Jurnal Wahana 1332646817 PDF
Jurnal Wahana 1332646817 PDF
Jurnal Wahana 1332646817 PDF
Oleh
Bodja Suwanto
Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang
Jalan Prof. H. Sudharto,S.H. Semarang
Abstrak
Curing is a process between resin and hardener (for epoxy resin) or catalyst
where resin will begin to become more viscous until it reaches a state when it no
longer a liquid and has lost its ability to flow(gel point) the resin will continue to
harden after it has gelled, until, at some time later, has obtained its full hardness
and properties, this reaction itself is accompanied by the generation of exothermic
heat, which in turn, speed the reaction. Post curing itself is a next step process to
curing process where resin is re-heated with various temperatures in order to
increases the natural of resin mechanical properties. This paper addresses the
problem of determining the effect of post-curing to one layer plain type woven
banana fiber reinforced epoxy resin composite tensile strength at various
temperatures (70oC, 80oC, 90oC, and 100oC ) with 60 minutes holding time curing
temperature. After the test, the one layer plain type composite show the increase
of tensile strength with maksimum tensile strength of 40.26 % occure at 1000 C
post-curing composite if compared to non treatment composite.. It happen
because the curing process have reached the glass transition temperature ( Tg )
PENDAHULUAN
Dengan perkembangan dunia industri sekarang ini, kebutuhan material untuk
sebuah produk bertambah. Penggunaan material logam pada berbagai komponen
produk semakin berkurang. Hal ini diakibatkan oleh beratnya komponen yang
terbuat dari logam, proses pembentukannya yang relatif susah, dapat mengalami
korosi dan biaya produksinya mahal. Oleh karena itu, banyak dikembangkan
material lain yang mempunyai sifat karekteristik yang sesuai dengan karakteristik
material logam yang diinginkan. Salah satu material yang banyak dikembangkan
saat ini adalah komposit. Komposit adalah bahan kombinasi antara dua atau lebih
komponen atau material yang memiliki sejumlah sifat yang tidak mungkin
dimiliki oleh masingmasing komponen tersebut.
Secara umum komposit tersusun dari material pengikat (matriks) dan material
penguat (reinforce). Logam, keramik, dan polimer dapat digunakan sebagai
material pengikat pada pembuatan komposit tergantung dari sifat yang ingin
dihasilkan. Namun, polimer merupakan material yang paling luas digunakan
sebagai matriks dalam komposit modern yang lebih dikenal dengan reinforced
plastic.
Dalam pengujian yang dilakukan oleh Nurcahyo et all (2004) menguji variasi
temperatur curing, yang dapat membuat kekuatan tarik komposit menjadi optimal.
Dalam pengujian yang dilakukan oleh Bernard Korompis (2005) didapatkan
variasi jumlah serat meningkatkan kekuatan tariknya. Dengan melakukan
pengujian berdasarkan variasi temperatur curing dan pemakaian serat dengan
model woven pada komposit yang diperkuat dengan serat pisang diharapkan akan
diperoleh kekuatan tarik yang jauh lebih baik. Hal ini dikarenakan beberapa
model komposit yang digunakan di pasaran dunia industri menggunakan model
woven.
Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah menjelaskan kekuatan tarik
komposit epoksi resin yang diperkuat dengan woven serat pisang dan
menganalisis pengaruh perlakuan panas terhadap komposit epoksi resin model
woven terhadap kekuatan tarik dan perpanjangannya.
Dalam penelitian ini dibuat batasan masalah yang meliputi serat yang digunakan
adalah serat alam yang berupa serat pisang sebagai material pengisi (filler), serat
pisang diambil dari batang pohon pisang kapok, plastik yang digunakan adalah
dari jenis thermosetting, yaitu epoksi resin dipilih sebagai matriks, drientasi serat
yang digunakan adalah woven atau serat yang dianyam, temperatur curing
dilakukan pada suhu ruangan berkisar 250C, variasi temperatur curing yang
digunakan adalah 700 C, 800C, 900C, dan 1000C, bentuk spesimen berdasarkan
standar pengujian tarik JIS, dan model woven adalah satu model dengan bentuk
anyaman seperti anyaman saling silang.
Komposit merupakan campuran dari dua atau lebih material penyusun atau fase
yang berbeda. Namun, definisi ini saja belum lengkap dan masih ada dua kriteria
lain yang harus dipenuhi bagi material untuk dapat dikatakan sebagai komposit.
