Anda di halaman 1dari 42

PENGEMBANGAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR BANYUWANGI DAN

SITUBONDO UNTUK BUDI DAYA KERAPU DI KERAMBA JARING APUNG

Oleh
AUNURRAHMAN
K4A OO8 O05

PROGRAM MAGISTER (S2)


MANAJEMEN SUMBERDAYA PANTAI PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang Perlunya pemanfaatan Wilayah Pesisir


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dimana

wilayahnya terdiri dari sekitar 18.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang
membentang luas dari Sabang (Sumatera) sampai Merauke (Irian Jaya). Luas wilayah
perairan Indonesia meliputi sekitar 62% dari luas teritorial, serta memiliki potensi dan
keanekaragaman jenis hayati maupun plasma nuftah yang sangat besar, sehingga
merupakan wilayah yang sangat produktif. Produktivitas primer di wilayah pesisir (biasa
disebut coastal zone yang meliputi wilayah darat dan wilayah perairan di dekat pantai),
seperti estuari, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, dapat mencapai lebih dari
10.000 grC/m2/th, sedangkan produktivitas primer rata-rata wilayah pesisir dapat
mencapai lebih dari 500 grC/m2/th (Supriharyono. 2000). Nilai produktivitas primer di
wilayah pesisir ini sangat tinggi dibandingkan dengan produktivitas primer di wilayah
perairan laut lepas (offshore). Dengan alasan tersebut, sudah sepantasnya Pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan yang strategis terhadap pemanfaatan wilayah pesisir
tersebut.
Dahuri et al. (2000) menyatakan 4 alasan pokok Pemerintah Indonesia menjadikan
pembangunan sumber daya laut sebagai kebijakan strategis, yaitu :
1. Fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 18.108 pulau (Kompas, 17 Februari 2003) dengan garis pantai sepanjang
81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 atau 62% dari luas teritorialnya.
2. Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk serta semakin
menipisnya sumberdaya alam di daratan.
3. Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi
poros Asia Pasifik yang diikuti perdagangan bebas dunia pada tahun 2020 menjadikan
kekayaan laut Indonesia menjadi aset nasional.
4. Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama
untuk pusat pengembangan kegiatan industri, pariwisata, agrobisnis, agroinduistri,
permukiman, transportasi dan pelabuhan.
Untuk Bidang Perikanan,Total nilai ekonomi potensi sumber daya perikanan
Indonesia diperkirakan mencapai US$ 82.06 Milyar (DKP, 2003), belum termasuk potensi

yang dapat dikembangkan dari sektor pariwisata bahari maupun perhubungan laut. Secara
lebih rinci potensi ekonomi perikanan disajikan pada Tabel 1-1 berikut :

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai institusi pusat yang berwenang
dalam hal pengelolaan wilayah pesisir dan lautan pada tahun 2003 telah mencanangkan
program Gerakan Nasional Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari dengan target produksi
perikanan tahun 2006 sebesar 9,5 juta ton, kontribusi terhadap PDB sebesar 10 %,
pencapaian devisa dari ekspor sebesar US$ 10 Milyar, penyerapan tenaga kerja 7,4 juta
orang dan tingkat konsumsi ikan 30 kg/kapita/tahun.
Sumber daya wilayah pesisir lainnya adalah bidang Pariwisata bahari. Pada tahun
2002 pemerintah telah mencanangkan program ekowisata dan tahun 2003 ditetapkan
sebagai tahun wisata bahari. Direktorat Diversifikasi Produk Pariwisata Bahari-Sub
Direktorat Pengembangan Pariwisata (2002) menyatakan bahwa realisasi tahun wisata
bahari adalah berupa pengembangan objek-obkek wisata bahari baru dalam bentuk
pengembangan wisata dengan ketertarikan khusus seperti menyelam (diving), snorkling
dan surfing. Dengan modal keindahan alam dan keragaman flora/fauna yang sangat khas
dan tak dimiliki oleh negara lain. Maka pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal
Pariwisata menargetkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada
tahun 2003 adalah sebesar 6,3 juta orang, dan dari sektor ini diharapkan dapat meraup
devisa sebesar 6,3 milyar dollar AS (Kompas, 2002).

1.2.

Potensi wilayah Pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo

1.2.1. Kabupaten Banyuwangi


Banyuwangi, sebuah kabupaten paling ujung timur propinsi Jawa Timur dengan
posisi geografis 7o40 8o46 LS dan 113o 53 114o38 BT, memiliki luas wilayah
5.782,50 km2 dengan panjang garis pantai 291,5 km dan menyimpan potensi sumber daya
pesisir yang cukup besar dan beragam sehingga pihak pemerintah pusat melalui Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) tahun 2001 memberikan arahan prioritas
pengembangan kawasan laut dan pesisir Banyuwangi dan sekitarnya menjadi 3 (tiga)
sektor unggulan, yaitu perikanan, pertambangan dan pariwisata dengan kota Banyuwangi
sebagai main project nya.
Bagi Kabupaten Banyuwangi, Otonomi Daerah (Otoda) adalah kata yang
diterjemahkan menjadi pembentukan sikap mandiri yang mengacu kepada dua hal, yaitu
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring kewenangan
daerah mengelola keuangan sendiri, Banyuwangi juga tak ketinggalan memacu pendapatan
asli daerah (PAD). Kenaikan PAD yang cukup besar yang hanya dari Rp.9,9 milyar pada
tahun 2000 menjadi Rp.35 Milyar pada tahun 2003 di capai melalui pembangunan
kawasan berbasis maritim melalui kegiatan proyek pembuatan terumbu karang,
pengembangan pantai, dan pengelolaan perikanan dengan melibatkan masyarakat pesisir
pantai Kabupaten Banyuwangi.
1.2.2. Kabupaten Situbondo
Kabupaten Situbondo yang daerah fisiknya memanjang dari barat ke timur
sepanjang pantai Selat Madura dengan panjang 150 km, dan kedalaman wilayahnya dari
pantai rata-rata 11 m, secara geografis sangat potensial untuk usaha budidaya perikanan
pantai. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan
peluang kepada Kabupaten Situbondo untuk mengelola sumberdaya kelautan sepanjang 4
mil. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Situbondo menjadi lokasi budidaya perikanan
diharapkan akan memberikan kontribusi yang nyata bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Situbondo (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).
Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan di daerah Kabupaten Situbondo
menempati urutan prioritas program kedua setelah Program Pengembangan Agribisnis dan
Ketahanan Pangan. Program Kelautan dan Perikanan tersebut bertujuan memberdayakan
masyarakat wilayah pesisir pantai dengan meningkatkan produksi kelautan dan perikanan

di seluruh wilayah pantai Kabupaten Situbondo. Dalam hal itu, Kabupaten Situbondo
menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai sebesar 17.353 ton dengan
perkiraaan nilai produksi perikanan laut sebesar 62.685.000 rupiah pada tahun 2005
(Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2001).
1.3. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh berbasis satelit untuk Indentifikasi
Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Teknologi Penginderaan Jauh (Remote sensing) sering diartikan sebagai teknologi
untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung
dengan objek tersebut. Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit menjadi sangat
populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya untuk
mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini disebabkan
teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang relatif murah dan
mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga dapat digunakan untuk
keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu menjangkau daerah yang
terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan
ditampilkan sesuai keinginan.
Pemanfaatan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah
banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan
lautan. Penelitian dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik perairan
(suhu permukaan laut, Klorofil, Muatan Padat Tersuspensi, Kecerahan perairan dll)
wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi seperti monitoring dan
penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Beberapa contoh hasil penelitian yang berkaitan dengan pengembangan model
untuk penentuan distribusi parameter fisik perairan adalah sebagai berikut: Pembangunan
model algoritma Suhu Permukaan Laut dan Klorofil (indikasi kesuburan perairan) untuk
berbagai wilayah perairan menggunakan data satelit resolusi moderat dan resolusi tinggi,
seperti: satelit NOAA, SeaWiFS, IRS, Modis. J.W. Chipman et. al. (2004) membangun
algoritma kecerahan perairan dengan model Seichi Disk Transparency (DSP)
menggunakan data satelit Landsat multi temporal untuk sebagian besar danau wilayah
Amerika Serikat. Budhiman (2004) menggunakan beberapa data satelit meliputi Landsat
TM dan ETM, Aster dan SeaWiFS untuk memperoleh model algoritma dalam penentuan
Muatan Padat Tersuspensi di perairan Delta Mahakam,

