Anda di halaman 1dari 3

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mewajibkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)

atau yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) diimplementasikan oleh
perusahaan, khususnya perusahaan di bidang sumber daya alam.
Hiruk pikuk tentang CSR saat ini pada dasarnya adalah bagian dari evolusi bisnis dalam dunia yang
terus berubah, CSR adalah bentuk penyesuaian perusahaan pada perubahan kondisi lingkungan,
karena bisnis adalah kegiatan ekonomi yang tidak terisolasi dari lingkungan sosial dan lingungan bio
fisik yang dinamis. Sebagai entitas dari system yang lebih luas, interaksi perusahaan dengan
lingkungan biofisik dan stakeholder saling mempengaruhi. Setiap keputusan dan aktifitas
perusahaan akan memberikan dampak pada lingkungannya, baik dampak sosial, budaya, ekonomi
dan lingkungan bio fisik sebaliknya respon dan perubahan pada lingkungan juga akan
mempengaruhi operasioanl perusahaan.
Di Indonesia, semangat mengendalikan moral hazard pebisnis telah melahirkan Pasal 74 Undang
undang No 40 tahun 2007. Defenisi CSR dalam pada pasal 1 ayat 3 No 40 tahun 2007 berbunyi
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya
Kusut penafsiran defenisi dan lingkup
Judul Bab V Pasal 74 UU Nomor 40 tahun 2007 adalah Tangung Jawab Sosial dan Lingkungan,
defenisi, lingkup dan pihak yang terkena regulasi pada dasarnya lebih menitik beratkan sebagai
komitmen Perseroan untuk menjalankan community development. Penafsiran di atas dipertajam
dalam pasal 74 dimana pihak yang diregulasi hanyalah Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dimana sektor usaha tersebut
memang berpotensi membawa dampak sosial dan ekonomi ekonomi pada masyarakat tempatan.
Apa yang dimaksud dalam regulasi tersebut bukanlah CSR, kalau mau dipaksakan hanya bagian
kecil dari lingkup CSR yang tecakup. Pemberian judul Tangung Jawab Sosial dan Lingkungan
ditambah dengan disinggungnya aspek ekonomi terlalu luas bagi pasal ini. Triple bottom line yang
melandasi Lingkup Social Responsibility yang disepakati sampai saat ini dalam pada ISO 26000
(Working Draft 4.2 , Date: 2008-06-02) sangat komprehensif, meliputi beberapa isu, yakni tatakelola
organisasi (organizational governance); Hak Azasi manusia (human rights); praktik ketenagakerjaan
(labour practices); Lingkungan hidup (the environment); operasional yang fair (fair operating
practices); isu konsumen (consumer issues); dan keterlibatan dalam pengembangan masyarakat
(community involvement and development)
Defenisi Social responsibility yang dirumuskan pada ISO 26000 (Working Draft 4.2 , Date: 2008-0602) adalah Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society
and the environment, through transparent and ethical behavior that; contributes to sustainable
development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is
in compliance with applicable law and consistent with international norms of behavior; and is
integrated throughout the organization and practiced in its relationships. NOTE 1 Activities include
products, services and processes, NOTE 2 Relationships refer to an organizations activities within its
sphere of influence Dalam konteks perusahaan kata organization tentunya diganti dengan
corporate
Kusut pengaturan
Pasal 74 UU Nomor 40 tahun 2007 adalah regulasi syarat berdiri dan kewajiban yang harus dipenuhi
persero, Sebagai syarat maka regulasi tersebut haruslah dalam konteks memberikan standar minimal
objek regulasi, sebagai contoh, standar minimal keselamatan kerja, standard minimal upah buruh,
dan lain-lainnya. Regulasi pada tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimaksud dalam Pasal
74 UU Nomor 40 tahun 2007 mewajibkan persero berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat dengan
pelaksaan mengacu pada kepatutan dan kewajaran. Regulasi seperti ini bukan hanya tidak lazim,
tetapi bertentangan dengan prinsip-prinsip regulasi.
Pada bagian lain dinyatakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya.
Karena ini menyangkut anggaran biaya maka muncul pernyataan nyaring tentang aturan
penganggaran, apakah angaran tersebut cukup berdasarkan kepatutan dan kewajaran, patut dan
wajar menurut siapa?. bisakah dianalogkan dengan Upah Minimaum Propinsi (UMP), sehingga diatur
anggaran biaya minimal. Ide lain yang nyaring diungkapkan adalah persentase laba, kalau mau