Pertama, material penyusun komposit harus mempunyai proporsi jumlah yang
jelas, katakanlah lebih besar dari 5 %. Kedua, material penyusunan memiliki sifat
yang berbeda, dan juga sifat dari komposit yang terbentuk berbeda dari sifat-sifat
material penyusunan.
Dalam komposit terdapat dua atau lebih fase yang dipisahkan oleh lapisan
pembatas, Lapisan ini penting untuk membedakan material penyusunnya. Material
penyusun yang mempunyai sifat kontinu dan sering memiliki jumlah yang lebih
besar pada komposit disebut matriks. Sifat-sifat matriks inilah yang biasanya
meningkat ketika digabungkan dengan material penyusun lain untuk membentuk
komposit. Sebuah komposit bisa memiliki matriks dalam bentuk keramik, logam,
maupun polimer, sedangkan material penyusun lainnya adalah material penguat
(reinforcement) yang bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik dari
matriks tersebut. Geometri material penguat merupakan salah satu parameter
utama dalam menentukan efektivitas penguatan, dangan kata lain sifat-sifat
mekanik dari komposit sangat bergantung kepada bentuk dan dimensi dari
material penguatnya. Geometri tersebut meliputi konsentrasi penguat, ukuran,
tebal lapisan penguat, jarak penyusunan dan orientasinya. [Matthews, F.L,
1999:.3]
Ada dua hal yang harus diperhatikan pada komposit yang diperkuat agar dapat
efektif yaitu yang pertama komponen penguat harus memiliki modulus elastisitas
yang lebih tinggi daripada komponen matriksnya. Yang kedua harus ada ikatan
permukaan yang kuat antara komponen penguat dan matriksnya. Fungsi matriks
adalah untuk mendukung dan mengikat reinforcement, mentransfer beban antar
reinforcement, dan melindungi reinforcement dari perubahan eksternal.
COMPOSITE MATERIAL
SINGLE-LAYER
COMPOSITES
MULTILAYERED
(ANGLE-PLY
COMPOSITES)
LAMINATES
CONTINUOUS FIBER
REINFORCED
COMPOSITES
UNIDIRECTIONAL
REINFORCEMENT
PARTICLE REINFORCED
COMPOSITES (PARTICLE
COMPOSITES)
RANDOM
ORIENTATION
PREFERRED
ORIENTATION
HYBRIDS
DISCONTINUOUS FIBER
REINFORCED
COMPOSITES
BIDIRECIONAL
REINFORCEMENT
(WOVEN
REINFORCEMENT)
RANDOM
ORIENTATION
PREFERRED
ORIENTATION
Material matrik yang paling banyak digunakan adalah dari jenis polimer maupun
plastik yang lebih dikenal dengan istilah reinforceed plastics. Kelebihan matrik
polimer atau plastik jika dibandingkan dengan logam adalah plastik mempunyai
densitas yang jauh lebih kecil. Keuntungan ini semakin terlihat ketika modulus
young per unit massa E/ (modulus spesifik) maupun tegangan tarik per unit
massa / (tegangan spesifik) mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini berarti berat
dari komponen dapat dikurangi. Pengurangan berat ini akan mengakibatkan
pengurangan kebutuhan energi dan biaya. Pada reinforceed plastics dapat dipilih
matriks dari jenis thermoplastic atau thermosetting.
Serat merupakan bagian penting dalam penyusunan komposit, karena fungsi serat
sebagai penguat komponen material dasar (matriks).
Komposit tipe woven adalah komposit yang tidak mudah dipengaruhi pemisahan
antar lapisan karena susunan seratnya juga mengikat antar lapisan, tetapi susunan
serat memanjangnya yang tidak begitu lurus mengakibatkan kekuatan tidak sebaik
tipe continuous fiber. (Gibson, F. R, 1994: 5)
Serat yang digunakan kali ini adalah serat pisang yang termasuk dalam jenis
vascular fibers, berasal dari batang tanaman pisang (Musa x Paridasiaca). Selain
mudah diperoleh, serat pisang juga memiliki potensi untuk digunakan bahkan di
dalam dunia industri sekalipun. Salah satu family dari tanaman pisang yaitu abaca
telah lama digunakan dalam pembuatan uang, kantung teh, dan kertas manila yang
terkenal. Bahkan, kekuatan tariknyapun termasuk salah satu yang tertinggi di
antara serat-serat alam lainnya.