Penelitian yang berkaitan dengan kegiatan monitoring dan pengembangan wilayah


pesisir adalah sebagai berikut: Ratnasermpong (1996) mengkaji peranan penginderaan jauh
untuk pemantauan hutan mangrove dan tambak udang di Thailand; Ramesh dan Rajkumar
(1996) mengkaji penggunaan data penginderaan jauh dan SIG untuk perencanaan
penentuan lokasi budidaya perikanan pantai di Tamil Nadu, India; Winarso et al. (1999)
melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian lahan tambak udang di Ketapang,
Sulawesi Selatan; Niendyawati (1999) memanfaatkan data penginderaaan jauh dan SIG
untuk penentuan lokasi tambak udang di pantai timur Lampung; Riqqi dan Nganro (2002)
memanfaatkan SIG untuk menentukan prototipe pemanfaatan dan pengelolaan kawasan
Tambak di Serang (Banten), LAPAN (2002) memanfaatkan data penginderaan Jauh dan
SIG untuk inventarisasi potensi pariwisata bahari di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan
Gorontalo, Bambang et. al.(2003) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk
analisa kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk propinsi Nusa
Tenggara Barat.
Pada kegiatan ini, data satelit beresolusi tinggi dan moderat (Landsat, NOAA dan
Fengyun) dan data sekunder dimanfaatkan untuk mengamati parameter fisik perairan
(Bathimetri, SPL, MPT, Kecerahan), parameter fisik daratan (Landuse, DEM, sungai,
slope dan bentuk pantai), sumberdaya alam (terumbu karang, pasir, mangrove, lamun) dan
parameter sosek (sarana/prasarana) di wilayah pesisir. Kemudian dengan menggunakan
model pembobotan dan analisa spasial, akan dicoba untuk menilai potensi wilayah pesisir
sebagai informasi awal berbasis teknologi penginderaan jauh bagi pengembangan
budidaya ikan karang menggunakan keramba jaring apung dan pariwisata bahari di
wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Untuk mempertinggi tingkat
kepercayaan dan memaksimalkan penggunaan teknologi penginderaan jauh, dilakukan
koreksi (geometrik, radiometrik dan atmosferik), perbaikan metoda dan penggunaan
algoritma yang berbasiskan nilai reflektansi.
1.4.

Tujuan, Sasaran, Ruang lingkup dan Output dari Kegiatan


Tujuan dari kegiatan ini adalah mengidentifikasikan kawasan berpotensi untuk

pengembangan wilayah pesisir, khususnya kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari di
Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo dengan menggunakan informasi penginderaan
inderaja dan SIG. Sasarannya adalah tersedianya informasi kondisi fisik perairan wilayah
pesisir, informasi sumberdaya alam dan informasi spasial zona potensi budidaya laut dan

pariwisata bahari wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, yang diharapkan
dapat bahan pertimbangan (early information) bagi pemerintah Kabupaten Banyuwangi
dan Situbondo dalam pengembangan budidaya laut dan pariwisata bahari.
Ruang lingkup dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:

Melakukan identifikasi parameter fisik perairan di wilayah pesisir Banyuwangi dan

Situbondo,
Melakukan identifikasi potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir Banyuwangi dan

Situbondo
Melakukan analisis pengembangan budidaya laut di wilayah pesisir Banyuwangi.
Melakukan analisis pengembangan pariwisata bahari di wilayah pesisir Situbondo.
Output yang diharapkan berupa:

Informasi spasial parameter fisik perairan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan

Situbondo,
Informasi spasial sumberdaya alam wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi dan

Situbondo
Informasi spasial wilayah perairan untuk budidaya perikanan karang wilayah pesisir

Kabupaten Banyuwangi,
Informasi spasial wilayah perairan untuk pariwisata bahari wilayah pesisir Kabupaten
Banyuwangi dan Situbondo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penataan ruang yang baik dalam pemanfaatan wilayah pesisir adalah mutlak
diperlukan. Salah satu cara untuk mendapatkan tata ruang yang baik adalah dengan
melakukan evaluasi lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan yang dalam kegiatan ini
berhubungan dengan pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata di wilayah pesisir.

Salah satu komponen dasar dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata adalah
inventarisasi sumberdaya alam di wilayah pesisir. Kegiatan tersebut adalah vital bagi
pengelola untuk mengetahui kualitas dan keberadaan dari sumberdaya pesisir, terutama
sumberdaya yang penting bagi industri perikanan pantai dan pariwisata sekaligus sebagai
pengatur lingkungan (Martin, 1993). Oleh karena itu perlu dipahami pengetahuan
mengenai karakteristik wilayah pesisir dan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya.
2.1.

Wilayah Pesisir dan Potensinya


Menurut Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2001), ada 3 batasan pendekatan

untuk mendefinisikan wilayah pesisir yaitu:


1. Pendekatan ekologis: wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut dan intrusi air laut; dan
kawasan laut yang masih diengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi
dan pencemaran.
2. Pendekatan administrasi: wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten
atau kota yang mempunyai laut dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk
propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota.
3. Pendekatan perencanaan: wilayah pesisir merupakan

wilayah

perencanaan

pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola
secara bertanggung jawab.
Gambar 2-1, meperlihatkan batas-batas fisik wilayah pesisir (Brahtz, 1972; dalam
Supriharyono, 2000). Dimana wilayah pesisir (Coastal area) terdiri dari wilayah yang
meliputi lahan pesisir (Coast), pantai (Shore) dan perairan dangkal (Nearshore).
Keunikan wilayah pesisir serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan
pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu bukan secara sektoral. Menurut
Dahuri (2000) lima alasan mengapa wilayah pesisir perlu dikelola secara terpadu:
1) Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar
ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas
dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem, cepat
atau lambat akan mempengaruhi ekosistem yang lainnya.
2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan,

3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok
masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan kesenangan (preference)
bekerja yang berbeda. Padahal sangat sukar untuk mengubah profesi seseorang yang
sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan,
4) Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara
monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan intemal maupun
ekstemal yang menjurus kepada kegagalan usaha,
5) Kawasan pesisir pada umumnya adalah merupakan sumberdaya milik bersama
(common property resources) yang dapat dimanfaatakn oleh semua orang (open acces).
Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan
keuntungan
.

Potensi sumber daya wilayah pesisir sangat beragam, Dirjen Pesisir dan Pulaupulau kecil (2001) membagi potensi tersebut menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Sumber daya hayati
Seperti: bermacam jenis ikan, udang, rumput laut, mangrove, terumbu karang
2. Sumber daya non hayati
Seperti: bermacam jenis mineral, pertambangan dan energi (gas dan minyak). Selain
itu bentuk kekayaan alam yang indah, kondisi perairan dan keanekaragaman flora
fauna di wilayah pesisir dapat dimanfaatkan untuk tujuan pariwisata. Misalnya
memanfaatkan kawasan terumbu karang yang mempunyai berbagai macam jenis ikan
karang dan ikan hias, memanfaakan kawasan magrove dimana Indonesia merupakan
tempat komunitas magrove terluas di dunia. Sampai akhir tahun 2002, terdapat 241

daerah kabupaten atau kota yang memiliki wilayah pesisir (Sapta Putra, Pers.comm
2000). Dengan demikian Indonesia memiliki lokasi obyek wisata bahari yang cukup
besar dibandingkan negara manapun.
2.2.

