Anda di halaman 1dari 17

MODUL PERKULIAHAN

Psikologi
Abnormal
Penuaan dan gangguan
psikologis
Fakultas
Psikologi

Program
Studi
Psikologi

Tatap
Muka

12

Kode MK

Disusun Oleh

MK61073

Ainul Mardiah, M.Sc

Abstract

Kompetensi

Dalam perkuliahan ini akan


dibahas tentang gangguan yang

Mahasiswa akan memahami tentang


perspektif penuaan dan gangguan
psikologis, deskripsi klinis, gejala dan
subtype-subtipenya, prevalensi , dan
penanganan penuaan dan gangguan
psikologis

terjadi pada proses penuaan dan


gangguan psikologis.

Penuaan dan Gangguan Psikologis


PERHATIAN:
1. MODUL INI DISADUR DAN DITERJEMAHKAN DARI BEBERAPA BUKU YANG
TERCANTUM DI DALAM DAFTAR PUSTAKA
2. MODUL INI DIGUNAKAN HANYA UNTUK KEPENTINGAN BELAJAR/MENGAJAR
DAN INTERNAL KAMPUS UMB
3. MODUL INI BUKAN UNTUK MENDIAGNOSA GANGGUAN KLINIS PADA
SESEORANG
4. UNTUK DIAGOSA LEBIH LANJUT SILAHKAN HUBUNGI PSIKOLOG ATAUPUN
PSIKIATER TERDEKAT

Delirium
Gangguan yang dikenal sebagai delirium ditandai oleh kesadaran dan kognisi yang
terhendaya selama beberapa jam atau beberapa hari. Delirium adalah salah satu gangguan
mental yang paling awal ditangani.
Deskripsi klinis dan statistik
Penderita delirium tampak bingung, terdisorientasi, dan tampak tidak memiliki kontak
dengan sekitarnya. Mereka tidak dapat memusatkan dan mempertahankan perhatian
bahkan pada tugas-tugas paling mudah sekalipun. Ada kerusak yang jelas dalam ingatan
dan bahasa. Seperti kita ketahui bahwa gejala-gejala delirium tidak datang secara gradual
tetapi berkembang dalam hitungan jam atau beberapa hari, dan dapat bervariasi sepanjang
hari.
Gangguan Delirium tampak paling menonjol di kalangan orang-orang dewasa yang
sudah lebih tua, orang-orang yang menjalani prosedur medis, pasien kanker, dan
penyandang AIDS. Delirium mereda dengan relative cepat, dan di kebanyakan kasus
kesembuhan total yang diharapkan dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu. Sebagian
kecil individu tetap memiliki masalah ini secara pasang surut, sebagian bahkan sampai
mengalami koma dan mungkin meninggal.
Delirium dapat disebabkan oleh penggunaan obat yang tidak semestinya dapat
menjadi masalah tersendiri bagi orang-orang lanjut usia, karena merekalah yang cenderung
lebih banyak memakai obat di banding kelompok-kelompok umur lainnya. Risiko ini semakin
tinggi karena para lansia cenderung mengeliminasi obat-obatan dari sistem mereka secara
kurang efisiensi dibanding orang-orang yang lebih muda. Jadi, tidak mengherankan bila
frekuensi reaksi adversif obat yang memaksa para lansia di rawat di rumah sakit enam kali
lebih tinggi dibanding kelompok-kelompok umur lainnya. Ada kepercayaan bahwa delirium

201
5

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

yang disebabkan oleh penggunaan obat yang tidak semestinya memberikan kontribusi
terhadap 32.000 patah tulang pinggul yang terjadi para lansia setiap tahunnya akibat
terjatuh dan 16.000 kecelakaan mobil serius dialami oleh para lansia di AS setiap tahunnya.
Delirium dapat dialami oleh anak-anak yang mengalami demam tinggi atau memakai
obat tertentu dan sering kali disalah artikan sebagai ketidakpatuhan dalam pemakaian obat.
Gangguan ini sering terjadi selama perkembangan demensia; 44% penyandang demensia
mengalami paling tidak satu fase delirium. Karena kondisi-kondisi medis primernya banyak
yang bisa ditangani, delirium sering kali bisa sembuh dalam waktu relative pendek. Tetapi,
disekitar seperepat kasus, delirium danpat merupakan tanda akhir kehidupan.

Kriteria Gangguan Delirium


A. Gangguan pada perhatian (contoh: berkurangnya kemampuan
mengarahkan, focus, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian)
dan kesadaran-awareness (kehilangan orientasi tentang lingkungan
sekitar)
B. Gangguan berkembang selama waktu yang pendek (biasanya selama
beberapa jam hingga beberapa hari), adanya perubahan perhatian dan
kesadaran dari sebelumnya, dan keparahannya cenderung fluktuatif
sepanjang hari.
C. Gangguan tambahan dalam kognisi (contoh: penurunan memori,
disorientasi, bahasa, kemampuan visual spasial, atau persepsi)
D. Gangguan di kriteria A dan C tidak bisa dijelaskan dengan gangguan
neurokognisi yang sudah ada sebelumnya, atau berkembang dan tidak
terjadi dalam konteks koma.
E. Ada bukti dari rekam jejak, hasil uji kesehatan, hasil temuan
laboratorium bahwa gangguan ini bukan merupakan konsekuensi dari
kondisi medis lainnya, intoksinasi dari penggunaan NAPZA ataupun
withdrawal (contoh: terkait penyalahgunaan obat-obatan terlarang
ataupun pengobatan), ataupun terpapar zat beracun, ataupun terkait
beberapa penyebab lainnya.