Tabel 1 Sifat mekanik beberapa jenis serat alam
[Biagiotti Jerico. Mechanical Properties of Same Natural Fibers]
FIBERS
Cotton
Wool
Silk
Coir
Hemp
Flex
Abaca
Jute
Sisal
348 816
2500
2900
3200
Ramie
E-Glass
Aramid
Carbon HR
53400
74000
134000
230000
Keluarga besar epoksi resin memiliki beberapa resin berkemampuan tinggi yang
tersedia dewasa ini. Epoksi biasanya memiliki sifat mekanik dan ketahanan
terhadap pengaruh akibat lingkungan dimana hampir semuanya sesuai untuk
aplikasi dalam komponenkomponen pesawat terbang.
(ahesive)
dan ketahanan terhadap air membuat epoksi resin cocok untuk digunakan untuk
membuat badan kapal. Di ini epoksi banyak digunakan sebagai material
konstruksi utama untuk perahu kemampuan tinggi atau dipakai sebagai pelapis
dinding atau pengganti polyester resin atau pelapis gel yang rusak oleh pengaruh
air.
Kata epoksi berasal dari grup kimia yang terdiri dari atom oksigen yang diikat
dengan dua atom karbon yang sudah diikat dengan cara tertentu. Bentuk epoksi
yang paling sederhana adalah struktur cincin dengan tiga anggota yang disebut
alphaepoksi atau
cepat dicuring pada temperature mulai dari 5oC sampai dengan 150oC, bergantung
dengan pemakaian agen curing. Salah satu sifat epoksi yang paling penting adalah
kecilnya penyusutan bentuk selama curing untuk mengurangi tegangan dalam.
Kekuatan penyerapan yang tinggi dan sifat mekanik yang tinggi juga
meningkatkan sifat isolator listrik, dan ketahanan kimia yang baik. Epoksi
biasanya digunakan sebagai bahan pengikat (adhsives), campuran caulking,
campuran pengecoran, sealant, pernis dan cat, juga resin laminasi yang
diaplikasikan dalam beberapa industri.
Epoksi resin dibentuk dari rangkaian panjang struktur molekul mirip vinylester
dengan titik reaktif pada kedua sisi. Akan tetapi, pada epoksi resin titik reaktif ini
bukannya terdiri dari grup ester melainkan terdiri dari grup epoksi. Ketiadaan
grup ester berarti resin epoksi memiliki ketahanan yang baik terhadap air.
Molekul epoksi juga menyimpan dua grup cincin pada titik tengahnya yang dapat
menyerap baik tekanan maupun temperatur lebih baik dibandingkan grup linier
sehingga epoksi resin memiliki ketangguhan, kekakuan, dan ketahanan terhadap
panas yang sangat baik.
Gambar berikut manunjukkan suatu struktur kimia ideal dari epoksi resin.
Perhatikan ketiadaannya grup ester dalam ikatan molecular.
Epoksi berbeda dengan polyester resin dimana epoksi di curing dengan pengeras
(hardener) sedangkan polyester mengunakan katalis. Bahan pengeras, biasanya
amine, biasanya digunakan untuk meng-curing epoksi dengan reaksi tambahan
dimana kedua material diletakan dalam suatu reaksi kimia. Reaksi kimiawi dari
kedua bahan ini biasanya terjadi dimana dua atom epoksi diikat oleh sebuah atom
amine. Hal ini akan membentuk struktur komplek molekular tiga dimensi.
Karena molekul amine ikut bereaksi dengan molekul epoksi dalam perbandingan
yang tetap (1:1 atau 2:1) sangatlah penting untuk memastikan rasio pencampuran
antara resin dan pengeras tepat untuk memastikan reaksi dapat sempurna yang
terjadi apabila amine dan epoksi tidak dicampur dengan rasio yang benar, resin
atau pengeras yang tidak ikut akan bereaksi akan tertinggal dalam matriks yang
akan mempengaruhi hasil akhir setelah dicuring. Untuk membantu pencampuran
yang akurat antara resin dengan pengeras, produsen biasanya memformulasi
komponenkomponen untuk memberikan rasio sederhana dimana dapat mudah
dicapai dengan mengukur volume atau berat dari masingmasing komponen.
