Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Hal tersebut tercermin baik
dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara. Di
lingkungan masyarakat-terlihat terus meningkat kesemarakan dan kekhidmatan
kegiatan keagamaan baik dalam bentuk ritual, maupun dalam bentuk sosial
keagamaan. Semangat keagamaan tersebut, tercermin pula dalam kehidupan
bernegara yang dapat dijumpai dalam dokumen-dokumen kenegaraan tentang
falsafah negara Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan buku Repelita serta memberi
jiwa dan warna pada pidato-pidato kenegaraan. Dalam pelaksanaan pembangunan
nasional semangat keagamaan tersebut menj adi lebih kuat dengan ditetapkannya
asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sebagai salah satu
asas pembangunan. Hal ini berarti bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan
nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan
spiritual, moral dan etik pembangunan.
Secara historis benang merah nafas keagamaan tersebut dapat ditelusuri
sejak abad V Masehi, dengan berdirinya kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di
Kalimantan melekat pada kerajaan-kerajaan di pulau Jawa, antara lain kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat, dan kerajaan Purnawarman di Jawa Tengah. Pada
abad VIII corak agama Budha menjadi salah satu ciri kerajaan Sriwijaya yang
pengaruhnya cukup luas sampai ke Sri Lanka, Thailand dan India. Pada masa
Kerajaan Sriwijaya, candi Borobudur dibangun sebagai lambang kejayaan agama
Budha. Pemerintah kerajaan Sriwijaya juga membangun sekolah tinggi agama
Budha di Palembang yang menjadi pusat studi agama Budha se-Asia Tenggara
pada masa itu. Bahkan beberapa siswa dari Tiongkok yang ingin memperdalam
agama Budha lebih dahulu beberapa tahun membekali pengetahuan awal di
Palembang sebelum melanjutkannya ke India. Menurut salah satu sumber Islam
mulai memasuki Indonesia sejak abad VII melalui para pedagang Arab yang telah
lama berhubungan dagang dengan kepulauan Indonesia tidak lama setelah Islam

berkembang di jazirah Arab. Agama Islam tersiar secara hampir merata di seluruh
kepulauan nusantara seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Untuk mengetahui pengertian dan kedudukan kementerian agama


Untuk mengetahui dasar hukum pembentukan
Untuk mengetahui tugas dan fungsi
Untuk mengetahui pertanggungjawaban kementerian agama
Untuk mengetahui masalah-masalah kepemimpinan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Kedudukan Kementerian Agama
Kementerian Agama Republik Indonesia (disingkat Kemenag RI, dahulu
Departemen Agama Republik Indonesia, disingkat Depag RI) adalah kementerian
dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan agama. Kementerian
Agama dipimpin oleh seorang Menteri Agama (Menag) yang sejak tanggal 9 Juni
2014 dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian
Agama, maka kedudukan, tugas pokok dan fungsi Kementerian Agama Provinsi
adalah Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi adalah Instansi Vertikal
Kementerian Agama yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Menteri Agama
B. Dasar Hukum Pembentukan
Landasan hukum kementerian adalah Bab V Pasal 17 UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa:
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur
dalam undang-undang.
Lebih lanjut, kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian Negara.
C. Tugas dan Fungsi
Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di
bidang keagamaan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam

menyelenggarakan

pemerintahan

negara.

Dalam

melaksanakan

tugas,

Kementerian Agama menyelenggarakan fungsi:


1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keagamaan;
2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agama;
3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;
4. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Agama di daerah;
5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan
6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
D. Pertanggungjawaban Kementerian Agama
Sistem Akuntansi pemerintah di lingkungan Kementerian Agama
bertujuan :
1. Menetapkan prosedur yang harus diikuti oleh pihak-pihak yang terkait
sehingga jelas pembagian kerja dan tanggung jawabnya
2. Terselenggarakannya pengendalian intern untuk menghindari terjadinya
penyelewengan.
3. Menghasilkan laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan
1.
1)

