur

1. Klorpromazin
(CPZ)

1.

Nama obat

Nama obat
antipsikotik
yang
diberikan
kepada
pasien
skizofrenia

2. Haloperidol
(HLP)

3. Trifluperezine

Observasi

Check
(TFP)
list
4. Klozapin
(KZ)

Nominal

5. Risperidon
(RSP)

6. Olanzapin (OLZ)
1. Klorpromazin
300-1000 mg/hari

2. Haloperidol

2.

Dosis obat

Obat
antipsikotik
yang
diberikan
satu kali atau
selama
waktu
tertentu.

5-20 mg/hari

Observasi

3. Trifluperezine
Check
15-50 mg/hari
list
4. Klozapin
150-600 mg/hari

Nominal

5. Risperidon
2-6 mg/hari

6. Olanzapin 5-10
mg/hari
3.

Golongan
obat

Kelompokkelompok
obat
antipsikotik

4.

Kombinasi
obat

Gabungan
beberapa
obat
antipsikotik

Observasi

Check
list

5.

Frekuensi
penggunaan
obat

Jumlah
penggunaan
obat
antipsikotik

Observasi

Check 1. 1 kali sehari


2. 2 kali sehari
list
3. 3 kali sehari

Observasi

Check 1. Tipikal
list
2. Atipikal

Nominal

Nominal

1.
2.

2 kombinasi
3 kombinasi

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Nominal

37

A. Jenis
Penelitian menggunakan metode observasional dengan jenis deskriptif
pendekatan kuantitatif secara retrospektif.
B. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSJ Prov. Kep. Babel pada
Bulan Februari Agustus 2014.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data pasien skizofrenia
yang menerima pengobatan antipsikotik di Instalasi Rawat Inap RSJ Prov.
Kep. Babel pada Tahun 2013 yang berjumlah 333 pasien. Sampel penelitian
ini adalah seluruh populasi rekam medik. Teknik pengambilan sampel
dengan total sampling.
D. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
observasional. Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah berupa hasil dalam bentuk
formulir dan check list, sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah
kumpulan data yang sudah diolah oleh pihak rumah sakit seperti data rekam
medik dan profil rumah sakit.

E. Pengolahan dan Analisa Data


Pengolahan data dilakukan perhitungan persentase dengan rumus
36
jumlah pada tabel pengamatan dibagi
dengan jumlah sampel kemudian

38

dikalikan 100% dengan alat ukur formulir dan check list. Penelitian ini
menggunakan analisis univariat.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

39

A. Hasil
Penelitian ini dilakukan di RSJ Prov. Kep. Babel untuk melihat
gambaran penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi
rawat inap. Pada saat melakukan penelitian peneliti mendapatkan hal yang
baru yang tidak dicantumkan dalam tabel definisi operasional yakni dosis
antipsikotik yang berada di bawah dosis anjuran. Peneliti menggambarkan hal
tersebut dalam hasil agar mendapatkan tujuan penelitian yang diinginkan.
Penelitian ini dilakukan dengan cara menulis lembar formulir yang
bertujuan untuk mendapatkan variabel tunggal. Variabel tunggal meliputi :
nama, dosis, golongan, kombinasi, dan frekuensi penggunaan obat. Hasil dari
penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel yang menggambarkan setiap tipe
skizofrenia.

1. Nama Obat
Berdasarkan Tabel 4.1, nama obat antipsikotik yang paling banyak
digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah klorpromazin sebanyak 206
terapi (36,1%). Pada pengobatan skizofrenia hebefrenik, antipsikotik yang
paling banyak digunakan adalah risperidon sebanyak 21 terapi (31,4%). Pada
pengobatan skizofrenia katatonik, antipsikotik yang paling banyak digunakan
adalah trifluperazin dan risperidon sebanyak 2 terapi (50%). Pada pengobatan
skizofrenia residual, antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah
klorpromazin sebanyak 4 terapi (36,3%). Pada pengobatan skizofrenia YTT,

40

antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah klorpromazin dan


risperidon sebanyak 1 terapi (50%).
Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Nama Obat Antipsikotik Pada Setiap Tipe


Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013

Diagnosis

S. Paranoid

S. Hebefrenik

S. Katatonik

S. Residual

S. YTT

Nama

Jumlah

Persentase (%)

CPZ
HLP
TFP
KZ
RSP
OLZ
CPZ
HLP
TFP
KZ
RSP
OLZ
CPZ
HLP
TFP
KZ
RSP
OLZ
CPZ
HLP
TFP
KZ
RSP
OLZ
CPZ
HLP
TFP
KZ
RSP
OLZ

206
122
43
40
158
2
12
15
4
15
21
0
0
0
2
0
2
0
4
2
1
1
3
0
1
0
0
0
1
0
655

36,1
21,4
7,5
7
27,7
0,3
18
22,3
6
22,3
31,4
0
0
0
50
0
50
0
36,3
18,2
9,1
9,1
27,3
0
50
0
0
0
50
0

Total
Sumber : Data primer yang telah diolah

2. Dosis Obat

38

41

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Dosis Obat Antipsikotik Pada Setiap Tipe


Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013

Diagnosis

S. Paranoid

S. Hebefrenik

S. Katatonik

S. Residual

S. YTT

Dosis
CPZ 50 mg/hari
CPZ 100 mg/hari
CPZ 200 mg/hari
CPZ 300 mg/hari
HLP 1,5 mg/hari
HLP 3 mg/hari
HLP 4,5 mg/hari
HLP 5 mg/hari
HLP 7,5 mg/hari
HLP 10 mg/hari
HLP 15 mg/hari
TFP 5 mg/hari
TFP 10 mg/hari
TFP 15 mg/hari
KZ 12,5 mg/hari
KZ 25 mg/hari
KZ 100 mg/hari
RSP 2 mg/hari
RSP 4 mg/hari
RSP 6 mg/hari
OLZ 5 mg/hari
CPZ 50 mg/hari
CPZ 100 mg/hari
CPZ 200 mg/hari
HLP 1,5 mg/hari
HLP 3 mg/hari
HLP 4,5 mg/hari
HLP 7,5 mg/hari
HLP 10 mg/hari
TFP 5 mg/hari
TFP 10 mg/hari
KZ 12,5 mg/hari
KZ 25 mg/hari
KZ 100 mg/hari
RSP 2 mg/hari
RSP 3 mg/hari
RSP 4 mg/hari
RSP 6 mg/hari
TFP 5 mg/hari
TFP 15 mg/hari
RSP 2 mg/hari
RSP 4 mg/hari
CPZ 100 mg/hari
CPZ 300 mg/hari
HLP 10 mg/hari
HLP 15 mg/hari
TFP 15 mg/hari
KZ 25 mg/hari
RSP 2 mg/hari
CPZ 50 mg/hari
RSP 6 mg/hari
Total

Sumber : Data primer yang telah diolah

Jumlah
38
136
29
3
7
19
7
23
12
32
22
21
12
10
4
35
1
14
88
56
2
3
8
1
5
4
1
4
1
2
2
4
8
3
1
1
12
7
1
1
1
1
3
1
1
1
1
1
3
1
1

Total Jumlah

Persentase (%)

206

36,1

122

21,4

43

7,5

40

158

27,7

0,3

12

18

15

22,3

15

22,3

21

31,4

50

50

36,3

18,2

1
1
3
1
1
655

9,1
9,1
27,21
50
50

42

Berdasarkan Tabel 4.2, dosis obat antipsikotik yang paling banyak


digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah klorpromazin 50-300 mg/hari
sebanyak 206 terapi (36,1%). Pada pengobatan skizofrenia hebefrenik, dosis
obat antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah risperidon 2-6
mg/hari sebanyak 21 terapi (31,4%). Pada pengobatan skizofrenia katatonik,
dosis obat antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah trifluperazin 515 mg/hari dan risperidon 2-4 mg/hari sebanyak 2 terapi (50%). Pada
pengobatan skizofrenia residual, dosis obat antipsikotik yang paling banyak
digunakan adalah klorpromazin 100-300 mg/hari sebanyak 4 terapi (36,3%).
Pada pengobatan untuk skizofrenia YTT, dosis obat antipsikotik yang paling
banyak digunakan adalah klorpromazin 50 mg/hari dan risperidon 6 mg/hari
sebanyak 1 terapi (50%).
3. Golongan Obat
Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Golongan Obat Antipsikotik Pada Setiap


Tipe Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013
Golongan

Diagnosis

Tipikal
Jumlah
Persentase
S. Paranoid
371
65%
S. Hebefrenik
31
46,3%
S. Katatonik
2
50%
S. Residual
7
63,6%
S. YTT
1
50%
Total
412
Sumber : Data primer yang telah diolah

Jumlah
200
36
2
4
1
243

Atipikal
Persentase
35%
53,7%
50%
36,4%
50%

43

Berdasarkan Tabel 4.3, golongan obat antipsikotik yang paling banyak


digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah tipikal sebanyak 371 terapi
(65%). Pada pengobatan skizofrenia hebefrenik paling banyak menggunakan
golongan obat antipsikotik atipikal sebanyak 36 terapi (53,7%). Pada
pengobatan skizofrenia katatonik paling banyak menggunakan golongan obat
antipsikotik tipikal dan atipikal sebanyak 2 terapi (50%). Pada pengobatan
skizofrenia residual paling banyak menggunakan golongan obat antipsikotik
tipikal sebanyak 7 terapi (63,6%). Pada pengobatan skizofrenia YTT paling
banyak menggunakan golongan obat antipsikotik tipikal dan atipikal
sebanyak 1 terapi (50%).
4. Kombinasi Obat
Tabel 4.4

Distribusi Frekuensi Kombinasi Obat Antipsikotik Pada Setiap


Tipe Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013

Kombinasi Obat
2 Kombinasi
3 Kombinasi
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
S. Paranoid
219
76,3%
31
10,8%
S. Hebefrenik
30
81,1%
1
2,7%
S. Katatonik
2
100%
0
0%
S. Residual
3
50%
1
16,7%
S. YTT
1
100%
0
0%
Total
255
33
Sumber : Data primer yang telah diolah
Diagnosis

