Anda di halaman 1dari 15

KONFLIK LAUT CINA SELATAN

CONFLICT OF SOUTH CHINA SEA


Halida
120150103011
Universitas Pertahanan Indonesia
(halidazia36@gmail.com)

Abstract
This research describes about conflict of South China Sea and role
of Indonesia. Conflict is unpleasentness or dispute which happen in a
group or more groups. In this world, many conflitcs are found such as
conflict of South China Sea. This conflict is started since 1974, when
China published a map which claims most of the South China Sea region.
South China Sea is the strategic area because it has many
resources and the are claims of Spratly Island and Paracel Island by many
countries they are China, Brunei, Malaysia, the Philippines, Taiwan, and
Vietnam. Indonesia as a country that located in the South China Sea
threatened the stability of the country, although not included in the state to
the dispute. This conflict involves not only the state directly adjacent to the
South China Sea, but also involve the United States.
The role of Indonesia in conflict of South China Sea is diplomacy to
dispute countries. It is encouraging agreement DoC Guidelines of the
South China Sea, although in 6 years no progress due to its unresolved
problems. However, Indonesia still strengthen its diplomacy both in military
diplomacy, in order war is not created.
Key note : Diplomacy, Military, War

PENDAHULUAN
Laut Cina Selatan adalah bagian dari Samudra Pasifik,
membentang dari Selat Malaka dan Singapura di barat daya hingga ke
Selat Taiwan di timur laut. Luas perairan nya mencakup Teluk Siam yang
dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin
yang dibatasi Vietnam dan China. Bila dilihat dalam tata lautan
internasional, kawasan laut Cina Selatan merupakan kawasan bernilai
ekonomis, politis dan strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting
karena kondisi potensi geografisnya maupun potensi sumber daya alam
yang dimilikinya. Wilayah ini meliputi lebih dari 200 pulau kecil, karang,
dan terumbu karang yang sebagian besar berada di Paracel dan Spratly.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=114794&val=5263)
Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan strategis yang
bernilai ekonomi karena potensi geografis dan sumber daya alam yang
dimilikinya merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional serta
jalur lintas laut perdagangan internasional sehingga berpeluang
dieksplorasi dan berpotensi memunculkan persaingan yang ketat dan
konflik terbuka (Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, hlm 9).
Setidaknya empat hal yang berkaitan dengan konflik Laut Cina Selatan
yaitu pertama melibatkan Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei, Tiongkok
dan termasuk Indonesia. Kedua, menggunakan instrumen militer untuk
memperkuat klaim masing-masing negara. Ketiga, keterlibatan negaranegara major dalam hal ini Cina dan Amerika. Dan keempat, belum ada
institusi/instrumen sosial yang kredibel dalam menyelesaikan konflik LCS.
Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan melibatkan beberapa
negara di kawasan Asia Tenggara yaitu Vietnam dan Filipina. Sehingga
konflik ini pun mempengaruhi beberapa negara diluar kawasan Asia
Tenggara yaitu Cina dan Amerika Serikat. Kawasan Laut Cina Selatan
yang cukup luas dan berbatasan langsung dengan beberapa negara
membuat Laut Cina Selatan memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan
oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Cina. Selain karena
ketegangan tumpang tindih klaim antar negara bersengketa yang belum
bisa dihentikan hingga saat ini, ada juga perkembangan mengenai
hubungan antara dua negara anggota ASEAN yaitu Vietnam dan Filipina
dengan Cina.

