Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman, teknologi yang digunakan oleh manusia akan

semakin berkembang pula. Kemajuan teknologi belakangan ini memberikan masalah


yang kompleks terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan hayati maupun
lingkungan nonhayati. Setiap proses produksi selalu menghasilkan sisa-sisa produksi
atau limbah.
Salah satu limbah B3 yang perlu mendapatkan penanganan khusus karena
dihasilkan dalam jumlah yang tinggi pada masyarakat adalah minyak pelumas bekas.
Minyak pelumas bekas dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia seperti
perindustrian, pertambangan, dan perbengkelan. Minyak pelumas bekas termasuk
dalam limbah B3 yang mudah terbakar dan meledak sehingga apabila tidak ditangani
pengelolaan dan pembuangannya maka akan membahayakan manusia dan lingkungan
(P3KNLH, 2008a). Minyak pelumas bekas memiliki nilai abu yang tinggi, residu
karbon, bahan asphaltenic, logam, air, dan bahan kotor lainnya yang dihasilkan
selama jalannya pelumasan dalam mesin (Nabil, 2010).
Pada umumnya, limbah Abu Sabut Kelapa terdiri dari unsur organik seperti
serat celloluse, dan lignin. Disamping itu, limbah ini juga mengandung mineral yang
terdiri dari silika, aluminia dan oksida oksida besi. SiO2 dalam abu sabut kelapa
merupakan hal yang paling penting karena dapat bereaksi dengan logam, sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai adsorben. Pengolahan abu sabut kelapa sangat mudah,
cukup dibakar dengan panas tertentu hingga membantuk abu abu lalu disaring
hingga mendapatkan abu yang benar benar halus.
Dari pengujian abu sabut kelapa (ASK) yang telah dilakukan oleh BBTKL
Medan (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan), diperoleh komposisi senyawa
berupa SiO2 sebanyak 47,55 %, Al2O3 sebanyak 1,05% dan MgO sebanyak 2,65%
sedangkan kadar air sebanyak 5,29% (Prayuda, 2012).

cara penjerapan dan penjernihan Salah satu cara pengolahan kembali minyak
pelumas bekas hingga dipenuhi spesifikasi sebagai base oil dapat dilakukan dengan.
Metode tersebut dapat digunakan untuk memisahkan zat-zat pengotor yang
terkandung dalam minyak pelumas bekas karena minyak pelumas yang telah dipakai
cukup lama akan terjadi perubahan kimia maupun fisika. Minyak banyak
mengandung air hasil pembakaran bahan bakar, partikel keausan logam, jelaga, serta
hasil-hasil oksidasi pelumas seperti lumpur dan asam yang bersifat korosif
(Pertamina, 1998).
Berdasarkan pemaparan diatas maka pada penelitian ini dibuat adsorben dari
serabut kelapa. Adsorben dibuat dengan cara mengaktifasi serabut kelapa yang
difurnace selama 2,5 jam. Adsorben ini akan digunakan untuk mengadsorbsi logam
Pb2+ dan Fe total yang ada dalam minyak pelumas bekas.
1.2.

Perumusan Masalah
Pada penelitian ini, penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:

1.

Bagaimana struktur morfologi (SEM) dari adsorben?

2.

Bagaimana pengaruh perbandingan ukuran sabut kelapa, massa sabut kelapa dan
waktu adsorbsi terhadap pengurangan kandungan logam berat pada minyak pelumas
bekas?

3.

Berapa perolehan logam berat yang teradsorbsi (ppm)?


1.3.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Mengetahui struktur morfologi (SEM) dari adsorben.


2. Mengetahui pengaruh perbandingan ukuran sabut kelapa, massa sabut kelapa
dan waktu adsorpsi terhadap pengurangan kandungan logam berat pada minyak
pelumas bekas.
3. Menentukan besarnya perolehan logam berat yang teradsorbsi (ppm).

1.4.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengurangi

potensi pencemaran yang diakibatkan oleh limbah pelumas bekas, memberikan


informasi bahwa limbah sabut kelapa dapat dijadikan adsorben untuk pengurangan
kadar logam berat pada pelumas bekas, serta mendukung program green industry
yang diadakan pemerintah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Limbah B3
Menurut PP No. 18/1999, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah

sisa usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun
yang karena sifat, konsentrasi, dan atau jumlahnya, secara langsung dapat maupun
tidak langsung dapat mencemari, merusak dan atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Berdasarkan kriteria limbah yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup,
pelumas bekas termasuk kategori limbah B3 (Widodo, 1999).
Berikut merupakan standar baku mutu limbah cair menurut keputusan menteri
Negara lingkungan hidup nomor KEP-51/MENLH/10/1995
Tabel. 2.1 Standar baku mutu limbah cair
NO
1
2
3

PARAMETER
pH
Besi Terlarut (Fe)
Timbal (Pb)

2.2.

Minyak Pelumas (oli)

SATUAN
mg/L
Mg/L

MUTU LIMBAH CAIR


6,0 - 9,0
5 10
0,1 1

Minyak pelumas adalah salah satu produk minyak bumi yang masih
mengandung senyawa-senyawa aromatik dengan indek viskositas yang rendah.
Hampir semua mesin-mesin dipastikan menggunakan minyak pelumas. Fungsi
minyak pelumas adalah mencegah kontak langsung antara dua permukaan yang
saling bergesekan. Minyak pelumas yang digunakan mempunyai jangka waktu
pemakaian tertentu, tergantung dari kerja mesin, minyak pelumas merupakan sarana
pokok dari suatu mesin untuk dapat beroperasi secara optimal. Dengan demikian
pelumas mempunyai peranan yang besar terhadap operasi mesin, untuk dapat
menentukan jenis pelumas yang tepat digunakan pada suatu system mesin, perlu
diketahui beberapa parameter mesin yang antara lain: kondisi kerja, suhu, dan
tekanan di daerah yang memerlukan pelumasan. Daerah yang bersuhu rendah tentu