Penanganan
Delirium disebabkan oleh penghentian pemakaian alkohol atau obat-obatan lain
biasanya ditangani dengan haloperiodol atau obat-obat anti psikotik lain, yang membantu
menenangkan individu yang bersangkutan. Intervensi medis yang tepat perlu diberikan bila
ada infeksi, cedera otak, dan tumor. Obat anti psikotik haloperidol sering diresepkan untuk
individu-individu yang mengalami delirium akut.
Intervensi psikososial juga bisa bermanfaat. Tujuan penanganan non-medis adalah
untuk memberikan ketenangnan kepada orang yang membantu penderita dalam mengatasi
agitasi, kecemasan, dan halusinasi akibat deliriumnya. Orang yang dirawat di rumah sakit
dapat ditenangkan dengan barang-barang pribadinya seperti foto keluarga (Fearing &
201
5

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

Inouye, 2009). Selain itu, pasien yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang
semua penanganan yang akan dilakukan terhadapnya karena memiliki sense of control.
Tipe penanganan psikososial ini dapat membantu orang itu dalam menjalani periode
disruptifnya sampai penyebab-penyebab medisnya berhasil diidentifikasi dan diatasi.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa dukungan semacam ini juga dapat menunda
institusinalisasi pasien-pasien usia lanjut.
Preventif
Usaha preventif yang paling berhasil adalah membantu orang-orang yang terindikasi
delirium. Penanganan medis yang tepat dan terapi obat-obatan cukup efektif dalam
mencegah delirium (Breitbart & Alici, 2012). Sebagai contoh: meningkatnya jumlah orang tua
yang terlibat dalam menangani perawatan dan konseling penggunaan obat-obatan
membantu orang tua lebih bijak dalam menggunakan resep obat-obatan (U.S. General
Accounting Office, 1995)

Gangguan Neurokognitif Berat (Major) dan Ringan (Mild)


Hanya ada beberapa hal lain yang lebih menakutkan bila dibandingkan dengan
kemungkinan bahwa suatu saat nanti anda tidak mampu mengenali lagi orang-orang yang
anda cintai, anda tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas yang paling dasar sekalipun,
dan, yang lebih buruk lagi, anda secara akut menyadari kegagalan-kegagalan ini. Saat ada
anggota keluarga yang menunjukkan tanda-tanda ini, anak-anak yang sudah dewasa sering
mengingkari masalahnya dengan mencari-cari segala macam alasan (saya sendiri juga
sering lupa) untuk menenangkan kemampuan orangtuanya yang menghilang. Gangguan
neurokognitif mayor (sebelumnya dinamakan demensia) kemunduran fungsi otak yang
terjadi secara gradual, yang mempengaruhi yang mempengaruhi judgment (penilaian),
ingatan, bahasa, dan proses kognitif yang lainnya.

Gangguan neurokogntif ringan di

dalam DSM-5 dirancang untuk memfokuskan pada tahap awal dimana fungsi kognisi yang
mulai menurun. Disini orang dengan gangguan ini mengalami kemampuan kognitif akan
tetapi masih bisa mandiri dengan beberapa pertolongan (seperti: membuat list perencanaan
kegiatan yang ingin dilakukan atau membuat jadwal yang terperinci).
Gangguan

neurokognisi

disebabkan

oleh

beberapa

kondisi

medis

dan

penyalahgunaan obat atau alkohol yang mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan


negatif dalam fungsi kognitif. Beberapa kondisi-misalnya, infeksi atau depresi-dapat
menyebabkan demensia, meskipun keadaan tersebut dapat dipulihkan melalui penanganan
terhadap kondisi primernya. Beberapa bentuk gangguan ini, misalnya Alzheimers disease

201
5

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

(Al-zheimer), sampai saat ini belum dapat disembuhkan.

Meskipun delirium dan gangguan

neurokognisi dapat muncul bersama-sama, demensia memiliki progresi gradual, sementara


delirium memiliki onset akut. Berbeda dengan penderita delirium, para orang dengan
gangguan kognisi tidak mengalami disorientasi atau kebingungan pada tahap awalnya.
Tetapi, seperti delirium, demensia juga memiliki banyak sebab, termasuk berbagai macam
trauma otak, seperti stroke (yang merusak pembuluh darah), penyakit-penyakit infeksi
seperti sifilis dan HIV, cedera kepala berat, introduksi substansi beracun, dan penyakitpenyakit seperti Parkinson, Huntington dan, Alzheimer, yang merupakan penyebab paling
sering untuk demensia.

Kriteria Ganguan Neurokognisi Mayor


A. Adanya bukti signifikan dari penurunan fungsi kognitif dibandingkan
dengan level performa sebelumnya dalam satu atau lebih area kognitif
(perhatian yang kompleks, fungsi eksekutif, belajar dan memori, bahasa,
perseceptual-motor, ataupun kognisi sosial) berdasarkan dari:
1. Kekhawatiran individu, informan yang memiliki pengetahuan, ataupun
klinisi yang mengindikasikan adanya penurunan fungsi kognisi, dan
2. Kerusakan
substansial
dari
performa
kognisi,
yang
bisa
didokumentasikan dengan tes standar neuropsikologi, atau jika tidak
ada maka asesmen kuantitatif klinis lainnya.
B. Penurunan fungsi kognisi mempengaruhi kemandirian pada kegiatan
sehari-hari (contoh: minimal, membutuhkan bantuan untuk melaksanakan
kegiatan hari-hari yang kompleks seperti: membayar tagihan dan mengatur
konsumsi obat-obatan).
C. Gangguan penurunan fungsi kognitif ini tidak terjadi secara eksklusif dalam
konteks delirium
D. Penurunan fungsi kognitif tidak bisa dijelaskan oleh gangguan mental
lainnya (seperti: gangguan depresi mayor, skizofrenia).