Negara-negara yang terlibat mengklaim adalah Filipina yang


mengklaim Laut Cina Selatan sebagai kawasan Filipina Barat, sedangakn
Cina tidak setuju. Vietnam, mengklaim kawasan Vietnam utara sesuai
bukti sejarah (Spratly dan Paracel sejak abad 17). Malaysia, Brunei
mengklaim atas dasar ZEE sesuai United Nations Conventions on the Law
of the Sea (UNCLOS) 1982. Negara-negara tersebut aktif menduduki Cina
bahkan membangun konstruksi dan instalasi militer dan menghadirkan
militer secara rutin (Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, hlm 11).
Indonesia sendiri sejak 1994 tumpang tindih mengenai batas ZEE
di Laut Cina Selatan di sebelah utara kepulauan Natuna berdasarkan
nine-dashed-lines yang ditentukan sepihak oleh Cina. Awalnya Cina
bersikap low profile terhadap klaim Natuna (Buku Putih Pertahanan
Indonesia 2008, hlm 15). Namun dalam perkembangan selanjutnya, barubaru ini Tiongkok bersikap yang cukup membuat Indonesia resah dengan
dibuatnya paspor yang memasukkan kepulauan Natuna di dalamnya.
Klaim yang membuat repot enam negara ini dipicu kebijakan
pemerintahan Partai Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan). Mazhab politik
Kuomintang menafsirkan wilayah China mencapai 90 persen Laut China
Selatan.
Menurut Jenderal Moeldoko, Indonesia merasa terganggu karena
Cina telah memasukkan sebagian dari Kepulauan Natuna dalam sembilan
garis terputus (nine-dashed-lines), yang berarti menyatakan sebagian dari
provinsi Kepulauan Riau masuk ke wilayahnya. Garis terputus tersebut
terlihat di paspor warga negara Cina yang baru diterbitkan.
PERKEMBANGAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Laut Cina selatan merupakan laut tepi dari Samudra Pasifik dengan
luas 3.500.000 km yang membentang dari Barat Daya ke Timur Laut, dari
Singapura ke Selat Taiwan, berbatasan langsung dengan negara-negara
Cina, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, Thailand,
Kamboja dan Vietnam. Ada sekitar 200 pulau dan karang yang
membentuk gugusan kepulauan Spratly dan tersebar seluas 810 sampai
900 Km. Munculnya konflik di kawasan Laut Cina Selatan sejak tahun
1947, ketika Cina menerbitkan peta yang mengklaim sebagian besar
wilayah
laut
Cina
Selatan.
(idu.ac.id/index.php/publikasi/jurnalpertahanan/artikeljurnal?download)

Gambar : Peta Konflik Laut Cina Selatan (Sumber : Google.com)


Cina menjadikan sejarah sebagai dasar klaim bahwa gugusan
pulau tersebut telah menjadi wilayah Cina sejak Dinasti Han (206-220
SM). Klaim Cina ini mendapat kecaman dari Vietnam, Filipina, Malaysia,
Brunei, dan Taiwan yang juga mempersengketakan kepulauan Paracel.
Sedangkan Cina, Malaysia, Filipina, Taiwan, Vietnam dan Brunei
mempersengketakan kepulauan Spartly. Latar belakang sejarah dan
penemuan-penemuan kuno seringkali dijadikan sebagai alasan bagi China
untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan Laut Cina Selatan. Hal
ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan show of force, yang cenderung
menunjukkan powernya melalui aksi provokatif terhadap negara-negara
pengklaim lainnya. Seperti terlihat dalam kebijakannya sejak awal era
1970-an hingga sekarang China secara intensif telah menunjukkan

simbol-simbol kedaulatannya bahkan tidak jarang terlihat agresif dengan


melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi
perairan Laut Cina Selatan guna mempertahankan sumbersumber
potensial barunya yang dapat mendukung kepentingan nasionalnya.
Selain semakin meningkatnya ketegangan antara Cina, dengan
Vietnam dan Filipina, konflik di Laut Cina Selatan juga menghadirkan
konflik baru yaitu semakin meningkatnya ketegangan antara Amerika
Serikat dengan Cina. Sejak tahun 2010, Laut Cina Selatan sudah mulai
menjadi perluasan strategi yang akhirnya membawa Cina dan Amerika
Serikat ingin mendominasi di perairan. Amerika Serikat berpendapat
bahwa meningkatnya kekuatan baru Cina yang nantinya akan melahirkan
ketakutan dan ketidakstabilan serta bisa menyulut konflik teritorial harus
menjadi bagian dalam pengembangan strategi Amerika Serikat di
kawasan Asia Pasifik. Menurut Amerika Serikat semakin meningkatnya
penyebaran pengaruh Cina merupakan sesuatu yang cukup membuat
mereka terganggu, untuk itu pada 2011 Amerika Serikat dalam rangka
membicarakan perbedaan antara mereka mengenai Laut Cina Selatan.
Akan tetapi, pertemuan tersebut sia-sia karena beberapa perilaku Cina
seperti, semakin meningkatnya jumlah dan kegiatan penangkapan ikan
yang dilakukan kapal-kapal Cina di perairan Vietnam. Perilaku Cina
lainnya yaitu pemotongan kawat-kawat di tempat ekplorasi minyak
Vietnam yang dilakukan Cina juga semakin memperkeruh suasana dan
membuat inisiatif baru bagi Vietnam untuk selalu meningkatkan kapabilitas
militernya di Laut Cina Selatan.
Kekhawatiran dan ketakutan yang berkembang di antara Filipina
dan Vietnam akhirnya mendorong mereka untuk mendapatkan dukungan
dari Amerika Serikat.
Ini karena arogansi Cina yang
bisa saja
mengancam negara manapun yang terlibat dalam konflik Laut Cina
Selatan dan selama itu juga negara yang merasa terancam akan mencari
perlindungan pada negara lain seperti Amerika Serikat. Seperti Vietnam
yang sudah mulai merangkul Amerika Serikat dengan melakukan
pernyataan bersama pada 17 Juni 2011 mengenai pentingnya kebebasan
pelayaran. Sementara Filipina secara telah mengumumkan bahwa mereka
akan memohon bantuan kepada Amerika Serikat selama mereka
mengalami ancaman dari perilaku Cina yang sangat agresif.

