Oleh:
Evy Liesniawati
030.10.095
Pembimbing:
dr. Yosianna Liska, Sp.A
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RSUD KARWANG
Nama Mahasiswa
Liska, SpA
NIM
: 030.10.095
Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN
No rekam medik
: 618679
Nama
:An.Rizky Pranaja
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur
:2 bulan 4 hari
Suku Bangsa : Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan
:Alamat
: Warung kebon, Purwosari RT 005/004
Orang tua / Wali
Ayah:
Nama: Tn.Aca
Umur: 45 tahun
Alamat: Warung kebon, Purwosari
Pekerjaan: Buruh bangunan
Agama: Islam
Ibu :
Nama: Ny. Dina
Umur: 42 tahun
Alamat: Warung kebon, Purwosari
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Agama: Islam
mengatakan sesak ini baru terjadi pertama kalinya, timbul setelah pasien mengalami
batuk yang
posisi
maupun tanpa
adanya pencetus seperti debu, udara dingin, dan bulu binatang (tidak ada binatang
peliharaan di rumah). Saat sesak tidak terdengar suara ngik, dan tampak kebiruan
disekitar mulut dan ujung-ujung jari tangan dan kaki sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS), 2 hari sebelum masuk rumah sakit ibu pasien mengatakan
bahwa anaknya demam. Demam tersebut timbul mendadak. Demam tidak diukur
dengan termometer, namun teraba panas yang tidak terlalu tinggi dengan rabaan
tangan. Demam tidak diikuti dengan menggigil, tidak kejang. Ibu pasien hanya
mengompres dengan air hangat untuk mengurangi panas. Batuk diakui ibu pasien
sejak 1 Minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk awalnya hanya ringan, dirasakan
tidak berdahak. Namun bersamaan dengan demam, batuk terjadi sangat panjang,
sering dan berulang. Batuk anaknya terdengar seperti batuk berdahak namun tidak
ada dahak yang keluar. Batuk tidak dicetuskan karena terpapar debu atau dingin, dan
tidak ada bersin-bersin di pagi hari. Batuk semakin lama dirasakan semakin parah
yang membuat napas pasien menjadi berat dan cepat. Pasien juga mengalami pilek
bersamaan dengan batuk. Pilek dengan ingus bening encer, yang semakin lama
menyebabkan hidung pasien mampet, Mual dan muntah disangkal oleh ibu pasien.
1 hari sebelum masuk rumah sakit, dengan keluhan batuk dan pilek yang
dirasakan, ibu pasien membawa bayinya berobat ke puskesmas dan di diagnosis ISPA,
lalu diberi obat yang diakui ibu pasien adalah obat tetes hidung. Namun keluhan batuk
dan pilek tidak berkurang.
Pagi hari sebelum masuk rumah sakit, kesulitan
rasakan makin bertambah, tidak ada riwayat tersedak sebelumnya, demam dirasakan
sumeng-sumeng, batuk masih sangat panjang dan sering, pasien menjadi gelisah dan
sulit menyusu. BAK dan BAB pasien baik.
KEHAMILAN
Perawatan antenatal
KELAHIRAN
Tempat persalinan
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
infeksi (-)
2x kontrol ke tempat praktek bidan dan sudah
melakukan imunisasi TT 2x
Bidan
Bidan
Normal
Penyulit : Cukup Bulan (38-39 minggu)
3
Keadaan bayi
Tengkurap
: umur 4 bulan
Duduk
: umur 8 bulan
Berdiri
: umur 10 bulan
Berjalan
: umur 12 bulan
Makan sendiri
: umur 24 bulan
Menyusun kalimat dan pengertian kata-kata: umur 3 tahun (Normal: 2-3 tahun)
Memakai baju sendiri : umur 4 tahun
Berhitung, menyebut hari-hari dalam seminggu: umur 4,5 tahun (Normal 4-5
tahun)
Mengikuti pelajaran di sekolah: umur 5 tahun
Membantu orang tua membersihkan rumah: umur 8 tahun (Normal 8-10 tahun)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan: Riwayat perkembangan
belum dapat dinilai karena pasien baru berusia 2 bulan.