METODE PENELITIAN
Hand lay-up atau contact molding adalah proses yang paling tua dan paling
mudah untuk membentuk plastik yang diperkuat serat. Serat dan resin
ditempatkan pada cetakan dan udara yang terperangkap dihilangkan dengan alat
penyapu atau roller (Gambar 6). Lapisan-lapisan serat dan resin ditambahkan
sebagai penambah untuk ketebalan. Jika lapisan dengan kualitas tinggi yang
diinginkan, gel coat (resin dengan permukaan yang diberi pewarna) ditambahkan
pada cetakan sebelum lay-up. Lay-up biasanya dilakukan pada temperatur kamar,
tetapi panas bisa digunakan untuk mempercepat curing. Resin yang biasanya
digunakan dalam hand lay-up adalah polyesters dan epoxies. Polyesters disukai
karena biaya yang rendah, luas penggunaannya, dan kemudahan dalam
penanganannya. Sedangkan epoxies lebih mahal dan lebih sukar dalam
perumusannya. [Schwartz,: 4)
10
11
Diagram alir dari penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
MULAI
PEMBUATAN
SERAT PISANG
PEMBUATAN
CETAKAN
PEMBUATAN
SPESIMEN
POST-CURING
TERHADAP
SPESIMEN
PENGUJIAN TARIK
SPESIMEN
KEKUATAN TARIK
ANALISA DATA
DAN KESIMPULAN
SELESAI
Gambar 7. Diagram alir penelitian
12
Untuk mendapatkan serat pisang bisa diperoleh dari batang pohon pisang tersebut
dan masih menggunakan metode secara manual dan masih sangat sederhana,
tetapi sangat mudah untuk dilakukan. Tahapan proses untuk mendapatkan serat
dari batang pohon pisang yang terdiri dari lapisan-lapisan pelepah pohon pisang
berikut, yaitu:
a. memilih dan memotong batang pohon pisang yang diperkirakan sudah tua dan
terlihat agak menguning atau kelihatan sudah layu;
b. memilih batang pohon pisang yang masih dalam keadaan yang masih bagus,
lembab, dan belum mongering; membersihkan batang dari pelepah-pelepah
yang telah rusak dan mengering pada bagian tepi atau bagian paling luar pada
batang pohon pisang; memisahkan batang pohon pisang yang terdiri dari
lapisan-lapisan pelepah dengan melepaskan tiap lapisan pelepah secara
terpisah dari lapisan yang lain;
c. memotong pelepah-pelepah batang pohon sesuai bagian pelepah dengan
ukuran-ukuran yang seragam di antara pelepah-pelepah yang satu dengan yang
lain ;
d. memsaukkan potongan-potongan pelepah ke dalam air untuk proses
perendaman dalam jangka waktu tertentu
13
Serat pisang yang dihasilkan berwarna putih atau kuning dan kelebihan serat
pisang adalah tidak kaku walaupun sudah dalam kondisi mengering. Serat yang
sudah diproses tersebut dipotong dengan panjang sekitar 300 mm dan ditimbang
menggunakan timbangan digital.
14
epichlorohydrin) Bakelite EPR 174, Diperoleh dari toko bahan kimia PT Justus
Kimia Raya, Jalan Indraprasta Semarang. Dengan datadata spesifikasi epoksi
resin yang dipergunakan adalah sebagai berikut.
a. Viskositas pada 25o C
15
b. Nomor Epoksi
22.7 + 0.6 %
c. Ekuivalen Epoksi
189 + 5
d. Nilai Epoksi
g/equiv
< 0.2 %
< 0.05 %
g. Warna
< 1 Gardner
Tipe serat yang digunakan adalah serat panjang yang dianyam (woven) dengan
variasi suhu curing, di mana jumlah serat dalam tiaptiap spesimen relatif sama.