bereksplorasi bisa jadi berdasarkan ukuran perusahaan, omset, luas daerah operasi dan lain-lainnya,
yang pasti akan makin kusut. Ide yang cukup nyaring diperhitungkan berdasarkan laba tahun
sebelumnya, ide ini akan membuat makin rumyam, sangat tidak rasional kewajiban dilakukan
berdasarkan laba. Kewajiban memenuhi sebuah persayaratan bukan diukur dari berapa biaya yang
dikeluarkan, tetapi sejauh mana kewajiban dilaksanakan, apa yang dipenuhi perusahaan dalam
melakukan kewajibanya, bisa terjadi perusahaan yang membawa dampak sosial besar masih belum
pada posisi berlaba.
Kebingungan ini makin lengkap dalam implementasi, terutama hubungan kerja antara Kontrak Kerja
Operator dan BP Migas disektor perminyakan dan gas. Dilema yang muncul adalah apakah
kewajiban perusahaan ini dalam konteks biaya mereduksi dampak sosial, atau berpartisipasi dalam
pengembangan sosial ekonomi masyarakat? tafsiran BP Migas adalah berpartisipasi dalam
pengembangan sosial ekonomi masyarakat sehingga tidak masuk dalam cost recovery,
kenyataannya berpartisipasi dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat untuk mereduksi
dampak sosial. Kalau mereduksi dampak sosial dari akibat eksploitasi migas tentunya bagian dari
cost recovery sama seperti biaya mereduksi dampak lingkungan yang masuk dalam cost recovery.
Mari kita berandai-andai, jika ini masuk cost recovery Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana
perusahaan mempertangung jawabkan biaya yang telah dikeluarkan, memastikan kewajiban tersebut
telah dilakukan dengan benar dalam laporannya, siapa yang mengaudit dan berdasarkan apa audit
dilakukan, indikator apa yang akan dipakai jika perusahaan telah memenuhi kewajibanya.
Mengurai kusut lingkup
Membaca Pasal 74 Undang-undang Perseroan terbatas di atas, regulasi ini hanya mengatur dampak
sosial dari kehadiran perusahaan, terlihat dengan jelas pemerintah ingin meminimalisasi dampak
sosial, ekonomi dan budaya, kalau mau boleh dipersempit lagi dampak sosial dari kehadiran
perusahaan berbasis sumber daya alam atau terkait dengan sumberdaya alam.
Agar tidak membingungkan, jika mau di atur, bentuk regulasinya jangan berjudul CSR, fokus saja
pada masalah yang lebih spesifik dalam konteks meminimalsisasi dampak sosial, pendekatan ini
lebih relevan dengan apa yang sedang diatur sekaligus tidak membawa mundur dan mengecilkan
CSR. Katakanlah dinamakan regulasi dampak sosial seperti halnya regulasi tentang lingkungan
(Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999), secara teknis hal ini lebih memungkinkan walaupun perlu
kajian lebih jauh. Pengertian dampak sosial bisa dirumuskan tanggung jawab dampak sosial adalah
kewajiban Perseroan untuk meminimalkan dampak sosial karena kehadirannya terhadap perubahan
sosial pada komunitas setempat
Hal ini mungkinkah? Sebagian perusahaan berbasis sumber daya alam telah punya rencana kerja
kolaboratif yang dibuat secara partisipatif berbasis sosial mapping untuk komunitasnya. Pada
rencana kerja tersebut dibuat indicator capaian yang disepakati bersama komunitas sebagai acuan
keberhasilan program. Artinya, telah ada perusahaan yang memiliki kesepakatan dengan stakeholder
tentang bagaimana mengurangi dampak sosial serta rencana tindak lanjutnya yang disepakati
dengan stakeholder. Kalau praktek baik ini diminta untuk disuplikasi oleh undang-undang tentu lebih
rasional untuk diimplementasikan.
Mengurai kusut pengaturan
Sama seperti regulasi tentang dampak lingkungan (bio, fisik dan kimia), yang mewajibkan
perusahaan melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Kehadiran Pasal 74 UU Nomor 40 tahun 2007 perlu ditafsirkan sebagai upaya untuk memperkuat
sisi-sosial ekonomi yang belum tajam. Sehingga bisa dibuat dokumen AMDAL disandingkan dengan
Amdas, misalnya Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Sosial (KA-ANDAS), Dokumen Analisis
Dampak Sosial (ANDAS), Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Sosial (RKS) dan Dokumen
Rencana Pemantauan Lingkungan Sosial (RPS)
Dasar pemberlakuan tentunya berangkat dari potensi dampak sosial perusahaan khususnya pada
jenis usaha yang dikenai undang-undang sesuai dengan Pasal 74 Undang-undang Perseroan
terbatas. Regulasi seperti ini sama seperti kewajiban untuk mengelola lingkungan biofisik, karena ini
bukan sedekah yang dikeluarkan dari laba maka pos anggarannya akan masuk dalam biaya operasi
biasa. Dasar anggarannya adalah hasil Analisis dampak sosial melalui pemetaan dampak sosial dan
rencana tindak bersama komunitas, persentase biaya berdasarkan laba juga menjadi tidak relevan
dan tidak perlu dipersoalkan. Dengan acuan berdasarkan Dokumen Analisis Dampak Sosial
(ANDAS) diharapkan perusahaan dan regulator punya acuan dalam menilai implementasi aturan
tersebut. sehingga regulasi CSR tidak menjadi hambatan baru dalam dunia bisnis.

Dari sisi perusahaan, bukankah hal ini perlu mereka lakukan? Sama seperti perusaahan harus
mengelola dampak lingkungan biofisik, peran undang-undang ini lebih menegaskan kewajibannya
sebagai entitas bisnis dan entitas sosial. Dengan lebih jelas apa yang diatur, untuk siapa hal ini diatur,
apa dampak positif dari pengaturan maka pasal 74 undang undang perseroan perlu direvisi menjadi
lebih spesifik dan kontekstual.
Pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah Secara teknis mungkinkah Dokumen Analisis
Dampak Sosial (ANDAS), Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Sosial (RKS) dan Dokumen
Rencana Pemantauan Lingkungan Sosial (RPS) dibuat? Jawabannya sangat mungkin, Investasi
pasti membawa perubahan sosial ekonomi, yang perlu dieliminasi tentunya perubahan sosial yang
membawa dampak negatif pada kondisi masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan, dampak
yang perlu diantisipasi atau tidak diinginkan dirumuskan bersama-sama dengan stakeholder, proses
seperti ini telah biasa dan sering dilakukan oleh praktisi community involvement and development
sejak lama.
Nurdizal M. Rachman
Jln. Gatot Subroto Kav 36A,
Walahar Bendungan Hilir
Jakarta
www.interdev.co.id

Anda mungkin juga menyukai