E. RIWAYAT MAKANAN
Umur
(bulan
ASI / PASI
Buah / Biskuit
Bubur Susu
Nasi Tim
)
4
02
Susu formula
24
46
68
8 10
10- 12
Kesimpulan riwayat makanan: pasien hanya mendapatkan susu formula dari lahir
sampai sekarang usia 2 bulan.
F. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin
Hepatitis B
Polio
Dasar ( umur )
1 bulan
2 bulan
-
0 bulan
0 bulan
BCG
2 bulan
DPT / PT
Campak
2 bulan
-
Ulangan ( umur )
-
Jenis
(umur)
kelamin
1.
6 Tahun
Laki-laki
Ya
2.
3 tahun
Laki-laki
Ya
3.
2 Bulan
Laki-laki
Ya
No
Hidup
Lahir
Mati
Keterangan
(sebab)
kesehatan
Sehat
Sehat
Pasien
mati
Abortus
b. Riwayat Pernikahan
Nama
Perkawinan keUmur saat menikah
Pendidikan terakhir
Agama
Suku bangsa
Ayah / Wali
Tn.Aca
1
24 tahun
Tamat SMP
Islam
Jawa
Ibu / Wali
Ny.Dina
1
22 tahun
Tamat SD
Islam
Jawa
5
Keadaan kesehatan
Kosanguinitas
Penyakit, bila ada
Sehat
-
Sehat
-
c. Riwayat Penyakit Keluarga: pada anggota keluarga tidak ada yang menderita
penyakit jantung, penyakit paru, alergi, Tuberculossis, Ataupun kencing manis kecuali
(IBU) pasien menderita Asma .
d. Riwayat Kebiasaan Keluarga : pada anggota keluarga ada yang memiliki kebiasaan
merokok, yaitu ayah pasien. Keluarga pasien menyangkal adanya kebiasaan minum
minuman beralkohol dan penggunaan obat-obatan terlarang.
Kesimpulan Riwayat Keluarga: tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala dan
penyakit yang serupa dengan pasien, kecuali Ibu pasien mengalami penyakit Asma.
H. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit
Umur
Penyakit
Umur
Penyakit
Penyakit
Alergi
(-)
Difteria
(-)
Cacingan
(-)
Diare
(-)
Penyakit ginjal
(-)
DBD
(-)
Kejang
(-)
Radang paru
(-)
Otitis
(-)
Rubeola
(-)
TBC
(-)
Parotitis
(-)
Operasi
(-)
Lain-lain: -
jantung
Umur
(-)
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita: pasien belum pernah menderita
penyakit yang sama sebelumnya.
I. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Menurut pengakuan ibu pasien keadaan lingkungan rumah cukup padat penduduk.
Lantai rumah terbuat dari semen. Ventilasi udara, sirkulasi udara, dan pencahayaan cukup
memadai. Rumah sering dibersihkan namun banyak debu di rumah terutama di atas lemari
dan lantai.
Kesimpulan Lingkungan Perumahan : Keadaan lingkungan rumah cukup baik namun
terlalu padat penduduk.
Ayah pasien bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan tidak menentu,
kurang lebih Rp. 700.000-1.000.000/bulan. Sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
Menurut ibu pasien penghasilan tersebut kurang untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari.
Kesimpulan sosial ekonomi: penghasilan ayah pasien kurang untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari.