Budaya Ikan Kerapu Menggunakan Keramba Jaring Apung

2.2.1. Ikan Kerapu


Dalam pergaulan internasional kerapu dikenal dengan nama grouper atau trout,
mempunyai sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis habitat. Dari semua spesies
tersebut, bisa dikelompokkan ke dalam 7 genus meskipun hanya 3 genus yang sudah
dibudidayakan dan menjadi jenis komersial yaitu genus Chromileptes, Plectropomus, dan
Epinephelus.
Spesies kerapu komersial Chromileptes altivelis merupakan jenis kerapu yang saat
ini paling mahal. Jenis kerapu ini disebut juga polka dot grouper atau hump backed rocked
atau dalam bahasa lokal sering disebut ikan kerapu bebek/tikus. Ciri-ciri tubuh adalah
berwarna dasar abu-abu dengan bintik hitam. Ikan yang muda merupakan ikan hias laut
yang mempunyai bintik lebih besar serta lebih sedikit dibandingkan ikan yang lebih tua
(Gambar 2-2(a)). Daerah habitatnya meliputi Kep. Seribu, Kep. Riau, Bangka, Lampung
dan kawasan perairan terumbu karang.

Kerapu sunuk (Plectropomus maculatus) yang dikenal sebagai coral trout sering
ditemukan hidup di perairan berkarang. Warna tubuh merah atau kecoklatan sehingga
disebut juga kerapu merah, yang warnanya bisa berubah apabila dalam kondisi stress.
Mempunyai bintik-bintik biru bertepi warna lebih gelap (Gambar 2-2(c)). Daerah habitat
tersebar di perairan Kep. Karimanjawa, Kep. Seribu, Lampung Selatan, Kep. Riau, Bangka
Selatan, dan perairan terumbu karang.
Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mempunyai warna dasar hitam
berbintik-bintik rapat yang berwarna gelap sehingga disebut juga kerapu hitam, sirip dada
kerapu macan berwarna kemerahan, sedangkan bagian pinggir sirip-sirip lainnya berwarna
cokelat kemerahan (Gambar 2-2(b)). Sedangkan Kerapu Lumpur atau estuary grouper
(Epinephelus suillus) mempunyai warna dasar abu-abu muda dengan bintik coklat dan
mempunyai lima pita vertikal berwarna gelap (Gambar 2-2(d)). Kedua spesies ini paling
banyak dikenal dan dibudidayakan karena laju pertumbuhannya yang cepat dan benih
relatif lebih banyak ditemukan. Daerah habitat banyak ditemukan di Teluk Banten, Segara
Anakan, Kep. Seribu, Lampung, dan daerah muara sungai (Sunyoto P., 2000).
2.2.2. Keramba Jaring Apung (KJA)
Pengembangan budidaya ikan kerapu dengan karamba jaring apung (KJA)
merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kendala peningkatan produksi perikanan
laut. Hal ini dikarenakan teknologi KJA ini mempunyai banyak keuntungan dibandingkan
cara pemeliharaan dan penangkapan ikan secara konvensional seperti yang telah diuraikan
di bab 1 pendahuluan. Gambar 2-3 memperlihatkan salah satu bentuk karamba jaring
apung di laut.

Berdasarkan laporan evaluasi pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2001


oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, Tempat kegiatan budidaya ikan
kerapu dengan menggunakan KJA di Kabupaten Situbondo adalah di perairan Klatakan
kecamatan Kendit dengan jumlah KJA 18 unit (69 petak jaring), perairan Gelung
kecamatan Panarukan dengan jumlah KJA 11 unit (39 petak jaring) dan perairan
Sumberwaru kecamatan Banyuputih dengan jumlah KJA 8 unit (32 petak jaring). Jenis
ikan yang dipelihara di KJA tersebut terdiri dari: Ikan kerapu tikus, kerapu macan, kerapu
lumpur, kerapu sunu dan kerapu sumay. Ukuran benih sebar bervariasi antara 20-300
gram/ekor, sedangkan lama pemeliharaan 7-12 bulan bergantung kepada jenis ikan dan
ukuran benih sebar. Semakin besar ukuran benih sebar semakin cepat waktu pemeliharaan.
Menurut majalah Trubus (Redaksi Trubus, 2000), Kontruksi KJA yang terbaik
adalah terdiri dari karamba-karamba jaring yang dipasangkan pada rakit terapung. Untuk
membuat KJA, pertama adalah pembuatan rakit apung yang bahan bakunya bisa dari kayu,
bambu, pipa besi atau paralon dan dilengkapi pelampung untuk mengapungkannya.
Pelampung yang digunakan biasanya adalah: drum plastik, drum oli atau pelampung
stereofoam. Ukuran rakit bervariasi, umumnya dibuat 8 m 8 m per unit dengan 4 petak
karamba jaring berukuran 3 m 3 m 3 m dibawahnya. Dalam satu lokasi biasanya
terpasang beberapa unit rakit, dimana salah satunya dilengkapi rumah jaga untuk
memudahkan pekerjaan perawatan dan pengawasan di lokasi. Yang kedua pembuatan dan
penyiapan 3 macam karamba jaring, yaitu untuk Pendederan (pemeliharaan yang dimulai
saat benih ikan kerapu berukuran 23 cm dengan bobot rata-rata 1,2 gram),
Penggelondongan (dimulai saat ukuran mencapai 25 50 gram/ekor) dan Pembesaran
(dimulai saat ukuran mencapai 75 100 gram/ekor).
2.3.

Parameter Fisik Perairan


Kecepatan dan Arah Arus
Kecepatan arus dan arah arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap

kemampuan badan air untuk mengeliminasi dan mengangkut bahan pencemar serta
perkiraan pergerakan bahan pencemar mencapai lokasi tertentu. Satuan kecepatan arus
adalah meter per detik (m/s).
Jika air tidak mengalir akan berakibat de-oksigenasi (kekurangan oksigen terlarut),
timbulnya serangan penyakit, tertimbunnya hasil pembusukan dan menyebabkan air jadi
kotor, dan endapan menebal. Tetapi, dalam budidaya ikan perlu diperhatikan pula arah dan

kekuatan arus air, dimana arus yang kuat akan menimbulkan gelombang yang tinggi yang
akan menganggu dam merusak karamba jaring yang dipakai. Oleh karena itu jumlah dan
peletakkan karamba jaring di suatu wilayah perairan berhubungan dengan dengan kondisi
aliran air laut.

Kedalaman
Pada budidaya ikan kerapu kedalaman wilayah perairan yang paling ideal adalah 7-

15 meter pada saat air surut paling rendah. Kedalaman perairan merupakan faktor yang
sangat penting untuk kemudahan pemasangan dan penempatan keramba jaring dan
membantu proses budidaya yang akan dilakukan. Perairan yang curam dan dalam sangat
menyulitkan untuk penempatan keramba jaring apung, terutama untuk menentukan
panjang jangkar yang dibutuhkan.

Suhu Permukaan Laut


Suhu permukaan air laut dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari

permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan
aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika,
kimia, dan biologi badan air. Suhu biasanya dinyatakan dalam satuan derajat Celsius ( oC)
atau derajat Fahrenheit (oF).
Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi
dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas
dalam air seperti: gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan
respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang
selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan 10 oC suhu
perairan meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat.
Peningkatan suhu ini dibarengi dengan menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan,
sehingga keberadaan oksigen di perairan kadangkala tak mampu memenuhi peningkatan
oksigen yang dibutuhkan oleh organisme akuatik untuk metabolisme dan respirasi.
Dekomposisi bahan organik oleh mikroba juga menunjukkan peningkatan dengan semakin
meningkatnya suhu. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di
perairan adalah sekitar 20 - 30 oC (Effendi, 2000).