Prosedur Penyusunan Laporan Keuangan


Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

Semester

disusun

berdasarkan hasil penggabungan LRA UAPPA-E1 Semester I lingkup


Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan;
2)
LRA UAPPA-E1 Semester I disusun

berdasarkan

hasil

penggabungan LRA Semester I UAKPA di bawah eselon I, LRA Semester


I UAKPA dengan pola pengelolaan keuangan BLU, LRA Semester I
UAPPA-W, dan LRA Semester I UAPPA-W Dekonsentarasi/Tugas
3)

Pembantuan Semester I;
LRA UAPPA-W

Semester

disusun

berdasarkan

hasil

penggabungan LRA UAKPA Semester I lingkup wilayah yang


bersangkutan;

4)

LRA UAPPA-W Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Semester I


disusun

berdasarkan

hasil

penggabungan

LRA

UAKPA

Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan Semester I lingkup wilayah yang


2.

bersangkutan
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Tahunan
1) LRA Tahunan Kementerian Negara/Lembaga disusun berdasarkan hasil
penggabungan

LRA

UAPPA-E1

Negara/Lembaga yang bersangkutan;


2)
LRA Tahunan UAPPA-E1

Tahunan
disusun

lingkup

Kementerian

berdasarkan

hasil

penggabungan LRA Tahunan UAKPA di bawah eselon I, LRA Tahunan


UAKPA dengan pola pengelolaan keuangan BLU, LRA Tahunan UAPPAW, dan LRA Tahunan UAPPA-W Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan;
3)
LRA UAPPA-W Tahunan disusun berdasarkan hasil penggabungan
LRA Tahunan UAKPA lingkup wilayah yang bersangkutan;
1.
LRA
Tahunan
UAPPA-W
Dekonsentrasi/Tugas
Pembantuan disusun berdasarkan hasil penggabungan LRA Tahunan
UAKPA Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan lingkup wilayah yang
3.

bersangkutan.
Neraca
a. Neraca Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan hasil penggabungan
neraca UAPPA-E1;
b. Neraca UAPPA-E1 disusun berdasarkan hasil penggabungan neraca
UAKPA di bawah eselon I, dan Neraca UAPPA-W;
c. Neraca UAPPA-W disusun berdasarkan hasil penggabungan neraca
UAKPA ;
d. Neraca disusun setiap semester.

E. Masalah-Masalah Kepemimpinan
Ketika masa Menag Maftuh Basuni salah satu program perbaikan citra
Kementerian Agama dengan disosialisasikan sistem budaya kerja Kementerian
Agama yaitu Shibgoh, sistem budaya kerja yang belum sempat membumi dan
hilang entah kemana, padahal menurut sang pembuat sistem nilai tersebut telah
melewati ujicoba hampir sepuluh tahun. Pada masa Menag SDA semangat untuk
memperbaiki citra terus diupayakan namun yang kental terdengar adalah
intervensi politik dalam birokrasi yang seharusnya dihindari dan mengganggu