Kriteria Ganguan Neurokognisi Mayor

201
5

A. Adanya bukti signifikan dari penurunan fungsi kognitif dibandingkan


dengan level performa sebelumnya dalam satu atau lebih area kognitif
(perhatian yang kompleks, fungsi eksekutif, belajar dan memori, bahasa,
perseceptual-motor, ataupun kognisi sosial) berdasarkan dari:
1. Kekhawatiran individu, informan yang memiliki pengetahuan, ataupun
klinisi yang mengindikasikan adanya penurunan fungsi kognisi, dan
2. Kerusakan
substansial
dari
performa
kognisi,
yang
bisa
didokumentasikan dengan tes standar neuropsikologi, atau jika tidak
ada maka asesmen kuantitatif klinis lainnya.
B. Penurunan fungsi kognisi mempengaruhi kemandirian pada kegiatan
sehari-hari (contoh: minimal, membutuhkan bantuan untuk melaksanakan
kegiatan hari-hari yang kompleks seperti: membayar tagihan dan mengatur
konsumsi obat-obatan, dibutuhkan usaha lebih, strategi pengganti, atau
akomodasi mungkin diperlukan).
C. Gangguan penurunan fungsi kognitif ini tidak terjadi secara eksklusif dalam
konteks delirium
D. Penurunan fungsi kognitif tidak bisa dijelaskan oleh gangguan mental
Gangguan-gangguan psikologis
mayor,
Pusat
Bahan Ajarskizofrenia).
dan eLearning
5lainnya (seperti: gangguan depresi
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

http://www.mercubuana.ac.id

Deskripsi Klinis
Tergantung pada individu yang mengalami dan penyebab gangguannya, progresi
gradual gangguan neurokognitif dapat memiliki gejala-gejala yang agak berbeda-beda,
meskipun semua aspek fungsi kognitif pada akhirnya akan terpengaruh. Pada tahap-tahap
awal, kerusakan ingatan biasanya terlihat dalam bentuk ketidakmampuan untuk mencatat
kejadian-kejadian yang sedang berlangsung. Dengan kata lain, seseorang ingat cara
berbicara dan mungkin juga mampu mengingat berbagai kejadian yang terjadi bertahuntahun silam, tetapi mengalami kesulitan dalam mengingat sesuatu yang terjadi beberapa
jam yang lalu.
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mengenali nama objek, adalah salah satu
gejala yang paling umum. Facial agnosia, ketidakmampuan mengenali wajah-wajah orang
bahkan yang sudah sangat dikenal sekalipun, bisa membuat anggota keluarga penderita
merasa sangat tertekan. Kemunduran menyeluruh pada fungsi otak mengakibatkan
kerusakan dalam ingatan, perencanaan, dan penalaran abstrak.
Hal ini mungkin dikarena para penyandang demensia mungkin menyadari bahwa
mereka mengalami kemunduran secara mental, maka berbagai perubahan emosional juga
sering terjadi. Efek samping yang umum dialami adalah delusi (keyakinan yang irasional),
depresi, agitasi, agresi, dan apati. Sekali lagi, sulit untuk menetapkan hubungan sebabakibat. Kita tidak tahu seberapa banyak perubahan perilaku yang terjadi disebabkan secara
langsung oleh kemunduran otak progresif dan seberapa banyak perubahan itu merupakan
akibat frustasi dan kehilangan semangat yang, secara tidak terhindarkan, menyertai
kehilangan fungsi dan perasaan terasing karena kehilangan orang-orang tercinta. Fungsi
201
5

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

kognitif terus mundur sampai orang itu membutuhkan dukungan nyaris total untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari. Akhirnya, kematian akan terjadi akibat inaktivitas ditambah
onset penyakit-penyakit lainnya, seperti pneumonia.