Berdasarkan Tabel 4.4, kombinasi obat antipsikotik yang paling banyak


digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah 2 kombinasi sebanyak 219
pasien (76,3%). Pada pengobatan skizofrenia hebefrenik paling banyak
menggunakan kombinasi obat antipsikotik 2 kombinasi sebanyak 30 pasien

44

(81,1%). Pada pengobatan skizofrenia katatonik paling banyak menggunakan


kombinasi obat antipsikotik 2 kombinasi sebanyak 2 pasien (100%). Pada
pengobatan skizofrenia residual paling banyak menggunakan kombinasi obat
antipsikotik 2 kombinasi sebanyak 3 pasien (50%). Pada pengobatan
skizofrenia YTT paling banyak menggunakan kombinasi obat antipsikotik 2
kombinasi sebanyak 1 pasien (100%).
5. Frekuensi Penggunaan Obat
Tabel 4.5

Distribusi Frekuensi Penggunaan Obat Antipsikotik Pada Setiap


Tipe Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2013

Frekuensi Penggunaan Obat


1 kali sehari
2 kali sehari
3 kali sehari
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
S. Paranoid
242
42,4%
219
38,4%
110
19,2%
S. Hebefrenik
29
43,3%
26
38,8%
12
17,9%
S. Katatonik
2
50%
1
25%
1
25%
S. Residual
7
63,6
1
9,1%
3
27,3%
S. YTT
1
50%
1
50%
0
0%
Total
281
248
126
Sumber : Data primer yang telah diolah
Diagnosis

Berdasarkan Tabel 4.5, frekuensi penggunaan obat antipsikotik yang


paling banyak digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah 1 kali sehari
sebanyak 242 terapi (42,4%). Frekuensi penggunaan obat antipsikotik yang
paling banyak untuk skizofrenia hebefrenik adalah 1 kali sehari sebanyak 29
terapi (43,3%). Frekuensi penggunaan obat antipsikotik yang paling banyak
untuk skizofrenia katatonik adalah 1 kali sehari sebanyak 2 terapi (50%).
Frekuensi penggunaan obat antipsikotik yang paling banyak untuk skizofrenia
residual adalah 1 kali sehari sebanyak 7 terapi (63,6%). Frekuensi

45

penggunaan obat antipsikotik yang paling banyak untuk skizofrenia YTT


adalah 1 kali sehari dan 2 kali sehari sebanyak 1 terapi (50%).

B. Pembahasan
1. Nama Obat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, nama obat antipsikotik
yang paling banyak digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah
klorpromazin sebanyak 206 terapi (36,1%). Pada pengobatan skizofrenia
hebefrenik, antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah risperidon
sebanyak 21 terapi (31,4%). Pada pengobatan skizofrenia katatonik,
antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah trifluperazin dan risperidon
sebanyak 2 terapi (50%). Pada pengobatan skizofrenia residual, antipsikotik
yang paling banyak digunakan adalah klorpromazin sebanyak 4 terapi
(36,3%). Pada pengobatan skizofrenia YTT, antipsikotik yang paling banyak
digunakan adalah klorpromazin dan risperidon sebanyak 1 terapi (50%).
Hasil penelitian Djuria (2006), menunjukkan bahwa obat antipsikotik
yang sering digunakan untuk mengobati pasien skizofrenia di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta Tahun 2006 adalah klorpromazin
(88,44%). Hasil penelitian lain yang dilakukan Aditya (2013), juga
menunjukkan klorpromazin adalah antipsikotik paling banyak digunakan di
instalasi rawat jalan RSJ Prov. Kep. Babel terhadap pasien skizofrenia
paranoid tahun 2012 sebanyak (36,1%).

46

Skizofrenia paranoid memiliki ciri khas yakni halusinasi. Menurut


Kaplan dan Sadock (2004), secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai
oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi.
Maramis (2004), juga menyatakan bahwa waham merupakan suatu keyakinan
tentang isi pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan. Pengobatan untuk
menahan gejala halusinasi dengan cara memberikan obat antipsikotik yang
memiliki potensi tinggi.
Menurut Luana (2007),

antipsikotik yang memiliki potensi tinggi

adalah dosis yang diberikan kurang atau sama dengan 10 mg (misalnya,


haloperidol dan risperidon), sedangkan potensi rendah adalah dosis yang
diberikan lebih dari 50 mg (misalnya, klorpromazin). Sejak tahun 1970-an
dokter sudah menggabungkan obat antipsikotik potensi tinggi yang memiliki
efek untuk gejala positif psikotik akut (halusinasi, delusi ketakutan, gangguan
pikir) dengan obat antipsikotik potensi rendah seperti klorpromazin yang
memiliki efek untuk pengobatan hiperaktif, kecemasan, insomnia (efek
antihistamin), dan gejala ekstrapirimidal (efek antikolinergik). Oleh karena
itu, dalam pengobatan skizofrenia paranoid paling banyak digunakan adalah
terapi klorpromazin dikarenakan memiliki potensi rendah yang selalu
dikombinasi dengan antipsikotik potensi tinggi.
Skizofrenia hebefrenik memiliki ciri khas yakni menyendiri, hampa
tujuan dan perasaan. Menurut Hawari (2007), skizofrenia hebefrenik
memiliki perilaku aneh, misalnya pengucapan kalimat yang diulang-ulang

47

dan cenderung untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial. Gejala
tersebut termasuk dalam gejala negatif.
Pengobatan untuk gejala negatif adalah dengan pemberian obat
antipsikotik atipikal (misalnya, klozapin, risperidon dan olanzapin).
Risperidon merupakan antipsikotik yang memiliki potensi tinggi dan dapat
menahan gejala positif maupun negatif pada pasien skizofrenia. Olanzapin
juga merupakan antipsikotik potensi tinggi namun jarang digunakan di RSJ
Prov. Kep. Babel. Hal ini dikarenakan olanzapin yang diberikan di RSJ Prov.
Kep. Babel adalah obat paten yaitu olandoz.
Menurut Wicaksana (2000), pasien skizofrenia di Indonesia kebanyakan
berasal dari golongan sosial ekonomi yang rendah, sehingga obat dengan
harga murah menjadi pilihan utama. Oleh karena itu, dalam pengobatan
skizofrenia hebefrenik yang paling banyak digunakan adalah terapi risperidon
dikarenakan terapi ini berpotensi tinggi dan mampu menahan gejala negatif
pasien skizofrenia hebefrenik.
Skizofrenia katatonik memiliki 2 gejala positif dan negatif. Gejala
positif seperti gaduh gelisah dan gejala negatif seperti tidak berbicara.
Menurut Setiadi (2006), gejala yang timbul pada pasien skizofrenia katatonik
pada umumnya bergantian baik positif maupun negatif, namun salah satunya
lebih dominan. Trifluperazin merupakan antipsikotik tipikal dan yang
berfungsi untuk menahan gejala positif, sedangkan risperidon merupakan
antipsikotik atipikal yang berfungsi untuk menahan gejala negatif.
Trifluperazin dan risperidon dapat menangani pasien skizofrenia katatonik

48

dimana trifluperazin dapat menahan gejala positif dibantu dengan risperidon


yang dapat menahan gejala positif maupun negatif.
Menurut Maslim (2001), antipsikotik tipikal dikombinasikan dengan
antipsikotik atipikal berjalan sinergis untuk mengobati gejala positif pada
pasien skizofrenia dengan efek samping gejala ekstrapirimidal yang tidak
terlalu besar. Oleh karena itu, dalam pengobatan skizofrenia katatonik obat
yang paling banyak digunakan adalah trifluperazin dan risperidon
dikarenakan dapat menahan gejala positif maupun negatif pasien skizofrenia
katatonik.
Skizofrenia residual memiliki 2 gejala yakni positif dan negatif, namun
yang lebih dominan adalah negatif. Menurut First & Tasman (2004),
skizofrenia residual suatu stadium skizofrenia yang kronik dengan
perkembangan progresif dari stadium awal ke stadium lanjut dan gejala
negatif lebih dominan yang ditimbulkan.
Pengobatan skizofrenia residual digunakan kombinasi antara obat
golongan tipikal dan atipikal untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Pengobatan untuk menahan gejala negatif pasien skizofrenia residual yang
kronik dengan memberikan obat golongan atipikal dengan potensi tinggi
seperti risperidon yang dikombinasikan dengan antipsikotik tipikal potensi
rendah seperti klorpromazin. Klorpromazin sering dikombinasikan dengan
antipsikotik atipikal dikarenakan memiliki efek luas.
Menurut Asualingam (2007), klorpromazin adalah obat antipsikotik
yang sering dikombinasikan karena berefek paling luas sehingga disebut

49

largactil (large action). Oleh karena itu, dalam pengobatan skizofrenia


residual paling banyak digunakan obat klorpromazin. Hal ini dikarenakan
klorpromazin sering dikombinasikan.
Pengobatan skizofrenia YTT memiliki gejala tidak dapat tergolongkan
dalam tipe skizofrenia manapun. Menurut Arif (2006), skizofrenia YTT
memiliki gejala yang tidak dapat digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu.
Klorpromazin merupakan antipsikotik tipikal yang bekerja menahan gejala
positif pasien skizofrenia, sedangkan risperidon merupakan antipsikotik
atipikal yang mampu menahan gejala positif maupun negatif pasien
skizofrenia. Oleh karena itu, untuk mencegah gejala positif maupun negatif
pasien skizofrenia digunakan obat klorpromazin dan risperidon.
2. Dosis Obat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dosis obat antipsikotik
yang paling banyak digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah
klorpromazin 50-300 mg/hari sebanyak 206 terapi (36,1%). Pada pengobatan
skizofrenia hebefrenik, dosis obat antipsikotik yang paling banyak digunakan
adalah risperidon 2-6 mg/hari sebanyak 21 terapi (31,4%). Pada pengobatan
skizofrenia katatonik, dosis obat antipsikotik yang paling banyak digunakan
adalah trifluperazin 5-15 mg/hari dan risperidon 2-4 mg/hari sebanyak 2
terapi (50%). Pada pengobatan skizofrenia residual, dosis obat antipsikotik
yang paling banyak digunakan adalah klorpromazin 100-300 mg/hari
sebanyak 4 terapi (36,3%). Pada pengobatan untuk skizofrenia YTT, dosis

50

obat antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah klorpromazin 50


mg/hari dan risperidon 6 mg/hari sebanyak 1 terapi (50%).
Dosis antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia paranoid
adalah klorpromazin 50-300 mg/hari. Hal ini dikarenakan klorpromazin
merupakan obat paling banyak digunakan untuk pengobatan skizofrenia
paranoid di RSJ Prov. Kep. Babel.
Dosis antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia
hebefrenik adalah risperidon 2-6 mg/hari. Hal ini dikarenakan risperidon
merupakan obat paling banyak digunakan untuk pengobatan skizofrenia
hebefrenik di RSJ Prov. Kep. Babel.
Dosis antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia katatonik
adalah trifluperazin 5-15 mg/hari dan risperidon 2-4 mg/hari. Hal ini
dikarenakan trifluperazin dan risperidon merupakan obat paling banyak
digunakan untuk pengobatan skizofrenia katatonik di RSJ Prov. Kep. Babel.
Dosis antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia residual
adalah klorpromazin 100-300 mg/hari. Hal ini dikarenakan klorpromazin
merupakan obat paling banyak digunakan untuk pengobatan skizofrenia
residual di RSJ Prov. Kep. Babel.
Dosis antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia YTT
adalah klorpromazin 50 mg/hari dan risperidon 6 mg/hari. Hal ini
dikarenakan klorpromazin dan risperidon merupakan obat paling banyak
digunakan untuk pengobatan skizofrenia YTT di RSJ Prov. Kep. Babel.

51

Menurut Maslim (2001), dosis anjuran untuk pengobatan skizofrenia


berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ)
sebagai berikut : klorpromazin 300-1000 mg/hari, haloperidol 5-20 mg/hari,
trifluperazin 15-50 mg/hari, klozapin 150-600 mg/hari, risperidon 2-6
mg/hari, olanzapin 5-10 mg/hari. Berbeda hasil dengan penelitian ini, terdapat
banyak pasien yang diberikan dosis di bawah anjuran dikarenakan banyak
pasien yang mengalami kekambuhan.
Menurut Andri (2008), kekambuhan atau relaps merupakan keadaan
pasien dengan gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan
pasien harus dirawat kembali. Pada awalnya pasien skizofrenia diberikan obat
yang sesuai dengan anjuran namun, ketika pasien tersebut kambuh obat yang
diberikan di bawah dosis anjuran. Menurut Loebis (2007), untuk
mendapatkan dosis yang tepat bagi pengobatan skizofrenia dilakukan
percobaan.
Menurut Maramis (2004), dosis antipsikotik pada pasien skizofrenia
dimulai dengan dosis yang rendah lalu perlahan-lahan dinaikkan, dapat juga
langsung diberi dosis tinggi tergantung pada keadaan pasien dan
kemungkinan terjadinya efek samping. Dosis yang diberikan dipengaruhi
oleh seberapa besar efek sedasi yang diinginkan dan kerentanan pasien
terhadap efek samping ekstrapirimidal. Oleh karena itu, dalam pengobatan
skizofrenia digunakan obat dengan dosis yang di bawah anjuran dikarenakan
banyak pasien skizofrenia yang kambuh (relaps) di RSJ Prov. Kep. Babel.

52

Dosis

antipsikotik

yang

digunakan

di

bawah

dosis

anjuran

mengakibatkan efek samping ekstrapirimidal dan efek psikosis sangat kecil.


Guna meningkatkan efek psikosis yang diinginkan antipsikotik hendaklah
dikombinasikan.

3. Golongan Obat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, golongan obat antipsikotik
yang paling banyak digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah tipikal
sebanyak 371 terapi (65%). Pada pengobatan skizofrenia hebefrenik paling
banyak menggunakan golongan obat antipsikotik atipikal sebanyak 36 terapi
(53,7%). Pada pengobatan skizofrenia katatonik paling banyak menggunakan
golongan obat antipsikotik tipikal dan atipikal sebanyak 2 terapi (50%). Pada
pengobatan skizofrenia residual paling banyak menggunakan golongan obat
antipsikotik tipikal sebanyak 7 terapi (63,6%). Pada pengobatan skizofrenia
YTT paling banyak menggunakan golongan obat antipsikotik tipikal dan
atipikal sebanyak 1 terapi (50%).
Golongan antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia
paranoid adalah tipikal. Hal ini dikarenakan obat klorpromazin merupakan
obat paling banyak digunakan untuk pengobatan skizofrenia paranoid di RSJ
Prov. Kep. Babel. Klorpromazin merupakan golongan golongan tipikal.
Golongan antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia
hebefrenik adalah atipikal. Hal ini dikarenakan obat risperidon merupakan