Kecerahan dan Kekeruhan air laut.

Kecerahan air bergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan adalah ukuran
transparansi perairan, ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk yang
pertama kali dikembangkan oleh Profesor Secchi sekitar abad XIX. Pada penggunaan
secchi disk ini beliau berusaha mengkuantitatifkan kekeruhan air dalam suatu nilai dikenal
dengan kecerahan secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2000). Nilai
kecerahan yang diungkapkan dengan satuan meter sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca,
waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang
melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah.
Kekeruhan menggambarkan suatu sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam
air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun
terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton
dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi,
2000). Satuan kekeruhan adalah unit turbiditas setara dengan 1 mg/l SiO 2. Satuan
kekeruhan dengan metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
Kekeruhan yang tinggi dan kecerahan yang rendah dapat menghambat penetrasi
cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.

Klorofil-A

Klorofil-A merupakan salah satu dari parameter yang sangat menentukan produktivitas
primer di perairan pantai atau laut. Klorofil-A merupakan suatu pigmen yang didapatkan
dalam fitoplankton, dan mempunyai fungsi sebagai mediator dalam proses fotosintesis
(Wyrtki, 1961). Oleh karena itu kandungan klorofil-A dalam perairan merupakan salah
satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu
perairan (Yamaji, 1966 dan Anonim, 1985). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi
klorofil-A sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Beberapa parameter
fisik-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-A, adalah intensitas
cahaya, nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat).

Padatan Terlarut dan Padatan Tersuspensi


Padatan yang terdapat di perairan diklasifikasikan berdasarkan ukuran diameter

partikel seperti pada Tabel 2-1.

Massa Padatan Tersuspensi (MPT) atau dikenal juga sebagai Total Suspended Solid
(TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1m) yang tertahan pada saringan
milipore dengan diameter pori 0.45 m. MPT terdiri dari Lumpur dan pasir halus serta
jasad-jasad renik. Penyebab nilai MPT yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah
yang terbawa ke badan air. Nilai TSS bila berlebih akan menghambat penetrasi cahaya ke
dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis.
Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid/TDS) adalah bahan-bahan terlarut
(diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 - 10-3 mm) berupa senyawa-senyawa
kimia dan bahan-bahan lainnya yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0.45
m. Penyebab TDS biasanya bahan anorganik berupa ion-ion umum dijumpai di perairan.
Air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia yang
juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Nilai TDS perairan
sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh
antropogenik (berupa limbah domestik dan industri.
2.4.

Penilaian Kesesuaian Lahan


Hasil proses penilaian kesesuaian lahan diwujudkan dalam bentuk sistem

klasifikasi kesesuaian lahan. Menurut FAO (1983), sistem klasifikasi kesesuaian lahan
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu: Order, Kelas dan Sub Kelas. Kesesuaian tingkat
order mengidentifikasikan apakah lahan tersebut sesuai (S) atau tidak sesuai (N) untuk
suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tingkat kelas merupakan pembagian lebih
lanjut dari order dan menggambarkan tingkatan-tingkatan order. Secara hirarki kelas-kelas
kesesuaian lahan adalah sebagai berikut :
(1) Kelas sangat sesuai (S1). Lahan ini tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti
untuk penggunaan terhadap suatu tujuan secara berkelanjutan atau hanya sedikit
faktor pembatas yang tidak akan mengurangi produktivitas atau keuntungan terhadap
lahan tersebut.
(2) Kelas cukup sesuai (S2). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang berat untuk
penggunaan secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas atau
keuntungan terhadap lahan ini.

(3) Kelas hampir sesuai (S3). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat berat
untuk penggunaan secara berkelanjutan dan akan mengurangi produktivitas dan
keuntungan terhadap pemanfaatannya.
(4) Kelas tidak sesuai saat ini (N). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat
berat untuk penggunaan secara berkelanjutan sehingga menghambat dan
menghalangi beberapa kemungkinan untuk pemanfaatannya. Tetapi hambatan itu
masih dapat diatasi atau diperbaiki dengan tingkat pengelolaan tertentu.
(5) Kelas tidak sesuai selamanya (N2). Lahan ini tidak sesuai selamanya, karena jenis
faktor penghambat yang permanen.
Beberapa contoh studi kesesuaian lahan telah dilakukan untuk kesesuaian lahan
untuk budidaya laut (ikan karang) menggunakan keramba jaring apung, yaitu untuk
budidaya ikan kakap putih di Nusa Tenggara Timur (Dewayani, 2000) dan ikan kerapu di
Nusa Tenggara Barat (Bambang et al, 2003). Pada studi tersebut kelas kesesuaian lahan
dibagi menjadi 4 kelas kesesuaian yaitu: Sangat sesuai (S1), Sesuai (S2), Sesuai bersyarat
(S3) dan Tidak sesuai (N).
2.5.

Penginderaan Jauh dan SIG


Penginderaan jauh adalah ilmu memperoleh informasi tentang objek, daerah atau

fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Caranya
dengan mendeteksi gelombang elektromagnetik yang datang dari obyek tersebut, baik
yang dipantulkan, diemisikan maupun dihambur balik.
Sistem penginderaan jauh satelit secara umum terdiri dari objek permukaan bumi
yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana
satelit yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang
luas. Banyak satelit yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi
yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit
Landsat ETM 7 yang mempunyai 8 kanal spektral seperti tercantum pada Tabel 2-2
berikut (Thomas M.L.,2000).
Burough (1986) dalam Baba dan U.S. Wiradisastra (1996), mengidentifikasikan
sistem informasi geografis (SIG) sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi,
menyimpan, menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspekaspek permukaan bumi. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda yang dapat
diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Dengan demikian, pemakai

menjadi lebih banyak memperoleh infomasi baru dan dapat menganalisisnya sesuai dengan
spesifikasi yang dibutuhkan.

Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata,


penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan
dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke
lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan
menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati (lahan pesisir) di
permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas.
BAB III
METODOLOGI

3.1.

Bahan dan alat


Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Data citra Landsat 7 ETM yang bebas tutupan awan untuk daerah Banyuwangi dan
Situbondo,
Banyuwangi (117/066) :
28 Mei 2002 (Musim barat) dan 3 Oktober 2002 (Musim timur)
Situbondo path/row (117/065 dan 118/065):
17 April 2002 dan 26 April 2002 (Musim barat)
29 Juni 2002 dan 6 Juli 2002 (Musim timur

2) Data temporal citra NOAA 2002 dan 2003 untuk analisis SPL di perairan Banyuwangi
3)
4)
5)
6)

dan Situbondo.
Peta rupa bumi 1:25.000 wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo.
Peta informasi bathimetri 1:200.000 perairan Banyuwangi dan Situbondo.
Data Sekunder (Pasang surut, arus, angin, gelombang),
Data sosek wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo.
Peralatan yang diperlukan untuk pengolahan data:

1) Hardware dan software untuk pengolahan data inderaja dan SIG yaitu digitizer,
imagine/ER. Mapper, Arc Info dan ArcView,
2) CD ROM, disket, alat tulis,
3) Alat dan bahan untuk pembuatan peta (Scanner, printer dan tinta).
3.2.