Gangguan Neurokognisi Terkait Penyakit Alzheimer


Psikiater Jerman, Alois Alzheimer-lah yang pertama kali mendeskripsikan tentang
penyakit yang kemudian diberi sebutan dengan menggunakan namanya pada 1906. Ia
menuliskan tentang seorang perempuan 51 tahun yang memiliki penyakit di cerebral corte
yang aneh: yang manifest dalam bentuk kerusakan ingatan yang bersifat progresif dan
masalah perilaku dan kognitif lain, termasuk sikap curiga (Richards & Sweet; 2009). Ia
menyebutkan gangguan atypical form of senile dementia (bentuk atipikal dari demensia
orang lanjut usia) yang kemudian disebut Alzheimers disease (Penyakit Alzheimer).
Kriteria untuk gangguan ini meliputi penurunan fungsi kognitif yang berkembang
secara gradual namun pasti. Gejala yang menonjol adalah kerusakan ingatan, orientasi,
judgment, dan penalaran. Ketidakmampuan mengintegrasikan informasi baru membuat
penderita tidak mampu mempelajari asosiasi-asosiasi baru. Penderita penyakit Alzheimer
lupa tentang kejadian-kejadian penting dan sering (merasa) kehilangan barang-barang.
Ketertarikan mereka terhadap kegiatan-kegiatan non rutin mulai terbatas. Mereka
cenderung kehilangan interes terhadap orang lain, dan sebagai akibatnya, menjadi semakin
terasing secara sosial. Ketika gangguannya semakin berkembang, mereka dapat
mengalami agitasi, kebingungan, depresi, kecemasan, atau bahkan bisa menjadi suka
bertengakar. Banyak di antara masalah-masalah ini yang tampak semakin mencolok di
senja hari- sebuah fenomena yang disebut sundowner syndrome- mungkin sebagai akibat
kelelahan atau gangguan pada jam biologisnya (Lemay & Landreville, 2010).
Orang dengan gangguan neurokognisi terkait dengan penyakit Alzheimer juga
memperlihatkan salah satu gangguan kognitif atau lebih, termasuk afasia (kesulitan yang
terkait dengan bahasa), apraksia (fungsi motorik yang rusak), agnosia (ketidakmampuan
mengenali objek) atau kesulitan dalam k\aktivitas-aktivitas seperti merencanakan,
mengurutkan, atau mengabstraksikan informasi. Kerusakan-kerusakan kognitif ini juga
memiliki dampak negatif serius pada fungsi sosial dan okupasional serta merepresentasikan
terjadinya penurunan kemampuan yang signifikan dibanding sebelumnya.
Penelitian menggunakan scan otak dilakukan pada orang yang memiliki gangguan
neurokognisi ringan untuk melihat ada tidaknya perubahan struktur otak di awal
perkembangan penyakit Al-zheimer yang bisa mengarah pada mendiagnosa gangguan ini
lebih awal. Di masa lalu, penyakit Alzheimer ini bisa di deteksi setelah dilakukan otopsi untuk
menetapkan adanya tipe-tipe kerusakn khas tertentu dalam otak. Namun perkembangan

201
5

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

terbaru dengan penggunaan mesin scan otak menunjukkan bahwa deteksi awal terhadap
penyakit ini bisa dilakukan sebelum penurunan fungsi kognisi yang signifikan ataupun
meninggal (Douaud, dkk, 2013; Weiner, dkk, 2012). Selain itu, untuk menegakkan diagnosa
tentang status kesehatan bisa menggunakan pengukuran yang menilai permasalahan
memori dan bahasa (Lihat Barlow 2014, Tabel 15.1 hal 549).
Kerusakan fungsi kognisi pada penyakit Alzheimer sangat perlahan di tahap awal
dan akan semakin cepat pada tahap tengah (Richards & Sweet, 2009). Survival time ratarata diperkirakan sekitar 8 tahun, meskipun banyak individu hidup secara mandiri selama
lebih dari 10 tahun. Sebagian bentuk penyakit ini dapat timbul relative lebih awal, yaitu pada
usia 40-an dan 50-an, tetapi biasanya muncul pada usia 60-an atau 70-an. Kira-kira 50%
kasus demensia ditemukan sebagai akibat Penyakit Alzheimer, yang diyakini menimpa lebih
dari 4 juta orang Amerika dan banyak orang lainnya di seluruh dunia.
Beberapa penelitian tentang prevalensinya menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer
muncul paling banyak pada orang-orang berpendidikan rendah. Gangguan yang lebih berat
di kalangan orang-orang yang kurang berpendidikan mengindikasikan bahwa onset- nya
terjadi jauh lebih dini, yang menunjukkan bahwa Penyakit Alzheimer menyebabkan disfungsi
intelektual yang kemudian menghambat berbagai upaya pendidikan. Atau, mungkin ada
sesuatu tentang pencapaian intelektual yang mencegah atau menunda gejalanya onset.
Pencapaian pendidikan bisa membuat cadangan, sekelompok keterampilan yang bisa
membantu seseorang untuk cope dengan fungsi kognisi yang menurun sebagai pertanda
dari bermulanya gangguan neurokognisi. Dari perspektif biologis mengenai hipotesa dimana
kognisi membuat cadangan, hal tersebut menunjukkan bahwa semakin berkembang sinaps
seseorang selama kehidupan, semakin banyak neuron yang mati sebelum tanda demensia
cukup jelas (Farias dkk, 2012). Kegiatan mental yang terjadi selama proses pendidikan
membangun cadangan sinaps dan syaraf yang berpotensi sebagai faktor pencegah dari
berkembangnya gangguan ini. Hal ini membuat kedua hal tersebut (berkembangnya
kemampuan dan perubahan di otak karena pendidikan) menjadikan pendidikan sebagai
faktor yang berkontribusi terhadap seberapa cepat perkembangan gangguan ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit Alzheimer ini lebih besar angka
kejadiannya pada wanita (Craig & Murphy, 2009), meskipun faktor survival menjadi faktor
statistiknya. Dengan kata lain, bahwa karena wanita hidup lebih lama daripada pria, hal
tersebut membuat angka statistik Alzheimer lebih banyak terjadi pada wanita, akan tetapi
umur yang panjang itu sendiri tidak membuat prevalensi penyakit ini menjadi lebih tinggi
pada wanita. Penjelasan terhadap hal ini adalah adanya hormone estrogen sebagai protektif
faktor terhadap terjadinya gangguan ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Womens
Health Initiative Memory, dalam studi awal ini mereka bereksperimen dengan wanita di atas
usia 65 tahun menggunakan kombinasi estrogen dan progestin atau Prempro, bertentangan
201
5

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

asumsi sebelumnya dimana wanita yang diberikan hormon estrogen akan berkurang
kesempatan untuk memiliki gangguan neurokognisi, akan tetapi hal tersebut malah
meningkatkan resiko penyakit Alzheimer (Coker dkk, 2010). Riset lanjutan masih
berlangsung untuk melihat perbedaan efek dari kedua jenis hormone

ini terhadap

demensia.

