Anda di halaman 1dari 11

1.

Pengertian Al Qur an
Secara etimologi. Alquran merupakan bentuk mashdar dari kata
qaraa; timbangan kata (wazan)-nya adalah fulan, artinya: bacaan.
Leboh lanjut, pengertian kebahasaan alquran ialah, yang bicara, dilihat
dan telaah.
Adapun dalam pengertian terminologi, terdapat beberapa definisi
Alquran yang dikemukakan ulama. Pada umumnya, ulama ushul figh
mendefinisikan Alquran sebagai berikut.
Alquran ialah firman Allah swt yang diturunkan kepada Muhammad
saw berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah,
dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Sementara itu, menurut Muhammad Ali ash-Shabuni.
Alquran ialah firman Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan
kepada Penutup para nabi dan rasul; (Muhammad saw) melalui
malaikat Jibril, termaktub di dalam mushhaf, yang diriwayatkan
kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah,
dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Sedangkan Ali Hasbullah mendefinisikan:
Al-kitab atau Alquran ialah firman Allah swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw, berbahasa Arab yang nyata, sebagai penjelasan
untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Dari tiga definisi di atas dapat diketahui bahwa pada hakikat Alquran
itu adalah sebagai berikut.
a. Merupakan wahyu yang difirmankan Allah swt baik makna maupun
lafalnya. Dengan demikian, wahyu yang disampaikan hanya dalam
bentuk maknanya saja, sedang lafalnya berasal dari Nabi
Muhammad saw tidak disebut Alquran, melainkan hadits qudsi atau
hadits pada umumnya.
b. Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Artinya, wahyu Allah yang
diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad
saw, seperti: Taurat, Zabur dan Injil, bukanlah Alquran. Dalam pada
itu, Alquran banyak menceritakan kembali dan menyitir wahyu yang
diturunkan Allah swt kepada para nabi dan rasul terdahulu.
c. Bahasa Alquran adalah bahasa Arab. Dengan demikian, terjemahan
Alquran ke dalam bahasa lain atau tafsirnya tidak disebut Alqruan.
Sebab, baik terjemahan maupun tafsir Alquran dapat mengandung
kesalahan. Oleh karena itu pula, terjemahan Alquran ke dalam
bahasa lain atau tafsirnya tidak dapat dijadikan rujukan dan
digunakan sebagai dalil untuk menetapkan hukum (istinbath alahkam)

d. Diriwayatkan secara mutawatir. Artinya, semua ayat Alquran yang


terdapat dalam mushaf Utsmani dijamin kepastian keberadaannya
sebagai wahyu Allah swt, dan tidak satu ayat pun yang termaktub di
dalam mushaf itu yang bukan wahyu Allah swt.

2. Kehujjahan Alquran
semua ulama sependapat bahwa Alquran merupakan hujjah
bagi setiap muslim, karena ia adalah wahyu dan kitab Allah yang
sifat periwayatannya mutawatir. Periwatan Alquran sendiri, selain
dilakukan oleh orang banyak dari satu generasi ke generasi yang
lain sejak generasi sahabat Nabi saw, juga dilakukan dalam bentuk
lisan dan tulisan, di mana tidak seorang pun berbeda pendapat
dalam periwayatannya, padahal para perawi Alquran tersebut
berbeda-beda suku, bangsa, dan wilayah tempat tinggalnya.
Berdasarkan kanyataan tersebut, keberadaan keseluruhan ayat-ayat
Alquran bersifat pasti (qathi ats-tsbut) sebagai wahyu Allah.
Adapun dari segi qiraah (cara membaca), secara sederhan
dapat dijalaskan sebagai berikut.
Para sahabat Nabi saw. terdiri dari atas berbagai suku masingmasing suku memiliki dialek (pengucapan kata) bahasa Arab yang
khas, yang sebagian dialek bahasa sukunya berbeda dari dialek
bahasa suku yang lain. Dalam membaca Alquran, mereka tidak
dapat menghindarkan diri dari pengaruh dialek masing-masing.
Perbedaan cara membaca Alquran yang dipengaruhi oleh dialek
bahasa suku-suku tersebutlah yang disebut dengan perbedaan
qiraah. Dalam hal ini dikenal denagn ada tujuh qiraah (qiraah
sabah) yang disepakati sebagai qiraah mutawatirah. Para ulama
sepakat menyatakan bahwa qiraah sabah adalah hujjah dalam
istimbath hukum, sejalan dengan statusnya sebagai qiaah
mutawatirah.
Jumhur ulama menegaskan, ketujuh qiraah tersebut ialah,
qiraah Ibnu Kasir di Mekah, Nafi di Madinah, Ibnu Amir di Syam
(Sria), Abu Amru di Basrah, dan dalam qiraah Ashim, hamzah dan
al-Kasai, ketiganya di Kufah. Sementara itu, sebagai ulama lain
menambahkan tiga qiraah lagi, disamping yang tujuh di atas,
termasuk ke dalam qiraah mutawatirah yaitu: qiraah Yaqub, Jafar,
dan qiraah Khalaf. Dengan demikian, ulama kelompok terakhir ini
mengatakan qiraah mutawatirah itu jumlahnya sepuluh (al- qiraah
al-asyar). Akan tetapi belakangan istilah qiraah Alquran
berkembang tidak saja terbatas pada cara membaca yang berbedabeda karena adanya perbedaan dialek bahasa, tetapi juga