Fraksi berat
a. Rata rata massa 1 spesimen tanpa serat = 49
b. Massa serat
gram
= 0, 200 gram
V W
0.2 gram
0.004
49 gram
0.004 c 2,66.10 6 c
f
1500
c f V r Vr f V r 1 V
c 1500V 11801 V
c 15002,66 10 6 c 11801 2,66 10 6 c
c 3.990 10 3 c 1180 3.1388 10 3 c
c 3.990 10 3 c 3.1388 10 3 c 1180
0.99914 c 1180
c 1181.0052
Didapat massa jenis komposit : c 1181.0052kg / m 3
sehingga , V = 2,66 . 10-6 . c
. Jadi,
V = 2,66 . 10 -6 . 1181.0052
16
Diameter serat pisang yang digunakan pada pengujian adalah 0.2 mm. Untuk
mengetahui kekuatan tarik serat pisang kemudian dilakukan pengujian kekuatan
tarik menggunakan mesin uji tarik. Dari hasil pengujian tarik didapatkan data
sebagai berikut.
Tabel 2. Pengujian Kekuatan Tarik Serat Pisang.
Pengujian
240
320
370
Rata rata
310
F 0.3100 9.81
96.70MPa
A
0.12
Pemasangan serat dilakukan dengan cara meletakan serat diatas cetakan kaca yang
sebelumnya sudah dilapisi perekat untuk memudahkan dalam pemasangan dengan
jarak tertentu pada spesimen yang akan dibuat menggunakan jarak 3 mm. Setelah
serat tersebut terpasang rapi di atas kaca, maka bagian kaca yang akan
bersentuhan dengan resin yang akan dicetak diolesi dengan vaseline/MAA untuk
memudahkan dalam pelepasan cetakan dan spesimen.
17
memiliki sifat mekanis yang lebih rendah bila dibandingkan dengan model woven
yang lain.
18
: Controllab
F
A
(a)
(b)
Gambar 13 (a) adalah Mesin Uji Tarik dengan Kapasitas Maksimum 1.000 kg, dan (b) adalah
ekstensiometer dengan ketelitian 0,05 mm.
HASIL
Tujuan dari dilakukan proses curing adalah memperbaiki sifatsifat yang dimiliki
oleh komposit. Proses curing dilakukan dengan cara memanaskan material benda
uji tersebut pada temperatur tertentu, tetapi temperatur tersebut tidak boleh
19
Temperatur curing tidak boleh melewati batas melting temperature karena jika
telah melebihi temperatur ini maka material akan menjadi leleh dan mencair
sehingga berubah menjadi liquid. Untuk komposit yang tanpa mengalami proses
perlakuan panas, kekuatan tariknya dapat dilihat pada tabel 3 dan Gambar 14. .
Tabel. 3. Kekuatan tarik komposit pemanasan 700 C
Variasi
28.18 Mpa
30.00 Mpa
32.14 MPa
Rata rata
30.106 MPa
20
TEGANGAN TARIK
(MPa)
33
32
31
30
29
Tanpa Pemanasan
28
27
26
1
VARIASI
Yang dimaksud dengan proses curing adalah spesimen yang dipanaskan pada
suhu 70oC (Tabel 4), dan dilakukan variasi waktu pemanasan sehingga akan
didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan.
Tabel. 4. Kekuatan tarik komposit pemanasan 700C
variasi
28.18 Mpa
34.54 Mpa
30.00 Mpa
31.818 Mpa
32.14 MPa
35.576 MPa
Rata rata
30.106 MPa
33.979 MPa
21
40
35
30
25
Tanpa Pemanasan
20
15
Pemanasan 70
derajat celcius
10
5
0
1
VARIASI
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 700
C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik
apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa
pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk
komposit setelah proses pemanasan 700 C adalah sebagai berikut.
3.873
33.979 30.106
x100% 12.86%
x100%
30.106
30.106
Proses curing disini adalah spesimen yang dipanaskan pada suhu 80oC, dan
dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan didapatkan data kekuatan tarik
spesimen setelah mengalami proses pemanasan ( Tabel 5 dan Gambar 16) .
Tabel. 5. Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 800 C
variasi
28.18 Mpa
37.383 Mpa
30.00 Mpa
45.918 Mpa
32.14 MPa
34.545 Mpa
Rata rata
30.106 MPa
39.282 Mpa
22
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Tanpa pemanasan
Pemanasan 80
derajat celcius
VARIASI
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 800C
pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik
apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa
pemanasan.
x100%
30.106
30.106
Yang dimaksud dengan proses curing disini adalah spesimen yang dipanaskan
pada suhu 90oC, dan dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan
didapatkan data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan
(Tabel 6 dan Gambar 17).
