STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. H.R
Umur
: 5 tahun 9 bulan
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 12 September 2009
Alamat
: Kp. Jembatan No 29
Rt 005/12 Kel. Penggilingan
Kec. Cakung Kota Jakarta Timur
Provinsi DKI Jakarta
Pendidikan
:-
4 jam sebelum masuk Rumah Sakit ibu pasien mengeluhkan anaknya terasa dingin
pada tangan dan kakinya. Pasien mengeluh pusing dan nyeri di perut sehingga orang tua
pasien membawa anaknya ke IGD RSI Pondok Kopi Jakarta.
Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Penyakit
Difteria
Diare
Kejang
Morbili
Operasi
Umur
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
Penyakit
Penyakit jantung
Penyakit ginjal
Radang paru
TBC
Lain-lain
Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita : pasien belum pernah menderita
keluhan seperti sekarang.
C. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tidak ada
Rutin kontrol ke Bidan 1 bulan sekali dan
Tengkurap
Umur 4 bulan
Duduk
Umur 7 bulan
Berdiri
Umur 10 bulan
Berjalan
Umur 12 bulan
(Normal: 13 bulan)
Bicara
Umur 12 bulan
ASI/PASI
Buah / Biskuit
Bubur Susu
Nasi Tim
02
ASI
24
ASI
46
ASI
68
PASI
+ (Biskuit)
8 10
PASI
10 -12
PASI
(bulan)
Dasar ( umur )
1 bulan 2 bulan 4 bulan
Ulangan ( umur )
6bulan
Polio
0bulan
2bulan
4bulan
Campak
Hepatitis B
0 bulan
1bulan
6bulan
kebersihan. Di daerah tersebut tidak pernah dilakukan fogging, kerja bakti biasa dilakukan 2
minggu sekali.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan : Kurang baik
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan di IGD (1 Maret 2015)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit
: tampak sakit berat
Kesadaran
: compos mentis
Kesan Gizi
: gizi lebih
Keadaan lain
: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang
Berat Badan sebelum sakit
Tinggi Badan
: 30 kg
: tidak diketahui
: 120cm
Status Gizi
- BB / U = 30 / 18 x 100 % = 166,7% (Obese)
- TB / U = 120 / 109 x 100 % = 110,1 % (Perawakan Tinggi)
- BB / TB = 30 / 22 x 100 % = 136,3% (Gizi lebih)
Tanda Vital
Nadi
TekananDarah
Nafas
Suhu
:123x/menit,lemah,teratur,isicukup
:104/71mmHg
:34x/menit,tipeabdominotorakal
:35,7OC
KEPALA
: Normocephali
RAMBUT
: Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal
WAJAH
: Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, ptekiae(-), luka atau jaringan parut
MATA:
Visus
: tidak dinilai
Ptosis
: -/Sklera ikterik
: -/Lagofthalmus : -/Konjunctiva anemis : -/Cekung
: -/Exophthalmus
: -/Kornea jernih : +/+
Strabismus
: -/Lensa jernih : +/+
Nistagmus
: -/Pupil
: bulat, isokor
Refleks cahaya
: langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk
: normotia
Tuli
: -/Nyeri tarik aurikula : -/Nyeri tekan tragus
: -/Liang telinga
: lapang
Membran timpani
: sulit dinilai
Serumen
: -/Refleks cahaya
: sulit dinilai
Cairan
: -/HIDUNG :
Bentuk
: simetris
Napas cuping hidung
:-/4
Sekret
: -/Deviasi septum
:Mukosa hiperemis
: -/BIBIR : Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT : Oral higiene baik, gigi caries (-), trismus (-), mukosa gusi dan pipi : merah muda,
hiperemis (-), ulkus (-), halitosis (-), lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-)
TENGGOROKAN : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-), faring
tidak hiperemis, ulkus (-) massa (-)
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB,
tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di
tengah
THORAKS :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan
yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal, pada sela iga tidak terlihat adanya
retraksi, pembesaran KGB aksila -/- , tidak ditemukan efloresensi pada kulit dinding
dada, ictus cordis terlihat pada ICS V linea midclavicularis kiri, pulsasi abnormal (-)
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri, teraba ictus cordis pada ICS V linea
gallop (-)
ABDOMEN :
Inspeksi : perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut maupun
Refleks patologis
Lain-lain
(-)
ptekiae (-)
(-)
ptekiae (-)
Kaki
Tonus otot
Sendi
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Lain-lain
Kanan
normotonus
aktif
(+)
(-)
ptekiae (-)
Kiri
normotonus
aktif
(+)
(-)
ptekiae (-)
KULIT : warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik,
lembab, pengisian kapiler > 2 detik, petechie (-) .