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 13 Januari 2016 pukul 12.00 WIB)
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan Sakit
: Tampak sakit Berat
Kesadaran
: Compos mentis
Kesan Gizi
: gizi cukup
Keadaan lain
: pucat (-), ikterik (-), sesak (+), sianosis (-)
Data Antropometri
Berat badan
Tinggi badan
Lingkar kepala
: 4,1 kg
: 48 cm
: 37 cm
efloresensi bermakna
MATA:
Visus
: tidak dilakukan
Ptosis
: -/Edema palpebra: -/7
Sklera ikterik
Konjungtiva anemis
Exophthalmus
Enophtalmus
Lagofthalmus
Cekung
Kornea jernih
Strabismus
kornea jernih
: +/+
Nistagmus
: -/-
lensa jernih
: +/+
Pupil
: bulat, isokor
Refleks cahaya
TELINGA :
Bentuk
Nyeri tarik aurikula
Liang telinga
Serumen
Cairan
: normotia
: -/: lapang
: +/+
: -/-
Tuli
Nyeri tekan tragus
Membran timpani
Refleks cahaya
HIDUNG :
Bentuk
Sekret
Mukosa hiperemis
: simetris
: +/+
: -/-
BIBIR
MULUT
LIDAH
:-
: mukosa berwarna merah muda, kering (+), sianosis (-), pucat (-)
: trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna
merah muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arkus palatum simetris.
: normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-), atrofi papil (-),
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: bentuk toraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada
pernafasan yang tertinggal, pernafasan abdominal - torakal, pada sela
iga terlihat adanya retraksi interkostal, pembesaran KGB aksila -/-,
bagian dada terdapat ruam merah (-)
: nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri.
: hipersonor dikedua lapang paru.
8
Auskultasi
: tampak supel, warna kulit sawo matang, ruam merah (-), kulit keriput
(-), gerak dinding perut saat pernapasan simetris, shagging of the flank (-), venektasi
Kiri
normotonus
aktif
(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
Kanan
normotonus
aktif
Kiri
normotonus
aktif
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(+)
(-)
9
Oppenheim
Gordon
(-)
(-)
(-)
(-)
KULIT : warna kulit sawo matang merata, tidak ikterik, sianosis (- ), lembab, capillary
refill time < 2 detik.
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan(-), ruam (-)
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk
(-)
Brudzinski I
(-)
Brudzinski II
(-)
Laseq
(-)
Kerniq
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Hasil
Nilai Normal
Leukosit
33.800 ribu/
6.00-17.50
Eritrosit
3.59 jt/L
3.10-4.50
Hemoglobin
10,3 g/dL
9.5-13.5
Hematokrit
30 %
29.0-41.0
Trombosit
594 ribu/L
150 - 440
MCV
93 fL
74 108
MCH
32 pg
25 35
MCHC
34 g/dL
30 - 36
RDW
13.5 %
IV.
Kimia
Glukosa darah sewaktu
99 mg/dL
<140
RESUME
Seorang Anak RN, usia 2 bulan 4 hari diantar oleh ibunya ke IGD RSUD
Karawang dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu SMRS. Ibu pasien mengatakan
sesak ini baru terjadi pertama kalinya, timbul setelah pasien mengalami batuk yang
panjang. Sesak tidak di pengaruhi perubahan posisi maupun pencetus. Saat sesak tidak
terdengar suara ngik, dan tampak kebiruan disekitar mulut dan ujung-ujung jari
10
tangan dan kaki sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Anak tampak
gelisah dan tidak mau menyusu. Ibu pasien mengatakan anaknya demam sejak 2 hari
SMRS, timbul mendadak, dirasakan tidak terlalu tinggi dengan rabaan tangan. Ibu
pasien sudah mengompres air hangat untuk mengurangi panas. 1 Minggu SMRS,
pasien juga mengalami batuk yang terjadi sangat panjang, sering dan berulang-ulang.
