Pengertian Al Qur an
Secara etimologi. Alquran merupakan bentuk mashdar dari kata
qaraa; timbangan kata (wazan)-nya adalah fulan, artinya: bacaan.
Leboh lanjut, pengertian kebahasaan alquran ialah, yang bicara, dilihat
dan telaah.
Adapun dalam pengertian terminologi, terdapat beberapa definisi
Alquran yang dikemukakan ulama. Pada umumnya, ulama ushul figh
mendefinisikan Alquran sebagai berikut.
Alquran ialah firman Allah swt yang diturunkan kepada Muhammad
saw berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah,
dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Sementara itu, menurut Muhammad Ali ash-Shabuni.
Alquran ialah firman Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan
kepada Penutup para nabi dan rasul; (Muhammad saw) melalui
malaikat Jibril, termaktub di dalam mushhaf, yang diriwayatkan
kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah,
dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Sedangkan Ali Hasbullah mendefinisikan:
Al-kitab atau Alquran ialah firman Allah swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw, berbahasa Arab yang nyata, sebagai penjelasan
untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Dari tiga definisi di atas dapat diketahui bahwa pada hakikat Alquran
itu adalah sebagai berikut.
a. Merupakan wahyu yang difirmankan Allah swt baik makna maupun
lafalnya. Dengan demikian, wahyu yang disampaikan hanya dalam
bentuk maknanya saja, sedang lafalnya berasal dari Nabi
Muhammad saw tidak disebut Alquran, melainkan hadits qudsi atau
hadits pada umumnya.
b. Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Artinya, wahyu Allah yang
diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad
saw, seperti: Taurat, Zabur dan Injil, bukanlah Alquran. Dalam pada
itu, Alquran banyak menceritakan kembali dan menyitir wahyu yang
diturunkan Allah swt kepada para nabi dan rasul terdahulu.
c. Bahasa Alquran adalah bahasa Arab. Dengan demikian, terjemahan
Alquran ke dalam bahasa lain atau tafsirnya tidak disebut Alqruan.
Sebab, baik terjemahan maupun tafsir Alquran dapat mengandung
kesalahan. Oleh karena itu pula, terjemahan Alquran ke dalam
bahasa lain atau tafsirnya tidak dapat dijadikan rujukan dan
digunakan sebagai dalil untuk menetapkan hukum (istinbath alahkam)
2. Kehujjahan Alquran
semua ulama sependapat bahwa Alquran merupakan hujjah
bagi setiap muslim, karena ia adalah wahyu dan kitab Allah yang
sifat periwayatannya mutawatir. Periwatan Alquran sendiri, selain
dilakukan oleh orang banyak dari satu generasi ke generasi yang
lain sejak generasi sahabat Nabi saw, juga dilakukan dalam bentuk
lisan dan tulisan, di mana tidak seorang pun berbeda pendapat
dalam periwayatannya, padahal para perawi Alquran tersebut
berbeda-beda suku, bangsa, dan wilayah tempat tinggalnya.
Berdasarkan kanyataan tersebut, keberadaan keseluruhan ayat-ayat
Alquran bersifat pasti (qathi ats-tsbut) sebagai wahyu Allah.
Adapun dari segi qiraah (cara membaca), secara sederhan
dapat dijalaskan sebagai berikut.
Para sahabat Nabi saw. terdiri dari atas berbagai suku masingmasing suku memiliki dialek (pengucapan kata) bahasa Arab yang
khas, yang sebagian dialek bahasa sukunya berbeda dari dialek
bahasa suku yang lain. Dalam membaca Alquran, mereka tidak
dapat menghindarkan diri dari pengaruh dialek masing-masing.
Perbedaan cara membaca Alquran yang dipengaruhi oleh dialek
bahasa suku-suku tersebutlah yang disebut dengan perbedaan
qiraah. Dalam hal ini dikenal denagn ada tujuh qiraah (qiraah
sabah) yang disepakati sebagai qiraah mutawatirah. Para ulama
sepakat menyatakan bahwa qiraah sabah adalah hujjah dalam
istimbath hukum, sejalan dengan statusnya sebagai qiaah
mutawatirah.
Jumhur ulama menegaskan, ketujuh qiraah tersebut ialah,
qiraah Ibnu Kasir di Mekah, Nafi di Madinah, Ibnu Amir di Syam
(Sria), Abu Amru di Basrah, dan dalam qiraah Ashim, hamzah dan
al-Kasai, ketiganya di Kufah. Sementara itu, sebagai ulama lain
menambahkan tiga qiraah lagi, disamping yang tujuh di atas,
termasuk ke dalam qiraah mutawatirah yaitu: qiraah Yaqub, Jafar,
dan qiraah Khalaf. Dengan demikian, ulama kelompok terakhir ini
mengatakan qiraah mutawatirah itu jumlahnya sepuluh (al- qiraah
al-asyar). Akan tetapi belakangan istilah qiraah Alquran
berkembang tidak saja terbatas pada cara membaca yang berbedabeda karena adanya perbedaan dialek bahasa, tetapi juga
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.(qs al-maidah (5)-38).
Sedangkan ulama hanafiyah berpendapat, pencuri yang telah
pernah dijatuhi hukuman potong tangan kanan, tidak dijatuhi
hukuman potong tangan kiri, jika ia mengulangi perbuatan
mencuri. Hal ini didasarkan kepada qiraah Ibnu Masud yang
tidak diakui oleh jumhur.
Dan laki-laki dan perempuan yang mencuri, maka potonglah
tangan kanan keduanya.
Berkaitan dengan qiraah masyhurah dan saydzdzah, perlu
ditegaskan dua hal.
Pertama, para ulama sepakat, semua ayat Alquran yang terdapat
di dalam mushaf Ustmani yang ada pada kita sekarang ini
bersifat qahti ats-tsabut. Artinya, keberadaanya bersifat pasti
berasal dari wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah saw.
1 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Figh, Amzah, Jakarat, 2010. Hlm. 115-122.
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.
Pada ayat yang lain, Alquran menggunakan bentuk kata fil almadhi li al-majhul. Misalnya, perintah puasa yang terdapat
dalam surat al-Baqarah(2):183:
Hai orang-orang yang berimann, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.
Sementara pada ayat yang lain, bentuk perintah Alquran
menggunakan cara menjanjikan kebaikan cara menjanjikan
kebaikan, pahala, dan pujian kepada orang yang melakukan
suatu perbuatan. Misalnya, dalam surah an-Nur (24):52:
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang
bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang
kamu mengetahuinya.
Terkadang Alquran mengemukakan larangan dalam bentuk
ancaman bagi pelaku perbuatan yang dilarangkan. Misalnya,
pada surah an-Nisa (4): 10:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalnyala (neraka).
Pada bagian yang lain, Alquran terkadang menggambarkan
larangan dalam bentuk kalimat berita, tetapi dengan
membacanya diketahui bahwa kalimat berita tersebut berisi
larangan. Misalnya, wanita yang ditalak suaminya tidak boleh
melakukan perkawinan sebelum menjalani masa iddah
selama tiga quru, sebagaimana disebutkan dalam surah alBaqarah (2):228:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.
Sebagaimana perintah, larangan Alquran juga ada yang
bersifat muthlak dan mesti ditinggalkan (haram), tetapi ada
juga yang bersifat anjuran untuk meninggalkannya (makruh).
Selanjutnya, berbeda dengan perintah dan larangan, ada pula
penjelasan Alquran yang ketiga, yaitu yang berkaitan dengan
perbuatan yang dibolehkan (mubah). Untuk menjelaskan
ketentuan perbuatan hukum perbuatan yang bersifat mubah
ini, terkadang Alqruan menjelaskannya dengan menyatakan
perbuatan tersebut halal. Ketika menjelaskan kehalalan jual
beli dan keharaman riba dalam surah al-Baqarah (2):275:
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalakan jual beli
dan mengharamkan riba.
Demikian juga, terkadang Alquran menggunakan penjelasan
suatu perbutan tanpa mengiringinya dengan janji pahala atau
pujian, atau dengan menegasikan dosa (nafy aljunah)
melakukan suatu perbuatan Misalnya, dalam surah an-Nisa
(4):101:
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu menqashar shalatmu, jika kamu takut
2 Ibid. Hlm.125-130.