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi.
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Tidak diperiksa
Pemeriksaan lanjutan di IGD (5 Juli 2015)
Jam
TD
07.3
104/89
0
08.0
mmHg
104/71
mmHg
08.3
0
88/72mmHg
Pemeriksaan Fisik
Nadi
Pernapasan
Suhu
152x/menit
34x/menit
35,7oC
128x/menit
31x/menit
130x/menit
28xmenit
36oC
Tindakan
loading 300 cc
Urin: 300
cc
IVFD RL loading
90/70 mmHg
112x/menit
29x/menit
09.3
0
10.0
0
10.3
0
11.00
cairan
IVFD Asering
Konsul Sp.A :
09.0
Total
92/70 mmHg
102x/menit
31x/menit
93/72 mmHg
100x/menit
28 x/menit
100x/menit
28x/menit
105x/menit
28x/menit
100/70
mmHg
94/73 mmHg
IVFD RL loading
600 cc/1 jam
11.30
12.0
0
94/64 mmHg
109x/menit
28x/menit
94/64 mmHg
109x/menit
28x/menit
Total cairan masuk =
Diuresis
Hasil
16,9(H)
6,1
47(H)
57(L)
NilaiNormal
10,513,5
5,013,0
3644
150400
DiffCount
Basofil
Eosinofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Hasil
0,3
0,0(L)
34,7(L)
56,7(H)
8,3(H)
NilaiNormal
0,01,0
1,03,0
37,072,0
25,050,0
1,06,0
V. RESUME
Pasien anak laki-laki usia 5 tahun dengan keluhan tangan dan kaki terasa dingin sejak
4 jam SMRS selain itu pasien pusing (+), nyeri perut (+). Sebelumnya pasien demam
mendadak tinggi sejak 4 hari lalu. Nyeri sendi (+), nyeri ulu hati (+). 1 Hari SMRS demam
menurun, muntah (+) 4 kali, BAB cokelat kehitaman (+) 4 kali sehari, lendir (-) darah (-).Ibu
pasien menyangkal adanya batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau jika terkena
cahaya serta berpergian ke luar kota,Pada pemeriksaan di IGD didapatkan tekanan darah
104/71 mmHg, nadi 123x/menit lemah, akral dingin, CTR>2s sebelumnya mendapat terapi
loading asering 300cc pada jam 07.30. Keadaan setelah loading cairan sudah ada perbaikan
nadi menjadi teraba lebih kuat dan tidak terlalu cepat namun masih dalam keadaan syok dan
dikonsulkan Sp.A pada pukul 09.00 dan diberikan IVFD RL loading 600cc/1 jam. Hasil
laboratorium adalah trombositopenia dan hemokonsentrasi, dianjurkan rawat HCU namum
penuh sehingga setelah keadaaan stabil pasien di rujuk ke RS lain yang memiliki fasilitas
HCU. Namun, di RS lain juga ternyata penuh, akhirnya keluarga memutuskan untuk rawat
inap di ruang biasa.
VI. DIAGNOSIS BANDING
Demam Chikungunya
Demam Tifoid
V. DIAGNOSIS KERJA
2 line
2. Injeksi Ranitidin
3x1 ampul
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Sanationam
Ad Fungtionam
20 tpm
20 tpm
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
XI. FOLLOW UP
Tanggal/
Hari
Perawatan
8
06/07/2015
Badan lemas
TSS/CM
S: 36C
perbaikan
sirkulasi H1
(Sp.A):
Ranitidin
normal, abdomenNT
Epigastrium (+)
Laboratorium(pk. 00.23):
-Trombosit : 52.000
-Anti Dengue IgG (+)
-Anti Dengue IgM (+)
Laboratorium(pk.13.19):
-Trombosit : 65.000
Tanggal/
RL 30 tpm
Injeksi
3x1 amp
Cek H2TL
2x sehari
Hari
Perawatan
07/07/2015
-Nyeri ulu
TSS/CM
DSS dengan
hati
-badan lemes
S: 36,2C
perbaikan
sirkulasi H2
-makan
sedikitsedikit
Tanggal/
Terapi lanjut
Hari
Perawatan
08/07/2015
-Badan
TSS/CM
DSS dengan
lemas
S: 36C
perbaikan
-makan
sirkulasi H3
sedikit-
sedikit
batas normal.