akan menggunakan pelumas yang lain dengan daerah yang bersuhu tinggi, demikian
pula dengan daerah yang berkondisi kerja berat akan menggunakan pelumas yang lain
pula dengan daerah yang berkondisi kerja ringan.
Minyak pelumas yang dipergunakan mesin-mesin industri atau kendaraan
berasal dari lube oil stock. Lube oil stock adalah fraksi dari minyak mentah yang
mempunyai titik didih yang tinggi + 700oF. Fraksi ini diperoleh dengan jalan
melakukan distilasi vakum terhadap residu yang berasal dari minyak mentah pada
tekanan atmosfir.
Pada umumnya semua minyak bumi dapat diolah menjadi pelumas, tetapi
tidak semua minyak bumi menghasilkan minyak pelumas secara ekonomis
menguntungkan. Jadi diperlukan suatu evaluasi yang sempurna dari minyak bumi
atau minyak mentah tersebut.
Berbeda dengan bahan bakar (fuel) selama pemakaiannya minyak pelumas tidak akan
habis, hanya kualitasnya menjadi lebih rendah, karena terjadi peristiwa oksidasi
pengotoran logam, penguraian dan sebagainya. Tetapi sebagian besar masih terdiri
dari hidrokarbon dari fraksi lube oil stock. Jadi dapat dikatakan selama pemakaian
minyak pelumas hanya mengalami pengotoran saja (Anton, 1985)
Pelumas mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Memperkecil koefisien gesek
Salah satu fungsi minyak pelumas bekas adalah melumasi bagian-bagian mesin
yang bergerak untuk mencegah keausan akibat dua benda yang bergesekan.
Minyak pelumas membentuk oil film di dalam dua benda yang bergerak sehingga
dapat mencegah gesekan/kontak langsung diantara dua benda yang bergesekan
tersebut.
b. Pendingin (cooling)
Minyak pelumas mengalir di sekeliling komponen yang bergerak, sehingga panas
yang timbul dari gesekan dua benda tersebut akan terbawa/merambat secara
konveksi ke minyak pelumas, sehingga minyak pelumas pada kondisi seperti ini
berfungsi sebagai pendingin mesin.
c. Pembersih (cleaning)
Kotoran atau geram yang timbul akibat gesekan, akan terbawa oleh minyak
pelumas menuju carter yang selanjutnya akan mengendap di bagian bawah carter
5

dan ditangkap oleh magnet pada dasar carter. Kotoran yang ikut aliran minyak
pelumas akan disaring di filter oli agar tidak terbawa dan terdistribusi ke bagianbagian mesin yang dapat mengakibatkan kerusakan/mengganggu kinerja mesin.
d. Perapat (sealing)
Minyak pelumas yang terbentuk di bagian-bagian yang presisi dari mesin
kendaraan berfungsi sebagai perapat, yaitu mencegah terjadinya kebocoran gas
(blow by gas) missal antara piston dan dinding silinder.
e. Sebagai penyerap tegangan
Oli mesin menyerap dan menekan tekanan local yang bereaksi pada komponen
yang dilumasi, serta melindungi agar komponen tersebut tidak menjadi tajam saat
terjadinya gesekan-gesekan pada bagian-bagian yang bersinggungan.
f. Pencegahan korosi
Peranan pelumas dalam mencegah korosi pertama pada saat mesin idle, pelumas
bekerja sebagai preservative. Pada saat bekerja pelumas melapisi bagian mesin
dengan lapisan pelindung yang mengandung aditif untuk menetralkan bahan
korosif.
(Arisandi, 2012)
Berdasarkan sifat hidrokarbonnya minyak pelumas termasuk golongan
minyak berat yang mempunyai Sg 60/60oF 0,8654 atau API gravity <32 (klasifikasi
menurut Sg atau API gravity).
Karena minyak pelumas merupakan campuran hidrokarbon maka untuk
mengetahui sifatnya kita dapat melihat dari sifat parafin, naften, dan aromatik.
Adapun sifat-sifat minyak pelumas tersebut adalah sebagai berikut:
a

Parafin
Mempunyai viskositas paling rendah dari ketiganya untuk bolling range yang
sama, tetapi viskositas indeksnya paling tinggi. Normal parafin dan parafin
dengan sedikit cabang, mempunyai titik beku tinggi ditinjau dari kestabilannya
terhadap panas dan oksidasi tinggi.

Naften
Mempunyai viskositas yang lebih tinggi dari parafin untuk boiling range, tetapi
viskositas indeksnya lebih rendah dari parafin. Naften rantai panjang mempunyai

viskositas medium sedangkan rantai pendek viskositas indeksnya rendah.


Senyawa naften mempunyai titik beku rendah dan daya oksidasi baik.
c

Aromatik
Mempunyai viskositas paling tinggi, tetapi viskositas indeksnya rendah terutama
senyawa aromatic dengan rantai alkali pendek, sehingga dalam pengolahannya
harus dihilangkan. Senyawa aromatik umumnya mempunyai titik beku yang
rendah tetapi daya tahan terhadap oksidasi kurang baik.
Untuk memperbaiki kualitas minyak pelumas tidak saja dengan pemurnian

dan proses pengolahan, melainkan juga karena penambahan bahan kimia yang disebut
additive, yang biasanya ditambahkan dalam jumlah kecil.
Additive minyak pelumas mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
a
b

Mengurangi keausan dan korosi


Mencegah terbentuknya deposit Lumpur

Jenis-jenis dari bahan additive diantaranya adalah :


a

Detergent dipersants
Bahan ini berguna untuk mengikat kontaminan dan untuk mencegah
mengendapnya bahan padat didalam mesin pada suhu tinggi.
Jenis-jenisnya adalah : senyawa phenat, senyawa sulfonat, senyawa fosfonat.

