Anda di halaman 1dari 7

2.

Menurut Hoffart mendefinisikan modal keperawatan professional adalah sebagai suatu


system (struktur, proses dan nilai-nilai) yang memungkinkan perawat professional mengatur
pemberian asuhan kperawatan termasuk lingkungan untuk menopang pemberian asuhan
tersebut (Hoffart dan Wood, 1996).
Model praktik keperawatan professional (MPKP) sendiri merupakan suatu model yang
memberikan kesempatan kepada para perawat professional untuk menerapkan otonominya
dalam mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi pelayanan atau asuhan keperawatan yang
diberikan pada pasien sebagai bentuk pelayanan prima keperawatan.
Jenis MPKP memiliki beberapa tingkatan diantaranya:
1.

MPKP dasar, yang terdiri atas perawat pelaksana dengan jenjang pendidikan SPK dengan
jenjang karir PK2, sedangkan untuk jabatan kepala ruang dan ketua tim minimal jenjang
pendidikannya adalah DIII Keperawatan.

2.

MPKP Pemula
Merupakan MPKP dasar, dimana semua tenaga keperwatan memiliki jenjang karir PK1,
kepala ruang dan ketua tim dengan jenjang karir PK3.

3.

MPKP Profesional
Dalam MPKP professional terdapat beberapa bagian diantaranya:

a.

MPKP 1, dimana perawat pelaksana memiliki jenjang pendidikan DIII dengan jenjang
karir PK2, sedangkan untuk kepala ruang dan ketua tim memiliki jenjang pendidikan SI
keperawatan dengan jenjang karir PK3.

b.

MPKP II, dimana perawat pelaksana memiliki jenjang pendidikan DIII Keperawatan dan
mayoritas SI serta adanya perawat spesialis.

c.

MPKP III, dimana semua perawat memiliki jenjang pendidikan SI Keperawatan dan S2
spesialis dan juga sudah terdapat Doktor Keperawatan

keuntungannya bagi rumah sakit memudahkan dalam hal leveling karyawan, memberikan
empowerment bagi perawat profesional, memudahkan dalam kendali mutu karena diharapkan
dengan adanya MPKP perawat berada di tempat dan posisi yang tepat serta profesional dalam
menjalankan keperawatan pasien
kerugiannya adalah tanpa ditunjang dengan SOP dan batasan dalam merawat pasien akan sering
terjadi overlapping antara perawatan oleh perawat dan dokter. Terdapat gap antara perawat
profesional dan non profesional serta leveling seringkali menimbulkan kecemburuan dalam
hal insentif.

3.

seringkali terjadi kesulitan dalam kolaborasi dokter-perawat karena masih ada yang
beranggapan bahwa perawat adalah pembantu dokter sehingga terjadi gap bahwa dokter
adalah atasan dokter. Padahal dunia keperawatan saat ini menegaskan bahwa perawat adalah
suatu profesi yang setara dalam penatalaksanaan pasien di RS, berikut ini adalah hal-hal
untuk meningkatkan kerjasama tim dokter-perawat
1. Memiliki tujuan dan sasaran yang jelas atas dasar komitmen bersama. Semua anggota
tim mengerti dan menyetujui tujuan dan sasaran tim dan mereka mau bekerja sama
untuk memenuhi hal tersebut.
2. Pembagian peran kepemimpinan. Anggota tim saling berbagi peran dalam
kepemimpinan. Sebagai contoh : dokter berperan sebagai peran mengobati, perawat
sebagai merawat.
3. Keterbukaan dan saling mempercayai antar anggota tim. Semua anggota mendapatkan
informasi yang sama dari akses yang sama pula serta dapat berkomunikasi dengan
lancar dan jelas. Anggota tim bebas untuk mengeluarkan ide-idenya. Eksperimen dan
kreativitas selalu digiatkan anggota lainnya wajib untuk menolong anggota
bersangkutan, jika memang ide tersebut logis dan berguna.
4. Keragaman latar belakang anggota tim memberi warna kepada tim. Semakin besar
keragaman yang ada ( keahlian, pengetahuan dan pengalaman) akan semakin banyak
tugas-tugas yang dapat ditangani
5. Anggota tim selalu mendukung keputusan, prosedur dan pengawasan yang dibuat
bersama-sama. Mereka memahami peran, tanggung jawab dan keterbatasan otoritas
masing-masing.
6. Konflik yang terjadi diselesaikan dengan jalan konsensus, bersifat konstruktif dan
menerapkan pendekatan menang-menang (win-win approach).
7. Tim dapat mengelola peningkatan penghargaan individu (individual self esteem)
8. Kegiatan tim tidak hanya berfokus pada hasil tetapi juga pada pada proses dan isi.
Tim harus selalu mengevaluasi fungsi dan proses yang sudah dilakukan secara reguler.
9. Tim memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan
dengan baik.
10. Kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan dengan baik (para atasan, tim
lain dan lingkungan rumah sakit)