Adanya laporan dari Filipina mengenai pelanggaran yang dilakukan


oleh kapal-kapal Cina karena telah melewati perairan yang selama ini
disengketakan, hingga terjadi beberapa insiden antara kapal patroli Cina
dengan kapal-kapal nelayan Filipina. China juga mendapat tuduhan telah
melakukan pemancangan instalasi baru di wilayah yang disengketakan
serta mengintimidasi kapal-kapal eksplorasi minyak Filipina.
Vietnam telah melakukan empat kali pertemuan bilateral dengan
Cina di awal 2011. Pertemuan ini dalam rangka membicarakan perbedaan
antara mereka mengenai Laut Cina Selatan. Sengketa tumpang tindih
kepemilikan Laut Cina Selatan terutama Kepulauan Spartly belum
berakhir hingga sekarang (http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=114794&val=5263).

Gambar : Peta Sumber Energi dan Konflik Laut Cina Selatan (Sumber :
Google)
Ada enam negara pantai yang terlibat dalam konflik ini yaitu China,
Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brune Darussalam. Jika dilihat
dari letak geografisnya Laut Cina Selatan menunjukkan adanya tumpang

tindih perbatasan. Karena perbatasan teritorial kedaulatan yang dimiliki


oleh satu negara bertindihan dengan wilayah negara lain, hal ini karena
perbatasan wilayah yang diuikr dari laut lebih sulit dibandingkan dengan
pembuatan batas wilayah negara di darat. Sulitnya menentukan batas
wilayah negara dari laut bukan hanya mengenai laut teritorial lebih dari itu
yakni
menyangkut
Zona
Ekonomi
Eksklusif
(ZEE).
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=114794&val=5263)
Kawasan laut Cina Selatan dilihat dari segi politik dibatasi oleh
negara-negara yang memiliki sejarah konflik dan pergolakan
berkepanjangan yang berakibat negara-negara tersebut dimasuki
kekuatan-keuatan ekstra regional yang akan mempengaruhi stabilitas
negara. Negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan selama Perang Dingin
pernah menjadi pangkalan militer dan aliansi dengan Amerika Serikat-Uni
Soviet.
Kawasan ini secara yuridis memiliki banyak potensi konflik yang
menjadi konflik regional. Munculnya konflik yang berkaitan dengan klaim
tumpang tindih atas pulau beserta karangnya, garis batas laut teritorial,
landas kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Laut Cina Selatan
juga semakin rawan terhadap peningkatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak serta sumber alam lainnya. Program industrialisasi yang sedang
digalakkan oleh negara-negara pantai memungkinkan timbulnya masalah
kelautan seperti lalu lintas obat terlarang, pencurian, pembajakan, dan
polusi lingkungan.
Sengketa teritorial dan klaim tumpang tindih kawasan Laut Cina
Selatan pada dasarnya hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas
kepemilikan pulau-pulau. Masalah hak berdaulat atas Landas Kontinen
dan ZEE khususnya yang menyangkut penggunaan teknologi dalam
rangka penambangan laut dalam (dasar laut). Kemungkinan itu bisa
terjadi mengingat dalam melakukan penambangan dasar laut tanpa
disadari dapat menembus kedaulatan negara lain.
Dalam pelayaran Internasional Laut Cina Selatan adalah salah satu
perairan penting dan strategis buka hanya bagi Cina dan negara lain yang
mengklaim tetapi juga negara besar lainnya. Jepang sendiri mengatakan
bahwa laut ini merupakan jalur pelayaran untuk tanker-tanker minyak dari
Timur Tengah melalui Selat Malaka serta jalur perdagangan atau
pengangkutan bahan-bahan mentah. Bagi Amerika Serikat Laut Cina