Tabel. 6 Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 900 C
variasi
28.18 Mpa
42.857 Mpa
30.00 Mpa
43.636 Mpa
32.14 MPa
37.391 Mpa
Rata rata
30.106 MPa
41.294 Mpa
23
45
40
35
30
25
Tanpa pemanasan
20
Pemanasan 90 derajat
celcius
15
10
5
0
1
VARIASI
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 900
C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik
apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa
pemanasan. Besarnya peningkatan rata-rata kekuatan tarik maksimum untuk
komposit setelah proses pemanasan 900C adalah sebagai berikut:
11.188
41.294 30.106
x100% 37.16%
x100%
30.106
30.106
Yang dimaksud dengan proses curing adalah spesimen yang dipanaskan pada
suhu 100oC, dan dilakukan variasi waktu pemanasan, sehingga akan didapatkan
data kekuatan tarik spesimen setelah mengalami proses pemanasan (Tabel 7 dan
Gambar 18).
Tabel. 7. Kekuatan Tarik Komposit Pemanasan 1000 C
variasi
28.18 Mpa
45.454 Mpa
30.00 Mpa
40.00 Mpa
32.14 MPa
41.228 MPa
Rata rata
30.106 MPa
42.227 MPa
24
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Tanpa pemansan
Pemanasan 100 derajat
celcius
VARIASI
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa setelah dilakukan proses pemanasan 1000
C pada spesimen yang diperkuat serat pisang terjadi peningkatan kekuatan tarik
apabila dibandingkan dengan spesimen yang diperkuat serat pisang tanpa
pemanasan. Besarnya peningkatanrata-rata kekuatan tarik maksimum untuk
komposit setelah proses pemanasan 1000C adalah sebagai berikut ( Tabel 8, 9, 10,
dan Gambar 19).
12.121
42.227 30.106
x100% 40.26%
x100%
30.106
30.106
Rata - rata
( mm2 )
( MPa )
( MPa )
3100
110
28.18
3300
110
30.00
3600
112
32.14
3800
110
34.54
3500
110
31.818
3700
104
35.576
No
PERLAKUAN
1
2
5
6
Non perlakuan
Pemanasan 70oC
(Newton)
30.106
33.979
25
4000
107
37.383
4500
98
45.918
3800
110
34.545
10
4500
105
42.857
4800
110
43.636
12
4300
115
37.391
13
5000
110
45.454
4400
110
40.00
4700
114
41.228
11
14
Pemanasan 80oC
Pemanasan 90oC
Pemanasan 100oC
15
39.282
41.294
42.227
No
PERLAKUAN
A
2
Rata - rata
( MPa )
(Newton)
( mm )
( MPa )
2800
100
28.00
3000
105
28.57
3300
98
33.67
3000
100
30.00
3400
105
32.38
3500
102
34.31
3800
105
36.19
4000
110
36.36
4250
110
38.63
10
4000
116
34.48
4200
104
40.38
12
4500
103
43.68
13
4500
108
41.66
4600
105
43.80
4300
100
43.00
1
2
11
14
15
Non perlakuan
Pemanasan 70oC
Pemanasan 80oC
Pemanasan 90oC
Pemanasan 100oC
30.081
32.231
37.063
39.518
42.825
26
SPESIMEN
1
2
Serat Pisang
Rata rata
( MPa )
( MPa )
F ( kgf )
R (mm)
0.240
0.10
74.94
0.320
0.10
99.92
0.380
0.10
118.66
45
40
35
30
25
20
15
10
5
97.84
tanpa serat
serat woven
0
Non
perlakuan
70
80
90
100
Gambar 19. Grafik Kekuatan Tarik Spesimen Tanpa Serat dengan Spesimen Menggunakan Serat
Woven
27
PEMBAHASAN
Dari hasil pengujian ternyata didapatkan ratarata kekuatan tarik yang lebih
rendah dibandingkan dengan hasil perhitungan secara teoritis. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut.
menyalurkan tegangan atau beban yang diterima ke sepanjang serat. Akan tetapi,
dalam penerapannya hampir tidak mungkin terjadi karena a) tidak setiap serat
dalam anyaman komposit memiliki kekuatan tarik optimum yang sama dan b)
tidak pernah didapat dalam kenyataan bahwa setiap serat ketika menerima
tegangan akan mendapatkan tegangan yang sama untuk serat masing masing.
Beberapa serat bisa mendapatkan tegangan yang berlebih (highly stressed) dan
serat lain tidak menerima tegangan sama sekali ( unstressed ).
Dari tabel-tabel dapat dilihat bahwa pada spesimen yang mendapatkan perlakuan
panas sampai. 700C, 800C, dan 1000C, material tersebut mengalami peningkatan
kekuatan tarik karena telah mencapai glass transition temperature, menyebabkan
mobilitas molekul meningkat cukup berarti, molekulmolekul dalam komosit
bergerak secara kontinyu dan tersusun. Dengan melakukan curing juga terjadi
penambahan jumlah ikatan cross-link pada komposit sehingga meningkatkan sifat
mekaniknya.
Dari hasil pengujian komposit ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengujian
spesimen matriks tanpa serat, di mana hasilnya dapat dilihat pada grafik-grafik di
atas. Di sini terlihat perbedaan kekuatan tarik rata-rata antara spesimen tanpa serat
28
dengan spesimen komposit dengan serat pisang tidak begitu signifikan. Hal ini
disebabkan antara lain karena kurang besarnya volume serat pisang yang
digunakan sehingga untuk selanjutnya dapat digunakan komposisi serat yang
lebih besar.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut. Kekuatan tarik maksimum yang terjadi pada komposit yang mengalami
proses post-curing pada temperatur 1000 C sebesar 42.82 MPa, sehingga terjadi
peningkatan kekuatan tarik sebesar 40.26% apabila dibandingkan dengan
komposit tanpa pemanasan. Kekuatan tarik yang terjadi pada komposit terlihat
lebih kecil bila dibandingkan dengan kekuatan tarik dua material penyusunnya.
Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu porositas yang cukup tinggi
pada komposit, kondisi serat yang kurang seragam, terjadinya delaminasi antara
serat dan matriks, dan ikatan permukaan yang rendah antara serat dengan matriks.
Saaran yang dapat diberikan sehingga dicapai hasil yang lebih baik adalah sebagai
berikut. Sebaiknya dilakukan penelitian tentang cara pemisahan serat pisang yang
lebih baik, sehingga didapatkan serat pisang yang lebih seragam dan bisa
digunakan untuk produksi dalam jumlah yang relatif lebih besar. Dalam proses
penganyaman serat harus sedemikian teliti sehingga tidak ada serat yang putus,
atau terlalu kendur sehingga akan mempengaruhi dalam hasil uji tarik. Dalam
pembuatan spesimen, perlu diperhatikan untuk menjaga ketelitian mulai dari
penyiapan alat dan bahan, pembuatan spesimen, hingga uji tarik, yang bertujuan
29
agar diperoleh hasil yang lebih baik. Proses pengecoran dengan proses hand layup harus dilakukan dengan hatihati untuk menghindari terjadinya porus pada
spesimen yang dapat menyebabkan penurunan sifat mekanik. Hendaknya dalam
proses finishing atau pengamplasan terhadap spesimen dilakukan sehalus mungkin
dan ukuran spesimen perlu diperhatikan keseragamannya agar tidak terjadi
kegagalan pada permukaan spesimen dan didapatkan spesimen yang seragam.
Oleh karena itu perlu dilakukan post-curing dengan rentang variasi temperatur
yang lebih kecil lagi agar diperoleh nilai temperatur yang maksimal dan perlu
dilakukan pengujian terhadap komposit yang memiliki jumlah serat yang lebih
banyak untuk mengetahui nilai kekuatan tarik yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, Nurcahyo Herwin, 2004 Pengaruh Temperature Curing Terhadap
Kekuatan Tarik Komposit Serat Bamboo Fiber Reinforced Plastic.
Semarang: Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip.
Encarta Microsoft, 2000. Fiber. http://www.encarta.msn.com/, US.
Encarta Microsoft, 2000.Plastic. http://www.encarta.msn.com/, US.
Gibson, F Ronald, 1994. Plastics Engineering, Second Edition, pergamon
Press,UK.
Korompis, Bernard, 2005. Pengaruh Temperature Curing Terhadap Kekuatan
Tarik Komposit Unsaturated Polyester Resin Yang Diperkuat Serat Pisang.
Semarang: Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Undip.
30
31