Batuk terdengar seperti ada dahaknya namun tidak ada dahak yang keluar, diakhir batuk
kadang disertai muntah lendir berwarna putih kental. Batuk makin memberat yang
membuat napas pasien menjadi cepat. Pilek dirasakan bersamaan dengan batuk, pilek
dengan ingus bening encer. Sebelumnya, 1 hari SMRS ibu pasien sudah membawa
anaknya ke puskesmas dan didiagnosis ISPA, lalu diberi obat tetes hidung namun
keluhan batuk pilek tidak berkurang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum TSB, CM, tampak gelisah
dan dyspnoe, kesan gizi normal. Tanda vital didapatkan: Nadi 147x/menit, frekuensi
napas 60x/menit dengan ekspirasi memanjang, suhu 37,8OC. Pada hidung tampak napas
cuping hidung +/+ dengan sekret. Pada pemeriksaan thorax didapatkan retraksi
intercostal (+), serta pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang disertai ronki di
kedua lapang paru dan wheezing
pada
Asma Bronkiale
Bronkopneumnia
11
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Medika Mentosa
Oksigen nasal kanul 1-2 lpm
IVFD 4:1 10 tpm (mikro)
Injeksi Cefotaxime 2 x 200 mg
Injeksi Gentamicin 1 x 20 mg
Injeksi Dexametashone 2 x 0.5 mg
Injeksi paracetamol 3 x 50 mg
Nebulizer : ( Ventolin +1/4 flumicort ) /12 jam
Mucous drop 3 x 0.2 cc
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
12
FOLLOW-UP
Tanggal
S
O
13/01/16
-Sesak (+)
KU: Tampak sakit berat, compos mentis
Perawatan- Demam (+)
TTV :
N 147x/m
hari 2
- Batuk (+) lendir berwarna RR 60x/m
S 37.00C
BB = 4,1
putih kental
Wajah :Tampak simetris
kg
Mata: Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik
-/Hidung: napas cuping hidung (+)
Thorax : retraksi intercostal (+) SN
vesikuler, Rh +/+ di basal paru, Wh +/+
ekspirasi memanjang , BJ I-II reguler, M
(-), G (-)
Abd : datar, BU (+) 4x/menit, supel,nyeri
tekan (-),shifting dullness (-), undulasi (-)
Genitalia: edema (-)
Ekst :Atas : Akral hangat +/+,sianosis -/-,
CRT < 2
Bawah: Akral hangat +/+,sianosis -/-,
CRT < 2
14/01/16
-sesak (-)
KU : Tampak sakit sedang, compos mentis
Perawatan -batuk berdahak (+)
TTV :
- demam (+)
N 130x/m
hari 3
-belum BAB sejak 1 hari RR 40x/m
S 37,60C
BB = 4,1
lalu.
Wajah: tampak simetris
kg
Mata: CA -/-, SI -/Hidung : Napas cuping hidung (-)
Thorax : SN vesikuler, rh +/+, wh +/+, BJ I-
A
Bronkiolitis dd/
Asma bronkial,
bronkopneumonia
P
IVFD 4:1 10 Tpm
Injeksi Cefotaxime 2 x
200 mg
Injeksi Gentamicin 1x
20 mg
Injeksi Dexametashone
3 x 0.5 mg
Injeksi Paracetamol 3 x
50 mg
Mucous drop 3 x 0.2 cc
Nebulizer : ventolin+
fulmicort )
Bronkiolitis dd/
Asma bronkial,
bronkopneumonia
200 mg
Injeksi Gentamicin 1x
20 mg
Injeksi Dexametashone
3 x 0.5 mg
13
-Sesak (-),
-batuk berdahak (+)
- demam (-)
-BAK (+), BAB (+)
Injeksi Paracetamol 3 x
50 mg
Mucous drop 3 x 0.2 cc
Nebulizer : ventolin+
fulmicort )
Susu Soya
mg
Injeksi Gentamicin 1x 20
mg
Injeksi Dexametashone 3 x
0.5 mg
Injeksi Paracetamol 3 x 50
mg
Mucous drop 3 x 0.2 cc
Nebulizer : ventolin+
fulmicort )
Susu soya
14
16/01/16
Perawatan
hari 5
BB = 4
kg
Sesak (-)
batuk(-)
demam(-)
menyusu baik,
BAK dan BAB baik.