Parameter-Parameter yang Diekstrak dari Teknologi Penginderaan Jauh dan


SIG
Pada kegiatan ini kami mencoba mengekstrak sebanyak mungkin parameter fisik

perairan dan parameter fisik daratan yang berkaitan erat dengan pengembangan potensi
wilayah pesisir, khususnya untuk pengembangan budidaya perikanan dan pariwisata
bahari.
Penentuan jenis parameter-parameter didasarkan pada 3 pertimbangan yaitu:
1. Parameter tersebut sangat diperlukan untuk pengembangan potensi wilayah pesisir,
2. Parameter tersebut dapat diidentifikasi menggunakan penginderaan jauh,
3. Mempunyai metoda/model/algorithma dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Flowchart metoda ekstraksi dan parameter fisik perairan dan fisik daratan yang
diperoleh diperlihatkan pada Gambar 1, Pembuatan DEM diperlihatkan pada Gambar 2
dan Pengolahan SPL menggunakan data NOAA diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 1. Flowchart Metoda Ektraksi dan Parameter-parameter yang Diperoleh

Gambar 2. Flowchart Metoda Pembuatan DEM dan Informasi Yang Diperoleh

Gambar 3. Flowchart Metoda Pembuatan Spl Mengunakan Data Temporal Noaa

3.3.

Metode Analisa Data


Pengolahan data diawali dengan koreksi geometrik untuk mempersamakan posisi

pada citra dengan posisi pada peta, selanjutnya dilakukan koreksi radiometrik untuk
merubah nilai digital number suatu objek menjadi nilai refletansi objek tersebut. Yang
terakhir adalah melakukan koreksi atmosferik menggunakan model Dark Pixels
Subtracting Method.
Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan kesalahan pada sudut elevasi
matahari dan jarak matahari-bumi akibat penerimaan data yang berbeda waktu. Sedangkan
koreksi atmosferik dilakukan untuk menghilangkan path radiance (noise angkasa). Metoda
koreksi radiometrik dilakukan berdasarkan Landsat 7, Science Data Users Handbook
dan A.J. Edwards (1999), yaitu dengan merubah digital number menjadi nilai radiansi
menggunakan gain dan bias, kemudian merubah nilai radiansi menjadi nilai reflektansi
menggunakan nilai solar irradiance, sudut elevasi matahari dan jarak matahari-bumi.
Koreksi atmosferik menggunakan koreksi yang sederhana yaitu model Dark Pixels
Subtracting Method (A.J. Edwards, 2000), yaitu pengurangan nilai reflektansi dengan nilai
dari piksel gelap (asumsi bahwa ada objek yang menyerap gelombang elektro magnetik
secara sempurna sehingga tidak terjadi reflektansi, dengan kata lain nilai reflektansi pada
piksel objek tersebut adalah 0). Objek yang umumnya dianggap mempunyai piksel gelap
adalah lautan yang sangat dalam dan jernih atau bayangan awan yang sangat tebal.
Pada lokasi piksel gelap tersebut ditentukan nilai reflektansi minimum pada band 4 (near
infrared, yang cenderung diserap secara sempurna oleh perairan), kemudian nilai
reflektansi minimum band 4 yang diperoleh dipakai untuk mengoreksi nilai reflektansi
pada band 1,2 dan 3 dengan membuat bi-plot antara band 4 dan masing-masing band
tersebut. Nilai reflektansi minimum yang diperoleh masing-masing band digunakan untuk
mengurangi nilai reflektansi pada seluruh piksel dari setiap band.
3.3.1.

Parameter Fisik Perairan


Gambar 4-1 memperlihatkan metoda ektraksi parameter fisik perairan, yaitu:

SPL, Kecerahan, TSM , Kedalaman dan Terumbu karang.


SPL (Suhu Permukaan Laut)
Model algoritma SPL untuk data Landsat diperoleh dengan merubah nilai digital
number band 6 high ke nilai radiansi dan mengkonversi ke nilai suhu efektif (Suhu objek
yang dideteksi sensor setelah dikalibrasi dengan suhu referensi) Landsat 7, Science Data

Users Handbook. Kemudian nilai suhu efektif itu dibandingkan dengan nilai SPL pada
data NOAA. Perbandingan dilakukan untuk musim timur, musim barat dan pada lokasi
berbeda sehingga ditemukan nilai suhu koreksi.
Model algoritma SPL diperlihatkan dibawah:

Dimana,
T

= Suhu efektif dalam oC

K2

= Konstanta kalibrasi 2, yaitu: 1282.71 Kelvin

K1

= Konstanta kalibrasi 1, yaitu: 666.09 (watts/m2 ster m)

= Spektral radiansi band 6 high (watts/m2 ster m)

= suhu koreksi dalam kelvin, yaitu: 277.5 oC


Selain itu sebagai pembanding, kami juga melakukan metoda lama menggunakan

nilai digital number untuk menentukan distribusi SPL (Lemigas,1997) menggunakan


algoritma seperti berikut:
Suhu (C) = 16,32301 + 0,41632 b6
Dimana,
b6 = Digital number pada band 6
Kecerahan Perairan
Kecerahan perairan menggunakan model algoritma yang dibangun J.W. Chipman
et.al. (2004) untuk perairan danau di Wisconsin (USA), menggunakan perbandingan
spektral radiansi band 1 dan band 3. Pada model ini J.W. Chipman memberi istilah tingkat
kecerahan perairan sebagai SDT (Seichi Disk Transparency). Algoritmanya adalah sebagai
berikut:

Dimana,
SDT = Kecerahan perairan dalam satuan meter
L1 = Spektral radiansi band 1
L2 = Spektral radiansi band 2

Selain itu sebagai pembanding, juga dilakukan metoda lama menggunakan nilai
digital number untuk menentukan distribusi Kecerahan (Lemigas,1997), menggunakan
algoritma seperti berikut:
Kecerahan (m) = 17,51427 - 0,10925 b1
Dimana,
b1 = Digital number pada band 1 (Landsat-7/ETM+)
Total Suspended Material (TSM)
TSM yang mengidentifikasi kondisi kekeruhan perairan menggunakan model
algoritma yang dibangun S. Budhiman (2004), model ini digunakan untuk identifikasi
TSM di perairan delta Mahakam. Algoritma yang diperuntukan untuk band 3 Landsat
ETM adalah sebagai berikut:
TSM = 8.1429 Exp(23.704*R(0-))
Dimana,
TSM = Total suspended material (mg/l)
R(0-) = reflektansi di bawah permukaan air (subsurface iraradiance reflectance)
R(0-) ditentukan dengan melakukan koreksi kolom udara-air, dengan menggunakan rumus
dibawah:

Dimana,
Q

= Koefisien konversi = 3.5

= reflektansi Fresnel = 0.029

= Pantulan air-udara = 0.48

= refractive index of water =1.33

Rrs

= reflektansi terkoreksi
Selain itu sebagai pembanding, juga dilakukan metoda lama menggunakan nilai

digital number untuk menentukan distribusi TSM (Lemigas, 1997), menggunakan


algoritma seperti berikut:
TSM (mg/l) = 100.6678 + 5.5085 b3 + 0.4563 b32 + 0.9775 b2b3
Dimana,
b2, b3 = Digital number pada band 2, 3

Kedalaman Perairan
Menggunakan Peta kedalaman Bathimetri
Untuk menurunkan parameter kedalaman perairan menggunakan peta bathimetri,
pertama-tama dilakukan koreksi geometrik dari peta kedalaman bathimetri yang dipunyai,
kemudian dilakukan pengabungan peta terkoreksi. Selanjutnya dilakukan proses digitasi
titik kedalaman, titik 0 (garis pantai) dan pemberian nilai kedalaman. Proses yang terakhir
adalah melakukan interpolasi dan pembuatan kontur untuk mendapatkan peta kontur
kedalaman.
Disebabkan peta kedalaman bathimetri mempunyai skala yang besar 1:200.000,
maka kontur kedalaman yang dihasilkan mempunyai keakuratan yang tidak terlalu tinggi
di perairan dangkal dekat wilayah pesisir, oleh sebab itu dilakukan metoda penambahan
informasi titik kedalaman menggunakan kemampuan penetrasi data Landsat kedalam air.
Penurunan titik kedalaman dengan Landsat (untuk wilayah terumbu karang/dangkal)
Band visibel (1,2 dan 3) dan NIR (4) mempunyai kemampuan untuk menembus
kolom air (penetrasi) dengan kemampuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, band 1
(biru) mempunyai kemampuan menembus kolom air yang terbesar (mencapai 20 m)
sedangkan band 4 hanya dapat menembus kolom air sedalam kira-kira 2 m.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Great Barrier reef (Jupp, 1999)
diperoleh bahwa band 1 mempunyai penetrasi sebesar 25 m, band 2 sebesar 15 m, band 3
sebesar 5 m dan band 1m. Berdasarkan pembuatan model yang dilakukan di penulis di
kepulauan Gili Indah di NTB diperoleh bahwa kemampuan penetrasi setiap band adalah
ditunjukkan pada Tabel 11, yaitu:
Tabel 11. Penetrasi kedalaman setiap band di perairan Kabupaten
situbondo
Penetrasi
Band 1
Band 2
Band 3
Band 4
Rata-rata
14.785
5.729
3.023
Deviasi
3.624
0.952
1.170
Nilai