Kriteria Gangguan Neurokognisi Terkait Penyakit


Alzheimer
A. Kiteria tidak cocok untuk masuk ke dalam gangguan neurokognisi ringan ataupun berat
B. Adanya kerusakan yang perlahan, progresif, dan membahayakan di satu atau lebih domain
kognitif (untuk gangguan neurokognisi yang mayor, dua domain mesti mengalami kerusakan)
C. Kriteria terpenuhi untuk penyakit penyakit Alzheimer, dengan ketentuan di bawah ini:
Untuk gangguan neurokognisi mayor:
Mungkin penyakit Alzheimer di diagnose jika salah satu kriteria di bawah ini hadir, jika tidak maka
kemungkinan penyakit Alzheimer bisa di diagnose
1. Bukti kausatif dari mutasi genetik penyakit Alzheimer dari keluarga atau test genetik
2. Tiga kriteria di bawah ini harus ada:
a. Bukti yang jelas dari penurunan memori dan belajar dan paling tidak domain kognitif
lainnya ( berdasarkan riwayat yang cukup rinci atau hasil assessment neuropsikologi).
b. Penurunan yang bertahap dan progresif dari kognisi, tanpa ada masa stabil yang cukup
c.

panjang
Tidak ada bukti etiologi yang tercampur (contoh: tidak adanya neurodegenerative atau
penyakit cerebrovascular, atau penyakit mental neurologis lainnya, atau penyakit yang
sistemik, atau kondisi lainnya yang berkontribusi terhadap penurunan kognisi)

Untuk gangguan neurokognisi minor:


Probable Alzheimer (hal itu dapat terbukti dan kenyataannya ada atau telah ada) didiagnosa jika
ada bukti kausatif dari gangguan mutasi penyakit Alzheimer baik itu dari tes genetik atau riwayat
keluarga.
Possible Alzheimer (hal tersebut mungkin ada tapi tidak seorangpun pernah menemukannya)
didiagnosa jika tidak ditemukan bukti kausatif dari gangguan mutasi penyakit Alzheimer baik itu dari
tes genetik atau riwayat keluarga, dan ketiga hal di bawah ini harus hadir:
D.

1. Bukti yang jelas dari penurunan memori dan belajar


2. Penurunan yang bertahap dan progresif dari kognisi, tanpa ada masa stabil yang
cukup panjang
3. Tidak ada bukti etiologi yang tercampur (contoh: tidak adanya neurodegenerative
atau penyakit cerebrovascular, atau penyakit mental neurologis lainnya, atau
penyakit yang sistemik, atau kondisi lainnya yang berkontribusi terhadap
penurunan kognisi).
D. Gangguan ini tidak bisa dijelaskan oleh gangguan cerebrovascular, atau penyakit
neurodegenerative, efek penggunaan obat-obatan, atau gangguan sistemik mental dan
201
5

Gangguan-gangguan psikologis

neurologis.
9

Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

Penyebab dan Penanganan Gangguan Penuaan dan Gangguan Psikologis


Pengaruh Biologis: genetik
Pengaruh psikologis dan sosial
Penelitian kebanyakan difokuskan pada kondisi-kondisi biologis yang menyebabkan
demensia. Meskipun hanya sebagian kecil yang akan menyatakan bahwa pengaruh
psikososial yang secara langsung menyebabkan penurunan fungsi otak yang terlihat pada
penyandang demensia, tetapi pengaruh-pengaruh itu mungkin membantu menetapkan
onset dari perjalanannya. Sebagai contoh, gaya hidup seseorang mungkin melibatkan
kontak dengan faktor-faktor yang dapat menyebabkan demensia. Kita tahu, misalnya bahwa
penyalahgunaan substansi dapat mengakibatkan demensia. Dalam kasus demensia
vaskuler, kerentanan biologis seseorang terhadap penyakit demensia vaskuler akan
mempengaruhi peluang untuk mengalami stroke yang pada akhirnya menimbulkan
gangguan ini. Isu-isu gaya hidup seperti diet, olahraga, dan stress mempengaruhi penyakit
kardiovaskuler dan oleh sebab itu membantu menentukan siapa yang akan mengalami
demensia vaskuler.
Faktor-faktor kultural juga dapat mempengaruhi proses ini. Sebagai contoh,
hipertensi dan stroke menonjol di kalangan orang-orang Afrika- Amerika dan orang-orang
Asia- Amerika, yang mungkin menjelaskan mengapa demensia vaskuler lebih sering
terobservasi pada anggota-anggota kelompok-kelompok ini. Contoh ekstremnya, Prions
(partikel protein yang menyebabkan gangguan pada otak) yang dapat menimbulkan
demensia yang serupa dengan bentuk demensia akibat Penyakit Creutzfeldt- Jacob. Hal ini
ditularkan melalui sebuah ritual kanibalisme yang dipraktikkan di Papua Nugini sebagai
bagian masa berkabungan (Collinge dkk, 2006). Demensia yang disebabkan oleh trauma
pada kepala dan gizi-buruk relatif menonjol dalam masyarakat pra-industri. Kurangnya
vitamin B9 dan B12 bisa menyebabkan gangguan neurokognisi, meskipun prosesnya belum
201
5