Pour-point depressants
Kadang-kadang minyak pelumas masih mengandung lilin yang dapat
menyebabkan minyak pelumas menjadi padat atau mengempal

Foam Inhibitors
Bahan ini diperlukan untuk menghindari pembentukkan buih atau foam akibat
tergeseknya minyak pelumas dalam mesin. Jenis-jenisnya adalah : senyawa
polimer silikan, senyawa polimer meta crylat.

Anti Oksidant
Bahan ini dipakai pada bayak minyak pelumas beradditive untuk mencegah
terjadinya oksidasi. Oksidasi adalah aksi utam yang akan merubah sifat-sifat
minyak dan menyebabkan kesulitan dalam pemakaian. Panas akan mempercepat

oksidasi. Jenis-jenisnya adalah : senyawa phenol. Senyawa amina aromatis,


senyawa zinc dialkyl dithiopospat.
e

Inhibitor korosi
Korosi yang disebabkan oleh atmosfer atau sebagai hasil dari oksidasi
menunjukkan perlu adanya additive. Korosi dapat dikurangi dengan penambahan
inhibitor korosi. Jenis-jenisnya adalah : senyawa metal diorgano dithiopospat,
senyawa alkyl poli sulfide

(Subardjo, 1985)
Kualitas minyak pelumas diantarana yang paling penting adalah:
a. Densitas
Densitas merupakan perbandingan antara densitas bahan yang diukur pada
suhu tertentu (t1 = 30o C) dengan densitas air pada suhu referensi (t2 = 15o C).
b. Viskositas
Viskositas pelumas merupakan ukuran tahanan fluida untuk mengalir atau
kekentalan.
c. Indek Viskositas
Indek viskositas merupakan ukuran perubahan viskositas terhadap perubahan
suhu, kenaikan suhu akan menyebabkan turunnya harga viskositas.
d. Flash point
Flash point adalah suhu terendah dimana uap air minyak dengan capuran udara
menyala bila didekati api.
e. Fire point
Fire point adalah suhu terendah dimana uap minyak dengan campuran udaraa
dapat terbakar habis.
(Hardjono,1985)
2.3.

Minyak Pelumas Bekas


Minyak pelumas yang telah digunakan dalam waktu cukup lama akan

mengalami perubahan komposisi atau susunan kimia,selain itu juga akan mengalami
perubahan sifat fisis, maupun mekanis. Hal ini disebabkan karena pengaruh tekanan
dan suhu selama penggunaan dan juga kotoran-kotoran yang masuk ke dalam minyak

pelumas itu sendiri. Minyak pelumas bekas yang dikeluarkan dari peralatan biasanya
dibuang begitu saja bahkan ada yang dimanfaatkan kembali tanpa melalui proses daur
ulang yang benar. Oleh karena itu akan lebih aman dan tepat apabila minyak pelumas
bekas dapat diolah kembali.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan kembali pelumas
bekas adalah:
1

Dipergunakan sebagai bahan bakar (fuel oil) untuk industri untuk maksud
tersebut dibutuhkan alat-alat yang khusus seperti dapur khusus dan
electrostatic pracipitatus guna membersihkan gas buang, cara ini ditinjau dari

segi ekonomis lebih mahal dari bahan bakar biasa.


Diolah kembali sehingga minyak pelumas baru, cara pengolahan minyak
pelumas bekas ini dimungkinkan karena pada hakekatnya minyak pelumas
bekas berasal dari minyak pelumas yang mengalami pengotoran.

(Sutarti,1998)
Hasil pengujian oleh Laboratorium FMIPA UNLAM menunjukkan kadar
limbah Fe dan Pb2+ yang belum memenuhi syarat untuk dibuang ke lingkungan,
dimana kadar Fe dan Pb2+ tersebut melebihi baku mutu limbah cair yang ditetapkan
pemerintah.
Tabel 2.2 Hasil uji limbah pelumas bekas.
No

Parameter (ppm)
2+

Pb
1
1.55
(Laboratorium FMIPA UNLAM, 2013)

2.4.

Fe
29.50

Sabut Kelapa (Cocos nucifera)


Indonesia sebagai negara kepulauan dan berada di daerah tropis dan kondisi

agroklimat yang mendukung merupakan penghasil kelapa yang utama di dunia. Salah
satu bagian yang terpenting dari tanaman kelapa adalah buah kelapa. Buah kelapa
terdiri dari beberapa komponen yaitu kulit luar, sabut, tempurung kelapa, daging
buah, dan air kelapa.

Tabel 2.3 Komposisi Buah Kelapa


Bagian buah kelapa
Sabut
Tempurung
Daging buah
Air kelapa
(Sumber : Palungkun, 2003)

Jumlah berat (%)


35
12
18
25

Kalimantan Selatan menghasilkan jumlah sabut kelapa yang diperkirakan


sebesar 130 ribu ton per tahun. Jumlah ini didapat dari luas area perkebunan kelapa
yang mencapai 0,277 juta ha atau 7,50% dari luas area perkebunan kelapa di
Indonesia. Sampai saat ini pengolahan hasil perkebunan masih terfokus pada hasil
utama yaitu daging buah, sedangkan industri yang mengolah hasil sampingan masih
tradisional dan terbatas. Sabut kelapa hanya dimanfaatkan sebagai keset, sapu, dan
peralatan rumah tangga lainnya (Hidayati, 2010).
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Sabut Kelapa
Komponen
Air terlarut
Pectin
Hemiselulosa
Lignin
Selulosa
Abu
(Anonim1, 2013)

Komposisi (%)
5,25
3
0,25
45,84
43,44
2,22

Indonesia merupakan penghasil bahan pangan terbesar, seperti padi, jagung,


tebu dan kelapa. Melihat potensi ini, banyak sekali sisa- sisa produksi bahan pangan
ini tidak termanfaat dengan baik. Salah satu contohnya adalah sisa sisa produksi
buah kelapa yang berupa sabut kelapa. Dari pengujian abu sabut kelapa (ASK) yang
telah dilakukan oleh BBTKL Medan (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan),
diperoleh komposisi senyawa berupa SiO2 sebanyak 47,55 %, Al2O3 sebanyak 1,05%
dan MgO sebanyak 2,65% sedangkan kadar air sebanyak 5,29% (Prayuda, 2012).
2.5 Adsorpsi

10

Adsorpsi adalah proses pengumpulan substansi terlarut (soluble) yang ada


dalam larutan oleh permukaan benda penyerap dimana terjadi suatu ikatan kimia
fisika antara substansi dan penyerapnya. Pada umumnya adsorpsi zat cair dengan
adsorben karbon digunakan untuk pemucatan warna, pemurnian air, larutan dan
lain-lain (Reynold, 1982).
Dalam proses adsorpsi molekul meninggalkan larutan dan menempel pada
permukaan adsorben.proses ini terbagi menjadi 4 tahap, yaitu transfer molekulmolekul zat terlarut yang teradsopsi menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben,
difusi air terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion process)
tersebut, difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler pori dalam adsorben
(pore diffusion process), dan adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori
atau permukaan adsorben.
Mekanisme adsorpsi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu adsorpsi secara fisika
(fisisorpsi) dan secara kimia (kemisorpsi). Pada proses fisisorpsi, adsorbat diikat oleh
adsorben dengan gaya van der waals, sedangkan pada proses kemisorpsi, interaksi
adsorbat dengan adsorben terjadi melalui pembentukan ikatan kimia. Kemisorpsi
terjadi diawali dengan fisiorpsi, yaitu partikel-partikel adsorrbat mendekat ke
permukaan adsorben melalui gaya van der waals atau ikatan hidrogen. Kemisorpsi
baru terjadi setelah itu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi antara lain sifat fisik dan
kimia adsorben seperti luas permukaan, ukuran partikel, dan komposisi kimia.
Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaan padatan
persatuan volume tertentu, sehingga akan semakin banyak zat yang diadsorpsi. Faktor
lainnya adalah sifat fisika dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul dan komposisi
kimia, serta konsentrasi adsorbat dalam fase cairan. Proses adsorpsi berlangsung
melalui tiga tahapan, yaitu makro transportasi, mikro transportasi,dan adsorpsi.
Makro transportasi meliputi perpindahan adsorbat melalui air menuju interfase cairpadat dengan proses difusi. Mikro transportasi meliputi difusi adsorbat melalui sistem

11

makropori dan submikropori, dan adsorpsi merupakan istilah untuk menjelaskan


kontak adsorbat terhadap adsorben. Istilah ini digunakan karena sulitnya
membedakan proses yang berlangsung, apakah fisiosorpsi atau kimisorpsi. Kapasitas
adsorpsi suatu adsorben untuk sebuah kontaminan dapat ditentukan dengan
menghitung isotherm adsorpsi (Atkins, 1999).
2.6 Besi (Fe)
Besi Fe adalah metal berwarna putih keperakan, liat dan dapat dibentuk.
Kandungan Fe di bumi sekitar 6,22 %, di tanah sekitar 0,54,3 % , di sungai sekitar
0,7 mg/L, di air tanah sekitar 0,110 mg/L, air laut sekitar 13 ppb, pada air minum
tidak lebih dari 200 ppb. Pada air permukaan biasanya kandungan zat besi relatif
rendah yakni 1 mg/L, sedangkan konsentrasi besi pada air tanah 0,01 mg/L 25
mg/L. Di alam biasanya banyak terdapat didalam bijih besi hematite, magnetite, dan
sebagainya, sedangkan di dalam air umumnya dalam bentuk terlarut sebagai senyawa
garam ferri (Fe+) atau garam ferro (Fe+); tersuspensi sebagai butir koloidal
(diameter < 1 mm) atau lebih besar seperti Fe(OH) 3; dan tergabung dengan zat
organik atau zat padat yang anorganik (seperti tanah liat dan partikel halus
terdispersi) ( Eaton, 2005).
Besi (Fe) di alam dapat sebagai hematite, di dalam air minum Fe
menimbulkan rasa, warna (kuning), pengendapan pada dinding pipa, pertumbuhan
bakteri besi dan kekeruhan Fe akan mempengaruhi pembentukan Hb tersebut. Sel
darah merah muda (korpuskula) mengandung Hb dan bahan ini diproduksi dalam
sum-sum tulang untuk mengganti sel darah merah yang rusak. Besi juga berperan
dalam aktivitas beberapa enzim seperti sitokrom dan flavor potein. Fe juga berperan
dalam aktivitas beberapa enzim seperti sitokrom dan flavo protein apabila tubuh tidak
mampu mengekskresikan Fe akan menjadi akumulasi Fekarenanya kulit menjadi hitam.

Sekalipun Fe diperlukan oleh tubuh, tetapi dalam dosis besar dapat merusak dinding
usus. Kematian seringkali disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. Debu Fe juga
dapat diakumulasi di alam alverri paru-paru (Soemirat, 1996).

12

2.7 Timbal (Pb)


Timbal adalah sebuah unsur yang yang biasanya ditemukan di dalam batubatuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Timbal 95 % bersifat anorganik dan pada
umumnya berbentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air.
Selebihnya berbentuk timbal organik. Timbal organik ditemukan dalam bentuk
senyawa Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML). Jenis senyawa ini
hamper tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik
misalnya dalam lipid. Waktu kebradaan timbal dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti arus angin dan curah hujan. Timbal tidak mengalami penguapan namun dapat
ditemukan di udara sebagai sebagai partikel. Karena timbal merupakan sebuah unsur
maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan.
Timbal mempunyai berat atom 207,21 ; berat jenis 11,34 ; bersifat lunak serta
berwarna biru atau silver abu-abu dengan kilau logam, nomor atom 82 memiliki titik
leleh 327,4oC dan titik didih 1.620oC. timbal termasuk logam berat trace metals
karena mempunyai berat jenis lebih dari lima kali berat jenis air (Sudarwin, 2008).