menyangkut tambahan kata pada ayat-ayat Alquran tertentu, yang


semula berperan sebagai penjelas dari ayat-ayat tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, di dalam membaca dan cara
penyampaian Alquran dikenal empat tingkatan qiraah:
a. Qiraah mutawatirah, yaitu: qiraah yaitu diriwayatankan dari
satu generasi ke generasi lainnya secara kesinabungan, mulai
sejak masa sahabat, oleh banyak orang, yang karena banyak
mereka itu, secara logika, dijamin tidak terdapat kesalahan
dalam periwayatannya. Pada umumnya, qiraah yang ada
termasuk kelompok pertama ini.
b. Qiraah masyhurah, yaitu: qiraah yang diriwayatkan secara
shahih, sejak masa sahabat, oleh sekumpulan orang yang jumlah
perawinya tidak sebanyak perawi qiraah mutawatirah, tetapi
belakangan sejak masa tabiin, sejalan dengan banyak para
perawinya, qiraah ini menjadi mutawatir. Qiraah ini sejalan
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan Rasm Usmani.
Contohnya; qiraah mushhaf Ibnu Masud.
c. Qiraah ahad, yaitu qiraah yang diriwayatkan secara shahih,
yang jumlah periwayatnya tidka sebanyak qiraah masyhurah,
tetapi tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau Rasm
Usmani.
d. Qiraah syadzdzah yaitu qiraah yang dilihat dari jumlah
perawinya tidak sebanyak perawi masyhurah apalagi mutawa
tirah. Jumhur ulama menolak qiraah syadzdzah dipandang
sebagai Alquran. Contohnya qiraah yang nisbahkan kepada
Imam Abu Hanifah yang dikumpulkan oleh Abu Al-fadhl
Muhammad bin Jafar al-Khazai.
Perlu ditegaskan, tinjauan perinkat qiraah dari segi sedikit banyak
para perawi qiraah hanyak berlaku pada tiga generasi saja, yaitu
masa Rasulullah saw, masa sahabat, dan masa tabiin. Sedangkan
pada generasi selanjutnya, banyaknya jumlah perawi tidak lagi
mempengaruhi peringkat qiraah tersebut. Hal ini mengingat pada
generasi-generasi selanjutnya, telah banyak instrumen yang dapat
digunakan, baik secara lisan maupun tulisan, untuk mengubah
status riwayat yang bersifat ahad menjadi mutawatir.
3. Kedudukan Qiraah
Semua ulama sepakat menyatakan, qiraah mutawatirah adalah
Alquran merupakan hujjah. Sebaliknya, jumhur ulama sepakat,
qiraah syadzdzah tidak dapat dipandang sebagai Alquran.
Sementara itu, terjadi perbedaan pendapat tentang kedudukan
qiraah masyhurah. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah memandangnya
sebagai hujjah, sementara ulama lainnya tidak berpendapat seperti