Terapi lanjut
Cek H2TL /
24 jam
Laboratorium(pk. 00.26):
-Trombosit : 129.000
Tanggal/
Hari
Perawatan
09/07/2015
Keluhan (-),
TSS/CM
DSS dengan
ps minta
S: 36C
perbaikan
pulang
sirkulasi H4
Boleh
pulang
Kontrol hari
Sabtu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Dengue adalah salah satu diagnosa banding demam yang sangat penting pada anakanak.(1) di Asia Tenggara. Infeksi virus dengue bisa asimtomatik, atau malah bisa demam
dengue(DD) hingga demam berdarah degue (DBD) dan sindrom syok dengue (SSD/DSS). Di
seluruh dunia, dari kasus-kasus viral hemoragik fever, 99% daripadanya adalah DBD. DBD
biasanya pada anak-anak yang berumur antara 5 hingga 15 tahun dan adalah penyebab utama
anak-anak di rawat di rumah sakit di Asia Tenggara. Case fatality rate pada DBD bisa
10
mencapai range antara 0.2-44% tergantung pada saat dideteksi, penatalaksanaan dan apakah
anak menunjukkan tanda-tanda DSS. (10) Dalam membedakan antara DD dan DBD, hal yang
patognomonik adalah peningkatan permeabilitas vaskular yang bisa di ketahui dari kebocoran
aliran plasma ( intravaskular) ke ekstravaskular. Pada DBD yang berat, kehilangan volume
plasma ini sangat kritis, pasien menjadi hipovolemik, mempamerkan tanda-tanda kegagalan
sirkulasi yang mungkin akan menuju kepada syok. Dalam penatalaksanaan DSS, hendaklah
dilakukan pemberian cairan resusitasi secara parenteral sesegera mungkin, untuk
mengembalikan dan mempertahankan sirkulasi yang adekuat sewaktu peningkatan
permeabilitas vaskular terjadi. Perhatian khusus hendaklah diberikan untuk menghindari
kelebihan cairan dan menghindari segala komplikasi-komplikasi yang bakal terjadi, terutama
dalam keadaan kekurangan fasilitas yang diperlukan. Jika penggantian cairan yang sesuai
dilakukan pada tahap-tahap awal , syok biasanya reversibel, dan apabila kebocoran kapiler
telah dapat diatasi, kebanyakan pasien sembuh dengan cepat. WHO merekomendasikan,
untuk penggantian plasma yang pertama sekali diberikan adalah cairan kristaloid, diikuti
dengan cairan plasma atau cairan koloid apabila cairan kristaloid tidak berhasil menggantikan
cairan plasma yang hilang pada pasien dengan syok yang lebih berat.(2)
Definisi
Dengue syok sindrom adalah demam berdarah dengue yang disertai dengan kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang lemah dan cepat, tekanan nadi turun ( 20 mmHg),
hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembap serta gelisah.
(6)
definisikan sebagai tekanan sistolik < 80 mmHg pada anak-anak yang < 5 tahun, dan < 90
mmHg pada anak-anak 5 tahun. (1)
Sementara yang dimaksudkan dengan demam berdarah dengue adalah memenuhi
criteria WHO seperti yang di bawah ini:
1) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut;
a. Uji bendung positif
b. Petekiae, ekimosis atau purpura
11
Gejala
DBD I
Demam
DBD III
DBD IV
Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue
yang termasuk kelompok B Arthtropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal
sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat serotipe virus dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang
menunjukkan manifestasi klinik yang berat.3
12
13
Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang juga
disebut sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi
menghilang dalam 5 hari disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan kemudian
disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di kota-kota yang padat
penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di
daerah pedesaan. Penyebaran ini berlaku karena larva Ae. Aegypti terbawa melalui
transportasi yang mengangkut benda-benda berisi air hujan pengandung larva9.
DBD adalah penyebab terbesar kematian pada anak-anak di bawah 15 tahun. 50-100
million kasus demam dengue muncul setiap tahun di seluruh dunia, di mana ratusan ribu
daripadanya adalah DBD. Dengue adalah kasus endemik di Asia Tenggara, Amerika, Pasifik
Barat, Mediterranea Timur dan Afrika. (11)
14
Penyebaran infeksi virus dengue di dunia tahun 2006. Merah : epidemic dengue, Biru :
nyamuk Ae.aegypti
Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi
kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host)
terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung
pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul
antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi
15
yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan
juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection
dapat dilihat pada gambar dibawah yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya
akan mengakibatkan aktivasisistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat
berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut
didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
16
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi.
Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit DD/DBD sulit diramalkan. Pada umumnya pasien mengalami
fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu ini
pasien sudah tidak demam akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi DBD/SSD yang dapat
berakibat fatal jika tidak mendapat pengobatan yang tepat. Dengan melakukan hal ini maka
angka kematian akan menurun. Perjalanan peyakit DD/DBD dapat digambarkan seperti pada
di bawah ini.
18
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dari DSS diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1) Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanemnesis yaitu menanyakan perihal sakit
anak kepada ibu atau keluarga pasien.
Demam: sejak kapan demam terjadi, apakah mendadak atau tidak, apakah naik
turun atau terus-terusan. Ditanyakan juga keluhan dan gejala sebelum dan
nyamuk di kulitnya. Juga ditanyakan kotorab dari BAB nya berwarna apa.
Apakah anak menjadi gelisah?
Apakah ujung jari tangan dan kaki anak terasa dingin, tampak pucat kebiruan
dan sejak bilakah hal itu terjadi?
Selain itu, ditanyakan juga apakah penderita sebelum dirawat mendapat/tidak
tetangga sekitar tempat tinggal terdapat juga penderita-penderita lain dengan penyakit
serupa.(14)
2) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: anak terlihat sakit berat dengan kesadaran yang tampak
menurun.
Tanda-tanda vital:
Tekanan darah: menurun atau tudak terukur. Tekanan nadi 20 mmHg
Nadi: cepat dan lemah atau tidak teraba
Nafas: cepat dangkal atau lambat dalam
Suhu: dingin atau meningkat tinggi sampai 40oC.
Inspeksi:
o Muka tampak pucat, bibir dan kuku pucat dan kebiruan.
o Pernafasan cuping hidung
o Perdarahan gusi
o Tampak sesak, terdapat retraksi sela iga
Selain itu diperhatikan juga tanda-tanda perdarahan pada pasien. Perdarahan ini
terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede)
positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: Petekie,
Purpura, Ekimosis, Perdarahan konjungtiva, Epistaksis, Pendarahan gusi, Hematemesis,
Melena dan Hematuri. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk
membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji Tourniquet positif
sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras) oleh
karena uji Tourniquet positif pada hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian besar
penderita DBD. Namun uji Tourniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain
(campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji
Tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi
(2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti). (15)
teraba dingin
Perkusi: redup pada bagian paru kanan
Auskultasi: ronchi di kedua lapang paru
3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
IgG.
Protein / Albumin
SGOT/SGPT
Ureum Kreatinin
Imunoserologi IgM dan IgG dengue
Uji HI
Analisa Gas Darah
Elektrolit
Penentuan golongan darah dah cross match: sebelum tindakan transfusi
b) Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemithoraks kanan.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral decubitus
kanan(right lateral decubitus/RLD) yaitu pasien tidur pada sisi badan sebelah
kanan. Efusi pleura lebih tampak pada paru kanan karena pada paru kiri efusi
pleura tertutup oleh jantung. (6)
DIAGNOSIS MENURUT WHO
Kriteria Klinis
1.
Demam
Diawali dengan demam tinggi mendadak, kontinu, bifasik, berlangsung 2-7 hari,
naik-turun tidak mempan dengan antipiretik. Pada hari ke-3 mulai terjadi
penurunan suhu namun perlu hati-hati karena dapat sebagai tanda awal syok. Fase
kritis ialah hari ke 3-5.
21
dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll. Dinyatakan positif bila
terdapat > 10 petekie dalam diameter 2,8 cm (1 inchi persegi) di lengan bawah bagian
volar termasuk fossa cubiti.
Petekie, Ekimosis, Epistaksis, Perdarahan gusi, Melena, Hematemesis
3.
Hepatomegali
Umumnya bervariasi, mulai dari hanya sekedar dapat diraba sampai 2-4 cm
dibawah lengkungan iga kanan. Proses hepatomegali dari yang sekedar dapat
diraba menjadi terba jelas dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat
pemebsaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada
daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan.
4.
Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi cepat dan elmah serta penurunan
tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi (sitolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang), akral dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratoris
22
1.
Trombositopenia ( 100000/l)
2.
23
Gambar 1.6.3.2 Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan penyakit DBD4
Kriteria rawat inap dan memulangkan pasien
Kriteria rawat inap
Ada kedaruratan:
Syok
Kejang
Kesadaran turun
-Hematokrit stabil
Muntah darah
Berak hitam
Hematokrit cenderung meningkat setelah 2 kali
pemeriksaan berturut-turut
24
1)
lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi
konjungtiva, lebih sering dijumpai nyeri sendi, biasanya menyerang seluruh anggota keluarga
dan penularannya mirip influenza. Tidak ditemukan adanya perdarahan gastrointestinal dan
syok.