10

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

diketahui secara pasti (Michelakos dkk, 2013). Hasil temuan ini menyarankan bahwa
keamanan selama bekerja (melindungi karyawan dari kecelakaan pada bagian kepala) dan
kondisi ekonomi yang mempengaruhi diet yang pada akhirnya mempengaruhi prevalensi
berkembangnya gangguan neurokognisi tertentu. Tampak jelas bahwa faktor-faktor
psikososial turut mempengaruhi siapa yang mengembangkan dan tidak mengembangkan
demensia dalam bentuk-bentuk tertentu. Kemunduran fungsi otak adalah sebuah proses
biologis yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial.
Faktor-faktor psikososial juga mempengaruhi perjalanan demensia. Anda mungkin
masih ingat bahwa tingkat pendidikan dapat mempengaruhi onset demensia. Memiliki
keterampilan-keterampilan tertentu dapat membantu sebagian orang dalam mengatasi
tahap-tahap awal demensianya secara lebih baik di bandingkan orang lain. Dalam budayabudaya tertentu, termasuk China, orang-orang yang lebih muda dituntut untuk bekerja dan
merawat para lansia setelah mencapi usia tertentu. Demensia mungkin tak terdeteksi
selama bertahun-tahun dalam budaya-budaya semacam ini.
Banyak yang masih harus dipelajari tentang penyebab dan perjalanan sebagian
besar tipe demensia. Seperti Penyakit Alzheimer dan Hutington, faktor-faktor genetik
tertentu membuat sebagian individu rentan terhadap kemunduran kognitif progresif. Di
samping itu, trauma otak, beberapa macam penyakit, dan paparan obat-obatan tertentu
seperti

alkohol,

inhalan,

dan

obat-obat

sedative,

hipnotik,

dan

ansiolitik

dapat

mengakibatkan penurunan yang khas pada berbagai kemampuan kognitif. Kita juga tahu
bahwa faktor-faktor psikososial dapat turut menentukan siapa yang rentan terhadap
penyebab-penyebab ini dan bagaimana mereka mengatasi kondisinya. Melihat demensia
dari perspektif integrative ini mestinya membantu kita agar dapat melihat berbagai macam
pendekatan penanganan secara lebih optimistik. Barang kali ada kemungkinan untuk
melindungi orang-orang dari berbagai kondisi yang dapat menyebabkan demensia dan
memberikan dukungan kepada mereka dalam mengahadapi berbagai konsekuensi merusak
yang ditimbulkannya.
Penanganan Psikososial
Penanganan psikososial di fokuskan pada usaha mempertinggi kualitas hidup
penyandang demensia dan keluarganya. Para penyandang demensia dapat diajari berbagai
keterampilan untuk mengkompensasi kemampuan mereka yang hilang. Beberapa peneliti
telah mengevaluasi berbagai adaptasi formal untuk membantu orang-orang yang berada
pada tahap awal demensia. Michelle Bourgeois (2007) menciptakan memory wallets
(dompet-dompet ingatan) untuk membantu penyandang demensia dalam melakukan
berbagai percakapan. Pertanyaan-pertanyaan deklaratif dicetak di atas kartu-kartu idenks

201
5

11

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

yang diselipkan ke dalam sebuah dompet , misalnya aku dan suamiku John memiliki 3
anak, atau aku lahir pada 3 Januari 1921 di Pittsburgh.
Dalam satu studi yang dilakukan oleh Bourgeois (1992) menemukan bahwa,orang
dengan gangguan neurokognisi terkait dengan gangguan Alzheimer, dengan traning yang
minimal, mereka dapat menggunakan bantuan memori untuk meningkatkan percakapan
dengan orang lain. Dengan kemajuan teknologi seperti tab yang bisa di program untuk
berbicara untuk seseorang, adaptasi seperti ini bisa menolong orang lain berkomunikasi
dengan yang lainnya, membantu mereka untuk sadar dengan sekelilingnya, dan bisa
mengurangi frustasi yang muncul saat mereka sadar bahwa mereka mengalami penurunan
fungsi kognisi (Fried-Oken dkk, 2012).
Simulasi

kognitif-

memberikan

dorongan

kepada

orang

dengan

gangguan

neurokognisi untuk belajar mempraktekkan dan keterampilan memori- merupakan metode


yang cocok untuk menunda onset dari gangguan kognitif yang lebih parah (Knowles, 2010).
Kegiatan ini termasuk permainan kata, tes memori dari wajah orang-orang yang terkenal
dan wajah keluarga, dan praktik dengan angka-angka (sebagai contoh: berapa kembalian
yang kamu terima setelah berbelanja). Tipe latihan membangun keterampilan ini dapat
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien jika dibandingkan kelompok
kontrol (J.Choi & Twamley, 2013).
Apakah efek treatment medis dan non medis terhadap penyakit Alzheimer? Figur di
bawah ini bisa mengilustrasikan bagaimana intervensi bisa memperlambat gejala yang
buruk-secara mendasar menekan waktu ketika seseorang mengalami kerusakan (Becker,
Mestre, Ziolko, & Lopez,
2007).