budaya kerja organisasi dan diujung masa kepemimpinannya harus berurusan


dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penggantinya Bapak Lukman Hakim Saifuddin mengatakan saat launching
5 Budaya Kerja Kementerian Agama, Program ini meliputi lima nilai kerja yaitu:
integritas, profesional, inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan, Ini sejalan
dengan amanat Presiden dalam kabinet kerja ini terkait dengan revolusi mental,
nilai-nilai tersebut akan menjadi acuan bersama setiap pegawai di Kemenag,
mulai dari atasan hingga bawahan. Nantinya akan ada reward and punishment
dalam menjalankan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang kita rumuskan, bukanlah
yang datang begitu saja. Tapi prosesnya ini bottom up. Jadi melalui pemetaan
dengan melibatkan, tidak hanya eselon, tapi juga guru-guru, beberapa kanwil di
daerah, dan juga proses diskusi, sehingga terjadilah perumusan lima nilai itu,
jelasnya(www.kemenag.go.id).
Persoalan birokrasi (budaya kerja organisasi) ibarat menegakkan benang
basah seperti diungkapkan Eko Prasojo : Persoalan birokrasi di Indonesia
sangatlah kompleks, terbentang dari masalah mengubah kultur birokrasi yang
tidak berintegritas, tumpang tindih peraturan perundang-undangan, struktur
organisasi yang gemuk dan boros, proses bisnis pemerintahan yang lamban dan
tidak efisien, sumber daya manusia yang tak kompeten dan tak profesional,
penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme, hingga persoalan pelayanan kepada
publik yang tak responsif dan tak akuntabel. (Tantangan Birokrasi Pemerintahan
Jokowi-JK, kompas.com, 25 November 2014).
Masalah birokrasi dan budaya kerja tak lepas dari sorotan banyak pihak
yang masih jauh api dari panggang, dalam beberapa survei tergambar, survei
Political Economic Risk Consultancy pada 2012, Indeks Efisiensi Pemerintahan di
Indonesia adalah 8,37 (dari skor 1 terbaik dan 10 terburuk), Indeks Keefektifan
Pemerintahan di Indonesia pada 2013 menurut Forum Ekonomi Dunia adalah 42
(dari skala 1 terburuk hingga 100 terbaik), Indeks Persepsi Korupsi menurut IT
pada 2013 adalah 32 (dari skala 1 terburuk dan hingga 100 terbaik), sementara

untuk kemudahan berbisnis pada 2014 menurut Bank Dunia berada pada
peringkat ke-120. (sumber: Kompas.com)
Sepertinya, saya agak pesimis jika seorang Menteri berlatar belakang
politisi yang harus membelah konsentrasinya dengan kompleks persoalan diatas,
tentu ini merupakan tantangan besar yang harus dihadapi Kementerian Agama
bersama nahkoda barunya Menteri Agama dan seluruh aparatur menuju perbaikan
yang lebih baik. Pertanyaannya apakah budaya kerja ini akan terhenti pada
slogan-slogan yang hanya manis dibibir saja? atau ini hanya pencitraan?
Sanggupkah kita menghadapi perubahan budaya kerja ? masih banyak pertanyaan
yang akan dilontarkan, namun niat memperbaiki birokrasi, budaya kerja, dan
mental SDM adalah hal yang sangat mulia dan berharap akan adanya perubahan
birokrasi (budaya) yang transformatif.

Budaya Kerja Pemerintahan


Dalam lampiran Peraturan Menteri PAN Dan RB Nomor 39 Tahun 2012
tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja telah jelas memberikan
pemahaman akan pentingnya perubahan pola pikir dan budaya kerja dalam
konteks reformasi birokrasi yang menjadi sebuah pertaruhan besar bagi bangsa
Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21 sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Dalam Grand
Design Reformasi Birokrasi, budaya kerja dipahamkan sebagai Culture set.
Secara sederhana budaya kerja diartikan sebagai cara pandang seseorang dalam
memberi makna terhadap kerja. Dengan demikian budaya kerja diartikan
sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Pada prakteknya, budaya kerja
diturunkan dari budaya organisasi. Budaya kerja merupakan suatu komitmen
organisasi, dalam upaya membangun sumber daya manusia, proses kerja, dan
hasil kerja yang lebih baik.

Budaya organisasi tumbuh menjadi mekanisme kontrol, mempengaruhi


cara pegawai berinteraksi dengan para pemangku kepentingan di luar organisasi.
Perubahan budaya organisasi berpengaruh pada perubahan perilaku pegawai
dalam organisasi tersebut. Perubahan budaya organisasi berlaku dari tingkat
tertinggi hingga satuan terkecil dalam organisasi. Keberhasilan dalam
mengembangkan