ini

kemudian

dipakai

untuk

mendeteksi

Banyuwangi dan
Band 5
0
0

kedalaman

di

perairan

dangkal/terumbu karang wilayah pesisir Banyuwangi dan Situbondo. Disebabkan model


ini hanya dapat memprediksi pada perairan yang jernih, maka pengolahan dilakukan
dengan digunakan data multi temporal untuk menghindari perairan yang keruh.
Data kedalaman yang diperoleh kemudian digabungkan dengan data kedalaman
yang telah di dijit dari peta bathimetri, kemudian dilakukan proses interpolasi dan
pembuatan kontur.

Terumbu Karang
Penentuan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan model transformasi
Lyzengga (1978). Lyzengga membangun persamaan dengan menggunakan 2 kanal sinar
tampak yaitu kanal 1 dan 2 dari citra Landsat-TM, dan diperoleh persamaan sebagai
berikut :
Y = ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2) ..................................................(3-8)
di mana :
Y

= Ekstraksi informasi dasar perairan

TM1

= Reflektansi pada kanal 1

TM2

= Reflektansi pada kanal 2

ki/kj

= Rasio koefisien kanal 1 dan kanal 2

dimana,
ki/kj = a + (a2 + 1)
dan
a = (var (TM1) var (TM2)) / 2. cov (TM1 TM2)
Pada metode ini, setiap piksel akan terkonversi menjadi indeks tipe dasar perairan
yang terbebas dari pengaruh kedalaman. Sehingga dengan metode diperoleh hasil
klasifikasi berupa kelas terumbu karang, padang lamun dan pasir yang terdapat di bawah
permukaan air. Selanjutnya dilakukan perhitungan luas dari setiap kelas tersebut.
3.3.2.

Parameter Fisik Daratan


Gambar 4-1 memperlihatkan metoda ektraksi parameter fisik daratan, yaitu:

Landuse, Mangrove, Pasir putih, Jalan dan Sungai.


Klasifikasi penutup lahan (Land cover)
Klasifikasi penutup lahan dilakukan dengan cara interpretasi visual yaitu dengan
cara mendelineasi kenampakan-kenampakan yang sama kedalam satu kelas penggunaan
atau penutup lahan dengan menggunakan data tutupan lahan yang sudah ada dan
dihasilkan oleh ISDAL.
Mangrove:

Penyebaran hutan mangrove diperoleh dengan citra komposit RGB (Band 453), hutan
mangrove terlihat berwarna coklat kemerahan,

Melakukan digitasi pada wilayah hutan mangrove,

Menghitung luasan hutan magrove yang diperoleh dengan menghitung luas polygon.

Pasir putih:

Pasir putih di atas permukaan air diidentifikasi menggunakan citra komposit RGB
(Band 431), dimana pasir putih terlihat berwarna putih di sepanjang tepi pantai,

Melakukan digitasi pada wilayah pasir putih,

Menghitung luasan pasir putih yang diperoleh dengan menghitung luas polygon.

Sungai dan Jalan:

Menampilkan citra RGB (band 542) sehingga teridentifikasi secara jelas adanya jalan
dan sungai,

Melakukan proses digitasi dan merubah menjadi data vektor.

3.3.3.

Analisis Ekonomi Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir


Pada bagian ini dicoba menghitung potensi ekonomi wilayah pesisir, metode

penilaian ekonomi yang dilakukan adalah:


1. Menghitung nilai ekonomi total dari sumberdaya pesisir, yaitu
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + EV
di mana,
TEV

= Total Economic Value

UV

= Use Value

NUV = Non Use Value


DUV = Direct Use Value
IUV

= Indirect Use Value

OV

= Option Value

EV

= Existence Value

2. Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan lahan pesisir. Pencarian alokasi pemanfaatan


sumberdaya lahan pesisir yang efisien dilakukan dengan menggunakan cost benefit
analysis (CBA). Kriteria-kriteria yang paling umum digunakan dalam analisis manfaat
biaya ini adalah sebagai berikut :
1.

Net Present Value (NPV)


NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat bersih.
Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV yang positif dan alternatif
yang mempunyai NPV tertinggi pada peringkat pertama. Net Present Value
dapat disajikan sebagai berikut :

NPV i 1

Bi C i
(1 r ) i

dimana :

2.

= manfaat ke i

= biaya ke i

= discount rate per tahun

= jangka waktu perhitungan,

Benefit Cost Ratio (BCR)


Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif
yang layak adalah BCR > 1 dan kita meletakkan alternatif yang mempunyai
BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara matematis, BCR dapat disajikan
sebagai berikut:
n

GrossB / C

Bt

(1 i)
t 1
n

Ct

(1 i)
( t 1

dimana :
B

= manfaat per tahun

= biaya

= discount rate per tahun

= jangka waktu perhitungan kajian

BAB IV
HASIL KAJIAN
Hasil yang dicapai meliputi ekstraksi parameter fisik daratan dan parameter fisik
perairan, pembuatan DEM dan monitoring SPL menggunakan NOAA. Disini hasil yang
dimasukkan adalah untuk wilayah Situbondo dengan pertimbangan untuk memudahkan
penyusunan, sedangkan hasil untuk wilayah Situbondo dimasukkan dalam lampiran.
4.1 Parameter Fisik Daratan
Gambar 4-1 dan 4-2 memperlihatkan batas administrasi dan tutupan lahan untuk
Kabupaten Banyuwangi. Banyuwangi terbagi menjadi 23 kecamatan, dengan tutupan lahan
didominasi oleh hutan, sawah dan perkebunan. Terlihat bahwa lahan sawah terdapat pada
sebagian besar wilayah pesisir. Hutan mangrove juga terlihat dibeberapa lokasi wilayah
pesisir.

Gambar 4-1 Batas administrasi Kabupaten Banyuwangi


Kabupaten Banyuwangi memiliki akses jalan yang cukup baik, ini terlihat dari
Gambar 4-3. Akses jalan terutama di sekitar wilayah pesisir yang memiliki kelerengannya
cenderung rendah (datar), sementara di bagian atas (daerah dataran tinggi) dan Kecamatan
Tegaldlimo akses jalan masih kurang disebabkan tutupan lahanya sebagian besar adalah
hutan. Jumlah sungai cukup banyak yang mengalir dari bagian tengah yang lebih tinggi
dan bermuara ke Selat Bali dan Samudra Indonesia yang lebih rendah.

Gambar 4-2 Tutupan Lahan Kabupaten Banyuwangi (Hasil olahan ISDAL)

Gambar 4-3 Vektor Jalan dan Sungai di Kabupaten Banyuwangi


4.2

Parameter Fisik Perairan


Gambar 5-4 memperlihatkan hasil kedalaman yang merupakan gabungan antara

titik kedalaman yang diturunkan dari data citra untuk daerah perairan terumbu karang dan
titik kedalaman hasil dari digitasi peta bathimetri. Gambar 5-5 memperlihatkan
perbandingan antara hasil interpolasi kedalaman dari data bathimetri dan dari gabungan
antara bathimetri dan landsat. Perbedaan tidak terlalu terlihat ini tetapi bila dilihat secara
mendetil, terlihat bahwa kontur gabungan mempunyai kontur yang lebih rapat di perairan
dekat pantai. Selain itu penambahan informasi kedalaman sangat berguna untuk
menambahkan informasi peta bathimetri yang sering tidak lengkap.