3)
38.5 oC atau lebih, disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila kena
cahaya, seringkali diikuti diare. kemudian diikuti ruam makulopapular yang bisa dibedakan
dengan petekiae pada demam berdarah denggi.
4)
Pada ITP demam cepat menghilang (atau bisa tanpa demam), tidak ada
leukopenia, tidak ada hemokonsentrasi. Pada fase konvalesen DBD jumlah trombosit lebih
cepat kembali ke normal daripada ITP.
5)
Malaria : pada pasien ini malaria disingkirkan karena pasien tidak pernah
25
Pada syok, pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat 10-20
ml/kgBB. Tetesan diberikan secepat mungkin. Apabila syok belum dapat teratasi
setelah 30 menit pemberian cairan awal, tetesan dinaikkan menjadi 20 ml/kgBB
disamping pemberian cairan koloid ( dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam.
Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kgBB. Setelah pemberian
cairan resusitasi kristaloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar.
Apabila kadar hematokrit tetap 40 vol %, maka berikan darah dalam volume kecil
(10 ml/kgBB/jam). Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit. (7)
2) Pemeriksaan hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik
dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10
ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang
terjadi selama 24-48 jam.
Cairan intravena dapat dihentikan bila hematokrit telah turun, secara kasar
sekitar 40 vol %. Jumlah urin 1 ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa
26
keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah
48 jam setelah syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah berlebihan
pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular ( ditandai dengan penurunan
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia
dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorpsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan
oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital
baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorpsi.
3) Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit
Hiponatremi dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/DSS, maka
pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD
berat dan DSS. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memicu terjadinya DIC
(disseminated intravascular coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih
komleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya,
maka perdarahan sebagai akibat DIC tidak akan terjadi sehingga heparin tidak
diperlukan.
4) Pemberian oksigen
Terapi oksigen harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan
pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
5) Transfusi darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged syok). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala
sulit
untuk
mengetahui
perdarahan
interna
apabila
disertai
28
Komplikasi
1) Ensefalopati
2) Kelainan ginjal
3) Edema paru5
Tindakan pencegahan
1) Perlindungan individu untuk mencegah terjadinya gigitan nyamuk Ae. aegypti
pintu
Tidur siang dengan kelambu
Penyemprotan dinding rumah dengan insektisida
29
Prognosis
Tergantung dari:
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome in the Context of the
Integrated Management of Childhood Illness. WHO/FCH/CAH/05.13. 2005
2. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome.Bridget Wills.Dengue Bulletin Vol 25, 2001
page 50-55
3. Penatalaksanaan demam denggi berdarah di Indonesia
5. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, 2007
6.Depkes RI, IDAI, PAPDI, IDSAI, PDS PATKLIN, PERDIC, PPNI;Pedoman tatalaksana klinis
infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan;2005
7. Updates in pediatrics emergency, FKUI, 2002
8. William W. Hay, Jr,Nyson J. Leveu, Judith M Sondheimer; Current Diagnosisand Treatment in
Paediatrics; 18th edition, 1125-1128
9. Prof. dr. Srisasi Gandahusada, Drs. H. Henry D. Illahude DAP & E, Prof. dr. Wita Pribadi;
Parasitologi Kedokteran;2006;m/s 236-238
10.http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=46
11.What treatments are effective for the management of shock in severe dengue? Katharine Smart and
Ida Safitri. . International Child Health Review Collaboration
12. Summary Zoonotic Diseases: Dengue
13. DENGUE, DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER,DENGUE SHOCK SYNDROME. P Amin*,
Sweety Bhandare**, Ajay Srivastava***. Bombay hospital journal
14. sumarmo, Sunaryo, Poorwo, Soedarmo. Demam berdarah (dengue) pada anak. 2005. m/s 68
15. PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS 2007
16. Comparison of Three Fluid Solutions for Resuscitation in Dengue Shock Syndrome
Bridget A. Wills, M.R.C.P., Nguyen M. Dung, M.D., Ha T. Loan, M.D., Dong T.H. Tam, M.D., Tran
T.N. Thuy, M.D.,Le T.T. Minh, M.D., Tran V. Diet, M.D., Nguyen T. Hao, M.D., Nguyen V. Chau,
M.D., Kasia Stepniewska, Ph.D.,Nicholas J. White, F.R.C.P., and Jeremy J. Farrar, F.R.C.P. The new
England Journal of medicine. September 1,2005 vol. 353 no. 9
17. Soedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SR, buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Balai penerbit.
Edisi kedua. FK UI 2012. Hal 155-180
18. World Health Organiation-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67
31