200 mg
Injeksi Gentamicin 1x
20 mg
Injeksi Paracetamol
3 x 50 mg
Mucous drop 3 x
0.2 cc
Nebulizer
ventolin+
-
fulmicort )
BLPL
15
Hasil
Nilai Normal
33.20/uL
3.62 juta/uL
10.2 g/dL
29.4%
475 ribu/uL
7 mm/jam
93 fL
31 pg
34 g/dL
14.4%
6,00-17,50
3,10-4,50
9,5-13,5
29.0-41.0
150,00-440,00
0-10
74-108
25-35
30-36
<14
0%
0%
59 %
36 %
5%
0-1
1-5
40-70
20-40
2-8
16
Deskripsi : Tampak bercak infiltrat pada kedua hemithoraks, hilus baik, cor normal (CTR <
50%), tampak jantung menggantung; tulang-tulang intak.
TINJAUAN PUSTAKA
BRONKIOLITIS
I.
Latar Belakang
17
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim akibat dari obstruksi
radang saluran pernapasan kecil (bronkiolus). Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan, dan pada banyak tempat
penyakit ini paling sering menyebabkan rawat inap bayi di rumah sakit. Insidensi
tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit ini terjadi secara sporadik
dan endemik.1
II.
Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi sistem respiratorik bawah akut yang pada umumnya
disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis
ditandai dengan batuk, pilek, panas, distress pernapasan dan ekspiratorik effort (usaha
napas pada saat ekspirasi) seperti adanya wheezing, takipnea, retraksi, dan ditunjang dari
foto dada didapatkan air trapping/hiperinflasi paru.1
III.
Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus/RSV (lebih dari 50%)
diikuti oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2 dan 3, Influenzae B, dan Adenovirus tipe 1,2,
dan 5. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab
yang dapat menimbulkan epidemi.3 Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi
jangka lama, termasuk bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral
(sindrom Swyer-James). Kemungkinan kejadian bronkiolitis pada anak dengan ibu
perokok lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan ibu yang tidak merokok. 1 Terdapat
pembuktian bahwa kompleks imunologis yang memainkan peranan penting dari
patogenesis dari bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh antibodi Ig
E hal ini dapat dihitung untuk signifikansi dari bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI
dengan colustrum tinggi yang didalamnya terdapat Ig A tampaknya lebih relaktif
terproteksi dari bronkiolitis. 2
IV.
Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan menjelang kemarau,
dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan dengan menjangkitnya parainfluenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di daerah sub tropis dari Asia Tenggara
18
sepanjang tahun, dan memuncak antara bulan Oktober sampai Februari dan berkurang
pada bulan Maret sampai Juli. 2 dari sub tipe RSV telah di ketahui, yaitu tipe A dan tipe
B, dengan tipe yang paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya
mendominasi apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular,
penularan disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari
ke 6 sampai hari ke 21 setelah gejala muncul. Waktu inkubasi antara 2-5 hari. Insiden
infeksi RSV sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering
terjadi pada laki-laki. Infeksi terjadi pada anggota keluarga sebanyak 46%, 98% pada
anak yang dititipkan pada perawatan harian, 42% pada staff rumah sakit dan sebanyak
45% pada bayi yang dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi menyebar melalui
muntahan dan penggunaan sarung tangan, sedangkan baju khusus dapat mengurangi
penyebaran infeksi nosokomial. 25% anak umur dibawah 1 tahun dan 13% anak umur
antara 1 sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi saluran napas. Separuh dari angka
tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas. RSV
dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di RS yang menderita infeksi tersebut
dan 80% nya berumur kurang dari 6 bulan. Diantaranya bayi yang sehat 80% dirawat di
RS pada tahun pertama kehidupannya dan sekitar 50% perawatan di rumah sakit adalah
bayi antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5% perawatan di RS pada neonatus,
kemungkinan dengan adanya antibodi yang masih terdapat dari transplasental-maternal.
V.
Faktor Risiko
Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur kurang dari
6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh berkembang dengan
baik. Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan bronkiolitis lebih sering dibanding
anak-anak perempuan. Faktor lain yang telah dihubungkan dengan peningkatan resiko
bronkiolitis pada anak-anak meliputi:3,5
a.
Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan kekebalan
dari ibu.
b. Kelahiran prematur.
c. Pajanan ke asap rokok.
19
d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak, panti
asuhan.
e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/tempat bermain.
VI.
Klasifikasi
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
Bronkiolitis akut
Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus dan saluran
pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan menyebabkan sejumlah
besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi jalan nafas, lumen jalan nafas
terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan
komplikasi yang lazim pada transplantasi paru.1
VII.
Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut,
ditandai dengan obstruksi bronkioulus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris
selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit
peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik
dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa
akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki
penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase
inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama
ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflasi. Atelectasis dapat terjadi
pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.4
Proses patologis ini akan mengganggu proses pertukaran gas normal di paru. Penurunan
kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, yang
20
mencapai 60 x/menit.4
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3 4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua
minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.4
Disamping pengruh destruktif virus dan respons hospes yang menyertai, belum jelas
peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada kebanyakan bayi
dengan bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial, pengalaman klinis
memberi kesan bahwa bakteri memainkan peran yang tidak berarti.1 Berbeda antara
bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi udem saluran napas dengan lebih
baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan orang dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila
terkena infeksi oleh virus.
21
penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling sering adalah
obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi dan retraksi dapat
ditemukan. Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi paru.1
IX.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dipengaruhi juga dari faktor usia
penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat. Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1)
Wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai
dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam, dan (4) menyingkirkan
pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.3
Obstruksi saluran respiratorik bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan
gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan
anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi
interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru.
Sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi
berusia < 6 minggu.4
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment
Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu
wheezing dan retraksi. Bila skor > 15 dimasukan kategori berat, bila skor < 3 dimasukkan
dalam kategori ringan.3
23
merupakan
spesimen yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok juga dapat diterima. Aspirat
trakea tidak perlu.
X.
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel darah putih
pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis mungkin normal
atau bergeser kekanan atau kekiri
Urin
24
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai balance cairan
dan kemungkinan dehidrasi.
Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh infeksi/peradangan
tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat dehidrasi.
Radiologi
Foto sinar-X dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan lateral. dapat
terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit):
o
Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik dan
mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma, pneumonia yang
tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi cairan.
Ateletaksis fokal
Peribronchial Cuffing
Pemeriksaan lainnya:
o Antigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat ( pada umumnya di
dalam 30 min) dan akurat (kepekaan 87-91%, ketegasan 96-100%) dalam
pendeteksian RSV.
o Kultur positif
dengan
25
o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname dan
anak-anak yang berhadapan dengan resiko berat.
o Kultur RSV lebih sedikit sensitif (60%) tetapi spesifitas mencapai 100%.
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV atau
lain virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent antibody
atau dengan
XI.
dan takipnea. Pengguanan cairan tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi
edema paru. Terapi supportive adalah mendeteksi cepat bila ada apnea dan memberikan
perhatian khusus terhadap demam pada neonatus.7
27
28
Pengobatan
Bronkodilator
Peran bronkodilator masih kontroversial. Penggunaan bronkodilator untuk bronkiolitis
menunjukkan perbaikan skor klinis untuk jangka pendek, tetapi tidak terdapat
perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di RS. Alasan yang kurang
mendukung pemberian
Kortikosteroid
Penggunaan
kortikosteroid
sistemik
masih
menjadikan
perdebatan
yang
Antibiotik
Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin dari
antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah ke arah
lebih buruk dan menunjukkan kenaikan dari hitung sel darah putih kedepannya
menunjukkan tanda-tanda sepsis, selanjutnya kultur bakteri dari darah, urine, dan
cairan LCS sebaiknya diambil dan di follow up segera dengan pemberian antibiotik
29
spektrum luas. Penelitian yang dilakukan oleh Kupperman dkk, dari 156 bayi dibawah
umur 24 bulan yang sebelumnya sehat dengan sedikit demam dan menderita
bronkiolitis, menunjukkan bahwa bayi-bayi ini mau tidak mau menderita bakteremia
dan menderita infeksi saluran kemih. Penggunaan rutin dari antibiotik tidak
menunjukkan perbaikan dari bronkiolitis.
Antivirus (Ribavirin)
Ribavirin (1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide) adalah analog
nukleosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan inosin tampaknya di buat
untuk mempengaruhi RNA massenger dan menghambat sintesis protein virus.
Ribavirin mempunyai spektrum luas aktivitas antiviral invitro. Terapi ribavirin untuk
infeksi RSV masih kontroversial dikarenakan masih ada penggunaan aerosol, harga
yang relatif mahal, toxisitas dan efek samping.
Saat ini rekomendasi dari AAP terapi
dipertimbangkan
dengan
ribavirin
aerosol
sedang
RSV:
Diantara mereka dengan komplikasi penyakit jantung kongenital termasuk
a.
b.
c.
berat atau pasien terpasang intubasi dan tidak merespon dengan terapi konvensional.
XII.
Pencegahan
Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak langsung dengan sekret pasien
yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah sakit seperti perhatian khusus
terhadap
kebersihan
tampaknya dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini menggunaan RSV
imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500 - 750 mg/Kg BB) tampaknya dapat
mencegah RSV pada pasien resiko tinggi, sebagai tambahan RSV imunoglobulin
intravena dalam bentuk aerosol dapat memberikan keuntungan pada pasien dengan
bronkiolitis karena RSV. Dalam penelitian baru oleh Rimensberger, dkk, menyimpulkan
bahwa dosis tunggal RSV imunodlobulin intra vena (0,1 gr/Kg BB) tidak menunjukan
keuntungan untuk bronkiolitis akut karena RSV. Saat ini tampaknya ada kerugian yang
ditimbulkan oleh penggunaan human polyclonal RSV- Imunoglobulin antibodi spesifik
pada bayi. Hal ini meliputi penggunaan bulanan secara intra vena antara 2-4 jam.
Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus bronkiolitis karena RSV terjadi pada bayi
umur 2-5 bulan untuk itu vaksinasi dapat menstimulasi keefektifan setelah bayi berumur
2 bulan.
XIII. Prognosis
Bronkiolitis Akut
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama sesudah batuk dan
dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apneu terjadi pada
bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada. Sesudah periode klinis,
perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara drastis. Penyembuhan selesai
dalam beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah 1%, kematian dapat merupakan
akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis respiratorik berat yang tidak
terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipnea serta
ketidakmampuan minum cairan. Bayi yang memiliki keadaan-keadaan, misalnya
penyakit jantung kongenital, dysplasia bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau
kistik fibrosis mempunyai angka morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit
kenaikan angka mortalitas. Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang beresiko
tinggi seperti di masa yang silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang
31
menderita bronkiolitis. VSR ini telah menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5%
pada tahun 1988. Komplikasi bakteri seperti bronkopneumonia atau otitis media, tidak
lazim terjadi. Kegagalan jantung selama bronkiolitis jarang, kecuali pada anak yang
memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi yang bermakna bahwa bayi-bayi yang
menderita bronkiolitis mengalami hiperreaktivitas saluran pernafasan selama akhir masa
anak-anak, tetapi hubungan antara kedua hal ini, jika ada belum dimengerti. Kesan bahwa
satu episode bronkiolitis dapat mengakibatkan kelainan saluran pernafasan kecil yang
jangkanya sangat lama memerlukan pengamatan lebih lanjut. Kelainan ini sebagian dapat
dijelaskan melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki hantaran pernafasan total rendah
lebih mungkin mengalami bronkiolitis dalam responnya terhadap infeksi virus
pernafasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran pernafasan
reaktif kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga asma dan alergi, episode
DAFTAR PUSTAKA
1. Orenstein DM. Bronchiolitis. In: Behrman RE, Kliegen RM, Arvin AM, editors. Nelson
Texbook of Pediatrics. 15th. Toronto: WB Saunders Company; 1987. p. 1211-2.
2. Krilov RL. Respiratory Syncytial Virus Infection. In: Medscape. Steele RW, Kumar A,
Lutwick LI, et al, editors. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/97148832
33