4. A. sebagai pemegang kebijakan di rumah sakit, maka saya akan menawarkan beberapa
pilihan kepada keluarga pasien x terkait dengan penatalaksanaan pasien x di rumah sakit.
Karena secara legal, di indonesia tidak diperbolehkan adanya euthanasia. Jadi pilihannya
adalah sebagai berikut :
a. Pihak manajemen rs akan mencabut segala bentuk penunjang kehidupan pasien X
dengan syarat adanya persetujuan dari keluarga pasien x. Pihak manajemen RS

dibantu dengan dokter penanggungjawab berkewajiban untuk menginformasikan


kepada keluarga pasien segala risiko yang akan terjadi apabila dilakukan pelepasan
alat penunjang hidup. Pelepasan alat ini akan dilaksanakan segera setelah surat
pesetujuan tindakan di tandatangani pihak keluarga dan disaksikan oleh keluarga dan
tim perawatan.
b. Pihak manajemen rs mengijinkan untuk pasien x tetap di rawat di RS, jika keluarga
tetap memaksa untuk dilakukan perawatan meskipun prognosis pasien x ad malam.
Namun pihak manajemen harus memastikan bahwa keluarga menyanggupi beban
biaya yang akan dibayarkan selama di rawat dan mengetahui betul bahwa perawatan
ini tidak menjamin kesehatan pasien x.
Pada akhirnya semua keputusan itu, tergantung dari keluarga pasien. Karena pihak
manajemen RS terikat dengan kode etik dan hukum. Adapun jika jalan melepas alat
penunjang hidup dipilih oleh keluarga, semuanya harus terdokumentasi dan ada surat
pernyataan dari keluarga bahwa menginginkan dilepas alat, sehingga tidak akan ada tuntutan
hukum selanjutnya.
B. Kerangka pengambilan keputusan etis
Pada kasus Perawatan pasien X ini, saya membuat kerangka keputusan etis dengan
menggunakan metode Jameton dengan tahapan sebagai berikut :
1. Identifikasi masalah
2. Mengumpulkan data tambahan.
3. Mengidentifikasi semua pilihan atau alternatif secara terbuka kepada pembuat keputusan.
4. Perawat memikirkan masalah etis berkesinambungan
5. Pembuatan keputusan harus membuat keputusan
6. Melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil
1. Identifikasi Masalah
a.

Orang yang terlibat dalam masalah ini adalah klien (pasien x), keluarga pasien x, perawat
icu, dokter spesialis dan kepala bidang Pelayanan Medis.

b.

adanya dilema etis terkait dengan parawatan pasien x, jika dilakukan perawatan tidak akan
membawa kesehatan dan secara medis tidak bermanfaat, jika dihentikan perawatan maka
pasien tersebut akan meninggal.
2. Mengumpulkan data tambahan

a.

data rekam medis pasien x.

b.

informasi mengenai penyakit yang diderita x serta penatalaksanaan yang benar sesuai
dengan teori.

c.

informasi mengenai terminasi kehidupan bagi pasien dan keluarga pasien


3. Mengidentifikasi semua pilihan/ alternatif secara terbuka kepada pembuat
keputusan
a. Pihak manajemen rs akan mencabut segala bentuk penunjang kehidupan pasien X
dengan syarat adanya persetujuan dari keluarga pasien x. Pihak manajemen RS
dibantu dengan dokter penanggungjawab berkewajiban untuk menginformasikan
kepada keluarga pasien segala risiko yang akan terjadi apabila dilakukan pelepasan
alat penunjang hidup. Pelepasan alat ini akan dilaksanakan segera setelah surat
pesetujuan tindakan di tandatangani pihak keluarga dan disaksikan oleh keluarga dan
tim perawatan.
b. Pihak manajemen rs mengijinkan untuk pasien x tetap di rawat di RS, jika keluarga
tetap memaksa untuk dilakukan perawatan meskipun prognosis pasien x ad malam.
Namun pihak manajemen harus memastikan bahwa keluarga menyanggupi beban
biaya yang akan dibayarkan selama di rawat dan mengetahui betul bahwa perawatan
ini tidak menjamin kesehatan pasien x.
4. Perawat memikirkan masalah etis berkesinambungan

a.

Dalam melakukan setiap intervensi, perawat harus memberikan pelayanan dengan baik dan
benar.

b.

Menjelaskan secara rinci tentang tindakan apa saja yang akan dilakukan terhadap klien
kepada keluarganya maupun kepada kliennya sendiri.

c.

Memberikan advokasi kepada pasien dan keluarga untuk dapat saling bertemu.

d.

Memberikan tindakan sesuai dengan prosedur dan memberikan pengawasan terhadap


pelaksanaannya.
5. Pembuatan keputusan harus membuat keputusan

a.

Perawat harus mempertimbangkan hak klien, otonomi klien, kode etik keperawatan, nilainilai praktek keperawatan dan SOP rumah sakit sendiri. Keputusan harus mempertimbangkan
otonomi klien, hak klien, kode etik keperawatan, nilai-nilai praktek keperawatan dan SOP
rumah sakit sendiri.

b.

Perawat harus bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas setiap tindakan yang

dilakukannya. Apa yang telah dilakukan dan terjadi kelalaian maka perawat tersebut harus
siap bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas kelalaiannya tersebut.
6. Melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil
Belum terjadi pelanggaran kode etik dengan alasan-alasan dan informasi yang telah
ditelaah yaitu:
a.

penatalaksanaan terhadap pasien x belum diambil keputusan, sampai saat ini perawatan
terhadap pasien x dianggap tidak berarti secara medis, namun pencabutan perawatan akan
menyebabkan kematian

c.

belum Terdapat pelanggaran hak hak pasien yaitu hak mendapatkan informasi yang
benar dan terkini. Karena informasi ini belum diberikan dan baru akan diberikan informasi
kepada keluarga

d.

Berdasarkan kajian dan hasil analisa kasus bahwa terjadi dilema pengambilan keputusan
pada perawatan pasien x, dan lebih baik untuk mencabut alat penunjang baik secara medis
maupun finansial keluarga.
Melalui langkah-langkah penyelesaian etik maka komite etik dirumah sakit harus
menentukan tindakan dengan hati-hati dan terencana sesuai dengan hukum dan etika yang
ada di Indonesia.
Sebaiknya ada SOP mengenai penatalaksanaan pada pasien terminal.
C. Argumen berdasarkan teleologi
Teleologi berasal dari bahas kata Yunani telos (), yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan
logos (), perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan
segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Etika teleologi mengukur baik dan buruknya
suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan
akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Artinya, teleologi bisa diartikan sebagai
pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan yang dilakukan. Teleologi mengerti
benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang
lebih penting adalah tujuan dan akibat. Walaupun sebuah tindakan dinilai salah menurut
hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Namun
dengan demikian, tujuan yang baik tetap harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut
hukum.
Menurut Kant, setiap norma dan dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam

setiap situasi. Jadi, sejalan dengan pendapat Kant, etika teleologi lebih bersifat situasional
karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Dalam kasus ini jika pengambilan keputusan adalah memutuskan untuk mencabut alat
penunjang pernafasan pasien x, meskipun pencabutan tersebut akan menyebabkan kematian
dan secara legal euthanasia tidak diperbolehkan di Indonesia, namun tujuannya baik karena
mempertahankan perawatan juga tidak akan berdampak baik pada pasien dan finansial
keluarga pasien.
Argumen berdasarkan deontologi
Etika Deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani deon yang berarti
kewajiban dan logos berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu
harus ditolak sebagai keburukan, deontologi menjawab, karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang.
Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika
deontology yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan
deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori
etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu
melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari
tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada
dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu
tindakan dinilai buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan.
Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian.
Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah tindakan
yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari.

Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif
kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan
tempat.
Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya,
atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh
orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa
syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah
akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.
Jika pasien dicabut alat bantuannya, dan keluarga menghendaki dan menyetujui tindakan
tersebut maka secara deontologi dibenarkan

Anda mungkin juga menyukai