Selatan memiliki manfaat sebagai rute alternatif jalur pelayaran yang


menghubungkan pantai barat AS ke Teluk Persia. Perairan ini juga dilalui
oleh kapal niaga dalam melaksanakan aktivitas perdagangan dengan
negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur. Untuk Rusia sendiri, Laut
Cina Selatan adalah jalur pelayaran yang digunakan untuk lalu lintas
minyak dan kapal niaga.
AMERIKA SERIKAT DAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Amerika Serikat telah banyak melibatkan diri dalam berbagai kasus
konflik dan peperangan, seperti yang terjadi di Kawasan Timur Tengah
dan di Afghanistan, lalu pada konflik yang berkepanjangan antara Arab
dan Israel dalam melawan peperangan melawan terorisme.
Pada tahun-tahun terakhir ini Amerika Serikat mulai memperhatikan
kawasan Asia, yaitu strateginya untuk merespon kebangkitan Cina. Sejak
Barack Obama menjadi Presiden, konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan
menjadi perhatian utama bagi Amerika Serikat dan menjadi poin penting
dalam strategi Amerika Serikat yaitu Asias Rebalancing. Seperti yang
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yaitu Hillary Clinton
yaitu masa depan Amerika Serikat sangat berhubungan dengan Asia
Pasifik untuk itu masa depan kawasan Asia Pasifik juga bergantung pada
peran Amerika Serikat sehingga Amerika harus memperkuat
keberadaannya di Asia Pasifik terutama pada kekuatan maritim.
Amerika Serikat mulai melibatkan diri di kawasan Asia menunjukan
bahwa politik dan ekonomi Amerika Serikat tidak bisa lepas dari Asia.
Dibawah Pemerintahan Barack Obama, Amerika Serikat tidak pernah
menurunkan perhatiannya pada kawasan yang diharapkan akan
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tertinggal dalam dua puluh
tahun ke depan, serta menjadi kawasan yang penuh tantangan bagi
Amerika Serikat. Keputusan Amerika untuk membentuk poros diplomasi
dan militer di kawasan Asia Pasifik sudah ditunjukan terutama sekali
terhadap Beijing, sebagai respon terhadap meningkatnya ambisi kawasan
Cina.
Amerika Serikat memiliki dua prinsip kepentingan dalam konflik
Laut Cina Selatan yaitu akses dan stabilitas.

1. AS memiliki kepentingan yang kuat dalam menjaga akses


pelayaran yang tanpa hambatan di perairan LCS. Semua negara
sangat membutuhkan dan akan menikmati adanya kebebasan
kelautan yang tinggi, termasuk kebebasan pelayaran. Adapun
alasan kenapa kebebasan pelayaran tanpa hambatan ini
dianggap penting bagi Amerika Serikat karena di satu sisi hal ini
mendukung dinamika ekonomi di kawasan yang didasarkan pada
perdagangan internasional intra-regional. Di sisi yang lain,
tiadanya hambatan dalam pelayaran akan memudahkan Amerika
Serikat dalam menyediakan jaminan keamanan dan kekuatan
militer tidak hanya di kawasan Asia tapi juga di seluruh belahan
dunia.
2. Amerika Serikat memiliki kepentingan terciptanya stabilitas dan
keamanan dikawasan Asia Tenggara. Sama halnya seperti
kebebasan pelayaran, keamanan dan stabilitas juga akan menjadi
penopang utama kesejahteraan baik di Asia dan Amerika. Jika
kawasan ini dilanda konflik maka hal ini akan menghambat dan
menjauhkan warga dari kesejahteraan karena akan melangkakan
sumberdaya, menurunnya volume perdagangan dan investasi
intra-regional.
Walapun ada penekanan pada era Obama, pada kenyataannya
kebijakan Amerika Serikat mengenai Laut Cina Selatan sudah
dicanangkan dan mengalami evolusi sejak pertengahan tahun 1990-an.
Kebijakan Amerika Serikat pada Laut Cina Selatan sejak terjadinya
ketegangan yang terjadi setelah Cina menduduki dan melakukan
perusakan terumbu karang pada tahun 1994. Kemudian sejak tahun 1995
dicanangkanlah lima elemen dari politik luar negeri AS berkenaan dengan
konflik Laut Cina Selatan. Lima elemen tersebut yaitu.
1. Peaceful resolution of disputes, yaitu Amerika Serikat menentang
penggunaan ancaman dan kekuatan dalam menyelesaikan
pertentangan klaim dan mengajak semua negara yang melakukan
klaim untuk selalu menahan diri dan menghindari aksi-aksi yang
mengganggu kestabilan.
2. Peace and stability, yaitu Amerika Serikat memiliki kepentingan
yang mutlak dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di Laut
Cina Selatan.

