Anda di halaman 1dari 82

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 13

Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
ANGGOTA KELOMPOK :
Adiguna Darmanto

04111001064

Bellinda Dwi Priba

04111001098

Cahyo Purnaning Tyas

04111001097

Dwi Jaya Sari

04111001056

Lidya Kartika

04111001051

Mentari Indah Sari

04111001024

Mia Hayati Khairunnisa

04111001045

Muhammad Rizki

04111001061

Nyimas Inas Mellanisa

04111001067

Riski Miranda Putri

04111001072

Sellita Seplana

04111001054

Zhazha Savira Herprananda 04111001081


Tutor : dr. Susilawati

PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2012

PESERTA DISKUSI

Moderator

: Dwi Jaya Sari

Sekretaris

: Mentari Indah Sari


Bellinda Dwi Priba

Anggota

: Nyimas Inas Mellanis


Lidya Kartika
Mia Hayati Khairunnisa
Muhammad Rizki
Adiguna Darmanto
Sellita Seplana
Riski Miranda Putri
Cahyo Purnaning Tyas
Zhazha Savira Herprananda

DAFTAR ISI

Halaman judul
Daftar Isi
Kata Pengantar
Hasil Tutorial dan Belajar Mandiri
1. Skenario.................................................................................................................
2. Klarifikasi Istilah...................................................................................................
3. Identifikasi Masalah..............................................................................................
4. Analisis Masalah....................................................................................................
5. Keterkaitan Antar Masalah.................................................................................
6. Restrukturisasi Masalah dan Penyusunan Kerangka Konsep.........................
7. Sintesis....................................................................................................................
Kesimpulan
Daftar Pustaka

KATA PENGANTAR

1
3
4
5
5
6
7
28
29
30
45
46

Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya
laporan tutorial blok 13 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil yang didapat dari proses belajar
tutorial, yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang terlibat
dalam pembuatan laporan ini, mulai dari tutor pembimbing, anggota kelompok 3 tutorial, dan
juga teman- teman lain yang sudah ikut membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan
ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan sangat bermanfaat bagi
revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Palembang, 20 Desember 2012

Penyusun

1. SKENARIO A BLOK 13
Nn. Fanny, 22 tahun, datang ke poli bedah RSMH dengan keluhan utama terdapat
benjolan di kiri dan kanan sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan makin lama makin besar, tidak
disertai nyeri. Benjolan mula-mula terjadi di leher kiri, 1 bulan terakhir teraba juga di leher
kanan.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm,
sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi : 72x/menit, pada auskultasi paru tidak didapati ronchi.
Status Lokalis : pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas
tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm.
Hasil Laboratorium : Hb : 11,2%, Leukosit : 10.800/mm3 , LED : 43 mm/jam, Diff. count :
0/1/4/46/44/5
Oleh dokter bedah dilakukan biopsy pada kelenjar limfe leher kiri dan specimen dikirim ke
Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Hasil Pemeriksaan Histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat
tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hyperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal
center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan
dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai.
Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.
Jelaskan apa yang terjadi pada Nn.Fanny ? Jelaskan pathogenesis kelainan yang terjadi.

2. KLARIFIKASI ISTILAH
1.
2.
3.
4.
5.

Ronchi
Colli
Nodul
Biopsi
Nekrosis Perkijuan

6. Datia Langhans
7. Epiteloid
8. Hiperplasia
9. Makrofag

: Suara pernapasan yang kasar dan kering


: Leher
: Tonjolan/nodus kecil yang padat dan dapat disentuh
: Pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan labor
: Nekrosis dimana jaringan menjadi lembek, kering dan seperti
keju
: Sel-sel epiteloid yang menyatu
: Kumpulan atau gabungan sel makrofag yang bertransformasi
menjadi sel epitel
: Peningkatan jumlah sel dan volume sel
: Setiap sel MN yang besar dan sangat fagositik, merupakan
5

turunan monosit
10. Limfosit
: Leukosit MN dan tidak bergranula mempunyai inti berwarna
gelap yang mengandung kromatin tebal dan sitoplasma
berwarna biru pucat
11. Germinal Center : Area pada pusat kelenjar getah bening yang mengandung
agregasi limfosit yang aktif berproliferasi (sel B pembentuk
antibodi);tampak sebagai suatu massa sferis dikelilingi oleh
suatu kapsul sel memanjang yang sebagian dimasuki oleh
limfosit kecil berbentuk topi bulan sabit, disebut juga
Flemming center dan secondary nodule
12. Benjolan
: Bagian tubuh yang mengalami pembengkakan
13. Histopatologi
: Studi mikroskopis sel dan jaringan berkaitan dengan
penyakit
14. Kelenjar Limfe
: Organ tubuh yg menghasilkan getah atau sekret (tertentu)
dalam hal ini cairan (getah) bening yang menyerupai plasma
darah dan mengandung sel darah putih sebagai sistem
pertahanan limfoid
15. Limfoid Hiperplasi : Bentuk limfadenitis kronik yang terjadi sebagai respon imun,
sering diinduksi oleh obat-obatan dan ditandai oleh
transformasi sel T menjadi limfoblast, hipertofi sel endotel, dan
adanya infiltrasi leukosit campur

3. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Nn. Fanny 22 tahun mengeluh adanya benjolan pada leher kiri sejak 6 bulan yang lalu
dan mulai teraba di leher kanan 1 bulan yang lalu. Benjolan makin lama makin besar
dan tidak nyeri
2. Pemeriksaan fisik keadaan umum : Tampak sakit sedang, sensorium compos mentis,
BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi : 72x/menit, pad
auskultasi paru tidaak didapati ronchi
3. Status lokalis : Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm
batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm
4. Hasil laboratorium : Hb : 11,2 g%, Leukosit : 10.800/mm 3 , LED : 43 mm/jam, Diff.
Count : 0/1/4/46/44/5
5. Hasil pemeriksaan histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan
ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan
germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis
perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans
dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas

4. ANALISIS MASALAH
Masalah 1
Nn. Fanny 22 tahun mengeluh adanya benjolan pada leher kiri sejak 6 bulan yang lalu
dan mulai teraba di leher kanan 1 bulan yang lalu. Benjolan makin lama makin besar dan
tidak nyeri
a. Bagaimana struktur anatomi secara umum dari leher ?
Leher adalah bagian tubuh dimana sebelah superior dibatasi oleh sisi bawah
mandibula,garis lurus yang diambil dari angulus mandibula ke mastoid, dan garis lengkung
superior darioccipital. Di sebelah inferior dibatasi oleh suprasternal notch, batas atas
klavikula dan garislurus yang diambil dari sendi akromioklavikularis ke prosesus spinosus
vertebra servikalis VII. Kontur leher bervariasi bergantung dari umur dan jenis kelamin. Pada
wanita dan anak-anak berbentuk lebih bundar sedangkan pada laki-laki bentuknya lebih
angular dan landmark daerah leher lebih nyata pada laki-laki. Terdapat beberapa kontur
penting yang menjadi landmark pada daerah leher, yaitu : M. Sternocleidomastoideus, bagian
anterior M. Trapezius, korpus os. Hyoid, Adams Apple, Jugular Notch, M.platysma, glandula
salvarius, dansymphysis

menti.

Bagian anterior leher berisi saluran pernafasan,

saluran pencernaan, pembuluh-pembuluh darah yang besar serta serabut-serabut saraf,


sedangkan daerah posterior berisi segmen vertebra servikalis yang diliputi oleh otot-otot.
Otot pada Leher

Kelenjar getah bening


Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh
kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah
submandibular (bagian bawah rahang bawah; sub: bawah;mandibula:rahang bawah),
ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat.
Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk
pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari
pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe
akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh
limfe yang melewatinya.
Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa
antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada
antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel
pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga
kelenjar getah bening membesar. Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari
8

penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KBG itu sendiri seperti
limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel peradangan
(neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi
(masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher
disease). Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB dapat diketahui lokasi
kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.
Saluran limfe
Terdapat dua batang saluran limfe utama, ductus thoracicus dan batang saluran
kanan. Ductus thoracicus bermula sebagai reseptakulum khili atau sisterna khili di
depan vertebra lumbalis. Kemudian berjalan ke atas melalui abdomen dan thorax
menyimpang ke sebelah kiri kolumna vertebralis, kemudian bersatu dengan vena-vena
besar di sebelah bawah kiri leher dan menuangkan isinya ke dalam vena-vena itu.
Ductus thoracicus mengumpulkan limfe dari semua bagian tubuh, kecuali dari bagian
yang menyalurkan limfenya ke ductus limfe kanan (batang saluran kanan).
Ductus limfe kanan ialah saluran yang jauh lebih kecil dan mengumpulkan
limfe dari sebelah kanan kepala dan leher, lengan kanan dan dada sebelah kanan, dan
menuangkan isinya ke dalam vena yang berada di sebelah bawah kanan leher.
Sewaktu suatu infeksi pembuluh limfe dan kelenjar dapat meradang, yang tampak
pada pembengkakan kelenjar yang sakit atau lipat paha dalam hal sebuah jari tangan
atau jari kaki terkena infeksi.
Fungsi
1. Mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah.
2. Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah.
3. Untuk membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi darah.
Saluran limfe yang melaksanakan fungsi ini ialah saluran lakteal.
4.

Kelenjar

limfe

menyaring

dan

menghancurkan

mikroorganisme

untuk

menghindarkan penyebaran organism itu dari tempat masuknya ke dalam jaringan, ke


bagian lain tubuh.
5. Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat anti (antibodi) untuk
melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi.

Kelenjar tiroid dan paratiroid

10

Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh manusia.
Kelenjar ini dapat ditemui di bagian depan leher, sedikit di bawah laring. Kelenjar ini
berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh membakar energi, membuat protein, dan mengatur
sensitivitas tubuh terhadap hormon lainnya.
Kelenjar paratiroid adalah sebuah kelenjar endokrin di leher yang memproduksi
hormon paratiroid. Manusia biasanya mempunyai empat kelenjar paratiroid, yang biasanya
terdapat di bagian belakang daripada kelenjar tiroid atau kelenjar yang dekat dengan kelenjar
tiroid sehingga disebebut dengan "paratiroid", atau, di kasus yang langka, didalam kelenjar
tiroid itu sendiri atau di dada.
b. Apa kemungkinan penyebab dari benjolan di leher dan jelaskan mekanismenya secara
umum ?
Secara umum benjolan di daerah leher, disebabkan oleh lima kelainan atau penyebab
utama yaitu:
1. Kelainan kongenital : Benjolan di Leher dapat berupa benjolan yang timbul sejak lahir
atau timbul pada usia kanak-kanak bahkan terkadang muncul setelah usia dewasa. Pada
kelainan ini, benjolan yang paling sering terletak di leher samping bagian kiri atau kanan
di sebelah atas, dan juga di tengah-tengah di bawah dagu. Ukuran benjolan bisa kecil
beberapa cm tetapi bisa juga besar seperti bola tenis.
Hygroma colli adalah kelainan bawaan lahir akibat adanya gangguan saluran limfe,
biasanya muncul sejak lahir dan makin bertambah besar dengan bertambahnya usia,

bahkan bisa sampai ukuran bola tenis atau lebih, biasanya benjolannya agak lunak.
Kista ductus thyroglosus ,benjolannya umumnya di garis tengah leher diantara bawah
dagu sampai kelenjar thyroid atau kelnjar gondok. Pada jenis kelainan ini bisa muncul
pada masa kanak-kanak atau setelah usia dewasa. Benjolannya berisi cairan.
11

Kista branchial, seperti kista ductus thyroglosus, juga berisi cairan , namun letaknya
paling sering di samping leher.

2. Infeksi
Infeksi pada daerah leher dapat berupa infeksi akut. Biasanya infeksi acut disertai
adanya gejala panas badan, rasa sakit dan adanya warna kemerahan pada benjolan

tersebut.
Infeksi menahun atau kronis yang paling sering ditemukan adalah benjolan akibat
penyakit TBC kelenjar. Pada TBC kelenjar benjolan dapat berupa benjolan kecil ukuran
beberapa milimeter sampai ukuran beberapa centimeter, bisa hanya satu buah namun
dapat juga langsung beberapa buah dan paling sering terletak di samping leher kiri atau
kanan, bahkan kadang di samping leher kiri dan kanan sekaligus.

3. Neoplasma : Neoplasma adalah penyakit pertumbuhan sel. Neoplasma terdiri dari sel-sel
baru yang mempunyai bentuk,sifat dan kinetika berbeda dari sel normal asalnya.
Pertumbuhannya liar, autonom dan terlepas dari kendali pertumbuhan sel normal.
Neoplasma inilah sebenarnya yang biasa disebut tumor sebenarnya, ada yang bersifat jinak
dan ada yang bersifat ganas atau biasa disebut kanker.
Tumor jinak di daerah leher yang paling sering adalah tumor jinak kelenjar gondok.
Tumor ini berupa benjolan atau massa yang bisa diraba pada leher tengah bagian depan.
Ciri khasnya adalah benjolan ini dapat ikut bergerak ketika menelan. Bisa terasa nyeri
ataupun tidak, nyeri apabila dikarenakan oleh peradangan.
Kanker pada daerah leher bisa dibedakan tiga macam berdasarkan asal pertumbuhannya

yaitu:
Kanker yang asal pertumbuhannya memang berawal dari daerah leher itu sendiri,
misalnya yang paling sering adalah kanker kelenjar gondok, kanker jaringan lunak yang

berasal dari otot dan jaringan lunak lainnya di leher.


Kanker yang terjadi di daerah leher, namun sebenarnya kanker induknya atau asalnya
ada di tempat lain , dengan kata lain merupakan metastasis tumor dari kanker di tempat
lain yang letaknya bukan di leher. Contoh pada kanker jenis ini adalah kanker
nasofaring, kanker di daerah kepala, kanker di rongga mulut, yang umumnya
menyebabkan metastasis berupa adanya benjolan di leher samping atas sedikit dibawah
telinga kiri atau kanan. Juga kanker-kanker dari organ yang jauh seperti kanker paru,
kanker saluran pencernaan, kanker saluran kemih ,kanker payudara, kanker alat

12

genitalia wanita yang dapat memberikan metastasis berupa adanya benjolan diatas

tulang selangka atau supraclavicula, terutama di sebelah kanan.


Kanker di daerah leher yang sebenarnya merupakan penyakit sistemik yang dapat
terjadi di seluruh tubuh, yaitu kanker kelenjar getah bening.

4. Trauma : Trauma di daerah leher bisa terjadi akibat benturan benda tumpul sehingga
terjadi bekuan darah atau hematom dan membentuk benjolan seperti tumor.
5. Kelainan lainnya : Kelainan lain di daerah leher dapat disebabkan misalnya oleh kelainan
pembuluh darah di daerah leher. Ada juga kelainan di leher yaitu pada kelenjar gondok
yang disebabkan kekurangan yodium di tubuh terutama terjadi di daerah endemis gondok.
c. Mengapa benjolan makin lama makin besar dan tidak disertai nyeri ?
Benjolan makin lama makin besar karena hilangnya atau inaktivasi tumor
suppressor genes (p53) hilangnya regulasi pertumbuhan sel. Benjolan tidak disertai nyeri
karena dalam skenario, radang telah memasuki fase kronik. Nyeri hanya karena infeksi
sekunder, berkoinsidensi dengan HIV, terjadi pembesaran kelenjar yang cepat.
Mekanisme nyeri itu sendiri pada reaksi radang disebabkan penekanan ujung-ujung saraf
akibat eksudasi ke area radang. Alasan lain disebabkan adanya mediator kimia seperti
bradikinin dan prostaglandin. Sedangkan hipotesis lain menyatakan adanya peningkatan
suhu, gangguan fungsi enzim dan penuruna pH juga berperan.
Pada skenario, Nn. Fanny tidak merasakan nyeri karena bengkaknya KGB tidak
sampai menekan ujung-ujung saraf. Selain itu ada yang namanya mediator analgesik,
yang melawan rasa sakit, juga diproduksi di jaringan meradang.
inflamasi

sitokin dan

peptida opioid.

diturunkan dari peptida opioid


penghambatan klinis yang

dan

Interaksi antara leukosit yang

reseptor opioid

relevan dari nyeri

hadir pada ujung perifer dari neuron


disintesis dalam sirkulasi leukosit,

dapat menyebabkan ampuh,

(analgesik).

noradrenalin),

Mereka mengaktifkan reseptor opioid

yang

Peptida opioid

yang

bermigrasi ke
molekul

Dalam kondisi stres atau dalam menanggapi melepaskan agen


sitokin,

Reseptor opioid

sensorik.

jaringan meradang disutradarai oleh kemokin dan


releasing factor,

Ini termasuk anti-

adhesi.

(misalnya kortikotropin-

leukosit dapat mengeluarkan opioid.

perifer dan

menghasilkan analgesia

dengan menghambat rangsangan saraf sensorik atau pelepasan neuropeptida rangsang. Se


lain itu pada granuloma tuberkulosis, terjadi nekrosis sentral sehingga kelenjar melunak
13

dan tidak nyeri. Memang limfadenitis TB ini merupakan radang kronis yang ditandai
antara lain nyeri tapi nyeri disini bisa berupa nyeri tekan.
d. Mengapa benjolan mula-mula di leher kiri dan satu bulan yang lalu teraba di leher
kanan ?
Karena kebanyakan orang mengganggap pembesaran kelenjar pada leher (apalagi
yang tidak nyeri) adalah hal yang biasa maka proses infeksi akan terus meluas.
Karena itu ketika telah terjadi pembesaran kgb di kanan dan kiri seseorang baru akan
memeriksakan ke dokter. Tuberkulosis sekunder lokal mungkin asimptomatik. Jika
muncul, manifestasi penyakit biasanya perlahan, secara perlahan timbul gejala
sistemik dan lokal. Gejala sistemik yang mungkin berkaitan dengan sitokin yang
dikeluarkan oleh makrofag aktif (misal TNF dan IL-1), sering muncul pada awal
perjalanan dan mencakup malaise, anoreksia, penurunan berat dan demam. Umumnya
demam ringan dan hilang timbul (muncul setiap malam dan kemudian mereda) dan
timbul keringat malam.
6 -12 bulan : periode kritis timbulnya gejala klinis atau saat KGB berperan stelah
infeksi bakteri M. Tuberculosis.
Masalah 2
Pemeriksaan fisik keadaan umum : Tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB
43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR : 20x/menit, Nadi : 72x/menit, pad auskultasi paru
tidaak didapati ronchi
Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik umum dan bagaimana mekanisme abnormal ?
Tampak sakit sedang
Dilihat dari cara berjalan, keadaan pasien saat datang berobat, ekspresi wajah, dll.
Sensorium compos mentis
Sadar sepenuhnya (normal)
IMT: BB/TB(M)2 = 43/(1,56)2 = 17,67 (under weight)
severely underweight less than 15
Severely underweight from 15.0 to 16.0
14

Underweight from 16.0 to 18.5


Normal (healthy weight) from 18.5 to 25
Overweight from 25 to 30
Obese Class I (Moderately obese) from 30 to 35
Obese Class II (Severely obese) from 35 to 40
Obese Class III (Very severely obese) over 40
Dari berat badan dan tinggi badan Nn. Fanny didapatkan IMT sebesar 17,67 yang berarti
berat badannya dibawah normal. Hal ini dapat terjadi karena ada hubungan antara infeksi
tuberculosis dengan penurunan berat badan yang mekanismenya dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Aktifasi makrofag oleh IFN- produksi pirogen endogen IL -1, IL-4, IL-6, TNF-

Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk hematoencephalic barrier


bereaksi terhadap hipotalamus.

Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus menyebabkan produksi prostaglandin.

Prostaglandin merangsang cerebral cortex ( respon behavioral) nafsu makan


menurun & leptin meningkat menyebabkan stimulasi dari hipotalamus nafsu
makan disupresi

Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada pasien TB karena
peningkatan penggunaan energi metabolik.

Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB menyebabkan


penurunan BB
RR (Respiration Rate)
20 x / menit (normal)
Normal range = 16-24x/menit
15

Denyut nadi
72x/menit
Normal range = 60-100x/menit
Sedikit anemis
Respon imun yang muncul karena reaksi infeksi dan inflamasi menyebabkan
dilepasnya protein yang disebut sitokin. Protein ini membantu dalam proses
penyembuhan dan melawan infeksi, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi tubuh
yang normal. Sitokin mengganggu kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi dan
menggunakan Fe. Sitokin juga dapat mengganggu kegiatan normal dari erythropoietin
dalam pembentukan sel darah merah. Sitokin dan sel Reticulo Endothelial System
(RES) menyebabkan perubahan homeostasis Fe, proliferasi sel progenitor eritroid,
produksi eritropoietin, dan juga mempengaruhi masa hidup eritrosit, dimana semua
proses ini berkontribusi pada terjadinya anemia
Ronchi
Pada auskultasi Paru-paru tidak ditemukan Ronchi (Suara pernapasan yang
kasar dan kering) (pada keadaan normal tidak ditemukan suara ronchi)

Masalah 3
Status lokalis : Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas
tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1 cm
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal status lokalis ?
Interpretasi : seharusnya pada colli normal tidak ditemukan nodul (tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening). Nodul pada kasus ini menandakan terjadinya radang
kronik karena tidak terasa nyeri. Mengenai ukurannya maka menandakan lamanya waktu
terinfeksi seseorang oleh bakteri.

16

Mekanisme gangguan yang dialami ini merupakan akibat dari infeksi


mycrobacterium tuberculosis. Bakteri ini masuk dengan 2 cara, yang pertama masuk ke
paru-paru kemudian di paru-paru terjadi 2 kemungkinan yang pertama bakteri ini mati
oleh makrofag atau yang kedua bakteri ini tetap bertahan hidup dan bermultiplikasi
dalam makrofag sehingga TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama kali secara limfogen
menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe
regional (limfadenitis). Basil yang pergi menuju limfe regional tadi salah satunya di colli.
Dia menempel dan membuat radang.
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi
paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui
inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa
ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher. Dengan adanya basil TB
membuat folikel-folikel di limfe berhiperplasia sehingga sel-sel semakin membesar dan
menyebabkan benjolan pada leher.
b. Bagaimana cara pemeriksaan status lokalis ?
Cara pemeriksaan status lokalis pada leher dilakukan dengan inspeksi dan
palpasi. Pada inspeksi dilakukan pengamatan apakah terdapat massa atau benjolan
pada bagian leher. Inspeksi dilakukan untuk mencari adanya asimetris, denyutan yang
tidak lazim, tumor, atau keterbatasan gerak. Dengan cara melakukan ekstensi dan
deviasi ke samping secara sederhana pada leher, regangan m. Sternokleidomastoideus
akan memperlihatkan batas antara trigonum anterior dan posterior. Pembesaran
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening atau kelainan struktur pembuluh darah dapat
terlihat.
Pada palpasi, cari tulang hyoid, tulang rawan tiroid, kelenjar tiroid, m.
Sternokleidomastoideus, prosesus mastoideus, tulang rawan krikoid dan a. Karotis.
Palpasi kelenjar getah bening menggunakan ujung jari untuk melakukan tekanan
ringan. Fiksasi kepala penderita dapat dilakukan dengan penempatan satu tangan di
belakang oksiput; sementara tangan yang lain melakukan palpasi. Mula-mula
pemeriksaan dilakukan di trigonum anterior kemudian di trigonum posterior dan
terakhir di submental.
17

Ketika memeriksa nodus


submental dan submandibular,
letakkan ujung jari di bawah mandibular pada sisi yang terdekat dengan tangan
yang melakukan palpasi, lalu tarik kulit dan jaringan subkutaneus secara lateral
pada permukaan mandibular sehingga jaringan nodus terlihat.
Ketika mempalpasi nodus supraklavikula, penderita

diminta

untuk

menundukkan kepala ke depan untuk relaksasi jaringan leher anterior an relaksasi


bahu sehingga klavikula turun. Kaitkan jari tengah dan telunjuk pada klavikula di
samping otot sternokleidomastoideus.
Ketika mempalpasi nodus servikal anterior dan nodus servikal posterior,
gerakkan ujung jari perlahan dengan gerakan memutar ke depan pada otot
sternokleidomastoideus dan trapezius, secara berturut-turut.
Untuk mempalpasi nodus servikal dalam, tekuk dan kaitkan jari perawat di sekitar
otot sternokleidomastoideus.

Masalah 4
Hasil laboratorium : Hb : 11,2 g%, Leukosit : 10.800/mm 3 , LED : 43 mm/jam, Diff.
Count : 0/1/4/46/44/5

18

Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal hasil laboratorium ?

Hb : 11,2 g% ( 12,0-15,0 g/dl untuk wanita ) : kadar hemoglobin yang kurang dari
nilai rujukan merupakan salah satu tanda dari anemia dan bisa juga akibat streptolisin
yang terdapat pada micobacterium tuberculosis yang bisa menyebabkan lisis

pembuluh darah.
Leukosit : 10.800 / mm3 ( 4,0-5,0 juta/l darah untuk wanita ) : tinggi /

leukositosis
Menunjukkan adanya infeksi atau peradangan .
LED : 43 mm/jam ( 0-15 mm/jam atau 0-20 mm/jam untuk wanita ) : Laju
endap darah mencerminkan perubahan protein plasma yang terjadi pada
infeksi

akut

maupun

kronik,

proses

degenerasi

dan

penyakit

limfoproliferatif. Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang


tidak spesifik terhadap kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk
adanya penyakit. Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat
dipakai untuk menilai perjalanan penyakit

seperti tuberkulosis, demam

rematik, artritis dan nefritis. Laju endap darah yang cepat atau meningkat
menunjukkan suatau lesi yang aktif dan menunjukkan terjadinya infeksi di

dalam tubuh.
Diff count : 0/1/4/46/44/5
- Basofil : 0 ( 0-1%) = normal
- Eosinofil : 1 ( 1-3%) = normal
- N.batang : 4 ( 2-6%) = normal
- N.segmen : 46 ( 50-70%) = rendah
-

Limfosit : 44 ( 20-40%) = tinggi


Limfosit merupakan sel-sel dari system imun yang membantu tubuh
melawan penyakit dan bertindak sebagai penyaring menangkap
organisme yang menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus.
Sehingga kadar limfosit yang tinggi di dalam darah menunjukkan
terjadinya infeksi di dalam tubuh.

Monosit : 5 ( 2-8%) = normal

Masalah 5
Hasil pemeriksaan histopatologi : Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat
tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal
center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan
19

dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai.
Tidak dijumpai tanda-tanda ganas
a. Apa indikasi dari biopsi ?
Indikasi: Gangguan darah,malignansi, kista, polip, proses infeksius, penyakit
progresif (sirosis, nefrosis, lupus nefritis), defek ovulatif, penolakan organ.
Biopsi biasanya dilakukan untuk:

Menindentifikasi jaringan abnormal dari berbagai sisi tubuh


Mendeteksi keberadaan proses penyakit
Mendiagnosis penyakit
Mencocokkan jaringan organ sebelum melakukan transplantasi organ
Biopsi sering dilakukan pada sumsum tulang, payudara, endometrium, ginjal,

hati.
b. Bagaimana prosedur pembuatan dan pengiriman spesimen ?
Teknik Biopsi
a.
FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) atau Si Bajah (Sitologi Biopsi Aspirasi
Jarum Halus) Menggunakan alat yang terdiri dari tabung suntik plastik ukuran 10
ml, jarum halus, gagang pemegang tabung suntik, kaca objek dan desinfektan alkohol
atau betadin. Tumor dipegang lembut lalu jarum diinsersi segera ke dalam tumor.
Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal; tekanan di dalam tabung
menjadi negatif; jarum manuver mundur-maju. Dengan cara demikian sejumlah sel
massa tumor masuk ke dalam lumen jarum suntik. Piston dalam tabung dikembalikan
pads posisi semula dengan cara melepaskan pegangan. Aspirat dikeluarkan dan dibuat
sediaan hapus, dikeringkan di udara dan dikirimkan ke laboratorium. Sering terjadi
false negative karena kemungkinan jarum tidak tepat mengambil sel yang terkena
kanker.
b.
Stereotactic Needle Biopsy (Core Biopsy) Dilakukan pada suatu gumpalan
(bengkak) yang sulit untuk dilihat atau dirasakan. Jarum akan dituntun ke area yang
dicurigai dengan bantuan mammography atau ultrasound, dan X-ray akan memastikan
area yang ingin dibiopsi.
c.
Incisional Biopsy Seperti operasi pembedahan pada umumnya. Pengambilan
irisan dari benjolan. Pada umumnya tipe ini dilakukan pada pembengkakan di
jaringan ikat seperti otot.
d.
Excisional Biopsy Keseluruhan benjolan diambil. Sering dilakukan pada
benjolan di dada. False negative jarang terjadi.

20

Biopsi jarum termasuk metode biopsi yang tidak membahayakan bagi pasien,
Keuntungan dari biopsi jarum adalah :
Tidak membutuhkan anestesi umum
Luka yang ditimbulkan kecil bahkan tak tampak
Rasa tidak nyaman yang ditimbulkan lebih kecil
Biopsi memakan waktu singkat 10-15 menit dengan efek samping minimal dan
akurat.
Sampel : Aspirasi Jarum Halus (AJH), Endapan cairan yang telah disentrifuge
Bahan :
- Larutan pewarna giemza
- Larutan Phosfat buffer (ph 6,8)
- Methanol
Prosedur kerja :
1) Sediaan apus telah benar-benar kering di udara
2) Fiksasi dengan methanol minimal 5 menit
3) Cuci dengan aquadest, biarkan kering di udara
4) Tetesi dengan pewarna Giemsa dengan perbandingan (GZ : Bufer phosfat = 1:4)
5) Cuci dengan aquadest, kering diudara
6) Tutup EZ Mount
processing Jaringan
Untuk prosessing jaringan memakai alat tissue prosessor automatic yang
bekerja 18,5 jam(bisa diubah sesuai kebutuhan). Tahapan prosessing jaringan yaitu,
Fiksasi, Dehidrasi, clearing, dan infiltrasi paraffin.
Fiksasi
Tujuan : Untuk mempertahankan struktur sel sehingga menjadi stabil secara fisik dan
kimiawi dan mencegah terjadi dialysis atau pembengkakan pada rupture.
Dehidrasi
Tujuan : untuk menghilangkan/menarik air dalam jaringan dengan cara mulai konsentrasi
terendah sampai konsentrasi tinggi.
Clearing
Tujuan : Menarik keluar kadar alcohol yang berada dalam jaringan, memberi warna yang
bening pada jaringan dan juga sebagai perantara mesuknya kedalam paraffin.
Zat yang sering dipakai Xylol, tapi bisa juga dipakai : benzol, benzene, toluol,dll.
21

Untuk jaringan otak dan limfonoid lebih baik menggunakan koloform.


Infiltrasi paraffin
Tujuan : Mengisi rongga atau pori-pori yang ada pada jaringan setelah setelah ditinggal
cairan sebelumnya(xylol).
Jumlah waktu : 18,5 Jam
4. . Pengeblokkan
Tujuan : Agar mudah dipotong menggunakan mikrotom untuk mendapatkan irisan jaringan
yang sangat tipis (sesuai yang diharapkan).
Cara Kerja :
1) Hangatkan paraffin cair, pinset, dan penutup cetakan
2) Parafin cair dituangkan kedalam cetakan
3) Jaringan dari prosessing dimasukan kedalam cetakan yang telah disi paraffin cair, tekan
jaringan agar semakin menempel di dasar cetakan.
4) Tutup cetakan diambil, letakkan diatas cetakan dan di tekan.Pasang etiket di pinggir.
5) Biarkan sampai membeku
6) Setelah beku, keluarkan dari cetakan. Rapikan sisi-sisi blog. Ganti etiket dengan yang
permanen

Foto : cetakan yang telah diisi jaringan dan paraffin

22

Foto : Blok jaringan

Foto : Blok jaringan


5. Pemotongan dengan Mikrotom

Foto : Mikrotom
23

Foto

Mikrotom

dengan

blok

jaringan

1) Sebelum pemotongan Masukan kedalam plastik yang diisi air dan letakkan di freezer 15
menit atau diberi batu es.
2) Blok dijepit pada mikrotom kemudian dipotong dengan pisau mikroto.
Kemiringan : 300 , Tebal blok paraffin 2-5mikron.
3) Hasil pemotongan (berupa pita/irisan tipis yang saling bersambung) dimasukkan kedalam
waterbath yang diisi air yang sudah dihangatkan 50 0 C, kemudian diambil dengan kaca objek
(Meletakkan potongan di waterbath tidak boleh terbalik).
Patologi Anatomi Adalah spesialis medis yang melakukan diagnosis penyakit
berdasarkan pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, molekul atas organ, jaringan, dan sel.
Yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan patologi anatomi adalah Spesialis patologi
anatomi
Spesialis patologi anatomi mendiagnosis penyakit seseorang berdasar pemeriksaan
laboratorium. Ada beberapa teknik pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi diantaranya
pemeriksaan Histologi (morfologi jaringan) atau Sitologi (Morfologi sel). Pada pemeriksaan
lab analis kesehatan(teknisi laboratorium) bertugas membuat sediaan/preparat jaringan atau
sel yang didapat dari si pasien. Sediaan harus dibuat sebaik mungkin agar spesialis dapat
melakukan diagnosis yang akurat.
Disini akan diuraikan secara singkat teknik pembuatan sediaan pemeriksaan sitologi
dan pemeriksaan histologi dilaboratorium Patologi Anatomi.

24

A. Sediaan untuk Pemeriksaan Sitologi


Pada pemeriksaan sitologi yang diperiksa morfologi sel-sel cairan tubuh. Sediaan atau
disebut duga preparat dibuat berupa apusan pada objek glass yang diwarani dengan
pewarnaan tertentu.
1. Sediaan/preparat dengan pewarnaan metode Giemza
Tujuan : Terutama yang diperiksa adalah detail dari morfologi untuk memeriksa intisel, untuk
melihat apakah sel tersebut sel normal, sel noeplasma jinak atau ganas.
Sampel : Aspirasi Jarum Halus (AJH), Endapan cairan yang telah disentrifuge
Bahan :
- Larutan pewarna giemza
- Larutan Phosfat buffer (ph 6,8)
- Methanol
Prosedur kerja :
1) Sediaan apus telah benar-benar kering di udara
2) Fiksasi dengan methanol minimal 5 menit
3) Cuci dengan aquadest, biarkan kering di udara
4) Tetesi dengan pewarna Giemsa dengan perbandingan (GZ : Bufer phosfat = 1:4)
5) Cuci dengan aquadest, kering diudara
6) Tutup EZ Mount
2. Sediaan/preparat dengan pewarnaan metode Papaniculo
Metode ini umumya digunakan untuk pewarnaan Papsmear (tapi terkadang ada juga
selain papsmear diwarnai dengan metode ini).
Papsmear digunakan untuk mendignosis Kanker serviks. Melihat ada tidaknya sel ganas
Sampel : apusan daerah peralihan endoserviks.
Bahan:
-Haematoksilin mayer
-EA (Eosin alkohol) 65/EA 36
- Alkohol 95% dan Alkohol absolut
Untuk EA 65 isinya: Eosine Y, Phospotung stic acid, light green, alk. Absolute
Prosedur Kerja :
1) Sedian apusan difiksasi dengan alcohol 95% 15 menit
2) Air mengalir sampai bebas alkohol 5 menit
(rak preparat diletakan di wadah yang di beri air mengalir)
3) Mayer haematoksilin 3-5 menit
25

4) Air Mengalir 15 menit


5) Alkohol 95% 10 kali celup
-Alkohol 95% 10 kali celup
6) EA 3-5 menit
7) Alkohol 95% 5 kali celup
-Alkoho 95% 5 kali celup
- Alkohol absolute 5 kali celup
8) Keringkan diudara
9) Xylol/clearing
10) Tutup dengan EZ mount

Foto : peralatan pengecatan

Hal-hal yang harus diperhatikan untuk pembuatan sediaan/preparat papsmear :


- Pengambilan sampel harus mendapat sel-sel endoserviks sel-sel metaplasia dan sel-sel
skuamosa (komponen daerah peralihan), harus harus sedikit mungkin mengandung darah.
- Sediaan harus segera difiksasi dengan alkohol 95%. Preparat yang kering belum difiksasi
akan menyebabkan sel-sel rusak. Apabila tempat pengecatan jauh,setelah difiksasi keringkan
dan masukkan kewadah yang dapat menjaga keamanan sediaan.
- Jika menggunakna hairspray tidak boleh terlalu dekat, karena akan menghapus atau tidak
terfiksasi dengan baik.
*Kesalahan pada kriteria yang diatas bisa menyebabkan negatif palsu.
*Kesalahan pada pewarnaan dan screening dapat menyebabkan positif palsu.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan sitologi dan fiksasinya:
1. Objek glass harus benar-benar bersih, terus beri nomor sesuai data biar tidak tertukar,
2. luas kaca objek memanjang, kita apus merata,tidak terlalu tebal dan terlalu tipis
3. Segera fiksasi sesuai dengan pewarnaan yang akan digunakan

26

4. Untuk cairan, disentrifuge dahulu dan kemudian diambil untuk diproses


5. Untuk bahan sputum diambil bagian berwarna dan kental untuk dibuat pulasan. Bagian
yang lain bisa gunakan sebagai sel blog.
B. Sediaan untuk Pemeriksaan Histologi
1. Tahap periksaan dimulai dari penerimaan sampel di tata usaha. Petugas penerima harus
mengecek kembali sampel tidak boleh asal terima.
- Jaringan atau organ yang diterima harus dalam keadaan terfiksasi dengan formalin buffer
10%(perbandingan jaringan dan cairan fiksasi, 1:9 ) dan ditutup rapat.
* Buffer formalin 10% :
1. formaldehid 40% H.CHO = 100 ml
2. Sodium Phospat monobasic NaH2PO4.H2O = 4 gram
3. Sodium Phopat dibasic Na2HPO4 = 6.5 gram
4. Aquadest = 900 ml
- Identitas pasien harus dilengkapi seperti, nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan,riwayat penyakit, Dibagian yang ingin diperiksa.
- Jenis sampel sampel harus di Cross check, apa sama jenis sampel yang ditulis dengan yang
diterima
- Dan harus di tanya bagai mana menyampaian hasil pemeriksaan, Jika pasien ingin
mengambil sampel sendiri harus ada surat pengantar.
- Nama dan alamat dokter pengirim sampel harus ada,
Dokter pengirim harus diingatkan jika ada yang tidak sesuai kriteria.
2. Pemeriksaan Makroskopis
Pemeriksaan makaroskopis dilakukan oleh dokter tugas analis kesehatan/teknisi laboratorium
mendampingi dokter, melakukan pencatatan hasil pemeriksaan dokter. Pada tahap ini dokter
juga akan memotong jaringan yang dicurigai

27

3. Foto : Jaringan yang sudah dipotong


Processing Jaringan
Untuk prosessing jaringan memakai alat tissue prosessor automatic yang bekerja 18,5
jam(bisa diubah sesuai kebutuhan). Tahapan prosessing jaringan yaitu, Fiksasi, Dehidrasi,
clearing, dan infiltrasi paraffin.

Foto : Tissue Automatics Prosessor


Tahapan kerja pada Tissue Automatics Prosessor
1) Fiksasi
Botol 1. Buffer Formalin 10% 2 jam
2) Dehidrasi
28

Botol 2. Alkohol 70% 1,5 jam


Botol 3. Alkohol 80% 1,5 jam
Botol 4. Alkohol 95% 1,5 jam
Botol 5. Alkoho absolute I 1,5 jam
Botol 6. Alkoho absolute II 1,5 jam
Botol 7. Alkoho absolute III 1,5 jam
3) Clearing
Botol 8. Xylol I 1 Jam
Botol 9. Xylol II 1,5 Jam
Botol 10. Xylol III 1,5 Jam
4) Infiltrasi paraffin
Botol 11. Paraffin cair I 1,5 jam
Botol 12. Paraffin cair II 2 jam
Jumlah 18,5 jam
Fiksasi
Tujuan : Untuk mempertahankan struktur sel sehingga menjadi stabil secara fisik dan
kimiawi dan mencegah terjadi dialysis atau pembengkakan pada rupture.
Rumus yang digunakan untuk memonitor fiksasi baik atau buruk diuji dengan rumus:
d = k t
d = ketebalan jaringan (mm)
t = waktu yang dibutuhkan/tersedia
k = ketetapan daya fiksir dari atas dan bawah (2 X ketetapan masing-masing fiksasi)
Ketetapan fiksasi formalin 10% = 0.78
Dehidrasi
Tujuan : untuk menghilangkan/menarik air dalam jaringan dengan cara mulai konsentrasi
terendah sampai konsentrasi tinggi.
Clearing
Tujuan : Menarik keluar kadar alcohol yang berada dalam jaringan, memberi warna yang
bening pada jaringan dan juga sebagai perantara mesuknya kedalam paraffin.
Zat yang sering dipakai Xylol, tapi bisa juga dipakai : benzol, benzene, toluol,dll.
Untuk jaringan otak dan limfonoid lebih baik menggunakan koloform.

29

Infiltrasi paraffin
Tujuan : Mengisi rongga atau pori-pori yang ada pada jaringan setelah setelah ditinggal
cairan sebelumnya(xylol).
Jumlah waktu : 18,5 Jam
4. . Pengeblokkan
Tujuan : Agar mudah dipotong menggunakan mikrotom untuk mendapatkan irisan jaringan
yang sangat tipis (sesuai yang diharapkan).

Foto : Cetakan
Cara Kerja :
1) Hangatkan paraffin cair, pinset, dan penutup cetakan
2) Parafin cair dituangkan kedalam cetakan
3) Jaringan dari prosessing dimasukan kedalam cetakan yang telah disi paraffin cair, tekan
jaringan agar semakin menempel di dasar cetakan.
4) Tutup cetakan diambil, letakkan diatas cetakan dan di tekan.Pasang etiket di pinggir.
5) Biarkan sampai membeku
6) Setelah beku, keluarkan dari cetakan. Rapikan sisi-sisi blog. Ganti etiket dengan yang
permanen

30

Foto : cetakan yang telah diisi jaringan dan paraffin

Foto : Blok jaringan

Foto : Blok jaringan


5. Pemotongan dengan Mikrotom

31

Foto : Mikrotom

Foto

Mikrotom

dengan

blok

jaringan

1) Sebelum pemotongan Masukan kedalam plastik yang diisi air dan letakkan di freezer 15
menit atau diberi batu es.
2) Blok dijepit pada mikrotom kemudian dipotong dengan pisau mikroto.
Kemiringan : 300 , Tebal blok paraffin 2-5mikron.
3) Hasil pemotongan (berupa pita/irisan tipis yang saling bersambung) dimasukkan kedalam
waterbath yang diisi air yang sudah dihangatkan 50 0 C, kemudian diambil dengan kaca objek
(Meletakkan potongan di waterbath tidak boleh terbalik).
32

Foto : Waterbath
Cttn : Pisau dan waterbath bisa diberi alcohol 50% untuk menurunkan tegangan permukaan
yang membantu merentangkan pita.
Objek glass jangan diolesi albumin gliserin karena biasanya albumin bila diinkubasi akan
mengeras.menjaga agat jangan lepas saat pengecatan
6. Inkubasi
Tujuan : Menguapkan air yang terbawa oleh hasil potongan hingga jaringan menempel lebih
kuat.
Cara kerja : inkubasi preparat di atas hot plate dengan suhu50 0 C(dibawah titik cair paraffin)
selama 15 menit
Sebaiknya dialasi dengan kertas merang.
Untuk pengecatan imunnohistokima inkubasi 390C selama 1 malam
7. Pengecatan
Umumnya dalam pengecatan histopatologi digunakan cat Hetatoxylin-Eosin (HE) disamping
cat khusus (PAS, gomori, ZN, Malory, dll) dan cat yang lebih khusus yaitu
immunohistokimia (ER, PR, CD20, LMP, dll)
Prosedur pengiriman bahan histopatologi
a. Formalin 10% buffer
b. Sediaan dimasukkan ke dalam cairan fiksasi dengan kondisi seluruh jaringan terendam
dalam cairan (vol cairan 10 kali vol jaringan)
c. Bila jaringan besar sebaiknya dilakukan irisan/lamelasi dengan jarak 1 cm agar cairan
masuk ke dalam jaringan
Prosedur pengiriman bahan sitologi
1. pap smear alkohol 95%
33

Setelah sediaan apus dibuat, sewaktu sekret masih segar masukkan segera sediaan ke dalam
cairan fiksasi 95% dan waktu fiksasi minimal selama 30 menit
2. sputum
- fiksasi alkohol 95% dikirim 3 kali, 3 hari berturut-turut
- dapat dikirim dalam bentuk sediaan apus dengan prosedur seperti sitologi pap smear
3. urine/cairan rongga tubuh (cairan pleura, ascites)
- dapat dikirim dalam bentuk sediaan apus endapan dari hasil centrifuge cairan dan
dimasukkan dalam botol berisi cairan fiksasi alkohol 95%
- urine/cairan pleura/ascites sebanyak 100-200 cc

dengan fiksasi alkohol 50% aa

3. FNAC (fine needle aspiration cytology)


Fiksasi kering : sediaan apus dikeringkan di udara terbuka tanpa fiksasi, lalu kirim ke lab
Fiksasi basah : sedian apus direndam dalam fiksasi alkohol 95% kemudian dikirim
c. Sebutkan dan jelaskan pemeriksaan penunjang diagnosis dari skenario ini ?
a. Pemeriksaan Histopatologi
Aplikasi histopatologi merupakan suatu cara membuat preparat dengan menipiskan
sel jaringan dari organ-organ tubuh. Untuk itu jaringan halus dapat ditanam pada parafin
dengan pembekuan, selanjutnya jaringan dipotong. Prasyarat untuk mendapatkan
histopatologi dan histokimia yang tepat dapat diperoleh dengan mengamati preparat dibawah
mikroskop elektron. Preparat dari histopat mempunyai tanda spesifik yang terlihat dari
jaringan sel dan struktur jaringan akibat serangan patogenisitas. Prosedur dari aplikasi
histopatologi organ.
Menurut Suntoro (1983), histopatologi jaringan bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya mikroorganisme yang bersifat patogen dalam jaringan hewan atau manusia.
Histopatologi juga bermanfaat untuk membedakan luka akibat racun atau bakteri dengan
struktur normal.
Pengamatan hasil untuk diagnosis dengan metode komparasi dibawah mikroskop
cahaya pada pembesaran 100- 1000 x:

34

a. Preparat menunjukkan positif WSSV apabila ditemukan cirri perubahan sebagai berikut
hiperthropi inti sel, adanya benda asing (inclusion body) tunggal bersifat eosinofilik di dalam
inti sel, serta kromatin menepi kearah membran inti.
b. Preparat menunjukkan positif HPV apabila ditemukan cirri perubahan sebagai berikut
abnormal hepatopankreas berupa benda inklusi tunggal dalam inti sel yang bersifat
eosinofilik.
c. Preparat menunjukkan positif MBV apabila ditemukan cirri perubahan sebagai berikut
abnormal hepatopankreas berupa kumpulan benda oklusi dalam inti sel yang menyerupai
kumpulan buah anggur yang bersifat basofil.
d. Preparat menunjukkan positif YHV apabila ditemukan ciri sebagai berikut abnormal
berupa benda inklusi di tepi inti atau perinuklea yang bersifat basofil.

35

Germinal center
aktif

Berbagai ukuran Folikel


limfoid

Kelenjar Getah Bening (Limfoid hiperplasia)

TBC

b. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk
36

pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB
agar perwarnaan dapat positif. Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur
positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat digunakan
seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa
minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah
penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya
reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen
yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 210 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm,
intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm.
d. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi
kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk
menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99%. CT scan dapat digunakan untuk
membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal. Pada
pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis
kaseosa.
e. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru
pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus.
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel
hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan USG juga dapat
dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik,
lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi
TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes.
37

Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin
irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang
bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan
pada limfadenitis TB.
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus
nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini
bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik.
d. Apa diagnosis dari pemeriksaan histopatologi ?
Dari pemeriksaan histopatologis ditemukan bahwa Nn. Fanny menderita Limfadenitis
Tuberculosis Granulomatous Chronic Specific.
e. Bagaimana patogenesis dari diagnosis tersebut ?
Tuberkulosis Ekstrapulmoner
Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain
pada paru-paru, misalnya pada pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus
TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak
(35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB
ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang
terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan
perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990).
Etiologi
Limfadenitis

tuberkulosis

disebabkan

oleh

infeksi

Mycobacterium

tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo


Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae
complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5.
M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi (Raviglione, 2010).

38

Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 m dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan
filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya
dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna
tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol,
sehingga

dijuluki

bakteri

tahan

asam

(Raviglione,

2010;

Jawetz,

2004).

M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar,


2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon
sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak
khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu
replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih
cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23C, dan tidak terlalu bersifat
tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).
Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi
pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB postprimer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada
orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa
(Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut
sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran
kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi
droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag alveolus dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
39

bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara


limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB
tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis)
dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik,
3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam
makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon
bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks
Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus
Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam
beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan
membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada
TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe
lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal
merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru
(Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB
masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher
(Datta, 2004).

Klasifikasi tuberculosis :
1. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti :
a. Pembagian secara patologis :

40

- Tuberculosis primer ( Child hood tuberculosis )


- Tuberculosis post primer ( Adult tuberculosis )
b. Pembagian secara aktifitas radiologis :
- Tuberculosis paru ( Koch pulmonal ) aktif, non aktif dan quiesent ( batuk aktif yang mulai
sembuh )
c. Pembagian secara radiologis ( Luas lesi )
- Tuberculosis minimal
Terdapat sebagian kecil infiltrat non kapitas pada satu paru maupun kedua paru, tapi
jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
- Moderateli advanced tuberculosis
Ada kapitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak
lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu
paru.
- For advanced tuberculosis
Terdapat infiltrat dan kapitas yang melebihi keadaan pada moderateli advanced tuberculosis.
2. Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat pada tahun 1974 American Thorasic Society
memberikan klasifikasi baru:
a. Karegori O : tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak tidak pernah, tes
tuberculin negatif.
b. Kategori I : Terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti adanya infeksi, disini riwayat kontak
positif, tes tuberkulin negatif.
c. Kategori II : Terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit
d. Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.
41

3. Klasifikasi yang sering dipakai di Indonesia adalah berdasarkan kelainan klinis, radiolis
dan mikrobiologis.
a. Tubercolosis paru
b. Bekas tuberculosis paru
c. Tuberculosis paru tersangka
- Tuberculosis paru yang terobati. Disini sputum BTA ( negatif ) tetapi tanda-tanda lain positif
.
- Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati.Disini sputum negatif dan tanda-tanda lain
juga meragukan.

4. Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori :


a. Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan
batuk TB berat.
b. Kategori II : ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA positf
c. Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I.
d. Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.

Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien
biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien
limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang
paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar
42

getah bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar
dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian
diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal
hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh
Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe
servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula
pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004),
pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang
paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal
maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat
dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior
dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2004).
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe
yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii) pembesaran
kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat
pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis
dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB
servikalis (Mohapatra, 2004).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm biasanya disebabkan
oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh
mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan
oleh M.tuberculosis.

f. Bagaimana patofisiologi dari :


1. Folikel limfoid hyperplasia
Hiperplasia folikel berkaitan dengan infeksi atau proses peradangan yang
mengaktifkan sel B. Sel B dalam berbagai tahap diferensiasi berkumpul di dalam pusat
germinativum besar yang bulat atau oblong (folikel sekunder). Temuan yang
menunjang diagnosis hiperplasia folikel adalah (1) dipertahankannya arsitektur
kelenjar getah bening dengan jaringan limfoid normal di antara pusat germinativum;
(2) nodus limfoid yang ukuran dan bentuknya sangat bervariasi; (3) populasi campuran
43

limfosit pada tahap diferensiasi yang berbeda; dan (4) aktivitas fagositik dan mitotik
yang menonjol di pusat germinativum.

2. Nekrosis perkijuan
Perjalanan infeksi tuberculosis melalui 5 tahap. Pada tahap 3 terjadi nekrosis
kaseosa, jumlah kuman tuberculosis menetap karena pertumbuhan kumannya dihambat
oleh respon imun tubuh terhadap tuberculin-like antigen. Padastage ini, DTH
merupakan respon imun utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi
kuman. Respon ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi.Dalam solid caseous center
yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated
makrofag yang tidak aktif dan partly activated macrofag. Pertumbuhan kuman TB
secara logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini menyebabkan perluasan
caseous center dan progresifitas penyakit. Kuman tubekulosis masih dapat hidup dalam
solid caseous necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan anoksia,
penuruna pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini metabolism
kuman minimal sehingga tidak sensitive terhadap terapi. Caseous necrosis ini
merupakan reaksi DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya T yang melibatkan
clotting factor, sitokin TNF-alfa, nitrogen intermediate, kompleks antigen antibody,
komplemen dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi
inflamasi, endotel vascular menjadi aktif menghasilkan molekul-molekul adhesi
(ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC kelas I dan II.
g. Bagaimana respon imun pada skenario ini ?
Pada dasarnya ketika pertahanan primer yang dapat berupa leukosit,makrofag
(nonspesifik) tidak berhasil menghancurkan suatu jejas maka akan terjadi pertahanan
sekunder/spesifik dimana akan terjadi pengenalan situs antigen. Pengenalan ini diawali
oleh APC (dapat berupa sel dendritik / makrofag yang membawa epitop ke jaringan
tymus tempat limposit T berkembang) ketika TCR (reseptor T) dibantu protein CD4
mengikat epitop yang berlekatan dengan MHC II APC maka akan terjadi pengenalan
situs dimana akan terbentuk memory cell dan kemudian T CD4 akan berubah menjadi
Th2 yang menghasilkan IL-4 yang merangsang pembentukan limposit B dan akan
menjadi sel plasma (matur) yang melawan antigen di tempat peradangan. Selain itu akan
terbentuk Th1 yang menghasilkan IL-2 untuk meningkatkan kerja Th1 sendiri dan
44

merangsang Ts untuk membunuh sel yang terinfeksi setelah terjadi pengenalan antara
CD8 dengan epitop pada MHC1 sel. Th1 juga akan menghasilkan interferon-Y yang
merangsang percepatan makrofag aktif ke jaringan yang terinfeksi sehingga terjadi
proses radang. Peningkatan sel plasma dan makrofag akan membentuk pola khusus
berupa granuloma. Makrofag akan memperkuat kerjanya (disetimulasi IL-4 dan INF-Y
dari limposit) dengan berfusi menjadi epiteloid dan giant sell. Pembentukan jaringan
fibrosis ( mekanisme radang kronis) untuk melokalisir reaksi radang agar tidak meluas
dan melokalisir reaksi komunikasi sistem imun.
h. Bagaimana tatalaksana yang dilakukan ?
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan,
sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan
tuberkulosis paru. Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama, karena
pembedahan tidak memberikan keuntungan tambahan dibandingkan terapi farmakologis
biasa.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB
kedalam TB di luar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society Research
Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam
regimen 2RHE/7RH.
Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT):
1. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua)
jenis berdasarkan sifatnya yaitu:
a. Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin,
pirazinamid, dan streptomisin.
b. Bakteriostatik, yaitu etambutol.
Kelima obat tersebut di atas termasuk OAT utama.
2. OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs),
aminosalicylicAcid

(PAS),

ethionamid,

sikloserin,

terdiri

dari

kanamisin,

Paradan

kapreomisin. OAT sekunder ini selain kurang efektif juga lebih toksik, sehingga
kurang dipakai lagi.
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-- prinsip yang dipakai adalah:

45

Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


diberikandalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepatsesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk

mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.


Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung

(DOT = Directly Observed

Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Dengan kemajuan teknik imaging sekarang ini seperti USG, CT atau MRI banyak halhal yang bersifat invasif dapat digantikan seperti laprotomi untuk staging. Stadium Klinik
dibedakan :
Stadium I : Bila tumor terdapat pada satu kelompok kelenjar getah bening (I) atau pada satu
organ ekstralimfatik selama masih soliter (IE).
Stadium II : Bila tumor didapat pada dua atau lebih grup kelenjar getah benig pada pihak
yang sama dari diafragma (II) atau bila terdapat pada satu atau lebih kelompok klenjar getah
bening disertai tumor soliter ekstralimfatik namun masih dalam satu pihak diafrgma ( IIE).
Stadium III : Bila terkena kelenjar getah bening pada dua pihak diafragma (III) dan apabila
ada organ ekstralimfatik terkena, masih soliter (IIIE).
Stadium VI : Bila penyakit ditemukan difuse pada satu organ atau lebih dengan atau tanpa
terserangnya kelenjar getah bening.
Tatalaksana
I. Radiasi
Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
Untuk stadium IIIA/Bsecara total nodal radioterapi.
Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation.
Untuk stadium IV secara total body irradiation..
II. Kemoterapi untuk stadium III dan IV
Untuk stadium I dan II dapat pula diberi khemoterapi preradiasi atau pasca radiasi.
Khemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi :
COP untuk Limfoma Non Hodgkin

46

C : Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari pertama.


O : Oncovin 1,4 mg/m2 i.v.hari pertama
P : Prednison 60 mg/m2 hari 1 s/d 7 lalu tapering off.
MOPP ( untuk limfoma Hodgkin)
M. : Nitrogen mustard 6 mg/m2 hari 1 dan 8
O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari1 dan 8
P : Prednison 60 mg/m2 hari 1 s/d 14
P : Procarbazin 100 mg/m2 hari 1 s/d 14
Peranan pembedaan pada penatalaksanaan limfoma malignum terutama hanya untuk
diagnostik (biopsi) dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.
Tata laksana pembesaran kelenjar getah bening leher didasarkan kepada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening leher sembuh dengan sendirinya dan
tidak membutuhkan pengobatan apa pun selain dari observasi. Kegagalan untuk mengecil
setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening.
Biopsy dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan,
kelenjar getah bening yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat,
atau diagnosis belum dapat ditegakkan.
Pembesaran kelenjar getah bening biasanya disebabkan oleh virus dan sembuh
sendiri, walaupun pembesaran kelenjar getah bening dapat berlangsung mingguan.
Pengobatan pada infeksi kelenjar getah bening oleh bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic
oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali
sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotic golongan penicillin dapat diberikan
cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga kali sehari atau erythromycin 15 mg/kg
(sampai 500 mg) tiga kali sehari.

i. Bagaimana hubungan jenis kelamin dan umur dengan penyakit pada skenario ?
Jenis Kelamin : Berdasarkan laporan dari WHO, sedikitnya dalam periode
setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB. Pada jenis kelamin lakilaki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga
dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen
penyebab TB Paru (Roebiono. PS, 2009). Namun bukan berarti laki-laki yang tidak

47

merokok tidak dapat terkena tuberculosis, hal ini juga bergantung pada sistem imun dan
insidensial paparan bakteri.
Umur : Penyakit TB paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif
(15 50) tahun. Namun pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru
(Roebiono. PS, 2009). Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes RI, 2001).
Hasil penelitian Gustafon, P et al (2004) (dikutip dalam Desmon, 2006)
membuktikan bahwa ada efek dosis respon yaitu semakin tua umur akan meningkatkan
risiko untuk menderita penyakit tuberkulosis dengan OR pada usia 25-34 tahun adalah
1,36 (95% Cl 0,91-2,04) dan pada kelompok umur lebih dari 55 tahun OR sebesar 4,08
(95% Cl 2,664-6,31). Artinya bahwa hasil penelitian gustafon menunjukkan usia diatas
55 tahun berisiko 4,08 kali menderita penyakit tuberkulosis daripada umur kurang dari
55 tahun.

6. KETERKAITAN ANTAR MASALAH

Nn. Fanny (22 th) 6 bulan yll mengeluh benjolan di leher kiri dan kanan
Datang ke poli bedah RSMH
Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum
Sakit sedang, Compos
Mentis, BB 43 Kg, TB
156 cm, Sedikit
anemis, RR :
20x/menit, Nadi :
72x/menit, Tidak
terdapat ronchi

Status Lokalis

Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 11,2 g%, Leukosit :
10.800/mm3 , LED : 43
mm/jam, Diff. Count :
0/1/4/46/44/5

Pada colli sinistra


teraba 2 buah nodul
ukuran 4x3 cm dan
2x1 cm batas tegas,
dan colli dextra 1
buah nodul ukuran
2x1 cm

48

Pemeriksaan Histopatologi
Kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat
tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid
hiperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal
center aktif. Bagian kelenjar getah bening yang
mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh
sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia
langhans. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas

8. KERANGKA KONSEP
Nn. Fanny (22 th) inhalasi droplet mycobacterium tuberculosis
Lolos di pertahanan mukosa siliaris
Bersarang di bagian terminal alveoli (bentuk focus GOHN)
Infeksi laten
Basil menuju KGB
Pembentukan imun spesifik
Reaksi DTH (Delay Type Hypersensitivity)
Lymphadenitis Granulomatous Chronic Specific
9. SINTESIS
1. TB kelenjar (Limfadenitis TB)
Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening.
Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau
getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland,
1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering
terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor
skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal
sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama Kings evil,
dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya (McClay,
2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung
tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan
tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).
Epidemiologi
Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah
pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab
kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan
terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat
49

penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru
disebabkan oleh epidemi HIV, dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu
orang dari tujuh orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009). Indonesia pada tahun
2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia
sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan
(0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian terbesar
ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran
pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi
(Depkes, 2007).
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB
pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu
masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis
yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner
merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana
limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner).
Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50%
kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB
ekstrapulmoner (Sharma, 2004).
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan
perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data
demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria
dengan rentang umur 40,9 16,9 (13 88) (Geldmacher, 2002). Penelitian lainnya
terhadap 69 pasien limfadenitis TB didapat 48 orang wanita dan 21 orang pria dengan
rentang umur 31,4 13,1 (14 60) (Jniene, 2010).
Etiologi
Limfadenitis

tuberkulosis

disebabkan

oleh

infeksi

Mycobacterium

tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo


Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae
complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5.
M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi (Raviglione, 2010).
50

Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 m dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan
filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya
dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna
tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol,
sehingga

dijuluki

bakteri

tahan

asam

(Raviglione,

2010;

Jawetz,

2004).

M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar,


2004).
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam
mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung
jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan lipid dengan
menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini (Brooks,
2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon
sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak
khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu
replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih
cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23C, dan tidak terlalu bersifat
tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).
Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi
pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB postprimer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada
orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa
(Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut
sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran
kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.

51

TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi
droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara
limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB
tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis)
dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik,
3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam
makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon
bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks
Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus
Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam
beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan
membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada
TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe
lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal
merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru
(Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB
masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher
(Datta, 2004).
Manifestasi Klinis

52

Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.


Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga
pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis
banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004).
Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang
terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan
8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan
terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIVnegatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering
terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,
tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang
secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di
regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra,
2004). Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada
90% pasien HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal,
limfadenopati intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering
ditemukan (Sharma, 2004). Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat
menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue
dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik
(Mohapatra, 2004). Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada 21,8%
pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien (Mohapatra, 2004).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.

53

2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar oleh
karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar
limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii)
pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses
kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang
tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi
pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian
oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB didapat 11 orang dengan
pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan adanya pembentukan fistula.
Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan kelenjar yang disertai adanya tandatanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya fistula. Secara klasik, sinus
tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus cair
yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh
perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan
langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi
pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar
limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus
toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu,
obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive
jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis
mediastinal (Mohapatra, 2004).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).
54

Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang
tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak
klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi
jarum halus dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan
sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat
dibuat berdasarkan biopsi dan kultur (Bayazit, 2004). Juga penting untuk
membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-tuberkulosis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen
untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan
ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan
minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit,
2004).
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB.
Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur
positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media dapat digunakan
seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu
beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa,
M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan
adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada
seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD).
Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila
terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif
apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).
c. Pemeriksaan Sitologi
55

Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi


aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi
aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan,
2001). CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar
limfe intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan sitologi akan
terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.
Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional
seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap
dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik
tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa
aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat
memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.

d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten
dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi
pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004).
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau
multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan
dengan USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar
(infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran
kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency,
peripheral halo, dan internal echoes (Khanna, 2011).
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral,
adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya,
derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan
dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, 2004).
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan
konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004).
56

2. Radang akut dan kronis


RADANG
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme
terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang
terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau
terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,
bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang
berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi
jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:[1]

memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk


meningkatkan performa makrofaga

menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi

mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.


Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll,
yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:

pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah


infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan
tekanan darah terutama pada pembuluh kecil.

aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah.

kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan
memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam
jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi.
Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai
berikut:

tumor atau membengkak

calor atau menghangat


57

dolor atau nyeri

rubor atau memerah

functio laesa atau daya pergerakan menurun dan kemungkinan disfungsi organ atau
jaringan.

Perbedaan Radang Akut dan Radang Kronis


Radang akut ditandai dengan perubahn vaskuler, edema, dan inflitrasi neutrofil dalam
jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti
makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi
pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis)

RADANG AKUT
Radang akut merupakan reaksi segera jaringan terhadap berbagai macam agen
penyebab yang merugikan, dan dapat berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa
hari. Proses tersebut biasanya diterangkan dengan akhiran -itis, yang didahului
dengan nama organ atau jaringan yang terkena. Respon radang akut adalah sama, apa
pun yang menjadi agen penyebabnya.
Penyebab:
- Infeksi mikrobial, misalnya bakteri piogenik, virus
Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri
-

melepaskan eksotoksin yang spesifik yang spesifik atau endotoksin.


Reaksi hipersensitivitas, misalnya parasit, basil tuberkulosis
Terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya
atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
Agen fisik, misalnya trauma, radiasi pengion, panas, dingin
Kimiawi, misalnya korosif, asam, basa, agen pengurang, toksin bakteri
Jaringan nekrosis, misalnya infark iskemik.

Radang Akut Menjadi Radang Kronis


Apabila agen penyebab radang akut tidak dihilangkan, radang akut dapat tumbuh
menjadi radang kronis. Sebagai tambahan pada organisasi jaringan, sifat eksudat
seluler berubah, dengan limfosit, sel plasma, dan makrofag (kadang termasuk sel datia
berinti banyak) menggantikan neutrofil polimorf. Meskipun demikian, radang kronis
sering merupakan proses primer, tanpa didahului periode radang akut.
58

RADANG KRONIS
Istilah kronis digunakan untuk menjelaskan suatu proses yang telah berlangsung
dalam waktu yang lama. Pada keadaan tersebut, jenis reaksi seluler yang terlihat
berbeda dengan yang terlihat pada radang akut. Radang kronis mungkin dapat
didefinisikan sebagai proses radang dimana limfosit, sel plasma dan makrofag lebih
banyak ditemukan, dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan
granulasi, yang menghasilkan firbosis. Radang kronis umumnya primer (radang
kronis ab initio), tetapi ada kalanya sebagai lanjutan dari radang akut.
Penyebab:
Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten
oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan
jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya
silika), penyakit autoimun.
Pada umumnya benda asing mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan
radang kronis yang spesifik, disebut radang granulomatosa, dan menyebabkan
terbentuknya sel datia berinti banyak yang berasal dari makrofag, yang disebut sel
datia benda asing.
Mekanisme:
Mekanisme reaksi inflamasi kronis umum dimulai dari suatu agen pencidera yang
akan menghasilkan antigen yng mana antigen ini akan merangsang pembentukan
proses perubahan Limfosit T yang menjadi sel T efektor yang berakumulasi
membentuk respon sel T sitotoksik yang berperan dalam lisis sel (selular imuniti). Sel
T tersebut juga berpengaruh dalam pembentukan granuloma epiteloid dirangsang oleh
sitokin. Sel T sitotoksik juga berpengaruh dalam perubahan limfosit B menjadi sel
plasma, yang akhirnya berpern dalam pembentukan antibodi untuk melemahkan
antigen (humoral imuniti). Makrofag yang telah memakan antigen, dalam proses
kronis akan membentuk granuloma awal, yang dalam keadaan infeksius membentuk
jaringan granuloma epiteloid kaseosa, dan pada keadaan noninfeksius menghasilkan
granuloma epitoloid nonkaseosa. Yang pada proses penyembuhan membentuk
jaringan fibrosis.
3. Respon imun
59

Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap infeksi


tuberkulosis yaitu respon imun selular (sel T dan makrofag yang teraktivasi) bersama
sejumlah sitokin dan pertahanan secara humoral (anti bodi-mediated). Respon imun
seluler lebih banyak memegang peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi
tuberkulosis. Pertahanan secara humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Untuk menimbulkan respons antibodi maka sel B dan sel T harus saling
berinteraksi. Antigen yang berada di dalam makrofag atau yang berfungsi sebagai
antigen presenting cell (APC) menyajikan antigen mikroba kepada sel Th. Aksi
pengenalan itu sel Th bersama-sama ekspresi MHC kelas II kepada sel Th,
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen. Aktivasi
sel T menyebabkan terjadinya diferensiasi B menjadi sel plasma yang kemudian
menghasilkan antibodi. Sel B menerima signal dari sel T untuk berbagi dan
berdiferensiasi menjadi antibodi forming cells (APC) dan sel memori B.
Respon imun primer terjadi sewaktu antigen pertama kali masuk ke dalam
tubuh, yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparan. Kadar
IgM mencapai puncaknya pada hari ke-7. Pada 6-7 hari setelah pemaparan, barulah
bisa di deteksi IgG pada serum, sedangkan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG
mencapai puncaknya yaitu 10-14 hari setelah pemaparan anti gen. Respon imun
sekunder terjadi apabila pemaparan anti gen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di
sebut juga booster. Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini umumnya tidak
melebihi puncaknya pada respon primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih
tinggi dan berlangsung lebih lama. Perbedaan dalam respon ini di sebabkan adanya
sel B dan sel T memory akibat pemaparan yang pertama (Kardjito, 1996).
Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam paru paru, proteksi
utama respon imun spesifik terhadap bakteri intaseluler berupa imunitas selular.
Imunitas seluler terdiri dari sel CD4+ yang mengaktifkan makrofag yang
memproduksi IFN- dan CD8+ yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel
terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba intraseluler
dapat pula membentuk granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan. Bakteri
intraseluler dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam
sitoplasma. CD4+ memberikan respon terhadap peptide antigen MHC-II asal bakteri
intravesikular,

memproduksi

IFN-

60

yang

mengaktifkan

makrofag

untuk

menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD4+ naif dapat berdeferensiasi menjadi


sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba yang dimakan.
Beberapa jenis kuman, seperti kuman tuberkulosis (TB), lepra (morbus
hansen), listeria dan brusela dapat hidup terus serta melanjutkan pertumbuhannya di
dalam sitoplasma makrofag setelah mereka difagositosis. Induksi respons kekebalan
spesifik sekunder terhadap sejenis mikroba dapat merangsang tubuh untuk serentak
memberikan kekebalan nonspesifik pada mikroba lain yang mempunyai sifat
pertumbuhan yang sama.
Bukti secara eksperimental menunjukkan bahwa pertahanan anti mikobakteri
adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau makrofag berperan
sebagai efektor utama sedangkan limfosit T sebagai pendukung proteksi atau
kekebalan.
Menurut Andersen (1994) M. tuberculosis di inhalasi sehingga masuk ke paruparu, kemudian di telan oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3 fungsi
utama, yakni :
-

Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang memperlihatkan efek


mycobactericidal.

Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni IL-1, IL-6, IL-8,
IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek imunoregulator yang penting.

Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T.


Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek
imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis.IL-1
merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis.
IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi,
menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis.
TGF berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida
dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk
mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek patogenesis
seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan yang merupakan ciri
khas tuberkulosis.
Akibat adanya akumulasi makrofag maka terjadi penimbunan pada daerah
yang terdapat antigen dan terjadi granuloma yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan.

61

Lesi jaringan oleh basil TBC pada dasarnya ada dua tipe, tipe eksudatif dan
tipe produktif. Tipe eksudatif adalah suatu reaksi radang akut; terjadi udema sel
leukosit polimorfonuklear, kemudian monosit terkumpul di sekeliling basil TBC yang
bersarang di tempat itu.Lesi ini kemungkinan sembuh sempuma, nekrosis jaringan,
atau berkembang menjadi tipe produktif. Tipe produktif ditandai timbunan sel radang
di sekitar basil. Lesi ini tersusun atas banyak tuberkel yang kemudian membesar, atau
mengelompok, atau mencair dan mengalami proses kaseasi.
Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis pada target
organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag dari sistem imun
alamiah serta kecepatan dan kualitas perkembangan sistem imun yang di dapat. Oleh
sistem imun alamiah, basil akan di eliminasi oleh kerja sama antara alveolar makrofag
dan NK sel melalui sitokin yang dihasilkannya yakni TNF-a dan INF-g. Mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel pertahanan (sel
T dan makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada limfonodi regional,
terjadi perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali basil tuberkulosis.
Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun
alamiah. Dominasi produksi sitokin oleh makrofag yang mensekresikan IL-12 akan
merangsang respon sel Th 1, sedangkan bila IL-4 yang lebih banyak disekresikan oleh
sel-T maka akan timbul respon oleh sel Th 2. Tipe respon imun ini akan menentukan
kualitas aktivasi makrofag untuk mempresentasikan anti gen kepada sel-T khususnya
melalui jalur MHC kelas-II (langumaran, 1994).

62

Tahapan

respon

Selama

kekebalan

imunitas

adaptif

terhadap
berkembang

Mycobacterium
untuk

tuberculosis.

mempercepat

aktivasi

makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan makrofag sebagai


sarana untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan menetap pada sel-sel fagosit di
berbagai organ tubuh. Peristiwa ini akan terjadi bila sel-T spesifik yang teraktivasi
pada limfonodi mengalami resirkulasi dan melewati lesi yang meradang yang
selanjutnya akan membentuk granuloma. Pada peristiwa ini TNF memegang peranan
yang sangat vital. Bila respon imun adaptif berkembang tidak adekuat maka akan
timbul manifestasi klinis akibat penyebaran basil yang berupa tuberkulosis milier atau
tuberkulosis meningen (Zeiss, 1984).

Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama dengan cara membatasi


replikasi bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas makrofag dan
sel-T. Selama interaksi antara anti gen spesifik dengan sel fagosit yang terinfeksi pada
berbagai organ, sel-T spesifik memproduki IFN-g dan mengaktifkan fungsi anti
mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis
63

dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang menurunkan pasokan nutrien dan oksigen,
sehingga terjadi kematian bakteri. Akan tetapi sering terjadi keadaan di mana basil
tidak seluruhnya mati tapi sebagian masih ada yang hidup dan tetap bertahan dalam
bentuk dorman. Infeksi yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis dan
bisa bertahan dalam waktu yang lama (Kardjito, 1996).
Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh
pembentukan elemen nekrotik yang lebih hebat dari kasus infeksi primer. Elemenelemen nekrotik ini akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan terbentuk kavitas.
Limfadenitis regional jarang terjadi, M. tuberculosis menetap dalam makrofag dan
pertumbuhannya di kontrol dalam fokus-fokus yang terbentuk. Pembentukan dan
kelangsungan hidup granuloma di kontrol oleh sel-T, di mana komunikasi antara sel-T
dan makrofag di perantarai oleh sitokin. IL-1b, TNF-a, GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-g
dan TNF-b merupakan sitokin yang mengontrol kelangsungan granuloma, sebaliknya
IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat pembentukan dan perkembangan granuloma
(Kardjito, 1996).
Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam
imunitas terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, IFN-g telah di identifikasikan sebagai
sitokin utama untuk mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat menghambat
pertumbuhan patogen ini. Pembentukan granuloma dan kavitas di pengaruhi oleh
berbagai macam sitokin sebagai hasil interaksi antara sel-T spesifik, makrofag yang
teraktivasi dan berbagai macam komponen bakterial (Alfiano, 1998).
Peran Subset Sel T dan Sitokin
Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui
berbagai reseptor antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem
komplemen pada permukaan sel kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui
peranan fibronectin binding protein pada proses fagositosis oleh sel fagositik
mononuklerar. Dalam endosomal sel fagositik mononuklear kumam TB hidup
bertahan hidup dengan jalan sebagai berikut:
1. Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah
2. Interferensi fusi fagolisomone
3. Resisten terhadap enzim lisosomal
4. Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate
5. Sintesa heat shock protein (HSP)
6. Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma
64

Kuman TB mati dan diluncurkan melalui proses aktivasi makrofag oleh


sitokin sel T dan berbagai gugusan oksigen reaktif, nitrogen intermediate dan
pengaturan level zat besi intraseluler. Antigen dari protein kuman TB yang
didegradasikan bersama endosom diproses dan dipresentasikan kepada CD4+ sel T
melalui MHC kelas II. Sedangkan antigen protein kuman TB yang berada dalam
sitoplasma di presentasikan kepada CD8+ sel T melalui MHC kelas I. Limfosit T
perifer memiliki reseptor sel T (TCR) dipermukaan sel dan berikatan secara non
kovalen dengan CD3 berguna untuk transuksi signal antigenik ke sitoplasma. Didarah
perifer dan organ limfoid 90% ekspresi sel T sebagai a/b TCR ekspresi sel T sebagai
a/b TCR dan 10%g/s TCR.Peranan a/b TCR SC4+ cell adalah mengenal berbagai
fragmen antigen yang berasal dari endosomal bersama molekul MHC kelas II untuk
menghasilkan berbagai sitokin pada respons imun.
Pada kasus tertentu CD4+ sel T memiliki efektorlisis seperti pada CD8 + sel T,
selanjutnya a/b TCR CD8+ cell berfungsi untuk mengenal fragmen antigen kuman TB
dari sitosolik bersama MHC kelas I yang besar kemungkinan berasal dari
kompartemen endosomal untuk kemudian ditransfer ke retikulum endoplasmik.
Fungsi a/b TCR adalah mengenal antigen kuman TB melalui undertermited presenting
molecules pada APC dan menghasilkan berbagai sitokin yang mirip dengan a/b TCR
cell untuk tujuan efek sitotoksik pada sel target. Setelah proses pengenalan antigen
selanjutnya T cell precursor mensekresi IL-2. sel T CD4+ terdiri dari 2 sub populasi
yaitu sel CD4 + Th 1 mensekresi IL-2 dan IFN g serta sel CD4+ Th2 mensekresikan
II-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Kedua subpopulasi Th 1 dan Th 2 mensekresi IL-3, GMCSF da TNF a. Sel CD4+ Th-0 memiliki kemampuan untuk berdifrensiasi menjadi sel
Th-1 atau Th-2. Sel Th-1 berperan untuk mengaktivasi makrofag melalui IFN-g dan
DTH.Sel Th-2 berperan dalam hal produksi antibodi dan inhalasi aktivasi makrofag
(IL-10).
Selanjutnya IFN-g yang dihasilkan oleh sel Th-1 menghambat profilerasi sel
Th-2 sementara IL-4 yang dihasilkan Th-2 menghambat peningkatan sel Th-1.
Peranan TNF-a adalah sebagai sitokin utama dalam proses pembentukan granuloma
dan banyak ditemukan pada cairan pleura penderita pleuritis TB eksudativa. Sitokin
IL-12 dihasilkan oleh makrofag dan sel B yang berperan untuk mengaktivasi Th-1.
Fungsi utama CD4+ cell effector adalah untuk aktivasi sitolitik pada infeksi M.
65

tuberkulosis. Sedangkan CD8+ T cell berfungsi pada mekanisme a/b TCR


mediatedlysis sel terinfeksi dan mekanisme apoptosis sel target. Sehingga CD8+ T
cell berperan untuk proteksi pada fase awal infeksi. Peranan g/s TCR cell adalah
untuk memperoleh efek sitolitik monosit bersama antigen kuman TB dengan tujuan
mensekresi sitokin pembentuk granuloma.

4. Biopsi
Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia untuk
pemeriksaan patologis mikroskopik. Dari bahasa latin bios:hidup dan opsi: tampilan. Jadi
secara umum biopsi adalah pengangkatan sejumlah jaringan tubuh yang kemudian akan
dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Biopsi kebanyakan dlakukan untuk mengetahui
adanya kanker. Bagian apapun dari tubuh, seperti kulit, organ tubuh maupun benjolan
dapat diperiksa. X-ray, CT scan ataupun ultrasound dapat dilakukan terlebih dahulu untuk
mengalokasikan area biopsi. Biopsi dapat dilakukan juga dengan proses pembedahan.
Dengan demikian biopsi adalah pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosa dokter
bukan untuk terapi kanker kecuali biopsi eksisional dimana selain pengambilan sampel
juga

mengangkat

semua

massa

66

atau

kelainan

yang

ada.

Tujuan
1. Mengetahui morfologi tumor

Tipe histologic tumor

Subtipe tumor

Grading sel

2. Radikalitas operasi
3. Staging tumor (Besar specimen dan tumor dalam centimeter, luas ekstensi tumor, bentuk
tumor )

Syarat Biopsi
1. Tidak boleh membuat flap
2. Dilakukan secara tajam
3. Tidak boleh memasang drain
4. Letaknya dibagian tumor yang dicurigai
5. Garis insisi harus memperhatikan rencana terapi definitif (diletakkan dibagian yang akan
diangkat saat operasi definitif)
Kontra indikasi operasi

Biopsi insisional pada tumor kecil yang dapat diangkat secara keseluruhan

Infeksi pada lokasi yang akan dibiopsi (relatif)

67

Gangguan faal hemostasis berat (relatif)

Biopsi diluar daerah yang direncanakan akan dieksisi saat operasi

Jenis Biopsi
Bentuk yang paling sederhana dari biopsi adalah pengambilan sebagian potongan tumor yang
viable seperti pads kulit atau permukaan lain yang mudah dijangkau dengan tang pemotong
yang sesuai. Prosedur semacam ini umumnya tidak menimbulkan rasa sakit dan biasanya
dilakukan tanpa pemberian Novocain selama kanker tidak disuplai oleh saraf. Namun,
kadang diperlukan biopsi yang melibatkan jaringan sehat serta yang dicurigai sakit untuk
mendapatkan sel yang hidup. Dalam hal ini , tentu diperlukan anastesi lokal. Ada beberapa
jenis biopsi yaitu:

Biopsi insisional yaitu pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan dengan


pisau bedah. Anda akan dibius total atau lokal tergantung lokasi massa, lalu dengan
pisau bedah, kulit disayat hingga menemukan massa dan diambil sedikit untuk diperiksa.

Biopsi eksisional yaitu pengambilan seluruh massa yang dicurigai untuk kemudian
diperiksa di bawah mikroskop. Metode ini dilakukan di bawah bius umum atau lokal
tergantung lokasi massa dan biasanya dilakukan bila massa tumor kecil dan belum ada
metastase atau penyebaran tumor.

68

Biopsi jarum yaitu pengambilan sampel jaringan atau cairan dengan cara disedot
lewat jarum. Biasanya cara ini dilakukan dengan bius lokal (hanya area sekitar jarum)
dan bisa dilakukan langsung atau dibantu dengan radiologi seperti CT scan atau USG
sebagai panduan bagi dokter untuk membuat jarum mencapai massa atau lokasi yang
diinginkan. Bila biopsi jarum menggunakan jarum berukuran besar maka disebut core
biopsi, sedangkan bila menggunakan jarum kecil atau halus maka disebut fine needle
aspiration biopsi.

Biopsy jarum dengan bantuan endoskopi. Prinsipnya sama yaitu pengambilan sampel
jaringan dengan aspirasi jarum, hanya saja metode ini menggunakan endoskopi sebagai
panduannya. Cara ini baik untuk tumor dalam saluran tubuh seperti saluran pernafasan,
pencernaan dan kandungan. Endoskopi dengan kamera masuk ke dalam saluran menuju
lokasi kanker, lalu dengan jarum diambil sedikit jaringan sebagai sampel.

69

Punch biopsy. Biopsi ini biasa dilakukan pada kelainan di kulit. Metode ini dilakukan
dengan alat yang ukurannya seperti pensil yang kemudian ditekankan pada kelainan di
kulit, lalu instrument tajam di dalamnya akan mengambil jaringan kulit yang ditekan.
Anda akan dibius lokal saja dan bila pengambilan kulit tidak besar maka tidak perlu
dijahit.

Jaringan yang diperoleh dari hasil biopsi difiksasi, dan dikirim untuk pemeriksaan
patologi dan atau imunohistokimia. Tujuan pemeriksaan patologi ini adalah untuk
menentukan apakah lesi tersebut ganas atau jinak, dan membedakan jenis histologisnya. Pada
beberapa keadaan, biopsi dari kelenjar getah bening menentukan staging dari keganasan. Tepi
dari specimen (pada biopsi eksisional) juga diperiksa untuk mengetahui apakah seluruh lesi
70

sudah terangkat (tepi bebas dari infiltrasi tumor). Satu jenis biopsi khusus yang dapat
mengetahui sitologi dari lesi adalah FNAB (fine needle aspiration biopsy). Untuk beberapa
jenis keganasan, sensitifitas dan spesifisitas FNAB sama atau lebih baik dari biopsi
konvensional.
Persiapan Biopsi

Selama 1 minggu sebelumnya Anda harus menghentikan segala macam konsumsi


obat yang membuat pembekuan darah terganggu seperti aspirin, Coumadin dan
nonsteroidal anti-inflammatory Drugs (NSAIDs).

Konsultasikan pada dokter apakah Anda harus tetap menkonsumsi obat-obatan yang
diresepkan untuk Anda

Selama Pemeriksaan

Anda akan dibaringkan di atas meja periksa dengan memakai gaun rumah sakit.

X-ray, CT scan atau ultrasonografi mungkin akan dilakukan terlebih dahulu untuk
menentukan lokasi biopsi.

Lokasi biopsi dibersihkan.

Obat bius dimasukkan ke dalam tubuh. Anda akan merasakan sakit menyengat ringan.

Saat area biopsi sudah terbius, jarum kecil akan dimasukkan ke area yang akan
diteliti.

Sebagian jaringan-jaringan atau sel-sel diambil. Dalam beberapa kasus, pembedahan


kecil dapat dilakukan agar jaringan atau benjolan dapat diambil untuk diperiksa.

Beritahu dokter anda jika Anda merasa tidak nyaman.

Setelah itu jarum akan diangkat.

Daerah biopsi akan ditekan lalu akan dipasang kassa kecil. Jika dilakukan
pembedahan , maka akan dilakukan penjahitan.

Setelah Pemeriksaan

71

Kemungkinan akan ada memar, rasa tidak nyaman ataupun bengkak di tempat biopsi
dilakukan.

Jika perlu, pakailah obat penghilang rasa sakit yang tidak mengandung aspirin.

Letakkan es batu secukupnya di atas luka untuk mengurangi memar dan bengkak.

Hindari aktivitas berat ataupun mengangkat beban lebih dari 2,5 kg selama 24 jam.
Perlahan-lahan Anda dapat melakukan aktivitas normal kecuali ada pemberitahuan
sebelumnya dari dokter.

Hasil tes akan dikirim langsung ke dokter Anda. Dokter Anda akan memberitahukan
hasilnya kepada Anda.

Hal lain yang perlu diketahui :

Bila anda dibawah pengaruh bius umum, maka tindakan biopsi tidak akan
menimbulkan rasa sakit. Tapi bila biopsi dilakukan dengan bius lokal seperti pada biopsi
jarum, maka anda mungkin akan merasakan sensasi nyeri tajam akibat tusukan jarum
sesaat saja.

Biasanya dibutuhkan waktu 2-3 hari, tapi ini tergantung keadaan jaringan dan
teknologi laboratorium yang ada.

Bila hasil biopsi dinyatakan normal, maka tidak ada kelainan atau keganasan pada
jaringan yang diambil. Tapi bila hasil biopsi dinyatakan abnormal, bukan berarti anda
terkena kanker. Hasil abnormal berarti ada kelainan pada jaringan yang bisa berarti jinak
atau ganas jadi tanyakan pada dokter anda intrepetasi yang lengkap. Bila hasil biopsi
anda adalah inconclusive atau tidak dapat disimpulkan, maka kemungkinan sampel
jaringan yang diambil tidak representative dan mungkin biopsi harus diulang.

Bila pengambilan sampel tepat dan pemeriksaan sampel jaringan dilakukan oleh
ahlinya, maka biopsi insisional dan biopsi eksisional hampir 100% tepat. Tetapi khusus
untuk biopsi jarum, maka kemungkinan meleset hanya 2-5 kasus dari 100 kasus kanker.
Bila hasil biopsi jarum meragukan, maka dokter biasanya akan mengambil tindakan
biopsi jaringan.

Efek samping yang mungkin timbul adalah perdarahan, lebam, dan infeksi. Bila anda
mengalami tanda-tanda tersebut segeralah ke dokter.

72

Menurut penelitian, biopsi jaringan bila dilakukan oleh ahlinya maka kemungkinan
penyebaran sel kanker melalui darah menjadi minimal.
5. Pemeriksaan PK

1. HEMOGLOBIN
Penetapan kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan bermacam-macam cara
yang banyak dipakai di laboratorium klinik ialah cara fotoelektrik dan kalorimetrik visual.
Kadar hemoglobin dinyatakan dalam gr/dl darah. Pada pria memiliki rata-rata sedikit
lebih tinggi dari pada wanita. Pada pria kadar hemoglobin antara 13-18 gr/dL, sedangkan
wanita antara 12-16 gr/dL. Kadar hemoglobin dapat diukur dengan menggunakan dua
cara terbaik ialah dengan teknik kalorimetri atau fotometri (Anonim, 2004).
Macam-macam cara penetapan kadar hemoglobin:
1

Cara Tallquist
Prinsip

: Membandingkan darah asli dengan suatu skala warna yang bertingkattingkat mulai dad warna merah muda sampai warna merah tua. Cara ini
hanya mendapat kesan dari kadar hemoglobin saja, sebagai dasar diambil
adalah 100%=15,8 gram hemoglobin per 100 ml darah. Tallquist
mempergunakan skala warna dalam satu buku mulai dari merah muda
10%. Ditengah-tengah ada lowong di mana darah yang akan
dibandingkan secara langsung sehingga kesalahan dalam melakukan
pemeriksaan antara 25-50%.

Cara Sahli
Prinsip

: Hemoglobin diubah menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi


dibandingkan secara visual dengan standar dalam alat. Cara sahli ini
banyak dipakai di Indonesia, walaupun cara ini tidak tepat 100%, akan
tetapi masih dianggap cukup baik untuk mengetahui apakah seseorang
73

kekurangan darah. Kesalahan dalam melakukan pemeriksaan ini kirakira 10%. Kelemahan cara sahli ini adalah hematrin asam itu bukan
merupakan larutan sejati dan juga alat hemoglobinometer sukar
distandarisasi. Selain itu, tidak semua macam hemoglobin dapat di ubah
menjadi hematin, misalnya karboxy hemoglobin, methemoglobin dan
suffhemoglobin (Anonim, 1989).
3

Cara cupri sulfat


Prinsip

: Cara ini hanya dipakai untuk menetapkan kadar hemoglobin dari donor
yang diperlukan untuk transfuse darah. Hasil metode ini adalah persen
hemoglobin. Kadar hemoglobin dari seorang donor cukup kira-kira 80%
hemoglobin. Kadar minimum ini ditentukan dengan setetes darah yang
tenggelam dalam larutan cupri sulfat dengan berat jenis 1,053 (Anonim,
1989).

Cara Photo Elektrik kalorimetri


Prinsip

: Hemoglobin diubah menjadi sianmethemoglobin dalam larutan drabkin


yang berisi kalium sianida dan kalium ferisianida. Absorbansi larutan
diukur pada panjang gelombang 540 nm. Larutan drabkin dipakai untuk
mengubah hemoglobin. Cara ini sangat bagus untuk laboratorium rutin
dan sangat dianjurkan untuk penetapan kadar hemoglobin dengan teliti
karena standar sianmethemoglobin kadamya stabil dan dapat dibeli.
Larutan drabkin terdiri dari natrium biokarbonat 1 gram, kalium sianida
50 mg, kalium ferisianida 200 mg, aquadest 1000 ml (Gandasoebrata,
1999).

Nilai Normal Hb menurut Dacie:


-

Dewasa laki-laki 12,5 18,0 gr%


Dewasa Wanita 11,5 16,5 gr %
74

Bayi < 3 bulan 13,5 19,5 gr %


Bayi >3 bulan 9,5 13,5 gr%
Umur 1 tahun 10,5 13,5 gr%
Umur 3-6 tahun 12,0 14,0 gr%
Umur 10 12 tahun 11,5 14,5 gr%

2. LEUKOSIT
Hitung leukosit menyatakan jumlah sel-sel leukosit perliter darah (System International Units
= SI unit) atau per satu mmk darah. Nilai normalnya 4000 - 11000 / mmk.Untuk penerapan
hitung leukosit ada dua metode, manual dan elektronik. Pada umumnya metode elektronik
belum digunakan secara umum, mungkin baru di laboratorium besar, sehingga cara manual
masih memegang peranan penting. Metode elektronik tidak dibicarakan.
a. Dasar
Darah diencerkan dengan larutan asam lemah, yang menyebabkan sel-sel erotrosit
hemolisis serta darah menjadi encer, sehingga sel-sel leukosit mudah dihitung.
b. Peralatan :
1. haemocytometer

bilik hitung

pipet leukosit

pipet eritrosit (untuk menghitung eritrosit)

Bilik Hitung adalah bilik hitung Neubauer Improve atau Burker karena mempunyai daerah
perhitungan yang luas. Burker : luas seluruh bilik : 3x 3 mm2. di dalam bilik terdapat :

kotak besar : 1 x 1 mm2

kotak sedang : 1/5 x 1/5 mm2

kotak kecil : 1/20 x 1/20 mm2

Neubauer Improve : luas seluruh bilik 3 x 3 mm2. tinggi/dalam 0,1 mm. di dalam bilik
terdapat :

kotak besar : 1 x 1 mm2

kotak sedang ada 2 macam :


o di tengah : 1/5 x 1/5 mm2

75

o di empat sudut : 1/4 x 1/4 mm2

kotak kecil : 1/20 x 1/20 mm2

pipet leukosit didalamnya terdapat bola berwarna putih, mempunyai garis 0,5 - 1 - 11
2. kaca penutup
3. mikroskop
c. Larutan pengencer yang dapat digunakan salah satunya larutan truk

asam asetat glacial 2 ml

gentian violet 1 ml

aquades 100 ml

d. Spesimen
Darah vena atau darah kapiler
e. Cara Kerja

Bilik hitung dicari dengan menggunakan mikroskop, cari kotak sedang di tempat
ujung bilik hitung

hisap darah dengan pipet leukosit sampai angka 1 (pengenceran = 10x) atau sampai
angka 5 (pengenceran = 20x)

hapus darah yang melekat pada ujung pipet

kemudian dengan pipet yang sama hisap larutan truk sampai angka 11

campur (kocok) secara horisontal

buang tetesan pertama

tuangkan dalam bilik hitung yang telah ditutup dengan kaca penutup dan diletakkan di
mikroskop

lakukan perhitungan sel leukosit dengan perbesaran obyektif 10 atau 40 x.

f. Perhitungan
jumlah leukosit :
rata-rata jumlah leukosit tiap kotak X pengenceran
volume tiap kotak
76

g. Nilai Normal menurut Dacie

dewasa pria : 4 - 11 ribu/mmk


dewasa wanita : 4 - 11 ribu/mmk
bayi : 10 -25 ribu/mmk
1 tahun: 6 - 18 ribu/mmk
12 tahun : 4,5 - 13 ribu/mmk

3. LED
Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)

Prinsip (cara Westergreen) darah EDTA didiamkan dalam waktu tertentu, maka
sel-sel darah akan mengendap

Tujuan : untuk mengetahui kecepatan eritrosit mengendap dalam waktu tertentu

Alat yang digunakan :

1.

Tabung Westergreen

2.

Rak Westergreen

3.

Penghisap

4.

Pencatat waktu

5.

Pipet berskala

6.

Spuit 5 cc

7.

Botol kecil

8.

Reagen : Natrium sitrat 3,8%

Cara pemeriksaan :
1. Sediakan botol yang telah diberi 0,4 cc Na sitrat 3,8%
77

2. Hisap darah vena 1,6 cc dan masukkan ke dalam botol yang telah diisi Na
sitrat 3,8%, campur baik-baik
3. Hisap campuran tersebut ke dalam tabung Westergreen sampai tanda 0
4. Biarkan pipet tegak lurus dalam rak Westergreen selama 60 menit
5. Baca tingginya plasma.

Nilai normal
Laki-laki : 0-10 mm/jam
Perempuan : 0-20 mm/jam

4. DC

Prinsip: terdapat perbedaan daya serap terhadap zat asam


Tujuan: menghitung jumlah tiap-tiap jenis leukosit dalam darah
Alat yang digunakan :
1. Mikroskop
2. Obyek glass
3. Lancet steril
4. Pencatat waktu
5. Rak pengecatan
6. Rak pengering
7. Minyak imersi
8. Kaca penggeser
9. Pinsil kaca
Reagen :
1. Larutan Wright
2. Larutan buffer pH 6,4
Cara Pemeriksaan :
1. Buat hapusan darah tepi
2. Cat hapusan dengan lar. Wright 2 menit
3. Tetesi dengan lar buffer sama banyak selama 5 menit
4. Siram dengan aquadest
5. Keringkan dan baca dengan mikroskop
Nilai Normal:
Eosinofil : 1 3 %
Basofil : 0 1 %
Neutrofil Batang : 2 6 %
78

Neutrofil Segmen : 50 70 %
Limfosit : 20 40 %
Monosit : 2 8 %
6. Pemeriksaan Histopatologi
CARA PENGAMBILAN BAHAN DAN PEWARNAAN DALAM PX

Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara biopsi
dengan pisau atau plong/punch

Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak perlu
diikutsertakan

Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang
belum mengalami garukan atau infeksi sekunder

bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu

Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik biopsi
lebih dari satu

potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis

Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya formalin
10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati

Lalu dikirm ke laboratorium

pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada pula yang
menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.

Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan

Agar cairan fiksasi dapat dnegan abik masuk ke ajringan hendaknya tebal jaringan
kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam
cairan fiksasi

79

Berikut Perubahan Histopatologi Yang Mungkin Muncul


Hiperkeratosis Penebalan stratum korneum. Kalau inti masih terlihat pada penebalan stratu
Hiperplasia
Hipoplasia
Hipertrofi
Atrofi
Spongiosis

korneum tsb disebut para-keratosis, bila tidak telrihat disebut orto-keratosis


Epidermis yang menjadi lebih tebal, penambahan jumlah sel
Epidermis yang menipis, jumlah sel berkurang
Epidermis yang menebal, selnya bertambah besar
Penipisan epidermis, selnya mengecil dan berkurang
Penimbunan cairan di antara sel-sel epidermis sehingga celah diantara sel

Akantolisis

meregang
Hilangnya daya kohesi antar sel-sel epidermis sehingga menyebabkan

terbentuknya celah, cesikel, atau bula di epidermis


Sel diskeratotik Sel epidermis yang mengalami keratinisasi lebih awal
Nekrosis
Kematian sel atau jaringan setempat
Fibrosis
Jumlah kolagen bertambah
Limfadenitis TB disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik
misalnya pada keadaan seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening leher ( limfadenitis ). Pembesaran di sini ditandai
oleh

tanda

radang

yang

sangat

minimal

dan

tidak

nyeri.

Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat
tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah
benng, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula
sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunakseperti abses
tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila Abses ini pecah ke kulit, lukanya sukar
sembuh oleh karena keluar secret terus menerus sehingga seperti fistula.
Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa,
besar dan konglomerasi sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck.
Pada keadaan seperti ini kadang kadang sukar dibedakan dengan limfoma
malignum. Limfadenitis tuberkulosa diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
histopatologi,

terutama

yang

tidak

disertai

oleh

tuberkulosa

paru.

Pada gambaran histopologi yang spesifik adalah perkijuan dan sel datia Langhan s.
Makroskopik
Sediaan berasal dari kelenjar getah bening yang mengalami tuberkulosa.

80

Mikroskopik
Terlihat kelenjar getah bening yang mengandung tuberkel yaitu suatu
granuloma (kumpulan makrofag yang berubah seperti sel epitel dan disebut sel
epiteloid serta dikelilingi terutama oleh sel limfosit dan kadang-kadang sel plasma
yang khas, dimana di bagian pusatnya dijumpai adanya nekrosis kaseosa. Tampak
pula pada tuberkel tersebut adanya sel datia langhanz. Sel datia langhanz merupakan
gabungan dari beberapa sel epiteloid yang menjadi satu. Merupakan sel yang besar
berbentuk bulat atau lonjong dengan inti banyak dan tersusun di perifer. Letak inti
bermacam-macam, ada yang membentu susunan seperti cincin, huruf U (tapal kuda),
lingkaran, terkumpul pada satu kutub, terkumpul pada 2 kutub. Pembentukan sel datia
ini karena fusi sel makrofag, dalam hal ini sel epiteloid. Selain itu pada sediaan
terdapat pula perkijuan atau nekrosis kaseosa. Perkijuan adalah suatu jenis nekrosis
dimana semua struktur jaringan tidak terlihat lagi, sehingga menghasilkan bahan
amorf, granular kering seperti keju. Perkijuan tampak sebagai daerah yang amorf,
granular, berwarna merah dan kotor karena adanya sisa-sisa nucleus yang hancur.
Perbesaran 10x

Perbesaran 40x

DAFTAR PUSTAKA

81

Berman, Audrey, dkk. 2003. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb, Ed 5.
Jakarta: EGC
Delp & Manning. 1986. Major Diagnosis Fisik. Jakarta: EGC.
Fauci, Anthony S, et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine Seventeenth
Edition. United States: McGraw-Hill Companies, Inc.
Fischbach, Frances dan Marshall B. Dunning III. 2009. A Manual of Laboratory and
Diagnostic Test 8th ed. Wisconsin: Lippincott Williams & Wilkins
Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta:
EGC
Katzung, Bertram G. 2004. Basic & Clinical Pharmacology, Ninth Edition. San Francissco:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Townsend Jr , Courtney M, et al. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. United States:
Saunders Elsavier
http://books.google.co.id/books?id=PgTdKvlAnoC&pg=PA17&lpg=PA17&dq=gambaran+mikroskopis+nekrosis+kaseosa&source=bl&ots=
aO5g2zcbLl&sig=r2K1NJ8gaWKAC3DypJiRpLJ3L4&hl=id&sa=X&ei=klPSUMGLKYTqrAf0oIDoDA&ved=0CFAQ6AE
wBw#v=onepage&q=gambaran%20mikroskopis%20nekrosis%20kaseosa&f=false
http://easthomas.blogspot.com/2010/10/pemeriksaan-kelenjar-getahbening.html#ixzz2FW84H2Kx
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelenjar_tiroid
http://www.japi.org/august_2009/article_06.pdf
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
http://www.scribd.com/doc/96823031/BAB-v-Finale

82

Anda mungkin juga menyukai