Gambar 4-4 Kedalaman gabungan antara Peta bathimetri dan data citra

Gambar 5-5 Perbandingan antara Interpolasi bathimetri dan interpolasi gabungan


Gambar 5.6 memperlihatkan sebaran SPL untuk musim barat dan musim timur di
perairan Kabupaten Banyuwangi yang diturunkan dari model algoritma menggunakan
suhu efektif berbasiskan nilai radiansi. Di bagian utara (laut Jawa) suhu cenderung tinggi
dibandingkan pada bagian selatan (samudera Indonesia). Ini disebabkan samudera
Indonesia lebih dinamis sehingga mudah terjadi pencampuran massa air yang
mengakibatkan rendahnya nilai SPL. Pada musim timur nilai SPL di bagian selatan
mempunyai suhu sangat rendah yang terlihat dengan warna biru, ini disebabkan terjadinya
upwelling (di daerah ini upwelling terjadi sepanjang musim timur).

Gambar 5-6 Memperlihatkan distribusi SPL di perairan Banyuwangi menggunakan model


algoritma berbasiskan radiansi.

Gambar 4-7 Memperlihatkan Spl Musim Barat dengan basis Digital Number

Gambar 4-8 Memperlihatkan Spl Musim Timur dengan basis Digital Number
Gambar 4-7 dan 4-8 memperlihatkan distribusi SPL berdasarkan model berbasis
digital number. Secara umum terlihat bahwa kedua model mempunyai kecenderungan
yang sama, yaitu terlihat bahwa bagian utara bersuhu lebih tinggi daripada bagian selatan,
dan musim timur bersuhu lebih rendah dibandingkan musim barat. Walaupun kedua model

ini memiliki range nilai SPL yang tidak terlalu berbeda, tetapi terlihat bahwa SPL dengan
model berbasiskan radiansi mempunyai pola yang lebih bervariasi dan halus,
Gambar 4-9 memperlihatkan distribusi kecerahan menggunakan model algoritma
SDT (Seichi Disk Transparency) berbasis nilai radiansi, terlihat perbedaan yang cukup
besar antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat kecerahan sangat tinggi
mencapai lebih dari 25 meter, sedangkan pada musim timur berkisar kurang dari 12 meter.
Gambar 4-10 dan 4-11 memperlihatkan distribusi kecerahan pada musim barat dan musim
timur menggunakan model algoritma berbasis digital number. Range nilai kecerahan yang
diperoleh menggunakan model ini lebih mendekati kondisi real yaitu berkisar antara 7
sampai 12 meter. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kecerahan perairan pada daerah terumbu
karang yang diperkirakan tinggi, ternyata mempunyai tingkat kecerahan yang paling
rendah. Kedua model ini masih memerlukan kajian lebih lanjut dengan membandingkan
dengan data insitu atau perbaikan koreksi atmosferik. Pola kecerahan juga direncanakan
akan dimonitor mengunakan data Fengyun 1C, sehingga dapat terlihat pola untuk jangka
waktu tertentu seperti bulanan atau tahunan

Gambar 4-9 Memperlihatkan distribusi Kecerahan di perairan Banyuwangi menggunakan


model algoritma berbasiskan reflektansi

Gambar 4-10 Memperlihatkan Kecerahan Pada Waktu Musim Barat Menggunakan Model
Berbasis Digital Number

Gambar 4-11 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model


Berbasis Digital Number
Gambar 4-12 memperlihatkan distribusi TSM (Total Suspended Matter) di perairan
Kabupaten Banyuwangi menggunakan model algoritma berbasis reflektansi dibawah
permukaan air (sub-surface irradiance reflectance). Hasil memperlihatkan bahwa pada
musim barat TSM cukup besar diperairan teluk Kabupaten Situbondo, tetapi perlu
diperhatikan bahwa warna merah di perairan dalam lingkaran hitam bukan merupakan

kekeruhan tapi disebabkan adanya ekosistem terumbu karang. Sementara musim timur
memperlihatkan warna merah yang sangat dominan di bagian sebelah kanan citra, ini
disebabkan adanya sunglint (pemantulan sinar matahari oleh permukaan air) sehingga
menghilangkan informasi di dalamnya.
Gambar 4-13 dan 4-14 memperlihatkan distribusi TSM untuk musim barat dan
musim timur di perairan Banyuwangi menggunakan algoritma berbasis digital number.
Nilai TSM diperairan ini sangat rendah berkisar sekitar 5 12 mg/l untuk kedua musim.
Kalau diperhatikan pada citra tampilan RGB terlihat bahwa daerah ini mempunyai jumlah
sungai yang cukup banyak dan pola kekeruhan yang jelas terlihat di sekitar perairan
wilayah pesisir. Pola kekeruhan dan TSM juga direncanakan akan dimonitor mengunakan
data Fengyun 1C, sehingga dapat terlihat pola untuk jangka waktu tertentu seperti bulanan
atau tahunan.

Gambar

4-12

Memperlihatkan Distribusi Kecerahan Di Perairan


Menggunakan Model Algoritma Berbasiskan Reflektansi

Banyuwangi

Gambar 4-13 Memperlihatkan Kecerahan Pada Waktu Musim Barat Menggunakan Model
Berbasis Digital Numb

Gambar 4-14 Memperlihatkan Kecerahan Pada Musim Timur Menggunakan Model


Berbasis Digital Number
Gambar 4-15 memperlihatkan pemetaan terumbu karang, pdang lamun dan pasir
dibawah permukaan laut menggunakan model Lyzengga berbasis nilai reflektansi.
Disebabkan identifikasi terumbu karang sangat peka akan adanya kekeruhan (kekeruhan
menghilangkan informasi adanya terumbu karang), sehingga dilakukan pengolahan
terhadap 2 data temporal Landsat 7 ETM untuk memetakan terumbu karang.

Gambar 4-15 Pemetaan Terumbu Karang Di Perairan Banyuwangi


4.3

Monitoring SPL Menggunakan Data Multi Temporal NOAA


Untuk mendukung informasi mengenai parameter fisik perairan yang dihasilkan

data Landsat yang masih diragukan dalam merekomendasikan wilayah berpotensi untuk
budidaya laut dan pariwisata bahari disebabkan kondisi laut yang dinamis, maka kami
mencoba menggunakan data multi temporal untuk monitoring distribusi dan konsentrasi
parameter fisik perairan dalam jangka waktu tertentu (bulanan atau tahunan).
Informasi SPL dari data NOAA cenderung bersifat global karena resolusi
spasialnya yang besar, tapi informasi ini dapat diperoleh setiap hari karena resolusi
temporalnya yang sangat tinggi. Pada kegiatan ini kami menurunkan informasi SPL harian
untuk tahun 2002 dan 2003 (sebagain besar data diperoleh dari kegiatan ZPPI). Kemudian
menghitung nilai rata-rata untuk satu bulan, sehingga diperoleh rerata SPL untuk setiap
bulan.

Gambar 4-16 dan 4-17 memperlihatkan rata-rata perbulan SPL untuk Maret Desember tahun 2002 dan Maret November 2003 menggunakan data NOAA 12
AVHRR.

34oC
Gambar 4-16 Memperlihatkan Rata-Rata Bulanan Distribusi Spl Di Perairan

Banyuwangi dan Situbondo

Gambar 4-17 Memperlihatkan Rata-Rata Bulanan Distribusi Spl Di Perairan Banyuwangi


dan Situbondo
Nilai SPL tahun 2002 tidak terlalu berbeda dengan pada tahun 2003 (terjadi
perbedaan skala, dimana skala nilai SPL tahun tahun 2002 berkisar dari 29 oC - 34 oC,
sedangkan skala nilai SPL tahun 2003 berkisar antara 24 oC - 34 oC). Pola terlihat sama
bahwa hampir sepanjang tahun kondisi SPL perairan Banyuwangi (bagian selatan) sangat
rendah dibandingkan perairan Situbondo (bagian utara), kecuali pada bulan Desember
Maret yang cenderung sama. Pada tahun 2002 Upwelling di perairan samudera Indonesia
terjadi sekitar bulan April sampai bulan Oktober. Informasi ini sangat penting untuk
mendukung pengembangan budidaya perikanan di Kabupaten Banyuwangi.
BAB V

PENUTUP
Kajian potensi ekonomi wilayah pesisir, khususnya pengembangan budidaya laut
dan pariwisata bahari, telah berjalan selama 1 semester. Cukup banyak hambatan yang
dihadapi sekaligus telah dilakukan beberapa usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Misalnya sedikitnya model algoritma untuk mendeteksi parameter perairan yang sudah
dikerjakan untuk wilayah Indonesia, kalaupun ada umumnya menggunakan model berbasis
digital number dan pengambilan data yang lokal sehinga besar kemungkinan hanya
berlaku untuk satu lokasi dan satu saat saja. Beberapa algoritma sudah dikembangkan
dengan berbasiskan nilai radiansi atau reflektansi, tetapi masih belum diterapkan secara
baik di daerah penelitian (Banyuwangi dan Situbondo), kemungkinan disebabkan beberapa
hal seperti perbedaan jenis kandungan material (organik atau anorganik) yang terlarut di
perairan, koreksi atmosferik yang belum dilakukan dengan benar dll. Perbaikan model
kedalaman dan SPL menggunakan Landsat telah dilakukan, hasilnya memperlihatkan
persamaan yang cukup baik dengan referensi yang digunakan (seperti: peta bathimetri atau
NOAA). Walaupun begitu permasalahan keakurasian masih menjadi masalah disebabkan
tidak adanya data lapangan untuk memverifikasi hasil tersebut. Kegiatan Bina Usaha yang
merupakan kegiatan hilir dan bersifat operasional memang sangat menarik karena
berusaha mengaplikasikan data penginderaan jauh untuk dimanfaatkan bagi masyarakat
luas, tetapi tidak adanya model yang siap dipakai merupakan hambatan yang terbesar.
Untuk itu sangat diperlukan adanya bidang penelitian khusus untuk melakukan pembuatan
model sehingga hasil yang dikeluarkan Bina Usaha dapat lebih dipercaya.
Kegiatan ini sudah terselesaikan kira-kira 46 %, dimana kegiatan utama pada
semester 1 ini adalah perbaikan metoda dan menurunkan parameter-parameter fisik
perairan, fisik daratan, monitoring dan pembuatan DEM dengan menggunakan data-data
penginderaan jauh. Rencana selanjutnya adalah menyelesaikan beberapa parameter yang
belum dikerjakan, melakukan pembobotan dan analisa. Selain itu akan dicoba untuk
menggunakan data satelit beresolusi temporal tinggi seperti Fengyun 1C untuk monitoring
kekeruhan, dan menggunakan data resolusi spasial tinggi seperti SPOT untuk membantu
mengamati lokasi secara visual sekaligus sebagai alat verifikasi dari hasil pembobotan dan
analisa.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. http://www.banyuwangi.go.id
Asbar, 2002. Konsep Bio-Region Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir (suatu tinjauan
filosofi). IPB. Bogor. (makalah thesis).
Bengen, D.G. 2000. Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah pesisir Terpadu.
PKSPL_IPB dan CRMP (prosiding).
BPS dan Bappekab Situbondo, 2000. Karakteristik Penduduk Kabupaten Situbondo Hasil
Sensus Penduduk 2000, Situbondo
Budiman,S. 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in
Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam delta, Indonesia. Disertasi. ITC.
Netherlands
Carolita,I., G.Winarso., M.Hartuti., B.Hasyim., W.Asrining., B.Irianto. 1999. Analisis
Kesesuaian Lahan Tambak Menggunakan Citra Landsat di Sulawesi
Selatan.Prosiding pertemuan ilmiah tahunan ke-8 MAPIN. Jakarta 14-35 pp.
Chipman,J.W., Leale,J.E., Lillesand,T.M., Nordheim,M.J., Schmaltz,J.E. 2004. Mapping
Lake Water Clarity with Landsat Image in Wisconsin, USA
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumber Daya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat.
Kumpulan pemikiran DR. Ir. Rokhmin Dahuri MS. LISPI. Jakarta.
Dahyar,M. 1999. Penerapan Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dalam
Pembangunan Pariwisata di Kepulauan Derawan. Propinsi Kalimantan Timur
(Thesis).Program Pasca Sarjana .IPB. Bogor. 171 hlm.
DKP,2003 dalam www.dkp.go.id
Edward,A.J .1999. Applications of Satellite and Airborne Image Data To Coastal
Management. UNESCO,France.
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Halim, A. 1998. Penentuan Lokasi Wisata Bahari Dengan Sistem Informasi Geografis di
Gili Indah Kabupaten Lombok Barat. Propinsi Nusa Tenggara Barat.
(skripsi).FPIK.IPB.Bogor.110 hlm.
Hasyim, B., Dirgahayu, D., Farhan, M. 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan
Sistem Informasi geografi Untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai Akibat

Limbah Industri. Laporan Riset Unggulan Terpadu Bidang Teknologi Perlindungan


Lingkungan. Dewan Riset Nasional. Kantor Menteri Negera Riset dan Teknologi.
Kusumastanto, Tridoyo,. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pasca Sarjana, IPB, 2000.
LAPAN dan BAKOSURTANAL. 2001. Laporan Akhir Pekerjaan Inventarisasi Data
Penginderaan Jauh Wilayah Pesisir dan Laut. Jakarta. (tidak dipublikasikan).
Lemigas. 1997. Evaluasi Penginderaan Jauh Untuk Studi Dasar Lingkungan Wilayah Kerja
Unocal Indonesia Company Kalimantan Timur. Laporan Akhir. Pusat penelitian dan
Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi.
Martin, K.S. 1993. Applications in Coastal Zone Research and Management. Explorations
in Geographic Information Systems Technology. Vol. 3. UNITAR European Office.
Geneva. Switzerland.
Niendyawati. (1999). Aplikasi Inderaja/SIG Untuk Penentuan Lokasi Tambak Udang
(Studi Kasus di Pantai Timur Lampung). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-8
MAPIN, Jakarta 6-7 April 1999. Jakarta.
Sunyoto, P., dan Mustahal. 2000. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu,
Kakap,Beronang. Penebar Swadaya. Jakarta.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Thomas M.L., Ralph W.K., 2000, Remote Sensing dan Image Interpretation, John Willey
& Sons Inc.
Trisakti, B. et al. 2003. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Pengembangan
Budidaya Perikanan Pantai dan Pariwisata Bahari. Laporan Akhir Bina Usaha
LAPAN. Jakarta
Trubus, 2000, Rahasia membesarkan Kerapu bebek, Majalah Trubus, Edisi. Januari 2000.
Winarso, G., Carolita, I., Asriningrum, W., dan Sariwulan, B. 1999. Analisis Geomorfologi
untuk Studi Kesesuaian Lahan Tambak Udang di Ketapang dan Sekitarnya
Menggunakan Data Landsat-TM. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-8
MAPIN, Jakarta 6-7 April 1999. Jakarta
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Vol 2, Naga
report, University of California, San Diego.
Yamaji, I. 1966. Illustrations of the Marine Plankton of Japan. Hoikusha, Osaka, Japan.

Anda mungkin juga menyukai