dan

menumbuhkembangkan

budaya

organisasi

sangat

ditentukan oleh perilaku pimpinan organisasi. Dalam pengembangan budaya


organisasi, hampir selalu dipastikan bahwa pimpinan organisasi menjadi agen
perubahan (change agent). Sebagai agen perubahan, salah satu kontribusi
signifikan yang diharapkan adalah berperan sebagai panutan (role model).
(lampiran Peraturan Menteri PAN Dan RB Nomor 39 Tahun 2012)
Sejak pemerintahan baru beberapa regulasi yang mengatur PNS/ASN
setidaknya sudah ada tiga Surat Edaran menteri PAN dan RB seperti Surat Edaran
tentang Efektivitas dan Efesiensi Kerja Aparatur Negara kemudian Pembatasan
Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor dan Surat Edaran No. 13/2014 tentang
Gerakan Hidup Sederhana, sehingga membiasakan makan singkongpun menjadi
hal yang ramai diperbincangkan beberapa waktu yang lalu. Terkait dengan ajakan
efektivitas dan efesiensi dalam bekerja dan hidup sederhana hendaklah disambut
dengan positif, perubahan haruslah dipaksakan dengan melihat kondisi birokrasi
dan budaya kerja telah mengarah pada budaya koruptif, tidak efesien dan berbelitbelit sehingga proses birokrasi haruslah disegarkan.
Gaung Reformasi Birokrasi di Kementerian Agama belum beranjak jauh,
sudah ada upaya akan tetapi masih jalan ditempat, lahirnya PMA Nomor 2 tahun
2010 tentang Renstra Kementerian Agama tahun 2010-2014 tidak menjadi
pedoman bagi seluruh satker dalam menjalankan program kegiatan sehingga
satker masih mengcopy-paste program kerja setiap tahunnya, perubahan pada
struktur organisasi lahirnya PMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Agama, PMA Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama, kemudian KMA Nomor 158
Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Analis Jabatan di Lingkungan
Kementerian Agama dan KMA Nomor 168 Tahun 2010 tentang Pedoman

Penyusunan Standar Operasional Prosedur di Lingkungan Kementerian Agama,


kedua KMA ini belum sepenuhnya diterapkan sehingga output-nya pun masih
dipertanyakan. Keluarnya PMA Nomor 51 Tahun 2014 tentang Nilai dan Kelas
Jabatan Struktural dan Fungsional rupanya masih harus dievaluasi melihat nilai
dan kebutuhan jabatan baru dikementerian Agama. Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi di Kantor Wilayah Kementerian Agama (khususnya NTB) yang
dilaksanakan oleh pusat hanya terhenti pada sosialisasi dan beberapa survey
seperti SOP, Kepuasan Pelanggan dll. belum banyak membantu jalannya
reformasi birokrasi apalagi pengembangan budaya kerja belum tersentuh sama
sekali. Budaya Kerja Kementerian Agama seperti saya ungkapkan sebelumnya
hanya slogan alias kata-kata manis dan belum digarap dengan serius menjadi
sebuah pedoman kerja setiap aparatur di Kementerian Agama.

Transformasi Budaya
Sastrawan George Bernard Show menulis: nly two percent of the people
thing; thee percent of the people think they think; and ninety five percent of the
people would rather die than think. Bahwa hanya dua persen diantara kita yang
berfikir ? kemudian yang lainnya dimana ?
Niat mengembangkan budaya kerja telah dilaunching dengan 5 Budaya
Kerja Kementerian Agama yaitu: integritas, profesional, inovasi, tanggung jawab,
dan keteladanan. Dengan adanya 5 Budaya Kerja Kementerian Agama menjadi
kesempurnaan dalam bekerja bagi setiap aparatur di Kementerian Agama,
bagaimana tidak, nilai-nilai tersebut merupakan nilai utama dalam bekerja. Andai
saja kita mengimplementasikan satu nilai saja seperti integritas akan menjadikan
kita aparatur yang baik dalam bekerja, apakah cukup hanya begitu ?
Komitmen dan gerakan tersebut haruslah didukung oleh semua aparatur
kementerian Agama untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan baik
(clean and good govenance). Karena penyakit yang selama ini menyengsarakan
bangsa kita adalah budaya korupsi. management deals mostly with status quo,