itu, perbedaan pendapat ini antara lain, terlihat dalam kasus-kasus


sebagai berikut.
a. Dalam kasus kifarat sumpah, jumhur ulama tidak menetapkan
persyaratan berturut-turut dalam berpuasa selama tiga hari.
Jumhur ulama berpegang pada teks ayat sebagaimana yang
terdapat di dalam mushaf Ustmani:
Maka barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasa tiga hari.
Sedangkan ulama Hanfiyah mensyratkan puasa tiga hari itu
mesti berturut-turut, mereka mendasarkan pendapat mereka
pada qiraah Ibnu Masud yang membunyi:
Maka barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasa tiga hari
berturut-turut.
Sebagaimana terlihat di atas, pada qiraah Ibnu Masud terdapat
kata-kata mutatabiat. Sementara jumhur ulama tidak mengakui adanya
kata tersebut, karena mereka menolak qiraah Ibnu Masud.
b. Jumhur ulama berpendapat, pencuriyang mengulangi perbuatan
mencurinya, setelah pernah dijatuhi hukum potong tangan pada
tangan kanannya, maka tangan kiri dipotong. Jumhur ulama
berpegang teks ayat yang terdapat pada mushaf Ustmani yang
berbunyi.


Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.(qs al-maidah (5)-38).
Sedangkan ulama hanafiyah berpendapat, pencuri yang telah
pernah dijatuhi hukuman potong tangan kanan, tidak dijatuhi
hukuman potong tangan kiri, jika ia mengulangi perbuatan
mencuri. Hal ini didasarkan kepada qiraah Ibnu Masud yang
tidak diakui oleh jumhur.
Dan laki-laki dan perempuan yang mencuri, maka potonglah
tangan kanan keduanya.
Berkaitan dengan qiraah masyhurah dan saydzdzah, perlu
ditegaskan dua hal.
Pertama, para ulama sepakat, semua ayat Alquran yang terdapat
di dalam mushaf Ustmani yang ada pada kita sekarang ini
bersifat qahti ats-tsabut. Artinya, keberadaanya bersifat pasti
berasal dari wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah saw.

tanpa ada tambahan atau pengurangan sedikit pun,


sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw. kepada para
sahabat beliau. Hal itu dibuktikan melalui periwayatannya yang
semuanya bersifat mutawatir.
Beberapa kata dalam ayat tertentu yang ada pada lahirnya
terlihat berbeda atau bertambah yang terdapat di dalam mushaf
sahabat tertentu, jika dibandingkan dengan mushaf Utsmani,
seperti yang terdapat pada mushaf Ibnu Masud dan Ibnu Abbas,
pada hakikatnya, merupakan penafsiran dari makna ayat
tersebut yang didengan oleh para sahabat, ataupun merupakan
hasil ijtihad mereka sendiri yang dimaksudkan untuk pegangan
mereka sendiri. Akan tetapi belakangan generasi berikutnya
menduga, penafsiran atau hasil ijtihad tersebut merupakan
qiraah sydzdzah. Dengan pemikiran, penambahan atau
perbedaan kata-kata tertentu itu tidak dapat disebut sabagai
ayat Alquran. Kedua, tambahan atau perubahan kata pada ayat
tertentu sebagaimana yang terdapa pada mushaf Ibnu Masud
dan Ibnu Abbas tersebut tidak terdapat pada mushaf Utsmani
yang ada pada kita sekarang.
4. Sifat Qathi dan Zhanni ayat-ayat Alquran
Sebagaimana telah disebutkan, ditinjau dari segi kepastian
keberadaanayat-ayat Alquran, semua ayat Alquran yang terdapat
dalam mushaf Utsmani adalah bersifat qathi ats-tsbut, yang
keberadaannya pasti. Artinya, secara meyakinkan semua ayat-ayat
tersebut pasti berasal dari Rasulullah saw, dan tidak ada satu ayat
atau satu kata pun di dalamnya berasal dari pemikiran atau rekarekaan sahabt. Sebab semua kata-kata dan ayat-ayatnya
diriwayatkan secara mutawatir dan melalui suatu verifikasi ilmiah
yang sangat terpuji, yang sampai sekarang belum ada satu
penelitian ilmiah yang mampu menendingi letilitiannya. Dengan
demikian, tidak ada satu ayat pun di dalam Alquran yang bersifat
zhanni ats-tsubut, yang keberadaanya tidak pasti.
Dalam pada itu, ditinjau dari segi tunjukan (dalalah) makna
yang terkandung di dalamnya, dapat dibagi dua.
a. Ayat-ayat Alquran yang bersifat qathi ad-dalalah.
b. Ayat-ayat Alquran yang bersifat zhanni ad-dalalah.
Adapun yang dimaksud dengan ayat-ayat Alquran yang bersifay
qathi ad-dalalah ialah, ayat-ayat yang tunjukan maknanya bersifat
pasti, dalam arti, hanya mangandung satu makna saja. Ayat-ayat
yang bersifat qothi ad-dalalah ini, antara lain, ayat-ayat yang
menjelaskan tentang pokok-pokok keimanan, seperti: tentang
keesaan Allah, keberadaan dan misi para Rasul, tentang malaikat,
kitab-kitab suci yang diturunkan dan tentang kepastian datang hari

kiamat; tentang kewajiban-kewajiban utama sebagaimana yang


rumuskan dalam rukun Islam, dan beberapa masalah hukum Islam
ynag lainnya, seperti haramnya riba dan makan babi; tentang
tujuan-tujuan utama pesyriatan hukum Islam (maqashid asysyariah), yaitu meraih manfaat dan kemaslahatan, serta menolak
bahaya dan kemudharatan.
Ayat-ayat yang bersifat qothi ad-dalalah, jika dilihat secara sendirisendiri dan terpisah dari ayat-ayat lainnya, dapat saja bersifat
zhanni (relatif). Akan tetapi kaena didukung oleh penjelasan dari
berbagai ayat maupun keterangan hadits yang sangat kuat, maka
maknany berubah menjadi bersifat qathi(pasti).
Selanjutnya, yang dimaksud dengan ayat-ayat Alquran yang bersifat
zhanni ad-dalalah ialah, ayat-ayat yang tunjukan maknanya
mengandung lebih dari satu makna. Meskipun keberadaan
teks/redaksi/nashsh semua ayat-ayat Alquran bersifat pasti, namun
dari segi makna yang terkandung di dalam ayat-ayatnya, terdapat
banyak dengan prinsip-prinsip zhanni ad-dalalah.1
5. Karakteristik dan Bentuk-Bentuk penjelasan Hukum Alquran.
Perlu segera ditegaskan bahwa Aluran bukanlah kitab hukum,
apalagi kitab undang-undang yang menampilkan diri sendiri sebagai
kumpulan peraturan yang bersifat sistematis dan terperinci pasal
demi pasal dan bersifat spesifik.
Sebagaimana ditegaskan Alquran sendiri, sebagai kitab
wahyu, fungsi Alquran, antara lain:
a. Sebagai al-Huda (petunjuk) bagi manusia yang bertakwa
untuk keselamatan dan kebahagiaan nya di dunia dan di
akhirat;
b. Sebagaimana rahnat yang mengantarkan manusia untuk
hidup dengan penuh kasih sayang, dan sebagai bukti
bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang;
c. Sebagai mawizah (bimbingan dan pengajaran) bagi
manusia untuk mencapai keluhuran dan kesucian
fitrahnya; sebagai tibyan (penjelasan) dan tafshil
(pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu diketahui
manusia untuk kepentingan keselamatannya didunia dan
akhirat;
d. Sebagai furqan(pembeda antara yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah, yang berada dalam
jalan yang benar dan yang sesat);
e. Sebagai nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk
menasihat kebenaran dan menjadi benar dalam hidupnya.

1 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Figh, Amzah, Jakarat, 2010. Hlm. 115-122.

Akan tetapi, meskipun Alquran bukan kitab undang-undang,


namun di dalam fungsinya sebagai furqan, tafshil dan tibyan,
Alquran mengandung ayat-ayat yang berisi ketentuanketentuan hukum Islam. Sesuai dengan kedudukannya
sebagai sumber hukum utama dan pertama dari Hukum Islam,
sebagaimana juga halnya dengan undang-undang dasar suatu
negara, anturan dan ketentuan hukum yang terdapat di
dalamnya, pada umumnya mengatur hal-hal yang bersifat
umum dan pokok. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuanketentuan tersebut dijabarkan oleh sunnah Nabi saw.
Ketentuan-ketentuan hukum Islam yang terdapa di dalam
Alquran ada yang bersifat perintah, bersifat larangan, dan
ada pula yang bersifat pilihan untuk berbuat atau tidak
berbuat.
Untuk menggambarkan suatu perintah, Alquran menggunakan
bentuk-bentuk unkapan kalimat yang berbeda-beda.
Terkadang Alquran menggunakan kalimat perintah secara
langsung dalam bentuk fil al-amr. Misalnya, dalam surah anNisa(4):77:



Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.
Pada ayat yang lain, Alquran menggunakan bentuk kata fil almadhi li al-majhul. Misalnya, perintah puasa yang terdapat
dalam surat al-Baqarah(2):183:



Hai orang-orang yang berimann, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.
Sementara pada ayat yang lain, bentuk perintah Alquran
menggunakan cara menjanjikan kebaikan cara menjanjikan
kebaikan, pahala, dan pujian kepada orang yang melakukan
suatu perbuatan. Misalnya, dalam surah an-Nur (24):52:

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya takut


kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah
orang-orang yang mendapat kemengan.
Selain menggunakan bentuk perintah yang berbeda-beda,
bentuk perintah Alquran itu sendiri ada yang menunjukan
pengertian mesti dilaksanakan (wajib), di mana
pelaksanaannya bersifat suatu kemestian, ada pula yang
menunjukan ajaran(sunnah, mustahab).
Selanjutnya. Sebagaimana bentuk-bentuk perintah, bentuk
larangan Alquran juga digambarkan dalam bentuk yang
berbeda-beda. Terkadang Alquran mengemukakan
larangannya dalam bentuk kalimat larangan secara langsung,
misalnya, dalam surah al-Baqarah (2):42:


Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang
bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang
kamu mengetahuinya.
Terkadang Alquran mengemukakan larangan dalam bentuk
ancaman bagi pelaku perbuatan yang dilarangkan. Misalnya,
pada surah an-Nisa (4): 10:



Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalnyala (neraka).
Pada bagian yang lain, Alquran terkadang menggambarkan
larangan dalam bentuk kalimat berita, tetapi dengan
membacanya diketahui bahwa kalimat berita tersebut berisi
larangan. Misalnya, wanita yang ditalak suaminya tidak boleh
melakukan perkawinan sebelum menjalani masa iddah
selama tiga quru, sebagaimana disebutkan dalam surah alBaqarah (2):228:

Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahandiri


(munggu( tiga kali quru
Terkadang Alquran menyampaikan larangan dengan
menyebut hukum perbuatan yang dilarang. Misalnya dalam
surah al-Maidah,(5):3:


Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.
Sebagaimana perintah, larangan Alquran juga ada yang
bersifat muthlak dan mesti ditinggalkan (haram), tetapi ada
juga yang bersifat anjuran untuk meninggalkannya (makruh).
Selanjutnya, berbeda dengan perintah dan larangan, ada pula
penjelasan Alquran yang ketiga, yaitu yang berkaitan dengan
perbuatan yang dibolehkan (mubah). Untuk menjelaskan
ketentuan perbuatan hukum perbuatan yang bersifat mubah
ini, terkadang Alqruan menjelaskannya dengan menyatakan
perbuatan tersebut halal. Ketika menjelaskan kehalalan jual
beli dan keharaman riba dalam surah al-Baqarah (2):275:


Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalakan jual beli
dan mengharamkan riba.
Demikian juga, terkadang Alquran menggunakan penjelasan
suatu perbutan tanpa mengiringinya dengan janji pahala atau
pujian, atau dengan menegasikan dosa (nafy aljunah)
melakukan suatu perbuatan Misalnya, dalam surah an-Nisa
(4):101:








Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu menqashar shalatmu, jika kamu takut

diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir


itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian tentang sifat qathi
dan zhanni dari tunjukan makna dan ayat-ayat Alquran, maka
dalam memahmi ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum,
tidak terlepas dari ketegori tesebut. Artinya, ada perintahperintah dan larangan Alquran berdifat jelas maknanya (qathi
ad-dalalah), tetapi ada pula yang bersifat tidak jelas
maknanya(zhanni ad-dalalah). Untuk memahami ayat-ayat
Alquran dalam bentuk zhanni ad-dalalah diperlukan
penjelasan dari hadist-hadtis Nabi saw, ataupun melalui
penelitian-penelitian ilmiah yang berdasarkan metodologi dan
pendekatan yang benar.
6. Ayat-ayat tentang Hukum Dalam Alquran
Sebagaimana telah dijelaskan, Alquran bukanlah kitab hukum,
karena ayat-ayat Akquran yang mengandung hukum, menurut
sebagian pendapat hanya sekitar 500 ayat. Bahkan meurut ulama
lainnya, hanya sekitar 150 ayat. Ayat-ayat Alquran yang berkaitan
dengan masalah hukum yang jumlahnya sangat terbatas itu, berisi
aturan-auturan tentang hubungan manusia dengan Allah swt,
hubungan antarasesama manusia, dan hubungan antara manusia
dengan alam sekitarnya.
Ayat-ayat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt.
disebut ibadah. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadahibadah lainnya. Adapun hubungan antara sesama manusia, secara
garis besar disebut dengan muamalah. Dalam kelompok ini,
termasuk di dalamnya:
1. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tranksaksi-transaksi
bisnis(jual beli,sewa menyewa, utang piutang, gadai dan upah)
dan yang berkaitan dengan harta lainnya (muamalah dalam arti
sempit):
2. Ketentuan-ketentuan tentang perkawinan (munakahah), dan
yang berkaitan dengannya, seperti: perceraian, talak, rujuk,
pengasuhan anak, dan lain-lain;
3. Ketentuan-ketentuan tentang masalah kewarisan (mirats) dan
wasia;
4. Ketentuan-ketentuan tentang hukum pidana (jinayat), seperti;
pencurian, perampokan, perusakan harta benda, pembunuhan,
dan perzinaan, dan semua masalah yang berkaitan dengan
kejahatan terhadap harta dan seksual;
5. Ketentuan-ketentuan tentang peradilan (murafa at/qadha),
misalnya: gugatan, pembuktian, banding dan lain-lain;
6. Ketentuan-ketentuan tentang masalah-masalah politik dan tata
negara, misalnya: persyaratan dan pengangkatan kepala negara,

pertahanan, dan keamanan, sumber-sumber pendapatan negara


dan keuangan negara;
7. Ketentuan-ketentuan tentang hubungan antarnegara (ahkam aldualiyyah), baik bilateral maupun unilateral, batas-batas wilayah
negara, perjanjian-perjanjian antar negara, keadaan damai dan
perang, tawanan perang, pampasan perang, dan masalahmasalah lainnya.
Sebagaimana telah dijelaskan, mengingat bahwa ayat-ayat
Alquran yang berkaitan dengan masalahhukum bersifat terbatas,
maka sebagian besar dari masalah-masalah di atas di atur dalam
bentuk garis besarnya dan dasar-dasar pokoknya saja. Ketentuan
lebih memperinci memerlukan penjelasan dari hadis maupun
ijtihad, baik terhadap ayat-ayat Alquran maupun hadits.
Meskipun ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan masalah
hukum bersifat terbatas dan sebagian besar hanya mengtur
dasar-dasar dan masalah pokok-pokok saja, namun Alquran
berkdudukan sebagai sumber hukum utama, maka semua
ketentuan yan ada di bawahnya, baik berupa hadits, apalagi
ijtihad, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Alquran.2

2 Ibid. Hlm.125-130.

Anda mungkin juga menyukai