3. Fredom of navigation, menjaga keselamatan dan kebebasan


dalam pelayaran adalah kepentingan yang fundamental bagi
Amerika Serikat. Dengan pelayaran tanpa hambatan bagi seluruh
kapal-kapal dan pesawat di Laut Cina Selatan merupakan hal
yang sangat penting bagi perdamaian dan kesejahteraan
keseluruhan kawasan Asia Pasifik termasuk Amerika Serikat.
4. Neutrality in disputes, yaitu Amerika Serikat tidak akan mengambil
posisi dalam pencarian dasar hukum dalam klaim terhadap
kedaulatan atas gugusan kepulauan, terumbu, pulau karang dan
gundukan di Laut Cina Selatan.
5. Respect of international principles, yaitu Amerika Serikat akan
selalu melakukan pemantauan terhadap klaim-klaim yang
dilakukan oleh negara yang bersengketa yang tidak konsisten
dengan hukum internasional termasuk UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea) 1982.
DIPLOMASI PERTAHANAN
Menurut KA Muthanna defence diplomacy can further country
specific foreign policy objectives by managing defense foreign relation and
supporting the other diplomatic initiatives of government.
Menteri pertahanan Ryamizard Ryacudu pada orasi Ilmiah Bela
Negara 16 November 2011 di Universitas Pertahanan, Sentul, Bogor
mengatakan untuk menghadapi perkembangan situasi di Laut Cina
Selatan perlu dikedepankan pendekatan diplomasi pertahanan.
Penyelesaian Laut Cina Selatan harus dilakukan melalui langkah-langkah
yang konkret dan konstruktif.
Diplomasi Pertahanan adalah Aktivitas kerjasama pertahanan,
multilateral dan bilateral, dilandasi kedaulatan negara terkait berbagai isu
yang luas.
Indonesia berada di kawasan yang sangat rentan dengan konflik
termasuk konflik Laut Cina Selatan yang berkonflik dengan beberapa
negara yang berbatasan langsung dengan Laut tersebut. Penentuan batas

laut yang sulit hingga perebutan sumber daya yang terdapat di kawasan
tersebut membuat Indonesia harus berhati-hati jika suatu saat pecah
perang di kawasan tersebut karena Indonesia juga berbatasan dengan
Laut Cina Selatan karena akan mengganggu stabilitas negara.
Bukan hanya harus berhati-hati terhadap konflik Laut Cina Selatan
saja yang menunggu waktu untuk perang, tetapi Indonesia juga di hadapi
dengan arogansi Cina yang bahkan mulai ditakuti oleh Amerika Serikat.
Indonesia memang tidak terlibat di dalam konflik tersebut namun,
beberapa waktu yang lalu Indonesia harus mengambil tindakan atas Cina
yang mengatakan bahwa Natuna yang berada di Kepulauan Riau
merupakan bagian dari Cina berdasarkan nine dashed lines. Hal ini tentu
membuat Indonesia harus bertindak tegas karena jika berdasarkan letak
geografis letak Natuna sangat jauh dari Cina sehingga tidak mungkin
merupakan bagian dari Cina.
Amerika Serikat juga merasa terancam akan Cina yang sudah
mulai memperlihatkan arogansi nya di kawasan Asia, hegemoni Amerika
Serikat bisa saja terganggu dengan kebangkitan Cina yang sudah
memperlihatkan kekuatannya baik di bidang ekonomi, politik dan militer.
Untuk itu lah kebijakan rebalancing Amerika Serikat di Asia Pasifik dibuat.
Dominasi Cina di sekitar Laut Cina Selatan membuat negaranegara yang bersengketa harus waspada, karena bisa saja suatu saat
Cina siap perang demi menguasai Laut Cina Selatan. Indonesia tentunya
juga harus waspada karena tidak ingin stabilitas negara terganggu.
Untuk itu Indonesia harus dapat menggunakan diplomasi nya demi
menjaga keutuhan wilayah dan mempertahankan kedaulatan NKRI, jika
memang diplomasi tidak dapat digunakan maka cara kedua adalah
menggunakan diplomasi militer. Diplomasi militer sendiri buka berarti
penggunaan senjata atau penggunaan militer yang nyata, tetapi hanya
sebagai alat untuk mempengaruhi negara lain seperti melakukan pameran
senjata militer, sehingga negara-negara lain dapat melihat kekuatan militer
sebuah negara itu seperti apa. Agar negara-negara lain juga berpikir
beberapa kali untuk menyerang jika terjadi konflik diantara mereka karena
sudah mengetahui kekuatan militer lawan lebih kuat.

Indonesia sebagai negara yang berada di kawasan Laut Cina


Selatan juga memberikan kontribusi dalam memelihara perdamaian dan
stabilitas keamanan kawasan Laut Cina Selatan. Indonesia dengan
gencarnya mengingatkan seluruh pihak bahwa satun-satunya pilihan
dalam penyelesaian konflik ini yaitu dengan jalan damai. Penggunaan
kekerasan seperti ancaman atau lainya bukan lah sebuah pilihan.
Diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dalam konflik Laut Cina
Selatan ini adalah berhasil mendorong kesepakatan Guidelines dari DoC
Laut Cina Selatan sepanjang tahun 2011 setalah 6 tahun perundingan
tanpa kemajuan. Tetapi, jika inti dari permasalah ini belum ada
penyelesaiannya maka negara-negara yang terlibat konflik akan tetap
waspada akan potensi konflik Laut Cina Selatan yang kapan saja bisa
terjadi.
Indonesia harus memperkuat diplomasi pertahanannya untuk
konflik Laut Cina Selatan ini, bukan hanya pada konflik Laut Cina Selatan
saja tetapi juga apapun ancaman yang mengganggu kedaulatan negara.
Indonesia harus menjalankan diplomasi dan pendekatan soft power untuk
menjaga kepentingan nasional. Tetapi harus tetap juga memperkuat
sistem pertahanan karena jika ingin damai makan bersiaplah untuk
perang.
Situasi dunia di masa yang akan datang termasuk Asia akan terus
berkembang, untuk itu Indonesia harus terus melakukan pencermatan
disertai pembuatan perkiraan strategis secara terus menerus.
Indonesia sendiri tentu tidak akan diam saja dengan situasi konflik
yang akan memecah belah ASEAN. Indonesia mengkonsolidasikan
kembali kesamaan dan kesatuan pandang negara ASEAN terhadap 6
prinsip dasar ASEAN yang diidentifikasi Indonesia terhadap konflik Laut
China Selatan. Bagaimanapun kesatuan pandang dan sentralitas ASEAN
dalam memelihara stabilitas dan perdamaian di kawasan merupakan
sebuah keharusan.
Indonesia juga merespon dinamika dan potensi konflik terhadap
kepemilikan pulau yang melibatkan berbagai pihak dikawasan Asia Timur
untuk menjaga dan memelihara stabilitas serta perdamaian di kawasan

tersebut. Indonesia melakukan komunikasi dengan negara-negara tekait


dalam mengupayakan penyelesaian permasalah klaim wilayah tersebut
dengan jalan damai.
Adanya Bali Principles yaitu prinsip yang mengatur norma dasar
perilaku dan hubungan antar negara di kawasan Asia dan Pasifik dengan
mengedepankan cara-cara damai dan menghindari penggunaan
kekerasan dan ancaman penggunaan kekerasan. Ini membuktikan bahwa
inisiatif Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan sangat
penting.
Dalam menyikapi konflik Laut Cina Selatan Indonesia juga
melakukan pendekatan baru yang lebih postif dengan menekankan pada
hubungan kerjasama kelautan antar negara. Dengan adanya upaya dari
Indonesia untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan bukan
hanya besifat reaktif, tetapi juga upaya-upaya untuk memperkuat
kapasitas kawasan agar dapat mencegah, mengelola dan menyelesaikan
konflik.
Memperkuat diplomasi pertahanan di kawasan Laut Cina Selatan
memang sangat diperlukan, bukan berarti menggunakan militer apalagi
ancaman kekerasan tetapi dengan soft power, namun walaupun begitu
jika itu tidak berhasil hard power pun juga dibutuhkan karena itu juga
mendukung soft power. Penggunaan militer juga diperlukan jika kata
diplomasi tidak lagi bisa digunakan, jika militer juga tidak bisa
menyelesaikan konflik maka cara terakhir adalah perang. Namun negara
juga harus memikirkan jika harus melakukan perang. Bukan hanya yang
terjadi sekarang , namun harus memikirkan kedepadannya kondisi negara
setelah perang. Bagaimana negara dapat bangkit kembali setelah
perang, itu yang harus dipikirkan oleh negara jika menginginkan perang.
Kita bisa berdamai namun itu artinya juga harus bersiap-siap untuk
perang. Negara juga harus mempersiapkan kemungkinan yang akan
terjadi jika itu menyangkut kedaulatan negaranya.
Konflik Laut Cina Selatan ini tetap akan berdampak pada konsep
strategi pertahanan negara, untuk itu dibutuhkan langkah-langkah konkrit
seperti patroli perdamaian. indonesia sudah melakukan diplomasi untuk

konflik Laut Cina Selatan yang mengusung perdamaian. Ini dilakukan


untuk kepentingan nasional nya dan untuk menjaga stabilitas negara.
KESIMPULAN
Dalam konflik Laut Cina Selatan Indonesia sebagai negara yang
berada pada kawasan tersebut juga harus waspada. Walaupun Indonesia
bukan negara yang bersengketa tetapi harus tetap waspada karena
konflik tersebut dapat berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan
negara.
Indonesia semakin waspada terkait klaim Cina terhadap kepulauan
Natuna yang diatur oleh nine dashed line nya Cina secara sepihak dan
klaim yang membuat repot enam negara ini dipicu juga oleh kebijakan
pemerintahan Partai Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan). Mazhab politik
Kuomintang menafsirkan wilayah China mencapai 90 persen Laut China
Selatan. Untuk itu Indonesia tidak boleh diam saja karena ini dan lagi pula
klaim sepihak ini tidak masuk akal karena letak geografis Cina yang jauh
dari Natuna. Kepulauan Riau.
Memperkuat diplomasi merupakan salah satu cara Indonesia untuk
menghadapi geopolitik regional dan global, tetapi juga harus memperkuat
sistem pertahanan juga karena Indonesia juga harus siap jika ada
ancaman dari luar yang mengganggu kedaulatan negara dilihat letak
Indonesia yang sangat strategis dengan potensi konflik di kawasan Asia
Pasifik.
Militer Indonesia juga perlu diperkuat untuk memperkuat sistem
pertahanan agar negara-negara lain segan terhadap Indonesia, jika cara
diplomasi gagal bisa dilakukan cara militer namun tetap harus mengusung
perdamaian atau dengan menggunakan diplomasi militer karena dengan
cara tersebut negara lain dapat mengetahui kekuatan militer Indonesia
dan berpikir dulu untuk menyerang jika terjadi konflik, namun dengan
catatan militer Indonesia harus diperkuat lagi. Jika cara tersebut gagal,
maka cara terakhir adalah perang, karena itulah jalan terakhir untuk
mengakhiri konflik.

Perang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, namun untuk saat
ini negara-negara akan berusaha menghindari perang total karena akan
mengakibatkan kerugian yang sangat besar untuk negara. Bukan berarti
tidak ada perang, tetap ada perang namun dalam konteks yang berbeda
seperti perang asimetris, perang proxy dsb.
REFERENSI
Buku Putih Pertahanan Indonesia. 2014. Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia
Harini, Setyasih. Kepentingan Nasional Cina dalam Konflik Laut Cina
Selatan. <http://download.portalgaruda.org/article.php?
Article=114794&val=5263>, diakses pada tanggal 30 Desember
2015
Sudira, I Nyoman. Konflik Laut Cina Selatan dan Politik Luar Negeri
Indonesia
ke
Amerika
dan
Eropa
<journal.unpar.ac.id/index.php/.../article/download/1313/1276>,diak
ses pada tanggal 30 Desember 2015

Wirasuta, Dadang Sobar. 2013. Keamanan Maritim Laut


Cina Selatan : Tantangan dan Harapan. Jurnal Pertahanan Desember
2013,
Volume
3,
Nomor
3
<du.ac.id/index.php/publikasi/jurnalpertahanan/artikeljurnal?Download>

<http://www.setneg.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=3381>, diakses pada tanggal
30 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai