Anda di halaman 1dari 15

1 Prosedur Penegakan Diagnosa

A. Pemeriksaan Subjektif
1. Diagnosa untuk mengetahui terjadinya xerostomia terdiri atas beberapa tahan.
Keluhan utama pasien dan riwayat penyakit. Sebagian besar pasien yang datang
dengan keluhan mulut kering, tetapi untuk pasien dengan xerostomia yang
asimtomatik pertanyaan-pertanyaan tertentu dapat membantu diagnosa, misalnya
a. Apakah saliva dalam mulut anda terasa sangat sedikit, terlalu banyak atau anda
b.
c.
d.
e.

tidak memperhatikannya?
Apakah anda mengalami kesulitan menelan?
Apakah mulut anda tersa kering ketika makan makanan?
Apakah anda perlu menghisap air jika akan menelan makanan kering?
Riwayat perjalanan penyakit, contohnya sejak kapan sakitnya, sebelumnya pernah
mengalami hal yang sama, apakah ada lesi yang sama pada anggota tubuh yang
lain, pernah diobati/pernah ke dokter ggi, berkurang/tetap/tambah parah, sering

kambuh/tidak.
f. Riwayat medik, contohnya apakah dalam dua tahun terakhir ini pernah MRS,
apakah pernah operasi, sering sesak nafas/batuk kronis.
g. Pengobatan yang sedang dijalani pasien, untuk menentukan diagnosa dan terapi.
h. Status sosial pasien, untuk menegakkan diagnosa dan terapi (Navazesh, 2003).
B. Pemeriksaan Objektif
a. Pemeriksaan kelenjar saliva meliputi segala sesuatu yang ditemukan misalnya
pembesaran, tenderness, berkurangnya saliva, kontaminasi saliva (pus atau darah)
saat palpasi.
b. Pemeriksaan jaringan lunak meliputi kondisi kering , keadaan yang mengering,
atropi, fisur, lobulated dan perubahan warna mukosa. Dokter gigi dapat
menggunakan tongue blade untuk melihat kekeringan mukosa, jika alat melekat
pada mukosa berarti terjadi penurunan sekresi saliva. Pemeriksaan jaringan keras
meliputi pemeriksaan geligi yang karies, tingkat keparahannya dan rekurensinya
(Guggenheimer, 2003).
C. Penunjang
Sebagai pemeriksaan lanjutan dapat dengan melakukan pemeriksaan tunggal atau
kombinasi untuk mendapatkan final diagnosa. Pemeriksaan meliputi sialometri,
serologi,

mikrobial,

histologi

dan

imaging.

a. Pemeriksaam sialometri
Pengumpulan whole saliva lebih mudah dilakukan, dapat dilakukan pada saat
istirahat

(unstimulated

resting),

dan

pada

saat

pasien

melakukan

pengunyahan/aktivitas (stimulated). Unstimulated saliva normal adalah 0,1-0,2


ml/menit (gr/menit) dan stimulated saliva adalah 0,7 ml/menit (gr/menit).
Unstimulated saliva dilakukan pada pasien yang telah mengistirahatkan rongga
mulutnya minimal 90 menit, duduk tegak lurus dengan kepala sedikit miring ke
depan, pada situasi yang hening, mata tetap terbuka, kemudian melakukan gerakan
pengunyahan awal, saliva ditampung setiap 5 menit sekali melalui corong ke dalam
gelas ukur. Stimulated saliva dilakukan pada pasien yang terlebih dahulu mengunyah
permen karet selama 45 menit, kemudian pasien menampung salivanya setiap menit
selama 5 menit (Navazesh, 2003).
b. Biopsi kelenjar saliva minor
Perubahan histopatologi pada kelenjar saliva mayor dan minor menggambarkan
adanya pengaruh kondisi lokal atau sistemik yang mempengaruhi sekresi kelenjar
saliva. Tempat yang paling sering dilakukan biopsi ini adalah pada bibir bawah.
Pemeriksaan ini biasanya untuk melihat kluster limfosit (>> 50 limfosit pada 4x4
mm)

yang

didiagnosa

sebagai

sjogren

syndrome,

sehingga

dapat

dibedakan untuk mendiagnosa xerostomia karena penyebab lain (Navazesh, 2003).


Pemeriksaan Penunjang
Sialografi
Sialografi merupakan

pemeriksaan untuk

melihat

menggunakan kontras. Dengan pemeriksaan ini kita

kondisi duktus

dengan

dapat mengidentifikasi adanya

iregularitas pada dinding duktus, identifikasi adanya polip, mucous plug atau fibrin, serta
area granulomatosa. Selain itu dapat pula diidentifikasi adanya kemungkinan obstruksi
duktus maupun stenosis. Pemeriksaan dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap
duktus Stensen dan Wharton. Langkah selanjutnya adalah dilakukan dilatasi duktus. Saat
dilatasi duktus sudah maksimal, maka dapat dimasukkan kateter sialografi. Pada
pemeriksaan sialografi ini digunakan kontras, yang bisa berupa etiodol atau sinografin
(Mosier, 2009).
Sialografi dapat memberikan pemandangan

yang

jelas

pada

duktus secara

keseluruhan dan dapat memberikan informasi mengenai area yang tidak dapat dijangkau
dengan sialoendoskop, misalnya pada area di belakang lekukan yang tajam dan striktur.
Kekurangan dari pemeriksaan sialografi adalah paparan radiasi dan hasil positif palsu pada
pemeriksaan batu karena adanya air bubble (gelembung udara) (Mosier, 2009).

Indikasi sialografi
Untuk mengetahui keberadaan dan posisi calculi atau sumbatan apapun
radiodensitasnya, baik radiolusen maupun radiopak.
Untuk menilai sejauh mana kerusakan saluran dan glandula saliva yang bersifat
sekunder menuju obstruktif.
Untuk mengetahui kerusakan glandula yang telah terjadi dan penilaian kasar pada
kasus xerostomia.
Untuk mengetahui lokasi, ukuran, dan penyebab pembengkakan atau adanya suatu
massa. Poin indikasi ini sebenarnya mengalami banyak kontroversi karena ada
pendapat bahwa ada perangkat diagnose yang lebih baik daripada sialografi. (Whaites,
2003)
Kontraindikasi
Infeksi akut
Sensitivitas pasien pada bahan yang mengandung iodin (White and Pharoah, 2004)
Ketika pada pemeriksaan radiograf rutin (bukan sialograf) terlihat gambaran calculi
dekat dengan pembukaan duktus, maka injeksi bahan kontras akan mendorong calculi
tersebut kembali ke duktus utama yang kemungkinan lebih sulit dijangkau. (Whaites,
2003)
Kontra indikasi di atas dapat ditanggulangi segera dengan thyroid function test (White
and Pharoah, 2004).
Tomografi komputer
Pemeriksaan ini merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi sistem duktus dan
parenkim pada kelenjar saliva. Identifikasi dapat dilakukan pada potongan aksial, koronal
maupun sagital. Dengan pemeriksaan

ini

dapat

diidentifikasi adanya iregularitas pada

dinding duktus dengan melihat adanya penebalan dan penyangatan pada dinding duktus. Pada
obstruksi yang disebabkan karena batu, kalsifikasi dapat dilihat berupa masa hiperdens tanpa
penyangatan pada pemeriksaan tomografi komputer. Adanya penyangatan

dapat

merupakan indikasi adanya obstruksi sialodenitis akut (Mosier, 2009).


Sialografi tomografi komputer
Pemeriksaan ini merupakan kombinasi antara pemeriksaan sialografi dengan
menggunakan kontras dan pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan dilakukan dengan
memasukkan kateter pada duktus, kemudian mengisinya dengan kontras, lalu dilakukan

pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan

ini digunakan untuk mengevaluasi

parenkim secara detail (Mosier, 2009).


Magnetic resonance imaging dan magnetic resonance sialography
Pemeriksaan dengan MRI juga dapat mengidentifikasi adanya kelainan pada kelenjar
saliva. Dengan pemeriksaan ini akan tampak perbedaan antara struktur duktus dan
parenkim. Pemeriksaan Magnetic Resonance Sialography dapat digunakan untuk
mengidentifikasi struktur duktus pada kelenjar parotis dan submandibula dengan melakukan
sialografi dengan menggunakan kontras Magnetic Resonance (Mosier, 2009).
Ultrasonografi
Dalam mendiagnosis kelainan pada kelenjar saliva terkadang diperlukan pemeriksaan
ultrasonografi dengan resolusi tinggi. Pemeriksaan dengan ultrasonografi bermanfaat dalam
mengidentifikasi massa dan membedakan konsistensi massa tersebut, apakah padat atau
kistik. Ultrasonografi yang digunakan pada pemeriksaan kelenjar saliva adalah ultrasonografi
dengan transduser beresolusi tinggi,
massa

yaitu

7,5-10,0 MHz. Pada

kasus

abses

atau

kistik kelenjar saliva terkadang dilakukan aspirasi jarum halus. Pada kasus ini,

ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk menjadi panduan dalam aspirasi. Pemeriksaan


ultrasonografi juga penting dilakukan untuk melihat adanya kelokan atau cabang-cabang
duktus, yang bisa menimbulkan komplikasi pada proses
Obstruksi (Mosier, 2009).
Kekurangan pada pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah, alat ini tidak dapat
memvisualisasi kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan kelainan obstruksi
kelenjar saliva menggunakan ultrasonografi sering sulit untuk menentukan ukuran batu
secara tiga dimensi begitu juga dengan struktur stenosisnya.

Selain

itu,

pemeriksaan

dengan alat ini tidak dapat memberikan informasi yang cukup jelas mengenai diameter
bagian distal obstruksi sehingga sulit memastikan apakah duktusnya cukup lebar dan lurus
sehingga memungkinkan masuknya

instrumen

pada

endoskopi terapeutik (Kontis and

Johns, 2001)
Sialoendoskopi
Sialoendoskopi diagnostik
Pada penanganan pasien dengan kecurigaan obstruksi kelenjar saliva harus
dilakukan anamnesis secara seksama. Biasanya pada pasien dengan pembengkakan pada

kelenjar saliva akan mengalami kesulitan dalam asupan makanannya. Pada pemeriksaan
fisik dilakukan inspeksi dan palpasi. Pada kebanyakan kasus, perencanaan terapi pada
kelainan kelenjar saliva dapat ditentukan dengan terlebih dahulu melakukan

anamnesis

yang baik dan


pemeriksaan ultrasonografi (Al-Abri and Marshal, 2010).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan perencanaan terapi, antara
lain pada batu yang nonechoic dan striktur sulit dibedakan, sehingga perlu dilakukan
sialoendoskopi untuk memastikan dugaan. Alat ini bermanfaat dalam menentukan ukuran
batu secara tiga dimensi begitu juga dengan struktur stenosisnya. Selain itu, penting juga
untuk mengetahui diameter bagian distal obstruksi untuk memastikan bahwa duktusnya
cukup lebar dan lurus sehingga memungkinkan untuk masuknya instrumen. Penting juga
untuk mengetahui apakah fragmen yang dihasilkan dari litotripsi gelombang extracorporeal
mudah dikeluarkan oleh saliva dari duktus. Sialoendoskopi memungkinkan pemeriksa untuk
melihat

kondisi

patologi

duktus

secara

langsung.

Pemeriksaan

sialoendoskopi

memungkinkan untuk mengubah dari tindakan diagnostik menjadi tindakan terapeutik


seketika itu juga (Al-Abri and Marshal, 2010).

Macam-Macam Penyakit Kelenjar Saliva


1. Parotitis
Parotitis merupakan penyakit infeksi pada kelenjar parotis akibat virus. Penyakit ini
merupakan penyebab edema kelenjar parotis yang paling sering. Kejadian parotitis
saat ini berkurang karena adanya vaksinasi. Insidens parotitis tertinggi pada anakanak berusia antara 4-6 tahun. Onset penyakit ini diawali dengan adanya rasa nyeri
dan bengkak pada daerah sekitar kelenjar parotis. Masa inkubasi berkisar antara 2
hingga 3 minggu. Gejala lainnya berupa demam, malaise, mialgia, serta sakit kepala
(Kontis dan Johns, 2001).
2. Tuberkulosis primer kelenjar saliva

Penyakit ini biasanya unilateral. Kelenjar saliva yang paling sering terkena adalah
kelenjar parotis. Kebanyakan penyakit ini merupakan penyebaran dari fokus infeksi
tuberkulosis pada tonsil atau gigi. Penyakit ini biasanya terlihat dalam dua jenis yaitu
dalam bentuk lesi inflamasi akut atau lesi berbentuk tumor yang kronis. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan acid fast salivary stain dan purified proteine
derivative skin test. Terapi terhadap penyakit ini sama dengan terapi pada infeksi
tuberkulosis akut (Kontis dan Johns, 2001; Yu dkk., 2008).
3. Sialadenitis supuratif akut
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1828. Sebagian besar penyakit ini
melibatkan kelenjar parotis, dan terkadang juga melibatkan kelenjar submandibula.
Seringnya terjadi keterlibatan kelenjar parotis dibandingkan dengan kelenjar saliva
lainnya disebabkan karena aktivitas bakteriostatis pada kelenjar parotis lebih rendah
dibandingkan pada kelenjar saliva lainnya (Kontis dan Johns, 2001; Nahlieli dkk.,
2006).
Kemungkinan penyakit ini disebabkan karena adanya stasis saliva, akibat
adanya obstruksi atau berkurangnya produksi saliva. Faktor predisposisi lain
terjadinya penyakit ini adalah striktur duktus atau kalkuli. Berkurangnya produksi
kelenjar saliva bisa disebabkan karena konsumsi beberapa obat. Pasien pasca operasi
juga dapat menderita penyakit ini akibat produksi saliva yang kurang yang diikuti
dengan higiene oral yang buruk (Kontis dan Johns, 2001; Turner, 2009; Serbetci dan
Sengor, 2010).
Gejala yang sering dirasakan pada penderita penyakit ini adalah adanya
pembengkakan yang disertai dengan rasa nyeri. Bisa didapatkan adanya saliva yang
purulen pada orifisium duktus saliva, yang mudah didapatkan dengan sedikit
pemijatan di sekitar kelenjar (Kontis dan Johns, 2001).
Organisme penyebab infeksi dapat berupa

Staphylococcus aureus,

Streptococcus pneumonia, Eschericia coli, serta Haemophylus influenzae. Bakteri


anaerob penyebab yang paling sering adalah

Bacteroides melaninogenicus dan

Streptocccus micros (Kontis dan Johns, 2001; Nahlieli dkk., 2006; Turner, 2009).
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah hidrasi secara adekuat, perbaikan
higiene oral, pemijatan secara berulang pada daerah sekitar kelenjar, serta antibiotik
intravena. Pemberian antibiotik secara empiris perlu dilakukan sambil menunggu hasil
kultur resistensi (Kontis dan Johns, 2001; Nahlieli dkk., 2006; Jabbour dkk., 2010).
4. Sialadenitis kronis
Etiologi dari sialadenitis kronis adalah sekresi saliva yang sedikit dan adanya stasis
saliva. Kelainan ini lebih sering terjadi pada kelenjar parotis. Beberapa pasien dengan

sialadenitis kronis merupakan rekurensi dari parotitis yang diderita saat masih kecil.
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya kerusakan yang permanen pada
kelenjar yang disebabkan infeksi supuratif akut. Penyakit ini dapat memudahkan
terjadinya sialektasis, ductal ectasia, serta destruksi asinar yang progresif (Kontis dan
Johns, 2001; Nakayama dkk., 2003; Yu dkk., 2008; Jabbour dkk., 2010).
5. Sialolitiasis
Salah satu penyakit pada kelenjar saliva adalah terdapatnya batu pada kelenjar saliva.
Angka kejadian terdapatnya batu pada kelenjar submandibula lebih besar
dibandingkan dengan kelenjar saliva lainnya, yaitu sekitar 80%. Juga 20% terjadi
pada kelenjar parotis, dan 1% terjadi pada kelenjar sublingualis. Salah satu penyakit
sistemik yang bisa menyebabkan terbentuknya batu adalah penyakit gout, dengan batu
yang terbentuk mengandung asam urat. Kebanyakan, batu pada kelenjar saliva
mengandung kalsium fosfat, sedikit mengandung magnesium, amonium dan karbonat.
Batu kelenjar saliva juga dapat berupa matriks organik, yang mengandung campuran
antara karbohidrat dan asam amino (Kontis dan Johns, 2001; Yu dkk., 2008).
Duktus pada kelenjar submandibula lebih mudah mengalami pembentukan
batu karena saliva yang terbentuk lebih bersifat alkali, memiliki konsentrasi kalsium
dan fosfat yang tinggi, serta kandungan sekret yang mukoid. Disamping itu, duktus
kelenjar submandibula ukurannya lebih panjang, dan aliran sekretnya tidak tergantung
gravitasi. Batu pada kelenjar submandiula biasanya terjadi di dalam duktus,
sedangkan batu pada kelenjar parotis lebih sering terbentuk di hilum atau di dalam
parenkim. Gejala yang dirasakan pasien adalah terdapat bengkak yang hilang timbul
disertai dengan rasa nyeri. Dapat teraba batu pada kelenjar yang terlibat (Kontis dan
Johns, 2001; Nakayama dkk., 2003; Fritsch, 2009 Su dkk., 2010).
6. Sarkoidosis
Sarkoidosis merupakan penyakit granulomatosa dengan etiologi yang belum jelas.
Secara klinis, manifestasi penyakit ini ke kelenjar saliva hanya sekitar 6%, namun
secara histologi, keterlibatan pada kelenjar saliva dapat mencapai 33%. Salah satu
contoh dari penyakit ini adalah sindroma Heerfordt dengan gejala berupa uveitis,
pembesaran kelenjar parotis, serta paralisis fasialis. Gejala awal yang dialami dapat
berupa demam, malaise, kelemahan, mual, serta keringat di malam hari (Kontis dan
Johns, 2001).
7. Sindroma Sjogren
Sindroma Sjogren dapat ditandai dengan adanya destruksi kelenjar eksokrin yang
dimediasi oleh limfosit. Hal ini menyebabkan terjadinya xerostomia dan
keratokonjuntivitis sika. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang terbanyak

setelah artritis rematoid. Sembilan puluh persen sindrom ini terjadi pada wanita
dewasa namun dapat juga diderita oleh anak-anak. Kebanyakan penderita berusia
sekitar 50 tahun. Sindroma ini diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu primer dan
sekunder. Pada tipe primer, penyakit ini hanya melibatkan kelenjar eksokrin saja,
sedangkan pada tipe sekunder berhubungan dengan penyakit autoimun seperti
rematoid artritis. Gejala yang ada meliputi rasa terbakar pada mulut, rasa ada pasir
pada mata, xerostomia, pembengkakan pada kelenjar saliva (pada tipe primer terjadi
sekitar 80% dan pada tipe sekunder antara 30-40%). Pembengkakan bisa terjadi
secara intermiten ataupun permanen (Kontis dan Johns, 2001).
8. Sialadenosis
Kelainan ini merupakan istilah nonspesifik untuk mendeskripsikan suatu pembesaran
kelenjar saliva yang bukan merupakan reaksi inflamasi maupun neoplasma.
Patofisiologi penyakit ini masih belum jelas. Pembesaran kelenjar saliva biasanya
terjadi asimtomatik. Pada penderita obesitas dapat terjadi pembengkakan kelenjar
parotis bilateral karena hipertrofi lemak. Namun perlu dilakukan pemeriksaan
endokrin dan metabolik yang lengkap sebelum menegakkan diagnosis tersebut karena
obesitas dapat berkaitan dengan berbagai macam penyakit seperti diabetes melitus,
hipertensi, hiperlipidemia dan menopause (Kontis dan Johns, 2001).
9. Penyakit infeksi virus lainnya
Penyakit kelenjar saliva dapat disebabkan oleh adanya infeksi cytomegalovirus, yang
sering terjadi pada bayi baru lahir dan dapat menyebabkan mental retardasi serta
kelainan fisik, hepatosplenomegali, ikterik, dan trombositopenia purpura. Virus lain
yang dapat menginfeksi kelenjar saliva bisa berupa Coxackievirus A, Echovirus,
virus Influenza A serta virus Lymphocytic chorimeningitis. Terapi pada penyakit
yang disebabkan karena infeksi virus berupa terapi simtomatis (Kontis dan Johns,
2001).
Macam - Macam Penyakit Kelenjar Saliva
Macam-macam Kelainan Kelenjar Saliva beserta Etiologi, Gambaran Klinis,
Gambaran HPA, dan Gambaran Radiologi yang dibagi berdasarkan Neoplastik dan Non
Neoplastik.
A. Kelainan Kelenjar Saliva Neoplastik
a. Pleomorfic adenoma

Gejala Klinis

: tumor jinak yang berasal dari kelenjar saliva yang dapat

tumbuh dari kelenjar saliva minor maupun mayor. Tumor ini tumbuh lambat, asymtomatis,
dapat digerakkan dan konsistensi kenyal dengan permukaan yang halus. Tumor dapat
membesar mendesak jaringan sekitarnya.
HPA : pleomorfic adenoma menunjukkan campuran proliferasi jaringan epithel
dalam daerah jaringan myxoid, mucoid, atau chondroid. Tumor sebagian mempunyai kapsul
fibrous (Fox PC, 2003)
b. Monomorphic adenoma
Tumor-tumor monomorfik tersusun reguler berbentuk grandular, dengan tidak
adanya dominasi komponen jaringan mesenkim. Tumor yang termasuk ke dalam adenoma
monomorfik adalah Warthin tumor (papillary cystadenoma lymphomatosum), basal sel
adenoma, oxyphilic adenoma (oncocytoma), canalicular adenoma, myoepthelioma, dan clear
cell adenoma (Fox PC, 2003)
c. Whartins tumor
Gejala klinis : tumor jinak kelenjar saliva yang paling umum dijumpai diantara
tumor-tumor monomorfik lainnya dan sering terjadi pada kelenjar parotis. Penderita laki-laki
lebih banyak daripada penderita perempuan.
HPA : berbentuk glandula yang dipisahkan celah-celah yang cenderung dan
membentuk proyeksi papila-papila yang tertanam didalam jaringan limfoid yang padat.
Rongga kistik dilapisi oleh sel epitel yang eosinopilik (onkosit) 2 lapis (bilayer) (Fox PC,
2003)
d. Onkositoma
Gejala klinis : kelenjar parotid adalah tempat yang paling sering terjadinya
onkositoma diikuti dengan kelenjar submandibula. Tumornya muncul sebagai massa yang
tumbuh lambat, tidak nyeri, yang sering keras dan kadang-kadang kistik. Pembengkakan
kelenjar parotis kadang-kadang difus, dapat terjadi bilateral ataupun multiple (Fox PC, 2003)
HPA : mengandung sel-sel epitelial berbentuk polyhedron yang besar (onkosit),
yang penuh dengan sitoplasma eosinofilik bergranular dan mitokondria.
e. Mukoepidermoid karsinoma
Gejala klinis : umumnya melibatkan kelenjar ludah mayor, yaitu kelenjar ludah
parotis. Sebagian kecil dapat timbul dari kelenjar ludah minor. Tumor ini sering terjadi pada
orang dewasa, penderita perempuan lebih banyak daripada penderita laki-laki. Tumor ini

tumbuhnya lambat, berasal dari sel epitelium duktus dan berpotensi metastasis (Fox PC,
2003)
HPA : secara mikroskopis dibedakan atas : low grade, intermediate grade, dan high
grade. Menunjukkan campuran sel kelenjar penghasil mukus dan del epitel intermediate.
Ketiga sel-sel ini berasal dari sel duktus yang berpotensi mengalami metaplasia. Low grade
merupakan massa yang kenyal dan mengandung solid proliferasi sel tumor, pembentukan
struktur seperti duktus dan adanya cystic space yang terdiri dari epidermoid sel dan sel
intermediate. Tipe intermediate ditandai massa tumor yang lebih solid sebagian besar sel
epidermoid dan sel intermediate dengan sedikit memproduksi kelenjar mukus. Tipe poorly
diferentiated ditandai dengan populasi sel-sel pleomorfik dan tidak terlihat sel-sel
berdiferensiasi (Fox PC, 2003)
f. Karsinoma sel asinar
Gejala klinis : tumor ganas kelenjar parotis yang jarang terjadi. Kadang ditemukan
pada kelenjar saliva lainnya. Umumnya pada lelaki muda antara umur 20-30 tahun. Tumor ini
berkapsul, merupakan suatu proliferasi sel-sel yang membentuk massa bulat, diameter < 3
cm.
HPA : berisi sel-sel asinar yang seragam dengan nukleus kecil berada di sentral
dengan sitoplasma yang basofilik dan padat mirip sel-sel sekretoris (asinar) dari kelenjar
saliva normal. Tumor ini dapat bermetastasis ke limfonodi regional (Fox PC, 2003)
g. Tumor Sel Granular
Tumor sel granula adalah benigna dengan potensi menjadi maligna dan sering
berhubungan dengan kelenjar liur minor. Tumor ini cenderung terjadi pada kavum oral dan
sangat tersirkumsrip, mudah digerakkan dan tidak nyeri. Aspirasi jarum halus dapat
menunjukkan proses neoplastic (Fox PC, 2003)
HPA : Pemeriksaan histopatologis memberikan gambaran selsel poligonal dengan
sitoplasma granular eosinofilik yang banyak dan nukleus-nukleus pleomorfik ringan yang
berbentuk bulat hingga oval. Karena ia berpotensi ke arah maligna, kombinasi dari eksisi
lokal yang luas dan observasi yang ketat merupakan terapi yang paling berkesan (Fox PC,
2003)
h. Hemangioma
Walaupun bukan berasal dari glandular, hemangioma adalah signifikan sebagai
diagnosis banding massa parotid terutama pada anak-anak. Tumor jinak ini berasal dari sel

endotelial dan merupakan kurang dari 5% dari semua tumor kelenjar liur. Pada anak anak,
hemangioma kapiler adalah tumor kelenjar liur yang paling sering yaitu lebih dari 90% tumor
kelenjar liur terjadi pada anak-anak di bawah usia 1 tahun. Tumor ini mengenai perempuan
lebih banyak dari laki-laki dan sering terdapat pada kelenjar parotid (Fox PC, 2003)
Gejala klinis : Hemangioma biasanya muncul pada waktu lahir sebagai massa
unilateral dan tidak nyeri. Pertumbuhannya proliferatif dan cepat yang sering menyebabkan
deformitas kosmetik. Aspirasi jarum halus biasanya tidak penting. CT scan, MRI atau
keduanya dapat menunjukkan gambaran vaskularisasi pada lesi. Diagnosis banding termasuk
kelainan proliferatif vaskular seperti limfangioma dan hemangioma kavernosa (Fox PC,
2003)

B. Kelainan Kelenjar Saliva Non Neoplastik


a. Mukokel
Mucocele adalah Lesi pada mukosa (jaringan lunak) mulut yang diakibatkan oleh
pecahnya saluran kelenjar liur dan keluarnya mucin ke jaringan lunak di sekitarnya.
Mucocele bukan kista, karena tidak dibatasi oleh sel epitel. Mucocele dapat terjadi pada
bagian mukosa bukal, anterior lidah, dan dasar mulut. Mucocele terjadi karena pada saat air
liur kita dialirkan dari kelenjar air liur ke dalam mulut melalui suatu saluran kecil yang
disebut duktus (Fox PC, 2003)
Terkadang bisa terjadi ujung duktus tersumbat atau karena trauma misalnya bibir
sering tergigit secara tidak sengaja, sehingga air liur menjadi tertahan tidak dapat mengalir
keluar dan menyebabkan pembengkakan (mucocele). Mucocele juga dapat terjadi jika
kelenjar ludah terluka. Manusia memiliki banyak kelenjar ludah dalam mulut yang
menghasilkan ludah. Ludah tesebut mengandung air, biopsy, dan enzim. Ludah dikeluarkan
dari kelenjar ludah melalui saluran kecil yang disebut duct (pembuluh) (Fox PC, 2003)
Terkadang salah satu saluran ini terpotong. Ludah kemudian mengumpul pada titik
yang terpotong itu dan menyebabkan pembengkakan, atau mucocele. Pada umumnya
mucocele didapati di bagian dalam bibir bawah. Namun dapat juga ditemukan di bagian lain
dalam mulut, termasuk langit-langit dan dasar mulut. Akan tetapi jarang didapati di atas lidah.
Pembengkakan dapat juga terjadi jika saluran ludah (duct) tersumbat dan ludah mengumpul
di dalam saluran (Fox PC, 2003)

Umumnya disebabkan oleh trauma 4iops, misalnya bibir yang sering tergigit pada saat
sedang makan, atau pukulan di wajah. Dapat juga disebabkan karena adanya penyumbatan
pada duktus (saluran) kelenjar liur minor. Mucocele Juga dapat disebabkan oleh obat-obatan
yang mempunyai efek mengentalkan ludah (Fox PC, 2003)

Gambaran Klinis
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Batas tegas
Konsistensi lunak
Warna transluscent
Ukuran biasanya kecil
Tidak ada keluhan sakit
Kadang-kadang pecah, hilang tapi tidak lama kemudian akan timbul lagi

b. Ranula
Ranula terbentuk sebagai akibat normal melalui duktus ekskretorius major yang
membesar atau terputus atau terjadinya rupture dari saluran kelenjar terhalangnya aliran liur
yang sublingual (duktus Bartholin) atau kelenjar submandibuler (duktus Wharton), sehingga
melalui rupture ini air liur keluar menempati jaringan disekitar saluran tersebut. Selain
terhalangnya aliranliur, ranula bisa juga terjadi karena trauma dan peradangan. Ranulamirip
dengan mukokel tetapi ukurannya lebih besar (Fox PC, 2003)
Bila letaknya didasar mulut, jenis ranula ini disebut ranulaSuperfisialis. Bila kista
menerobos dibawah otot milohiodeusdan menimbulkan pembengkakan submandibular,
ranula jenisini disebut ranula Dissecting atau Plunging.
Gambaran Klinis : Bentuk dan rupa kista ini seperti perut kodok yang
menggelembung keluar (Rana=Kodok).
1.
2.
3.
4.
5.
c.

Dinding sangat tipis dan mengkilap


Warna translucent
Kebiru-biruan
Palpasi ada fluktuasi
Tumbuh lambat dan expansif (Fox PC, 2003)
Sialadenitis
Sialadenitis adalah infeksi bakteri dari glandula salivatorius, biasanya disebabkan oleh

batu yang menghalangi atau hyposecretion kelenjar. Proses inflamasi yang melibatkan
kelenjar ludah disebabkan oleh banyak faktor etiologi. Proses ini dapat bersifat akut dan
dapat menyebabkan pembentukan abses terutama sebagai akibat infeksi bakteri.

Keterlibatannya dapat bersifat unilateral atau bilateral seperti pada infeksi virus. Sedangkan
Sialadenitis kronis nonspesifik merupakan akibat dari obstruksi duktus karena sialolithiasis
atau radiasi eksternal atau mungkin spesifik,yang disebabkan dari berbagai agen menular dan
gangguan imunologi (Fox PC, 2003)
Sialadenitis biasanya terjadi setelah obstruksi hyposecretion atau saluran tetapi dapat
berkembang tanpa penyebab yang jelas. Terdapat tiga kelenjar utama pada rongga
mulut,diantaranya adalah kelenjar parotis, submandibular, dan sublingual. Sialadenitis paling
sering terjadi pada kelenjar parotis dan biasanya terjadi pada pasien dengan umur 50-an
sampai 60-an, pada pasien sakit kronis dengan xerostomia, pasien dengan sindrom Sjgren,
dan pada mereka yang melakukan terapi radiasi pada rongga mulut. Remaja dan dewasa
muda dengan anoreksia juga rentan terhadap gangguan ini. Organisme yang merupakan
penyebab paling umum pada penyakit ini adalah Staphylococcus aureus; organisme lain
meliputi Streptococcus, koli, dan berbagai bakteri anaerob (Fox PC, 2003)
Gejala Umum : meliputi gumpalan lembut yang nyeri di pipi atau di bawah dagu,
terdapat pembuangan pus dari glandula ke bawah mulut dan dalam kasus yang parah,
demam, menggigil dan malaise (bentuk umum rasa sakit).
d. Sjorgen syndrome
Sjorgen syndrome merupakan suatupenyakit auto imun yang ditandai oleh produksi
abnormal dari extra antibodi dalam darah yang diarahkan terhadap berbagai jaringan tubuh.
Ini merupakan suatu penyakit autoimun peradangan pada kelenjar saliva yang dapat
menyebabkan mulut kering dan bibir kering (Fox PC, 2003)
Gejala : Gejala dari sjorgen syndrome antara lain; mulut kering, kesulitan menelan,
kerusakan gigi, penyakit gingiva, mulut luka dan pembengkakan, dan infeksi pada kelenjar
parotis bagian dalam pipi (Fox PC, 2003)
Etiologi : Penyebab sjorgen syndrome tidak diketahui, ada dukungan ilmiah yang
menyatakan bahwa penyakit ini adalah penyakit turunan atau adanya faktor genetik yang
dapat memicu terjadinya sjorgen syndrome, karena penyakit ini kadang-kadang penyakit
ditemukan pada anggota keluarga lainnya. Hal ini juga ditemukan lebih umum pada orang
yang memiliki penyakit autoimun lainnya seperti lupus eritematous sistemik, autoimun
penyakit tiroid, diabetes, dll (Fox PC, 2003)

e. Sialorrhea

Sialorrhea adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan menetesnya air liur atau
sekresi saliva yang berlebihan. Penyebab dari sialorrhea dapat bevariasi berupa gejala dan
gangguan neurologis, infeksi atau keracunan logam berat dan insektisida serta efek samping
dari obat-obatan tertentu (Fox PC, 2003)
f. Sialosis
Sialosis didefinisikan sebagai pembengkakan non-inflamasi dan non-neoplastik dari
kelenjar saliva. Paling sering mengenai kelenjar parotis biasanya bilateral, tapi kadangkadang juga mengenai kelenjar submandibularis dan sublingualis. Penyebab pembengkakan
belum diketahui dengan jelas, walaupun dihubungkan dengan sejumlah penyakit sistemik,
terutama diabetes melitus, akromegali, alkoholisme, malnutrisi, bulimia nervosa dan
anoreksia nervosa. Sialosis Juga digambarkan sebagai efek samping sejumlah obat-obatan
(Fox PC, 2003)
g. Sialometaplasia necrotic
Lesi pada kelenjar saliva yang bersifat nonneoplastik, peradangan yang dapat sembuh
dengan sendirinya, terutama mengenai kelenjar saliva yang terdapat pada palatum. Lebih
sering terjadi pada penderita laki-laki daripada perempuan.
Gejala klinis
i.
j.
k.
l.
m.

Muncul secara spontan


Terdapat lesi dan pembengkakan
Ukuran maksimal 1-2 cm
Lesi bilateral atau unilateral
Burning sensation (sensasi terbakar) (Fox PC, 2003)
HPA : Necrosis lobuler pada kelenjar saliva, metaplasia squamosa pada asinus dan

saluran-saluran,hyperplasia pseudoepitelomatosa dan jaringan granulasi yang nyata serta


inflamasi. Tidak diketahui secara pasti namun berhubungan dengan trauma dan terapi radiasi
(Fox PC, 2003)
h. Sialolitiasis
Kira-kira 80-90% dari batu kelenjar saliva terjadi di kelenjar submandibular dan
hanya 10-20% terdapat di kelenjar parotid, dan hanya persentase yang sangat kecil terdapat
pada kelenjar sublingual dan kelenjar liur minor. Sialolitiasis adalah penyebab yang paling
sering pada penyakit kelenjar liur dan dapat terjadi pada semua usia dengan predileksi tinggi

pada laki-laki. Faktor resiko terjadinya obstruksi batu kelenjar liur termasuk sakit yang lama
disertai dehidrasi. Kadang disertai juga dengan gout, diabetes dan hipertensi (Fox PC, 2003)
Patogenesis: Saliva yang normal mengandung banyak hidroksiapatit, bahan utama
pada batu kelenjar liur. Agregasi dari debris yang termineralisasi dalam duktus akan
membentuk nidus, lalu menyebabkan pembentukan kalkuli, statis saliva dan kemudian
obstruksi. Kelenjar submandibular lebih rentan terhadap pembentukan kalkuli dibandingkan
kelenjar parotid karena duktusnya yang lebih panjang, kandungan musin dan alkali dalam
saliva yang lebih tinggi dan konsentrasi kalsium dan fosfat yang tinggi. Kalkuli
submandibular secara primer mengandung kalsium fosfat dan hidroksiapatit (Fox PC, 2003)
Disebabkan kalkuli ini mengandung kandungan kalsium yang tinggi, hampir
kesemuanya adalah radiopak dan dapat dilihat pada foto Rontgen. Kalkuli parotid adalah
lebih jarang radiopak. Kira-kira 75%, satu batu berjaya ditemukan pada kelenjar tersebut.
Jika obstruksi tidak ditangani, maka akan berlanjut terjadinya inflamasi lokal, fibrosis dan
atrofi asinar (Fox PC, 2003)
Gejala dan Tanda :
Pembengkakan berulang dan nyeri pada kelenjar submandibular dengan eksaserbasi
apabila makan adalah gejala yang sering muncul pada batu kelenjar liur. Obstruksi yang lama
dapat menyebabkan terjadinya infeksi akut dengan nyeri yang semakin berat dan eritema
pada kelenjar tersebut. Pasien juga mengeluhkan adanya riwayat xerostomia dan kadangkadang terasa ada benda asing seperti pasir di rongga mulut. Pemeriksaan fisik sangat penting
karena batu sering dapat dipalpasi pada dua pertiga anterior kelenjar submandibular. Selain
itu, indurasi pada dasar mulut biasanya dapat terlihat. Batu yang lokasinya di dalam badan
kelenjar lebih sukar untuk di palpasi (Fox PC, 2003)
i. Xerostomia
Banyak pasien mengeluh mulutnya kering Walaupun kelenjar saliva mereka berfungsi dengan
normal. Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau
manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. Penyakit kelenjar saliva
primer meliputi sindrom Sjorgen, kerusakan pascaradiasi atau anomali pertumbuhan.
Penyebab sistemik sekunder dari xerostomia meliputi kegelisahan kronis, dehiderasi atau
terapi obat (Fox PC, 2003)
Gambaran Klinis : Konfirmasi adanya penurunan dalam produksi saliva didasarkan
atas pemeriksaan klinis dan pengukuran kecepatan aliran saliva (Fox PC, 2003)

Anda mungkin juga menyukai