Garis

merah

mengilustrasikan

hal

umum yang terjadi pada


penyakit

ini,

yang

menghasilkan 3 sampai 5
tahun

kerusakan

yang

parah sebelum akhirnya


meninggal. Akan tetapi,
dengan intervensi, orang
dengan

gangguan

ini

dapat benar-benar hidup


dan hidup dalam waktu yang lama, meskipun kerusakan dan kematian tidak dapat dihindari.
Keluarga menemukan waktu tambahan ini sebagai sesuatu yang berharga, dan mudahmudahan dengan adanya kemajuan ini, kita akan melihat adanya kemajuan dalam
penurunan angka kematian karena penyakit progresif ini.
201
5

12

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

Individu dengan gangguan neurokognitif stadium lanjut, mereka tidak dapat makan,
mandi, atau memakai baju mereka sendiri. Mereka tidak dapat berkomunikasi atau
mengenali anggota keluarganya sendiri. Mereka mungkin akan berkeliaran di luar rumah
dan mungkin juga meghilang (kesasar). Karena mereka tidak sadar akan stigma sosial,
mereka melakukan perilakku seksual di depan publik, seperti masturbasi. Mereka sangat
gampang marah dan terkadang melakukan kekerasan fisik. Dalam rangka menolong orang
dengan demensia dan perawatnya, maka peneliti melakukan intervensi untuk mengatasi
konsekuensi dari gangguan ini (Lovestone, 2012). Sebagai contoh, beberapa riset
mengindikasikan bahwa kombinasi antara latihan pada pasien dan instruksi pada perawat
tentang bagaimana cara menghandle perilaku bermasalah dapat meningkatkan kesehatan
secara umum dan mengurangi depresi pada orang dengan penyakit Alzheimer (Longsdon,
McCurry, Pike, & Teri, 2009; Teri dkk, 2003).
Seorang penyandang demensia dapat teragitasi dan kadang-kadang menjadi agresif
secara verbal maupun fisik. Dapat dimengerti bila perilaku ini dapat membuat perawatnya
merasa stress. Dalam situasi semacam ini, intervensi medis sering kali digunakan, meskipun
hasilnya tidak terlalu signifikan. Para perawat sering kali diberi latihan asertif untuk
membantu mereka mengahdapi perilaku bermusuhan penderita. Bila tidak, perawat mungkin
menerima secara pasif semua kecaman yang dicecarkan oleh penderita, yang dapat
meningkatkan stresnya atau membalas perlakuan penderita dengan sikap marah dan
agresif. Respon terakhir in sangat memperihatinkan karena berpotensi kekerasan pada
orangtua. Penting untuk mengajari perawat mereka tentang cara menangani berbagai
keaadaan yang menimbulkan stress agar mereka tidak terjebak dalam situasi abusive.
Beberapa bukti objektif mendukung kegunaan latihan asertif untuk mengurangi

stress

perawat, dan kita menunggu hasil penelitian-penelitian lain yang dapat dijadikan pedoman
bagi upaya-upaya di masa yang akan datang.
Orang dengan penyakit Alzheimer kebanyakan berkeliaran di tempat-tempat yang
kadang membahayakan diri mereka sendiri (seperti: berada di tengah jalan), sebagai
penanganannya kebanyakan penanganan dengan mengurung atau mengikat orang tua
tersebut di tempat tidur malah menyebabkan hal yang tidak baik. Treatmen psikologis
menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi dengan cara menyediakan klue untuk
membantu orang dengan gangguan ini untuk bisa tinggal di dalam rumah mereka sendiri.
Inovasi terbaru dari teknologi- dengan cara membuat aplikasi smart home yang dapat
memonitor lokasi pasien dan mengingatkan perawat (care giver). Namun di waktu yang
bersamaan, ada pertanyaan etika terkait teknologi tersebut bisa mengganggu privasi
seseorang (Bharucha dkk, 2009; Mahoney, dkk, 2007).
Terkadang orang yang mengalami gangguan ini bisa sangat gelisah dan terkadang
agresif secara verbal ataupun fisik. Hal ini tentu saja membuat orang yang menjaganya
201
5

13

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

cukup stress. Dalam situasi ini, pendekatan medis tentu harus dilakukan, meskipun hasilnya
cukup sedikit (Testad, Ballard, Bronnick, & Aarsland, 2010). Hasil penelitian menunjukkan
mengajarkan cara berkomunikasi seperti mengajarkan pada anak dengan gangguan
spectrum autis (Durand, 2012) bisa ckup membantu mengurangi perilaku agresif pada orang
dengan gangguan neurokognisi (Baker & LeBlanc 2011). Sebagai tambahannya, caregiver
mendapat training dalam menghadapi perilaku bermusuhan dari orang dengan gangguan
ini.
Secara umum, keluarga dan orang-orang yang mengalami gangguan neurokognisi
yang ringan ataupun berat dapat mendapatkan manfaat dari supportive counseling untuk
membantu mereka mengatasi perasaan frustasi, depresi, bersalah, dan kehilangan yang
bisa menguras emosi yang cukup banyak. Klinisi juga harus mengakui bahwa kemampuan
menghadapi stressor antara satu orang dengna orang lain berbeda. Seperti dalam sebuah
studi ditemukan perbedaan coping strategies pada perawat. Di sebuah daerah pedesaan
Alabama, perawat dari kulit putih menggunakan acceptance dan humor sebagai strategi
dalma menghadapi masalah, dan perawat kulit hitam menggunakan agama dan
mengingkari (denial).