2.8

Penelitian Sebelumya
Menurut Andarini (2012) dalam daur ulang pelumas bekas menggunakan

asam sulfat dan ekstraksi dengan surfaktan, hasil ekstraksi pelumas bekas
menggunakan ABS dengan demulsifier CaCO3 dan CaCl2 memberikan nilai TAN
sebesar 0,05-0,4 mg KOH/gr dan tingkat kebersihan yang diperoleh tidak melebihi
nilai UWL, LAL control chart PT. Hypowira Adhitama yaitu 15/12/8 dan 16/14/10.
Menurut Lianna dkk

(2012) dalam Penjernihan minyak pelumas bekas dengan

metode penjerapan suatu usaha pemanfaatan kembali minyak pelumas bekas sebagai
base oil, untuk menghasilkan produk olahan yang yang mendekati spesifikasi base

13

oil, proses penjerapan lebih baik dengan menggunakan penjerap batu bara dan
kombinasi abs murni-zeolit sebagai media penjernih. Hamdi dkk (2000) dalam Proses
Adsorpsi distilasi satu tabung melalui uji karakteristik emisi limbah oli sebagai bahan
bakar alternatif menyatakan bahwa hasil distilasi yang baik diperoleh dari sampel II
(limbah oli mineral), ketika suhu distilasi mencapai 350oC atau lebih didapatkan hasil
dengan viskositas dan kalor Sabut
jenis mendekati
kelapa bahan bakar solar. Menurut Pratiwi
(2013) dalam Pengolahan minyak pelumas bekas dengan metode Acid Clay
Treatment, pada pengolahan minyak pelumas bekas sebanyak 150 ml menggunakan
Dicuci, dikeringkan (dioven)
metode Acid Clay Treatment, didapatkan kondisi terbaik pada konsentrasi adsorben
10 gram, waktu kontak 60 menit,
dan tingkat keasaman pH 4,4 dan efisiensi
Dipotong
penurunan kadar Pb yang didapat dengan menggunakan metode Acid Clay Treatment
adalah sebesar 56,71%.
Analisa:

Di furnace

Morfologi (SEM+IDS)
Receiver (500 dan 250 micron)

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini berupa percobaan yang dilakukan di Laboratorium Operasi
Teknik Kimia dan Laboratorium Proses Fakultas Teknik Universitas Lambung
Mangkurat.
3.1.

Alat

14

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu furnace, centrifuge, oven,
magnetic stirrer, gelas ukur, gelas beker, tabung reaksi, corong, neraca analitis, pipet
volume, pipet tetes, oven, desikator, cawan porselin, receiver (500 micron dan 250
micron), Erlenmeyer 250 ml, botol plastik.
3.2.

Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu minyak pelumas bekas, sabut

kelapa, H2SO4 2M (merck, 97%), kertas saring, akuades.


3.3.

Prosedur Penelitian

3.3.1. Blok Diagram


Sabut kelapa

Dicuci, dikeringkan (dioven)


Dipotong

Di furnace
Analisa:

Morfologi (SEM+IDS)
Receiver (500 dan 250 micron)

Analisa :
KadarGambar
Pb2+ 3.1
danBlok
Fe Diagram
Total. Prosedur Pembuatan Adsorben Sabut Kelapa.
Pelumas bekas
pH
Mixing

H2SO4 (97%) 2M
Adsorben

Sabut kelapa
Centrifuge
Dicuci, dikeringkan (dioven)
Filtrasi
Dipotong
Filtrat

Analisa:

Analisa :
Di furnace
15
Kadar Pb2+ dan Fe Total.
Hasil
pH
Morfologi (SEM+IDS)
Receiver (500 dan 250 micron)

Gambar 3.2 Blok Diagram Proses Adsorbsi Minyak Pelumas Bekas


3.3.2. Variabel Proses
Pada adsorpsi logam Pb2+ dan Fe pada pelumas bekas ini, terdapat 2 variabel
yang digunakan, yaitu:
1. Variabel bebas, yakni perbedaan ukuran adsorben, massa adsorben dan waktu
adsorbsi.
2. Variable terikat, yakni jenis sabut kelapa, temperatur pembuatan adsorben.
3.3.3

Proses Persiapan Bahan


Limbah sabut kelapa yang digunakan sebagai adsorben diperoleh dari pasar

Bauntung Banjarbaru. Jenis sabut kelapa yang digunakan berasal dari buah kelapa
biasa yang sudah tua. Limbah pelumas bekas didapat dari bengkel resmi Suzuki
Banjarbaru.
3.3.3.

Pembuatan Karbon Sabut Kelapa


Sabut kelapa dicuci dan dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar

matahari dan dioven pada temperatur 115oC

untuk menghilangkan air yang

terkandung dalam sabut kelapa, kemudian dipotong-potong hingga kecil-kecil. Sabut


kelapa yang sudah dipotong lalu dikarbonisasi dalam furnace selama 2,5 jam dengan
suhu 500oC. Abu sabut kelapa ini kemudian ditumbuk dan diayak pada ukuran 500
dan 250 mikron.

16

3.3.4. Pengolahan Minyak Pelumas Bekas


Dalam proses pengolahan minyak pelumas bekas ini, dimasukkan 10 mL
H2SO4 (97%) 2M ke 200 mL pelumas bekas, kemudian diaduk menggunakan stirrer
dengan kecepatan 300 rpm selama 15 menit lalu diambil filtratnya sebanyak 10 ml
untuk setiap sampel. Kemudian filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan abu sabut kelapa dengan variasi 0,2 gram, 0,5 gram dan 0,8 gram untuk
setiap sampel lalu diaduk dengan centrifuge dengan kecepatan 250 rpm selama 10,
20 dan 30 menit. Masing-masing sampel yang telah dilakukan pengolahan, kemudian
diambil filtratnya untuk di uji kadar Pb2+ dan Fe total nya.
3.3.5. Analisa
Analisa yang dilakukan terhadap arang sabut kelapa adalah analisa morfologi
dan struktur. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui struktur dan morfologi dari abu
sabut kelapa sebelum dan sesudah proses adsorbsi. Analisa SEM + EDS dilakukan di
Laboratorium FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung.
Sedangkan untuk analisa yang dilakukan pada pelumas bekas hanyalah
efisiensi penurunan konsentrasi zat pencemar Pb2+ dan Fe total pada minyak pelumas
bekas, dalam penelitian ini digunakan rumus sebagai berikut :

E=

1
x 100
( CoC
Co )

Keterangan :
E

: efisiensi

Co

: konsentrasi awal (ppm)

C1

17

: konsentrasi akhir (ppm)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Limbah pelumas bekas yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari
dealer resmi yaitu Dealer Suzuki Rahmat Banjarbaru, dimana pelumas bekas yang
digunakan ialah jenis MP-2 yang diperoleh langsung dari motor saat penggantian
pelumas. Hasil analisis menunjukkan bahwa limbah cair pelumas bekas mengandung
konsentrasi logam Fe total dan Pb2+ yang melebihi ambang batas baku mutu limbah
cair berdasarkan Surat KeputusanNomor: kep-51/MENLH/10/1995.

18

Uji SEM+IDS dilakukan guna mengetahui bagaimana struktur morfologi dari


abu sabut kelapa serta mengetahui senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya,
sehingga nantinya dapat diketahui seberapa besar keefektifan dari abu sabut kelapa
tersebut dalam menjerap logam.
Adsorpsi merupakan upaya penjerapan zat-zat yang tidak diinginkan, dalam
hal ini logam Fe total dan Pb2+ dengan memanfaatkan suatu adsorben. Dipilihnya
sabut kelapa sebagai adsorben dikarenakan abu sabut kelapa sendiri memiliki
kandungan SiO2 yang cukup tinggi yaitu sebesar 47,55% (Prayuda, 2012), dimana
kita ketahui silika sendiri merupakan suatu senyawa yang mampu menyerap logam
berbahaya. Selain itu sabut kelapa juga dapat diperoleh dengan mudah, dimana sabut
kelapa sendiri merupakan limbah yang masih sangat jarang sekali dimanfaatkan.
Sebelum dilakukan proses adsorpsi, sampel yang berupa pelumas bekas terlebih
dahulu diuji pH nya dan diproleh pH sebesar 10, dan setelah dberikan perlakuan yaitu
penambahan H2SO4 dan dilakukan pengadukan pH turun menjadi 8. Kemudian
setelah proses adsorpsi pH kembali turun menjadi 7.

19

Gambar 4.1 Struktur morfologi abu sabut kelapa serta senyawa yang terkandung
dalam abu sabut kelapa.
Gambar di atas menunjukkkan struktur morfologi dari abu sabut kelapa setelah di
furnace pada suhu 500oC selama 2,5 jam. Pemanasan ini perlu dilakukan agar zat-zat
organik yang terkandung di dalam sabut kelapa dapat terpecahkan serta pori-pori nya
dapat terbuka , sehingga dapat memperluas bidang penjerapan. Berdasarkan gambar,
terlihat bahwa pori-pori untuk setiap partikel pada abu sabut kelapa yaitu sebesar
0,01-0,02 m. Sedangkan kandungan silika pada abu sabut kelapa yaitu sebesar 4.69
%, dimana kita ketahui senyawa silika sangat baik digunakan untuk penjerapan logam
berat. Semakin besar pori-pori serta semakin banyak silika yang terkandung dalam
suatu adsorben, maka akan semakin maksimal pula proses penjerannnya. Sehingga
logam berat yang terdapat dalam adsorbat pun akan semakin banyak yang terjerap.

20

30
25
20
Konsentrasi Fe(ppm)

0.2 g (receiver)
0.5 g (receiver)

15

0.8 g (receiver)

10

0.2 g (500 micron)


0.5 g (500 micron)

0.8 g (500 micron)


0
10

15

30

Waktu (menit)

Gambar 4.2 antara waktu pengadukan (menit) terhadap konsentrasi Fe total (ppm).
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin lama waktu
centrifuge penurunan kadar logam pun semakin besar, dimana konsentrasi logam Fe
yang semula sebesar 26,99 ppm turun menjadi 23,95 ppm s/d 9,87 ppm. Dari tiga
variasi waktu, penurunan kadar logam Fe total terbesar terjadi pada massa adsorben
0,8 g (receiver) dengan waktu 30 menit yaitu sebesar 9,87 ppm, atau sebesar 63,43 %.
Hal ni dikarenakan semakin lama waktu sentrifuge maka artinya semakin lama pula
waktu kontak antara pelumas bekas yang mengandung Fe dengan adsorben yang
ditambahkan, dimana kuatnya pergerakan memutar dari sentrifuge ini akan mengikat
logam Fe dengan adsorben sehingga membentuk flok-flok,yang mana semakin lama
waktu maka semakin banyak pula flok yang terbentuk yang artinya semakin banyak
pula logam Fe yang terikat dengan adsorben untuk akhirnya jatuh ke dasar karena
adanya perbedaan densitas. Dapat dilihat penurunan logam Fe pada awalnya turun
secara signifikan, sebagai contoh yang terjadi pada 0,2 (500 micron). Terlihat pada
awalnya logam Fe terlihat sangat turun, namun semakin lama waktu grafik
menunjukkan penurunan logam yang tidak terlalu banyak. Ini berarti adsorben sudah
hampir berada dalam keadaan jenuh, sehingga susah untuk melakukan proses
penjerapan. Menurut Atkins (1999) mengatakan bahwa adsorpsi dapat terjadi karena

21

adanya gaya-gaya fisika yang didasarkan pada gaya van der Waals. Adsorpsi juga
mungkin terjadi dengan adanya pertukaran ion, dimana permukaan padatan dapat
mengadsorpsi ion-ion dari larutan dengan mekanisme pertukaran ion. Ion pada gugus
senyawa permukaan padatan adsorbennya dapat bertukar tempat dengan ion-ion yang
ada pada adsorbat.

2.5
2
0.2 g (receiver)

1.5
Konsentrasi Pb (ppm)

0.5 g (receiver)
0.8 g (receiver)

0.2 g (500 micron)


0.5 g (500 micron)

0.5

0.8 g (500 micron)


0
10

15

30

waktu (menit)

Gambar 4.3 antara waktu pengadukan (menit) terhadap konsentrasi Pb2+ (ppm).
Berdasarkan gambar di atas terlihat sama halnya yang terjadi pada penurunan
kadar logam Fe. Konsentrasi Pb2+ juga semakin menurun seiring dengan
bertambahnya waktu sentrifuge, dimana kadar Pb 2+ yang semula sebesar 2,30 ppm
turun menjadi 2,21 ppm s/d 0.99 ppm. Dari tiga variasi waktu yang diberikan,
penurunan logam Pb2+ terjadi pada massa adsorben 0,8 g (receiver) dengan waktu 30
menit yaitu sebesar 0,99 ppm atau sebesar 56,96 %. Hal ini dikarenakan semakin
lama waktu kontak antara adsorben dengan pelumas bekas, maka logam Pb2+ yang
terkandung dalam pelumas bekas pun akan semakin banyak yang terserap. Dapat
dilihat, penurunan yang sangat signifikan terjadi pada 0,5 (receiver) dan 0,8
(receiver), dimana pada awalnya penurunan logam Pb2+ belum begitu maksimal.
Namun semakin lama waktu yaitu pada waktu 30 menit logam menjadi sangat
22

menurun, ini dikarenakan pada awalnya waktu kontak antara adsorben dan adsorbat
yang belum maksimal, sehingga logam yang terjerap pun belum begitu banyak.
Penjerapan ini terjadi karena adanya pergerakan yang dibantu oleh putaran centrifuge,
dimana senyawa SiO2 dan Pb2+ akan bergerak bebas dan saling bertukar ion antara
yang satu dengan yang lainnya. Proses yang terjadi pada penelitian ini adalah
adsorpsi fisika, dimana proses penjerapan logam terjadi dengan cara adsorbat
menempel pada permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah. Menurut
Hasanah (2006), adsorpsi fisika disebabkan oleh adanya gaya van der Waals dan gaya
elektrostatik antara molekul yang teradsorpsi dengan atom yang menyusun
permukaan adsorben. Gaya van der Waals tersebut timbul sebagai akibat interaksi
dipol-dipol, yang mana pada jarak antar molekul tertentu terjadi kesetimbangan
antara gaya tolak dan gaya tarik. Dalam fasa cair dan fasa padat terdapat gaya tarik
van der Waals yang relatif lebih besar dibandingkan dengan gaya tarik dalam fasa
gas. Gaya vander Waals terdiri dari interaksi dipol-dipol, interaksi dipol permanendipol induksi, dan interaksi dispersi (dipol sementara-dipolinduksi).
Wawan Junaidi (2009) mengatakan bahwa semakin lama waktu kontak dapat
memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih
baik. Konsentrasi zat-zat organik akan turun apabila kontaknya cukup dan waktu
kontak biasanya sekitar 10-15 menit.

23

30
25
20
Konsentrasi Fe (ppm)

10 menit (receiver)
15 menit (receiver)

15

30 menit (receiver)
10

10 menit (500 micron)


15 menit (500 micron)

30 menit (500 micron)

0
0.2

0.5

0.8

Massa adsorben (g)

Gambar 4.4 antara massa adsorben (g) terhadap konsentrasi Fe total (ppm).
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa semakin besar atau banyak massa
adsorben yang ditambahkan maka semakin besar pula logam Fe yang terjerap atau
dengan kata lain semakin kecil

konsentrasi logam Fe yang terkandung dalam

pelumas bekas. Hal ini dikarenakan adsorben yang ditambahkan akan menyerap
logam-logam yang terdapat di dalam pelumas bekas, sehingga semakin banyaknya
adsorben yang ditambahkan maka akan semakin maksimal pula penjerapannya.
Penurunan logam yang paling signifikan terdapat pada waktu penjerapan 30 menit
dengan massa adsorben 0,8 g yaitu dari 26,99 ppm menjadi 9,87 ppm. Proses
adsorpsi sendiri dapat diartikan sebagai proses meninggalkannya molekul dari larutan
dan menempel pada permukaan adsorben. Dimana pada proses adsorpsi Fe ini, mulamula Fe akan bergerak mendekati adsorben, dan setelah itu Fe akan bergerak menuju
lapisan film yang mengelilingi adsorben dan kemudian akan melalui lapisan film
tersebut. Fe akan terus bergerak melalui kapiler pori dalam adsorben dan yang
terakhir yaitu proses adsorpsi sendiri atau penjerapannya. Menurut Atkins (1999),
mengatakan proses adsorpsi terbagi menjadi 4 tahapan, yaitu transfer molekulmolekul zat terlarut yang teradsopsi menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben,

24

difusi air terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion process)
tersebut, difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler pori dalam adsorben
(pore diffusion process), dan adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori
atau permukaan adsorben.
2.5
2
10 menit (receiver)

1.5
Konsentrasi Pb2+ (ppm)

15 menit (receiver)
30 menit (receiver)

10 menit (500 micron)


15 menit (500 micron)

0.5

30 menit (500 micron)


0
0.2

0.5

0.8

Massa adsorben (g)

Gambar 4.5 antara massa adsorben (g) terhadap konsentrasi Pb2+ (ppm).
Gambar 4.4 tersebut menunjukkan hampir sama dengan yang terjadi pada Fe,
yaitu semakin besar jumlah adsorben yang ditambahkan maka konsentrasi Pb 2+ pun
akan semakin kecil. Namun massa adsorben yang ditambahkan dalam 10 ml sampel
adalah sebesar 1 g. Hal ini dikarenakan jika lebih besar dari itu, maka penjerapan
yang terjadi kurang maksimal karena terlalu banyaknya adsorben sehingga
mempersulit dalam proses penyaringan. Terlihat pada waktu 30 menit (receiver)
dengan massa 0.8 g konsentrasi Pb2+ sebesar 0.99 ppm. Semakin banyak jumlah atau
massa adsorben yang ditambahkan maka akan semakin banyak logam Pb2+ yang
terserap. Hal ini dikarenakan semakin banyak massa adsorben, maka semakin banyak
pula jumlah senyawa silika yang yang terkandung. Dimana kita ketahui semakin
banyak senyawa silika maka akan semakin banyak pula ion negative yang
terkandung, sehingga media untuk berikatan dari ion positif yang dimiliki oleh Pb 2+

25

akan semakin banyak pula. Hal inilah yang menyebabkan penjerapan logam Pb 2+
akan lebih maksimal ketika massa adsorben yang ditambahkan semakin banyak.
Proses penjerapan yang terjadi pada Pb2+ ini hampir sama saja dengan yang terjadi
pada Fe, dimana mula-mula ion Pb 2+ akan bergerak mendekati adsorben. Kemudian
Pb2+ akan bergerak menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben dan selanjutnya
akan melewati lapisan film tersebut. Proses yang terakhir yaitu proses adsorpsi atau
pnjerapannya.
30
25
0.5 g (15 menit)

20

Konsentrasi Fe (ppm)

0.2 g (10 menit)


0.5 g (10 menit)

15

0.8 g (10 menit)


0.2 g (15 menit)

10

0.8 g (15 menit)


0.2 g (30 menit)

0.5 g (30 menit)


0.8 g (30 menit)

0
250

500

Ukuran adsorben (micron)

Gambar 4.6 antara ukuran adsorben (micron) dengan konsentrasi Fe total (ppm).
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa semakin kecil ukuran adsorben maka
semakin baik penjerapannya terhadap logam Fe yang terkandung dalam sampel oli
bekas. Hal ini disebabkan oleh semakin kecil ukuran adsorben maka semakin besar
kontak dari partikel adsorben dengan partikel pengotor dengan kata lain semakin
besar luas permukaan adsorben maka semakin efektif kemampuan menyerap zat-zat
impurities sehingga larutan menjadi lebih murni dan cenderung lebih bersih dari
impurities atau zat-zat pengotor tersebut. Proses adsorpsi itu sendiri berlangsung

26

melalui tiga tahapan, yaitu makro transportasi, mikro transportasi dan adsorpsi.
Dimana makro transportasi meliputi perpindahan adsorbat melalui air menuju
interfase cair-padat dengan proses difusi. Mikro transportasi meliputi difusi adsorbat
melalui sistem makropori dan submikropori, dan sedangkan adsorpsi sendiri
merupakan istilah untuk menjelaskan kontak adsorbat terhadap adsorben (Atkins,
1999).

2.5
2

0.2 g (10 menit)


0.5 g (10 menit)

1.5
Konsentrasi Pb (ppm)

0.8 g (10 menit)


0.2 g (15 menit)

0.5 g (15 menit)


0.8 g (15 menit)

0.5

0.2 g (30 menit)


0.5 g (30 menit)

0
250

500

0.8 g (30 menit)

Ukuran adsorben (micron)

Gambar 4.7 antara ukuran adsorben (micron) dengan konsentrasi Pb2+ (ppm).
Dari gambar diatas terlihat sama halnya dengan yang terjadi pada penjerapan
logam Fe total, dimana semakin kecil ukuran adsorben maka semakin besar logam
Pb2+ yang terserap. Menurut Atkins (1999) mengatakan bahwa Semakin kecil ukuran
partikel, maka semakin besar luas permukaan padatan persatuan volume tertentu,
sehingga akan semakin banyak zat yang diadsorpsi.

27

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Struktur morfologi abu sabut kelapa setelah dilakukan pemanasan pada suhu
500oC selama 2,5 jam diperoleh pori-pori untuk setiap partikel sebesar 0,01-0,02
m, dengan kandungan silika sebesar 4,69 %.
2. Semakin kecil ukuran abu sabut kelapa, semakin banyak jumlah adsorben yang
ditambahkan dan semakin lama waktu adsorpsi maka semakin besar pengurangan
logam berat yang terdapat dalam minyak pelumas bekas.
3. Logam Pb2+ dan Fe Total yang terjerap pada ukuran adsorben 250 micron dengan
massa 0.8 g dan waktu centrifuge 30 menit berturut-turut adalah sebesar 1,31 ppm
dan 17,12 ppm dengan persentase 56,95 % dan 63,43 %.
5.2 Saran
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, diharapkan dilakukannya penelitian
dengan jenis adsorben dari berbagai limbah biomassa yang ada di masyarakat agar
dapat mengurangi limbah biomassa yang ada disekitar lingkungan hidup kita dalam
rangka mengurangi potensi pencemaran lingkungan.

28

Anda mungkin juga menyukai