Anda di halaman 1dari 18

Referat Trauma

Departemen Orthopaedi & Traumatologi FKUP/RSHS


Oleh

: Iwan Hipsa Achmad

Pembimbing

: dr. Ghuna A. Utoyo, SpOT

MANAGEMENT FRACTURE OF TIBIAL PLATEAU


Anatomy
Tibial plateau terdiri dari permukaan artikuler lateral dan medial tibial plateau,
yang merupakan cartilaginous menisci. Medial plateau bentuknya besar dan konkaf
baik pada bidang sagital maupun coronal. Lateral plateau lebih tinggi dan konveks
pada bidang sagital maupun coronal. Tibial plateau normal memiliki posteroinferior
slope sebsar 10. Kedua plateau dipisahkan satu dengan yang lain oleh intercondylar
eminence, yang berfungsi sebagai perlekatan tibial dari cruciate ligaments. Terdapat
bony prominences 2 3 cm distal dari tibial plateau. Anterior dari tibial tubercle
dimana merupaka insersi patellar ligament. Medial dari pesanserinus sebagai
perlekatan medial hamstring. Lateral, Gerdy tubercle merupakan insersi dari iliotibial
band.1

Gambar 1 : Anatomy Tibial (Anterior)2

Gambar 2 : Anatomy Tibial (Posterior)2

Gambar 3 : Anterior Posterior Slope

Permukaan articular medial dan penyokong medial condyle lebih kuat


dibandingkan sisi lateral. Oleh karena itu fraktur pada bagian lateral plateau lebih
sering terjadi. Fraktur pada bagian medial plateau berhubungan dengan cedera
berkekuatan tinggi dan sering disertai dengan cedera soft tissue, seperti disrupsi dari
lateral collateral ligamen, lesi peroneal nerve dan kerusakan dari pembuluh darah
popliteal.1

Fracture of Tibial Plateau


Epidemiology
Fraktur tibial plateau terjadi sebanyak 1% dari semua fraktur dan 8 % pada
orang lanjut usia. Kejadian pada lateral plateau 55% - 70% dari fraktur tibial plateau,
dibandingkan 10% - 25% fraktur medial plateau dan 10% - 30 % lesi bicondylar. Dari
1% - 3% merupakan fraktur terbuka1. Rupture ligamen partial atau komplit 15-45%,
lesi meniscus 5-37%.
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk terjadinya fraktur tibial plateau adalah3 :
a) Pasien-pasien memiliki resiko untuk cedera ini adalah trauma dengan
kecepatan tinggi (usia muda, laki-laki, alcohol dan pecandu obat)
b) Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memiki resiko fraktur.

Mekanisme
Fraktur dari tibial plateau disebabkan oleh tekanan varus atau valgus yang
dikombnasikan dengan axial loading. 80 % terjadi karena kecelakaan kendaraan
bermotor dan sisanya karena cedera olahraga. Trauma dapat terjadi langsung, jatuh
dari ketinggian, kecelakaan industri, atau cedera olahraga. Fraktur tibial pateau terjadi
kerena low energy seperti pada usia tua karena osteoporotic dan biasanya terjadi
fraktur depres, maupun high energy karena kecelakaan kendaraan dan biasanya
terjadi fraktur spliting.4

Gambar 4 : Mekanisme trauma pada tibial plateau4

Klasifikasi
Klasifikasi Hohl and Moore5

Gambar 5 : Klasifikasi Hohl and Moore5

Klasifikasi Schatzker1
Tipe I

: Lateral plateau, split fracture

Tipe II

: Lateral plateau, split depression fracture

Tipe III

: Lateral plateau, depression fracture

Tipe IV

: Medial plateau fracture

Tipe V

: Bicondylar plateau fracture

Tipe VI

: Plateau fracture with separation of the metaphysis from the


diaphysis.

Gambar 6 : Klasifikasi Schatzker5

Kalsifikasi AO
A : Non articular
A1 Avulsion
A2 Simple metaphyseal
A3 Comminuted metaphyseal

Gambar 7 : Klasifikasi AO Tibial plateau

B : Partial articular
B1 Pure split
B2 Pure depression
B3 Split depression
C : Complete articular
C1 Simple
C2 Articular simple, metaphyseal comminuted
C3 - Articular comminution

Klinis dan Pemeriksaan Penunjang


Pada fraktur tibial plateau biasanya ditemukan nyeri, bengkak dan deformitas
pada lutut. Keluhan lain yang dipaparkan oleh pasien adalah tidak mampu untuk
menggerakkan lutut secara seluruhan ataupun sebagian. Pemeriksaan x-ray dilakukan
untuk menilai fraktur. Namun untuk melihat kominus atau depresi plateau dilakukan
CT scan5. CT-scan potongan sagital meningkatkan akurasi diagnosis dari fraktur tibial
plateau dan diindikasikan pada kasus dengan depresi artikular. Magnetic resonance
imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi trauma ataupun sebagai alternatif dari
CT-scan atau arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta komponen jaringan
lunak dari lokasi trauma. Merupakan modal pilihan jika ada curiga cedera meniscus
maupun ligamen4.

Gambar 8 : CT-scan Posisi AP, dan sagital menunjukkan fraktur kompres lateral 6

Treatment
Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan operative.
Non-operative
Fraktur yang non-displaced dan stabil baik untuk diterapi non-operative.
Pemakaian hinged cast-brace untuk melindungi pergerakan lutut dan beban tubuh
merupakan salah satu metode pilihan. Latihan isometrik untuk quadricep, pasif,
aktif,dan pergerakan aktif dari lutut sebagai stabilitas dapat dilakukan. Dibolehkan
untuk memikul beban tubuh secara partial selama 8-12 minggu, dan progressif hingga
memikul beban tubuh secara keseluruhan. Terapi dengan long leg cast juga dapat
digunakan1,4.
Fraktur yang tidak bergeser atau sedikit bergeser biasanya menimbulkan
hemathrosis. Hemathrosis diaspirasi dan pembalut kompresi dipasang. Tungkai
diistirahatkan pada mesin gerakan pasif kontinyu dan gerakan lutut dimulai. Segera
setelah nyeri dan pembengkakan akut telah mereda, hinged cast-brace dipasang dan
pasien diperbolehkan menahan beban sebagian dengan tongkat penopang5.
Operative
Indikasi operasi pada fraktur tibial plateau adalah1 :
-

Depressi pada articular yang dapat ditoleransi adalah <2mm sampai 1 cm.

Instabilitas >10 derajat dari lutut yang diperpanjang dibandingkan dengan sisi
sebaliknya. Fraktur yang retak lebih tidak stabil dibandingkan fraktur yang
hanya kompresi.

Fraktur terbuka

Sindrom kompartemen

Adanya kerusakan vascular.

Tipe I
Tipe I undisplaced dapat ditangani dengan konserfatif. Haemarthrosis di

aspirasi

dan

dilakukan

kompresi

dengan

verban.

Tungkai

bawah

diistirahatkan.Setelah nyeri dan bengkak berkurang (biasanya dalam 1 minggu),


hinged cast brace diberikan, dan pasien dapat berdiri. Weightbearing

belum

dilakukan hingga 3 minggu. Kemudian dapat dilakukan parsial weightbearing,,


kemudian setelah 8 minggu dapat dilakukan weightbearing penuh5.
Jika ada displaced maka dilakukan open reduction internal fixation.
Permukaan condylar diperiksa dan fragmen yang berada disekitarnya dilepaskan. Hal
ini dilakukan untuk reduksi yang akurat. Biasanya untuk fiksasi digunakan leg screw
atau buttress plate5.

Tipe II
Jika terjadi depresi <5 mm dan lutut unstable, atau jika pasein usia tua dan

osteoporotik, fraktur ditangani dengan tujuan mengembalikan mobilitas dan


fungsinya, Setelah aspirasi dan pembalutan kompresi, dilakukan skeletal traksi
melewati tibia dengan 7 cm dibawah daerah fraktur. Kemudian lutut di fleksikan dan
ekstensi kan beberapa kali. Kaki diletakkan pada bantal dan dengan 5 kg traksi,
latihan aktif harus dilakuakn tiap hari. Setelah 3 4 minggu, pin traksi dilepaskan,
hinged cast-brace dilakukan dan pasien dapat berdiri, full weightbearing dilakukan
setelah 6 minggu berikutnya5.
Pada pasien usia muda dengan senral depresi lebih dari 5 mm. reduksi terbuka
dengan elevasi dari plateau dan internal fixation dilakukan. Bone graft biasanya
diperlukan untuk mendukung fragmen yang terelevasi, screw 3.5 mm di insersi secara
parealel dibawah subchondral menahan fragmen yang elevasi (raft screws).
Alternatif lain digunakan cannulated screw, kemudian di fiksasi dengan buttress
plate5.

.Tipe III
Pada tipe ini prinsip penanganan sama dengan tipe II. Lateral rim dari condyle

masih intak mengartikan bahwa lutut stabil. Fragmen yang depress memerlukan

elevasi. Dibantu dengan bone graft dan raft screw. Exercise dilakukan segera
mungkin setelah operasi, dan pasien dapat mengunakan cast-brace5.

Tipe IV
Fraktur dengan osteoporotik pada medial plateau sulit untuk direduksi, dapat

terjadi varus deformity pada jangka panjang. Fraktur tipe ini biasa terjadi pada usia
muda dengan trauma berkekuatan besar. Sering terdapat cedera ligament pada sisi
lateral. Prinsip penanganan fraktur ini sama dengan tipe II5.

Tipe V VI
Cedera berat yang berisiko terjadinya compartment syndrome. Pada usia tua

penanganan fraktur simple bicondylar direduksi dengan traksi kemudian dilakukan


penganganan sama dengan tipe II. Dilakukan eksterna fiksasi hingga keadaan soft
tissue membaik (2-3 minggu). Kemudian dilakukan pemasangan buttress plates.
Alternative lain dapat dilakukan articular reduction, dan untuk menstabilkan metafisis
hingga diafisis dapat digunakan circular external fixator5.

Gambar 9 : Terapi Non-operative5

Pasca operasi, tungkai bawah di elevasi dan di splint hingga bengkak


menurun. Pergerakan dilakukan segera mungkin dan dilanjutkan dengan pergerakan
aktif. Pada akhir minggu ke 6 pasien dapat partial weightbearing dengan tongkat, dan
biasanya 12-16 minggu dapat full weightbearing5.

Gambar 10 : Fraktur tibial plateau yang kompleks fiksasi internal 5

Tehnik Operasi

Ada dua pendekatan utama untuk tehnik operasi tibial plateau. Anterior
approach yang sering digunakan karena akses mudah pada permukaan subkutan dari
tulang. Posterolateral approach jarang digunakan nemun dapat dilakukan saat terdapat
luka pada kulit sehingga tidak mungkin dilakukan anterior approach.
Anterolateral approach lateral tibial plateau
Posisi pasien supine. Lutut di fleksikan sekitar 600. Tempatkan bantalan
dibawah bokong untuk mendapatkan eksternal rotasi normal dari tungkai bawah. Hal
ini memastikan patella menghadap ke depan. Untuk menentukan garis insisi, palpasi
proximal tibia sepanjang anterior border. Identifikasi posisi garis lateral sendi dengan
fleksikan dan ekstensikan lutut. Palpasi Gerdys tubercle lateral dari tendon patella.
Insisi dilakukan dengan bentuk S. dimulai 3-5 cm proximal garis sendi, lateral dari
batas patella tendon. Lengkungkan insisi secara anterior melewati gerdys tubercle
dan perpanjang 1 cm lateral dari batas anterior tibia.

Gambar 11 : Posisi anterolateral approach

Gambar 12 : Insisi anterolateral approach

Insisi diperdalam melewati subcutaneous untuk mengekspos aspek lateral


dari kapsul sendi lutut. Insisi kapsul sendi lutut dengan panjang hingga batas superior
lateral meniscus. Insisi fasia pada otot tibialis anterior. Pastikan anterior meniscus
intak. Gunakan elevator, lepaskan beberapa origin dari tibialis anterior. Bahaya dari
approach ini adalah peroneal nerve.
Posteromedial approach medial tibial plateau
Pada tehnik ini pasien diposisikan supine. Posisikan bantalan pada panggul
yang berlawanan sehingga pasein miring 200. Hal ini akan menambahkan eksternal
rotasi, sehingga sudut posteromedial tibia terlihat. Insisi dibuat 6 cm panhang daerah
posteromedial pada proximal tibia. Kedalaman insisi hingga sibkutan. Terdapat vena
saphenous dan saphenous nerve. Untuk mendekati tibia, bias digunakan pembagian
pad apes anserinus atau indentifikasi batas anterior pes dan reseksi dari insersinya.
Bahaya dari approach ini adalah nerve saphenous dan saphenous vein.

Gambar 13 : Posisi dan insisi posterolateral approach

Pendekatan lain yang bisa digunakan adalah pendekatan pada knee joint
yaitu, midline central dan tehnik Mercedes benz.

Prognosis
Prognosis pada fraktur tibial plateau adalah3 :
1.

Fraktur tibial plateau dapat menyebabkan kerusakan yang parah

2. Insidensi arthritis post trauma dihubungkan dengan usia pasien, lokasi dari
pergeseran, dan reduksi.
3.

Fraktur karena energy tinggi yang diterapi dengan fiksasi eksternal hanya
memiliki insidensi sebesar 5% mengenai masalah luka

Komplikasi
Komplikasi pada fraktur tibial plateau dapat dibagi menjadi dua yaitu dini dan lanjut.
1. Komplikasi dini

Sindroma kompartemen. Pada fraktur bikondilus tertutup terdapat banyak


perdarahan dan resiko munculnya sindrom kompartemen. Kaki dan ujung kaki
harus diperiksa secara terpisah untuk mencari tanda-tanda iskemia5.

Kerusakan dari nervus peroneal. Hal ini umum terjadi pada trauma di aspek
lateral dimana nervus peroneal berjalan dari proksimal ke bagian atas dari
fibula dan lateral dari tibial plateau1.

Laserasi arteri popliteal1.

2. Komplikasi lanjut
-

Kekakuan sendi.
o Pada fraktur komunitif berat dan setelah operasi yang kompleks,
terdapat banyak resiko timbulnya kekakuan lutut. Resiko ini dicegah
dengan (1) menghindari imobilisasi gips yang lama dan (2)
mendorong dilakukannya gerakan secepat mungkin5.

Deformitas.
o Deformitas varus atau valgus yang tersisa amat sering ditemukan baik
karena reduksi fraktur tak sempurna ataupun karena meskipun telah
direduksi dengan memadai, fraktur mengalami pergeseran ulang
selama terapi. Untungnya, deformitas yang moderat dapat member
fungsi yang baik, meskipun pembebanan berlebihan pada satu
kompartemen secara terus menerus dapat menyebabkan predisposisi
untuk osteoarthritis di kemudian hari5.

Osteoartritis.

o Jika pada akhir pengobatan ditemukan depresi atau deformitas pada


lutut, atau ligament yang tidak stabil, osteoarthritis sekunder dapat
berkembang setelah 5 hingga 10 tahun, Hal ini memerlukan operasi
rekonstruktif5.
-

Malunion atau non-union.


o Hal in sering terjadi pada Schatzker VI dimana terjadi fraktur diantara
metafisis-diafisis, kominusi, fiksasi tidak stabil, kegagalan implant,
atau infeksi1.

DAFTAR PUSTAKA
1. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William &
Wilkins. 2006
2. Netter, Frank H. Netters Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition. Saunders
Elseiver.
3. Frassica, Frank et al. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2 nd edition.
Lippuncolt William & Wilkins. 2007
4. Chapman, Michael W. Chapmans Orthopaedic Surgery 3rd edition. Lippincolt
William & Wilkins. 2001
5. Alan Graham Apley. Appleys System of Orthopedics and Fracture 9 th edition.
Butterworths Medical Publications. 2010.
6. Reznik, Alan M. Tibial Plateau Fractures. The Orthopaedic Group. 2011
7. Kingsley Chin, et al. Orthopaedic Key Review Concept, 1st edition. Lippincolt
William & Wilkins. 2008
8. Dirchsl Douglas, et al. Staged Management of Tibial Plateau. American
Journal of Orthopaedic. 2007

Anda mungkin juga menyukai