and leadership deals mostly with change.. demikian pendapat pakar transformasi
budaya organisasi, John P. Kotter. Transformasi merupakan tugas pemimpin
puncak, karena berkaitan dengan perubahan minset dan perilaku yang berkaitan
dengan determinan budaya, sehingga lebih mendasar daripada reformasi birokrasi
yang bersifat struktural. Namun demikian, keduanya, reformasi, apalagi
transformasi harus didorong dari atas (top-down) dengan political will yang kuat
disertai keteladanan.
Transformasi berwujud suatu perubahan besar dan radikal yang terjadi di
suatu organisasi, seperti layaknya perubahan dari kepompong menjadi kupu-kupu.
Suatu perubahan yang tidak cukup hanya dilakukan secara perlahan-lahan,
selangkah demi selangkah (incremental), tetapi serentak secara simultan, apalagi
menghadapi dinamika perubahan yang demikian cepat. Jadi, jangan berharap
reformasi birokrasi, dan budaya kerja organisasi misalnya bisa terjadi, bila
pimpinan puncak tidak memiliki visi dan keinginan kuat untuk suatu perubahan.
Padahal mengelola perubahan saat ini dianggap isu utama dalam agenda
kepemimpinan kita ke depan. Jokowi presiden kita sekarang dengan slogan nya:
kerja, kerja, kerja.
Sadar akan misi perubahan tersebut, seharusnya kita bisa berperan dalam
kafilah masa depan dengan menerima tantangannya. Dan jangan hanya
disibukkan oleh ruang masa lalu. Kita harus mengambil bagian dalam
kebangkitan masa depan itu, karena jika tidak demikian, kita akan tertinggal
bahkan tergilas oleh zaman.
Jika mengadopsi The Ten Challengers and Pain (Paulus Bambang) yang
dihadapi korporat dan mengadaptasinya ke sektor pemerintahan, setidaknya bisa
diindentifikasi adanya empat permasalahan mendasar yang memerlukan
trasformasi

budaya,

yaitu

pengelolaan

perubahan

(managing

change),

pengembangan kepemimpinan (develop leader), pengelolaan SDM (managing


people), dan budaya kerja (governance culture).
Paradigma baru, pemerintahan baru, ilmu dan teknologi baru, informasi
baru, pendekatan baru silih berganti membawa perubahan dalam sejarah
10

peradaban bangsa kita. Perubahan semakin besar terasa, ketika perputarannya


semakin cepat seperti sekarang ini. Di era yang diwarnai dengan gejolak
perubahan, mempertahankan status quo bukanlah keputusan yang bijak. Ketika
segala sesuatu di sekitar kita berubah, maka perubahan bukan lagi satu pilihan,
melainkan keharusan.
Namun, mendengar kata perubahan mungkin saja banyak orang yang
menjadi khawatir. Menurut John P. kotter dan S. Cohen dalam bukunya The
Heart of Change, orang terdorong untuk berubah karena ia melihat urgensi
untuk berubah, merasakan kepentingan untuk berubah, dan untuk selanjutnya
siap melakukanperubahan. Memang Kotter sendiri juga menyadari, bahwa
setiap kali manusia dipaksa untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi yang
berubah, disitu selalu ada kegetiran.
Ketiga prinsip di atas: melihat, merasakan, dan melakukan ternyata
bukan bermuara pada pendekatan manajemen, teknis, anggaran, atau pun
pendekatan ilmiah yang canggih lainnya, melainkan pada SDM yang terlibat
dalam perubahan tersebut. Dengan demikian juga harus berujung pada perubahan
sikap manusia.

Memimpin dengan Aksi


Arthur M. Schlesinger Jr dalam bukunya Dis-Uniting of Amerika:
Reflection on A Multicultural Society (1992), menyatakan bahwa banyak negara
di dunia pecah karena gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada
bangsanya yang berasal dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat diri
mereka sebagai bagian dari negara yang sama.
Inilah yang sedang dialami oleh Negara dan bangsa kita saat ini. Agaknya
kita telah lupa tentang tujuan bersama. Kalau pun ingat mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan

11

umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia-itu pun miskin implementasi


dengan diiringi kurangnya mutual-trust di antara sesama komponen bangsa.
Bertolak dari fakta empirik itu, maka yang dibutuhkan bangsa dan
Kementerian Agama ini adalah tipe kepemimpinan pekerja (work leader),
petarung yang tidak sekedar duduk di meja, tetapi memimpin dengan aksi yang
memimpin dengan bekerja. Dalam kaitan dengan itu, analisa John H. Zenger dan
Joseph Folkman (dalam Lestari, SwaOnline, 2007) menyimpulkan, kompetensi
kepemimpinan unggul dikelompokkan dalam lima klaster: (1) karakter, (2)
kemampuan personal, (3) keahlian interpersonal, (4) fokus pada hasil, dan (5)
memimpin perubahan organisasi. Lima kompetensi tersebut berfungsi sebagai
tiang penyangga dan penyungkit kepemimpinan ke level lebih tinggi yang unggul.
Diantara kelimanya, karakter merupakan titik sentral, sedangkan elemen lainnya
adalah komponen pendukungnya. Elemen keempat dari dari kompetensi
kepemimpinan, yaitu fokus pada hasil (outcome) mencakup kemampuan
mewujudkan gagasan menjadi serangkaian aksi yang berkelanjutan (sustainable),
adalah bagian substansi dari kepemimpinan unggul yang memimpin dengan aksi.
Maka yang perlu dilakukan di Kementerian Agama pertama menghilangkan
proses yang belit-belit pada pelayanan, kedua mengubah sistem yang menjadi
penyimpang moral dan terakhir baru dilakukan perubahan secara jenerik.

Membangun Etos Keunggulan


Menjadi kewajiban kita semua, agar bisa membawa Kementerian Agama
kita dapat bersaing dengan yang lain sehingga kita berada di level atas, menapaki
tegalan berbatu-batu, lalu mendaki bukit keberhasilan dimana Kementerian
Agama bisa lebih maju dengan lainnya. Untuk itu kita harus menumbuhkan
sebuah kultur baru: a culture of excellence kultur keunggulan di semua bidang
kehidupan, termasuk bidang pembangunan agama yang menjadi tugas utama
Kementerian Agama.

12

Tetapi, tak ada keunggulan apabila kita tidak mampu mendengar panggilan
Suara Tuhan. Karena, pondasi segala prestasi keunggulan adalah spiritualitas:
nurani yang jernih, hati yang bening, dan akalbudi yang cerah. Dan semuanya itu
harus dibasiskan pada prinsip-prinsip sejati: apabila orang bekerja berdasarkan
panggilan jiwanya maka ia akan unggul melampaui yang lain. Sebagaimana
Kementerian Agama mempunyai ruh dan spirit ikhlas beramal dan bekerja
adalah ibadah, sudah barang tentu seluruh kerja slalu diridhoi oleh ALLAH SWT
akan menjadikan kita pribadi yang ihsan.
Jim Collins dalam Good to Great (Sinamo, 2007) menampilkan hasil
studinya

tentang

elemen

menjadi great

company:

kepemimpinan

yang

professional namun rendah hati, pemilihan SDM yang tepat, tegar menghadapi
realita, selalu melakukan yang terbaik, membangun kultur disiplin, dan pilihan
teknologi yang pas sebagai akselator. Masih ditambahkan, bahwa excellence itu
digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta
pengorbanan dari segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar
sumberdaya yang terbatas pun bisa cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif,
dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.
Apa pun komposisinya, akhirnya kita menyimpulkan bahwa basis
keunggulan di Kementerian Agama nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia
unggul juga: spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya.

13

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kementerian Agama Republik Indonesia (disingkat Kemenag RI, dahulu
Departemen Agama Republik Indonesia, disingkat Depag RI) adalah kementerian
dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan agama. Kementerian
Agama dipimpin oleh seorang Menteri Agama (Menag) yang sejak tanggal 9 Juni
2014 dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin.
Landasan hukum kementerian adalah Bab V Pasal 17 UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa:
1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur
dalam undang-undang.
Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di
bidang keagamaan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan

pemerintahan

negara.

Kementerian Agama

14

Dalam

melaksanakan

tugas,

DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis.2011. Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: KalamMulia
Zuhairini, dkk. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. 11

15

Anda mungkin juga menyukai