Tabel Perilaku Asertif


Secara

Perilaku Pasien
tenang
dan

Respon Asertif
tegas

mengatakan:
Pasien menolak untuk makan, kita setuju melakukan ini pada saat ini sehingga kita bisa
mandi, dan mengganti pakaian
Pasien ingin pulang ke rumah

(memberikan kegiatan spesifik ataupun reward)


saya tahu kalau kamu merindukan tempat di mana
dirimu biasa disana. Sekarang ini rumah kita, dan

bersama kita akan aman dan bahagia disini


menuntut tidak mungkin untuk mendapatkan semua yang kita

Pasien
kepuasan/kegembiraan

secara inginkan. Segera setelah saya selesaikan (gambarkan

langsung
Pasien

secara
menuduh

spesifik

tindakan

dan

tugas),

kita

bisa

mendiskusikan hal apa yang kamu inginkan


caregiver kita bersama-sama menikmati apa yang kita miliki. Saya

mengambil barang miliknya

akan membantu kamu untuk mencarikan (benda yang


hilang) sehingga kamu bisa menikmatinya segera setelah
saya selesai melakukan (gambarkan tugas ataupun

tindakan secara spesifik)


Pasien marah, memberontak dan saya suka diperlakukan secara adil, sama seperti dirimu.
kedua-duanya

Ayo kita diskusikan hal apa yang mengganggu dirimu


sehingga kita bisa memiliki relasi yang baik seperti biasa

201
5

14

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

Daftar Pustaka
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Arlington (Fifth edit, p. 991). VA: American Psychiatric Publishing.
doi:10.1176/appi.books.9780890425596.744053

201
5

15

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

Angst, J., Hengartner, M. P., Gamma, A., Von Zerssen, D., & Angst, F. (2013). Mortality of
403 patients with mood disorders 48 to 52 years after their psychiatric hospitalisation.
European Archives of Psychiatry and Clinical Neuroscience, 263, 425434.
doi:10.1007/s00406-012-0380-1
Blint, S., Czobor, P., Komlsi, S., Mszros, a, Simon, V., & Bitter, I. (2009). Attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD): gender- and age-related differences in neurocognition.
Psychological Medicine, 39, 13371345. doi:10.1017/S0033291708004236
Barlow, D. H., & Durand, V. M. (2015). Abnormal psychology: an integrative approach
(sevent). Stamford, CT: Cengange Publisher.
Benjamin, J., Silk, K. R., Lohr, N. E., & Westen, D. (1989). The relationship between
borderline personality disorder and anxiety disorders. The American Journal of
Orthopsychiatry, 59(6), 461467.
Brodsky, B. S., Groves, S. a, Oquendo, M. a, Mann, J. J., & Stanley, B. (2006). Interpersonal
precipitants and suicide attempts in borderline personality disorder. Suicide & LifeThreatening Behavior, 36, 313322. doi:10.1521/suli.2006.36.3.313
Fink, P., Steen Hansen, M., & Sndergaard, L. (2005). Somatoform disorders among firsttime referrals to a neurology service. Psychosomatics, 46, 540548.
doi:10.1176/appi.psy.46.6.540
Hammerness, P., Geller, D., Petty, C., Lamb, A., Bristol, E., & Biederman, J. (2010). Does
ADHD moderate the manifestation of anxiety disorders in children? European Child and
Adolescent Psychiatry, 19, 107112. doi:10.1007/s00787-009-0041-8
Neikrug, A. B., & Ancoli-Israel, S. (2010). Sleep disorders in the older adult - A mini-review.
Gerontology, 56, 181189. doi:10.1159/000236900
Oltmanns, T. F. . R. E. E. (2007). Abnormal psychology. Psychological Science. Retrieved
from http://ctiwebct.york.ac.uk/docs/pdf/p20030206_Davison.pdf
Oltmans, F. T., Martin, M., Neale, J., & Davidson, C. G. (2011). Case Studies in Abnormal
Psychology. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Peat, C. M., Peyerl, N. L., & Muehlenkamp, J. J. (2008). Body image and eating disorders in
older adults: a review. The Journal of General Psychology, 135(4), 343358.
doi:10.3200/GENP.135.4.343-358
Potvin, S., Sepehry, A. A., & Stip, E. (2006). A meta-analysis of negative symptoms in dual
diagnosis schizophrenia. Psychological Medicine, 36(August 2005), 431440.
doi:10.1017/S003329170500574X
Roca, V., Hart, J., Kimbrell, T., & Freeman, T. (2006). Cognitive Function and Dissociative
Disorder Status Among Veteran Subjects With Chronic Posttraumatic Stress Disorder: A

201
5

16

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

Preliminary Study. Journal of Neuropsychiatry, 18, 226230.


doi:10.1176/appi.neuropsych.18.2.226
Strhle, A. (2009). Physical activity, exercise, depression and anxiety disorders. Journal of
Neural Transmission, 116, 777784. doi:10.1007/s00702-008-0092-x
World Health Organisation. (2004). International Statistical classification of disease and
related health problems (ICD 10). International Classification of Diseases and Related
Health Problems. Tenth Revision. Volume 2 (second edi). Geneva: World Health
Organization. doi:10.1016/j.jclinepi.2009.09.002

201
5

17

Gangguan-gangguan psikologis
Ainul Mardiah, S.Psi, M.Sc

Pusat Bahan Ajar dan eLearning


http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai