Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Syok Anafilaktik

Usqi Krizdiana
2091210027

Pembimbing:
dr. M. Djauhar Arifin, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK
LAB ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISMA
RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
Periode 13 Juni-04 Juli 2015

BAB I
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Anafilaktik merupakan keadaan akut yang berpotensi mengancam jiwa dan paling
sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Gambaran
klinis anafilaktik sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan
membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas,
henti jantung, dan kematian mendadak.1
Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat, tidak
terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai menyebabkan
kematian.2 Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan melakukan anamnesis,
pemerikasaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu diagnosis serta penatalaksanaan
cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih
berbahaya.
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3
tiap

satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian

dilaporkan 2 kasus tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk membahas
Syok Anafilaktik dalam bentuk referat ini.

2.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penegakan diagnosis dan
penanganan Syok Anafilaktik sehingga dapat mengurangi morbiditas maupun mortalitas.
1.2.2 Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus penulisan referat ini adalah:
a. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Anesthesiologi dan Reanimasi di RS Mardi Waluyo Blitar;
b. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam upaya menurunkan angka
kejadian syok anafilaktik;
c. Sebagai tambahan pengalaman bagi penulis untuk memperluas dan menambah
wawasan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Jika seseorang sensitif
terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan
timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaktik yang dapat berujung
pada syok anafilaktik.2,3 Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaktik yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian.4

2.2 Etiologi
Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik yaitu:2
a. Obat-obatan (antibiotik golongan B-lactam, insulin, streptokinase)
b. Makanan (kacang-kacangan, telur, ikan laut)
c. Protein (antitoksin tetanus, transfusi darah)
d. Bisa binatang
e. Lateks

Selain itu, latihan maupun terpapar udara dingin (pada pasien dengan Cryoglobulinemia)
dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik. Riwayat keluarga atopi

tidak

meningkatkan risiko kejadian anafilaktik, namun dapat meningkatkan risiko kematian ketika
reaksi anafilaktik terjadi.2

2.3 Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaktik dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaktik melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan
aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.1,3,4

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk
antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan
basofil.1,3,4
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera
yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.1,3,4
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit
atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan
efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan
edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF)

berefek

bronkospasme

dan

meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik


menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.1,3,4
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran
darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.4

Gambar 1. Patofisiologi syok anafilaktik

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada umumnya muncul dalam 15 menit sejak terjadinya paparan.
Gejala dapat melibatkan kulit, saluran nafas atas maupun bawah, sistem kardiovaskular, dan
GI tract. Satu atau lebih area mungkin terkena, dan gejalanya tidak harus diawali gejala
ringan (urtikaria) terlebih dahulu sampai berat (obstruksi saluran nafas, atau syok).2
Gejala bervariasi dari ringan sampai berat, seperti gatal, urtika, bersin, rhinorea,
nausea, kram abdomen, diare, dispneu, palpitasi, dan pusing. Keadaan syok ditandai dengan

hipotensi, takikardi, urtikaria, angioedema, wheezing, stridor, sianosis, dan sinkop. Syok
dapat berkembang dalam hitungan menit, dan mungkin timbul kejang, tidak sadar, dan
kematian. Kolaps kardiovaskular dapat terjadi tanpa gejala lainnya.2

2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Reaksi anafilaktik mungkin terjadi
jika ditemui beberapa gejala disertai gejala mendadak berikut ini:2
a. Syok
b. Gejala respiratori (dispneu, stridor, wheezing)
c. Dua atau lebih gejala lain (angioedema, rhinorea, dan gejala GI tract).

Sedangkan American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah


membuat suatu kriteria diagnosis anafilaktik. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu
penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa
atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).5
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anakanak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih
dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.5

Gambar 2. Algoritma diagnosis reaksi anafilaktik


Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaktik sebagai berikut 8:
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresif yang cepat dari gejala
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih lambat dari
onset
- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan lebih cepat
onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih cepat onsetnya dari trigger
ingesti oral.
- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem :
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring
edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami obstruksi.
Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas


- Wheezing
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest
Circulation problem:
- Tanda syok, pucat, berkeringat.
- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah walaupun individu
dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi anafilaktik.
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya
- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah muda,
atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.
- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam sering
pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.

2.6 Diagnosis Banding


Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaktik mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaktik mempengaruhi
seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam
mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki
afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang
menyerupai reaksi anafilaktik dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard

akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome,
asma bronkiale, dan rhinitis alergika.1,4

2.7 Penatalaksanaan
Tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan
menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaktik. Segera
baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.1,3,4,6
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple
airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan
napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit.
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.1,3,4,6

Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati
syok anafilaktik. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu

10

denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.3,7
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar
lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok
anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada
pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada
pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan
0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai
tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.3,4,7,8
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu
saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat
pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi
intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi
intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000)
diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.
Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaktik perlu membawa adrenalin setiap
waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu
diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin
tersebut.3,4,8
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaktik, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian
antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat
pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada
keadaan anafilaktik berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan
diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat
diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang
tiap 6 jam selama 48 jam.3,4,6,9

11

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid


tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaktik dan hanya digunakan pada reaksi
sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaktik atau mencegah anafilaktik
berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam
pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi
pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10
mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg
BB.3,4,6
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol
(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5
cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.3,4,6
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml
dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis
maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 48 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg
BB/jam secara infus dengan dextrose 5%. 3,4,6

Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama
dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan
curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid
dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila
diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan
kehilangan volume plasma.8

12

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume nterstitial,
dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan
onkotik intravaskuler.8

Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim
ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa
harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama
selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran,
vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena
edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok
dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan,
infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah
mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.8

13

Gambar 3. Algoritma Resusitasi Syok Anafilaktik

14

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita
dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaktik.
Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.4
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit
negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi
tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit
negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.4
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan
jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama
pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari
obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat
yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar
untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.4

2.8 Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaktik jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaktik tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaktik untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaktik yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,
penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa
dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta
interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaktik dengan
injeksi adrenalin.

15

BAB III
KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E


yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik
memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa
golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaktik, yaitu makanan, obat-obatan,
dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya
anafilaktik, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaktik dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase
sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak,
keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaktik sangat bervariasi. Gejala
dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang
dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus
cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaktik; baringkan
penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan
resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis;
monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena,
observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah
terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obatobatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaktik jarang menyebabkan kematian.

16

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 144214455.

2.

Anaphylaxis Topics in: Allergic, Autoimune, & Other Hypersensitivity Disorders. The
Merck Manual Professional Edition

3.

Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;


Chapter 88, hal 1948-1963.2.

4.

Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009]. Available from: URL:
www.duniakedokteran.cq.bz.7.

5.

Sampson HA, et al. Clinical Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 20068.

6.

Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaktik dalam Pedoman Diagnosis dan


Terapi Penyakit Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana; 1994. hal 77-80.12.

7.

Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of


anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.

8.

Anonim. Syok dan Penanggulangannya. 2009 [cited: 20 Maret 2009]. Available


from:URL: www.shineupyourlife.com

9.

Anonim. Penggunaan Adrenalin dalam Pengobatan Anafilaktik. 2009 [cited: 20


Maret2009]. Available from: www.farmakoterapi-info.htm.11. Accessed at April

Anda mungkin juga menyukai