53

obat paling banyak digunakan untuk pengobatan skizofrenia hebefrenik di


RSJ Prov. Kep. Babel. Risperidon merupakan golongan atipikal.
Golongan antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia
katatonik adalah tipikal dan atipikal. Hal ini dikarenakan obat triflueperazin
dan risperidon merupakan obat paling banyak digunakan untuk pengobatan
skizofrenia katatonik di RSJ Prov. Kep. Babel. Trifluperazin merupakan
golongan tipikal dan risperidon merupakan golongan atipikal.
Golongan antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia
residual adalah tipikal. Hal ini dikarenakan obat klorpromazin merupakan
obat paling banyak digunakan untuk pengobatan skizofrenia residual di RSJ
Prov. Kep. Babel. Klorpromazin merupakan golongan tipikal.
Golongan antipsikotik paling banyak digunakan untuk skizofrenia YTT
adalah tipikal dan atipikal. Hal ini dikarenakan obat klorpromazin dan
risperidon merupakan obat paling banyak digunakan untuk pengobatan
skizofrenia YTT di RSJ Prov. Kep. Babel. Klorpromazin merupakan
golongan tipikal dan risperidon merupakan golongan atipikal.
Menurut Lehman, dkk (2004), antipsikotik tipikal merupakan generasi
lama yang bekerja memblok reseptor D2 mempunyai efek samping gejala
ekstrapirimidal yang besar dan efektif mengatasi gejala positif. Antipsikotik
atipikal merupakan generasi lebih baru Tahun 1990-an yang bekerja memblok
reseptor 5-HT2 mempunyai efek samping gejala ekstrapirimidal lebih kecil
dan efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun negatif.

54

Obat antipsikotik atipikal memang lebih bagus dibanding antipsikotik


tipikal. Namun, obat dengan harga murah yang menjadi pilihan dalam
pengobatan skizofrenia. Menurut Wicaksana (2000), antipsikotik atipikal
harganya lebih mahal dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Oleh karena
itu, dalam pengobatan skizofrenia obat antipsikotik tipikal menjadi pemilihan
dalam pengobatan. Hal ini dikarenakan antipsikotik tipikal lebih murah.
4. Kombinasi Obat
Berdasarkan

hasil

penelitian

yang

dilakukan,

kombinasi

obat

antipsikotik yang paling banyak digunakan untuk skizofrenia paranoid adalah


2 kombinasi sebanyak 219 pasien (76,3%). Pada pengobatan skizofrenia
hebefrenik paling banyak menggunakan kombinasi obat antipsikotik 2
kombinasi sebanyak 30 pasien (81,1%). Pada pengobatan skizofrenia
katatonik paling banyak menggunakan kombinasi obat antipsikotik 2
kombinasi sebanyak 2 pasien (100%). Pada pengobatan skizofrenia residual
paling banyak menggunakan kombinasi obat antipsikotik 2 kombinasi
sebanyak 3 pasien (50%). Pada pengobatan skizofrenia YTT paling banyak
menggunakan kombinasi obat antipsikotik 2 kombinasi sebanyak 1 pasien
(100%).
Hasil penelitian Djuria (2006), menunjukkan bahwa kombinasi obat
antipsikotik yang sering digunakan untuk mengobati pasien skizofrenia di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta Tahun 2006 adalah 2
kombinasi sebanyak (72%). Pengobatan paling banyak pada setiap tipe
skizofrenia dengan terapi 2 kombinasi dikarenakan dosis yang diberikan di

55

bawah dosis anjuran maka terapi haruslah dikombinasikan agar efek yang
diinginkan dapat tercapai. Kombinasi obat diberikan sesuai dengan gejala
yang ditimbulkan dan tingkat kesanggupan pasien terhadap efek sampingnya.
Adapun kombinasi terbagi sebagai berikut : tipikal-tipikal, tipikal-atipikal,
dan atipikal-atipikal.
Menurut Maslim (2003), kombinasi tipikal-tipikal dapat memberikan
efek kuat mengobati gejala positif pasien skizofrenia dengan efek samping
gejala

ekstrapirimidal

yang

besar. Kombinasi

tipikal-atipikal

dapat

memberikan efek sinergis untuk gejala positif pasien skizofrenia dengan efek
samping gejala ekstrapirimidal yang tidak terlalu besar. Kombinasi atipikalatipikal dapat mengobati gejala positif maupun negatif dengan efek samping
gejala ekstrapirimidal yang rendah. Menurut Maramis (2004), pemberian obat
antipsikotik dipengaruhi oleh seberapa besar efek sedasi yang diinginkan dan
kerentanan pasien terhadap efek samping ekstrapirimidal. Oleh karena itu,
dalam pengobatan skizofrenia digunakan paling banyak 2 kombinasi. Hal ini
dikarenakan pengobatannya sesuai dengan efek yang diinginkan dan efek
samping ekstrapirimidalnya terkontrol.
5. Frekuensi Penggunaan Obat
Frekuensi penggunaan obat antipsikotik yang paling banyak digunakan
untuk skizofrenia paranoid adalah 1 kali sehari sebanyak 242 terapi (42,4%).
Frekuensi penggunaan obat antipsikotik yang paling banyak untuk skizofrenia
hebefrenik adalah 1 kali sehari sebanyak 29 terapi (43,3%). Frekuensi
penggunaan obat antipsikotik yang paling banyak untuk skizofrenia katatonik

56

adalah 1 kali sehari sebanyak 2 terapi (50%). Frekuensi penggunaan obat


antipsikotik yang paling banyak untuk skizofrenia residual adalah 1 kali
sehari sebanyak 7 terapi (63,6%). Frekuensi penggunaan obat antipsikotik
yang paling banyak untuk skizofrenia YTT adalah 1 kali sehari dan 2 kali
sehari sebanyak 1 terapi (50%).
Hasil penelitian yang dilakukan Aditya (2013), menunjukkan frekuensi
penggunaan obat antipsikotik 1 kali sehari paling banyak digunakan di
instalasi rawat jalan RSJ Prov. Kep. Babel terhadap pasien skizofrenia
paranoid tahun 2012 sebanyak (42,2%). Pengobatan paling banyak pada
setiap tipe skizofrenia dengan frekuensi penggunaan obat 1 kali sehari
dikarenakan frekuensi penggunaan obat 1 kali sehari memudahkan dalam
pemberian untuk pasien gangguan jiwa. Perilaku dan gejala yang ditimbulkan
oleh pasien skizofrenia dapat menghambat pada pemberian obat ke-2.
Perilaku yang takut akan segala sesuatu, berhalusinasi, dan menarik diri dapat
memicu susahnya minum obat.
Menurut Priyanto (2009), frekuensi penggunaan obat termasuk faktor
penentu keberhasilan pengobatan pasien karena interval pemakaian obat
terlalu panjang dapat menyebabkan berkurangnya bioavailabilitas. Menurut
Amalia (2008), bioavailabilitas adalah persentase obat yang diabsorbsi tubuh
dari dosis yang diberikan, untuk melakukan efek terapetiknya.

57

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang gambaran
penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap
RSJ Prov. Kep. Babel Tahun 2013, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nama dan Dosis obat yang paling banyak digunakan pada pengobatan :
a. Skizofrenia paranoid : klorpromazin 50-300 mg/hari.
b. Skizofrenia hebefrenik : risperidon 2-6 mg/hari.
c. Skizofrenia katatonik : trifluperazin 5-15 dan risperidon 2-4 mg/hari.
d. Skizofrenia residual : klorpromazin 100-300 mg/hari.
e. Skizofrenia YTT : klorpromazin 50 dan risperidon 6 mg/hari.
2. Golongan obat yang paling banyak digunakan pada pengobatan :
a. Skizofrenia paranoid : antipsikotik tipikal.
b. Skizofrenia hebefrenik : antipsikotik atipikal.
c. Skizofrenia katatonik : antipsikotik tipikal dan atipikal.

58

d. Skizofrenia residual : antipsikotik tipikal.


e. Skizofrenia YTT : antipsikotik tipikal dan atipikal.
3. Kombinasi Obat yang paling banyak digunakan pada pengobatan :
a. Skizofrenia paranoid : 2 kombinasi yakni tipikal dan tipikal.
b. Skizofrenia hebefrenik : 2 kombinasi yakni atipikal dan atipikal.
c. Skizofrenia katatonik : 2 kombinasi yakni tipikal dan atipikal.
d. Skizofrenia residual : 2 kombinasi yakni tipikal dan atipikal.
e. Skizofrenia YTT : 2 kombinasi yakni tipikal dan atipikal.
4. Frekuensi Penggunaan Obat yang paling banyak digunakan pada
pengobatan :
a. Skizofrenia paranoid : 1 kali sehari yakni terapi klorpromazin.
b. Skizofrenia hebefrenik : 1 kali sehari yakni terapi risperidon.
c. Skizofrenia katatonik : 1 kali sehari yakni terapi trifluperazin dan
risperidon.
d. Skizofrenia residual : 1 kali sehari yakni terapi klorpromazin.
e. Skizofrenia YTT : 1 kali sehari yakni terapi klorpromazin dan 2 kali
sehari yakni risperidon.
B. Saran

59

1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti tentang penggunaan antipsikotik
pada pasien skizofrenia.
2. Bagi Poltekkes Kemenkes RI Pangkalpinang (penelitian selanjutnya)
Melakukan penelitian selanjutnya tentang gambaran penggunaan
obat psikofarmaka lainnya.
3. Bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Perencanaan dan pengadaan obat klorpromazin dan risperidon
lebih diutamakan.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, 2013. Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat
Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Karya Tulis
Ilmiah. Poltekkes Kemenkes RI Pangkalpinang. Pangkalpinang
Agung, U. 2003. Analisis Pengaruh Persepsi Kualitas Pelayanan Terhadap
Kepuasan Pasien Rumah Sakit Umum Cakra Klaten. Tesis. Tim Pengajar
Fakultas Ekonomi. Yogyakarta
Agus. 2005. Disfungsi Kognitif pada Skizofrenia. Majalah Psikiatri. Jakarta
Amalia, E. 2008. Sekilas Farmakologi Medis. Erlangga. Jakarta
Andri. 2008. Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treatment Gap for
Schizophrenia. http://www.kabarindonesia.com [7 Februari 2014]
Arif, I.S. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Refika
Aditama. Bandung
Asualingam. 2007. Antipsikotik Tipikal. http://www.rahmamoonly.wordpress.com
[14 juli 2014]

60

Depkes RI. 2000a. IONI (Informatorium Obat Nasional Indonesia). Depkes RI.
Jakarta
Depkes RI. 2000b. Skizofrenia, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa. Depkes RI. Jakarta
Depkes RI. 2002. Standar Tenaga Keperawatan di Rumah Sakit Direktorat
Pelayanan Keperawatan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Depkes
RI. Jakarta
Depkes RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1027/Menkes/Sk/Ix/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek. Jakarta
Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Depkes RI. Jakarta
Djuria, R.F. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan
Psikofarmaka Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Grhasia Yogyakarta pada Tahun 2006. Skripsi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Yogyakarta
Durand, V.M, & Berlow D.H. 2007. Essensials of Abnormal Psychology. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta
First, M.B. & Tasman, A. 2004. Diagnostic and Statistical manual of Mental
Disorders: Edisi 4. Wiley. London
Ganiswarna, G.S. 2007.Farmakologi dan Terapi: Edisi 5. FKUI. Jakarta
Gunawan, S. 2007. Farmakologi dan Terapi: Psikotropik: Edisi 5. FKUI. Jakarta
Hawari, D. 2007. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia: Edisi 2.
FKUI. Jakarta
Irwan M., A. Fajriansyah, B. Sinuhadji, M. Indrayana. 2008. Penatalaksanaan
Skizofrenia. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Riau
Kaplan H.I, & Sadock B.J. 2004. Synopsis of Psychiatry: Behavior Sciences/
Clinical Psychiatry: Edisi 10. Lippincott William & Wilkins. New York
Katzung, K. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik: Edisi 1. EGC. Jakarta
Kirkpatrick B, & Tek C. 2005. Schizophrenia : Clinical Features and
Psychopathology dalam Kaplan & Sadock: Comprehensive Textbook of
Psychiatry: Edisi 8. Lippincott William & Wilkins. New York

61

Lauriello J, & Keith S.J. 2005. Schizofrenia : Scope of the Problem dalam Kaplan
& Sadock: Comprehensive Textbook of Psychiatry: Edisi 8. Lippincott
William & Wilkins. New York
Lehman A.F., J.A. Lieberman, L.B. Dixon. 2004. Practice Guideline for The
Treatment of Patients with Schizophrenia: Edisi 2. American Psychiatric
Association. Arlington
Loebis. 2007. Penanggulangan Memakai Antipsikotik. http://www.usu.ac.id [26
Juli 2014]
Luana,

N. 2007. Skizofrenia Dan Gangguan


http://www.idijakbar.com [26 juli 2014]

Psikotik

Lainnya.

Maslim, R. 2001. Penggunaan klinis obat psikotropika. Unika Atma Jaya. Jakarta
Mansjoer A., K. Triyani, R. Savitri, W.I. Wardhani, dan W. Setiowulan. 1999.
Kapita Selekta Kedokteran: Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta
Maramis, W.F. 2004. Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga. Surabaya
Niken, M.O. 2009. Evaluasi Obat Pasien Schizophrenia Pada Unit Rawat Jalan
dan Rawat Inap Setelah Uji Coba Kebijakan INA-DRG di Rumah Sakit
Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan. Tesis. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Depok. Jakarta
Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC
Priyanto, 2009. Penggunaan Psikofarmaka. http://www.undip.ac.id [23 juli 2014]
RSJ Prov. Kep Babel. 2013. Profil Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. RSJ Prov. Kep. Babel. Sungailiat
Setiadi, I. 2006. Skizofrenia. Reflika. Bandung
Sinaga, B.R. 2007. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. FKUI. Jakarta
Sirait, A. 2008 Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps pada
Skizofrenia Remisi Sempurna Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi
Sumatera Utara Tahun 2006. Tesis Magister Kesehatan Masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Siregar, C.J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori Dan Penerapan. EGC. Jakarta
Stuart, G.W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa: Edisi 5. EGC. Jakarta

62

Surilena. 2005. Intervensi Psikososial Dalam Manajemen Skizofrenia. Majalah


Psikiatri. Jakarta
Tjay H.T, dan Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting: Edisi 6. PT Gramedia.
Jakarta
Wicaksana. 2000. Skizofrenia : Antara
http://www.usu.ac.id [17 juli 2014]

Kerja

Dan

Kualitas

Hidup.

World Federation for Mental Health. 2008. Learning about Schizophrenia: An


International Mental Health Awareness Packet from The World Federation
for Mental Health. Virginia: World Federation for Mental Health.
http://www.wfmh.org [5 januari 2014]

Anda mungkin juga menyukai