Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang
kesehatan terutama kesehatan perinatal. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan
BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan/prematur, biasanya mengalami
penyulit, dan memerlukan perawatan yang memadai, BBLR yang cukup/lebih bulan
umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam
perawatannya.
BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram, berat badan
lahir merupakan prediktor yang baik untuk pertumbuhan bayi dan kelangsungan
hidupnya. Seorang bayi yang cukup bulan pada umumnya lahir dengan berat badan
2500 gran atau lebih, BBLR merupakan salah satu faktor resiko yang mempunyai
kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal, Angka kejadian
dan kematian BBLR akibat komplikasi seperti asfiksia, infeksi, hipotermia,
hiperbilirubinemia masih tinggi (Sulani, 2011).
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia sebesar 35 per 1000 kelahiran
hidup (SDKI 2002-2003) masih diatas negara-negara seperti malaysia (10), Thailand
(20), Vietnam (18), Brunei (8) dan Singapura (3). Walaupun demikian AKB tersebut
sudah menurun sebesar 41% selama 15 tahun ini yaitu dari 59 per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 1998-2002 (SDKI).

Universitas Sumatera Utara

Sekitar 40% kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama kehidupannya.
Penyebab kematian pada masa perinatal/neonatal pada umumnya berkaitan dengan
kesehatan ibu selama hamil, kesehatan janin selama didalam kandungan dan proses
pertolongan persalinan yang diterima ibu/bayi yaitu asfiksia, hipotermia karena
prematuritas/BBLR (Kepmenkes, 2005)
Hasil survey AKB di provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh FKM
USU pada tahun 2010, mencatat AKB Sumatera Utara 23/1.000 kelahiran hidup.
Kematian bayi 0-6 hari didominasi oleh gangguan kelainan pernapasan (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis (12%) (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara,
2011)
Bayi dengan BBLR merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai
kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Bayi dengan
BBLR hingga saat ini masih merupakan masalah di seluruh dunia karena penyebab
kematian pada masa bayi baru lahir. Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh
kelahiran di dunia dengan batasan 3,3 38%. Menurut Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per
1.000 kelahiran hidup. Dalam satu tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal.
Dengan kata lain setiap 6 menit ada satu neonatus meninggal di Indonesia oleh
berbagai sebab. Penyebab utama kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR), sebanyak 29 % (Depkes, 2007). Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR)
diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih
sering terjadi di negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah (Depkes, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain, yaitu berkisar antara 2,0%-15,1% (Aisyah,dkk 2010).
Statistik menunjukkan bahwa 90% dari kejadian BBLR didapatkan di negara
berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding bayi dengan berat
lahir lebih dari 2500 gram. Di Indonesia sendiri 29% kematian bayi secara langsung
dikarenakan BBLR (Proverawati & Ismawati, 2010)

Studi di Kuala lumpur

memperlihatkan terjadinya 20% kelahiran prematur bagi ibu yang tingkat kadar
haemoglobinnya dibawah 6,5gr/dl (Amiruddin, dkk 2007).
Berbagai faktor yang dapat meyebabkan terjadinya BBLR diantaranya adalah
faktor genetik, faktor demografi dan psikososial, faktor obstetrik, faktor nutrisi,
penyakit bawaan ibu, paparan racun, faktor pemeriksaan kehamilan (Kramer, 1987)
Anemia adalah salah satu faktor penyebab terjadinya anemia yang berasal dari
ibu yaitu, suatu keadaan adanya penurunan kadar haemoglobin, hematokrit dan
jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih sering disebut
kurang darah, kadar sel adarah merah (haemoglobin atau Hb) dibawah nilai normal.
Penyebab bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat
besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi sering terjadi adalah anemia karena
kekurangan zat besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kurangnya zat besi dalam tubuh (Nurhaeni, 2008).
Kehamilan merupakan suatu hal yang fisiologis yang menjadi dambaan setiap
pasangan suami istri. Kehamilan dapat menjadi patologis jika terdapat kelainankelainan yang berhubungan dengan kehamilan yang dapat menyebabkan kematian.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kematian adalah anemia, terjadinya
anemia dikarenakan kurangnya asupan gizi pada ibu hamil. Wanita hamil dengan
anemia meningkatkan risiko kematian ibu, prematuritas, Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) dan angka kematian bayi (Notobroto, 2003).
Penyebab masalah anemia gizi besi secara tidak langsung adalah kurangnya
daya beli masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sumber zat besi, terutama
dengan kesediaan biologik tinggi (asal hewan) ditambah lagi pada perempuan
kehilangan darah melalui haid atau pada persalinan. (Almatsier, 2009)
World Health Ogranization (WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu ibu
hamil yang

mengalami defisiensi besi sekitar 3575% serta semakin meningkat

seiring dengan pertumbuhan usia kehamilan. Anemia defisiensi zat besi lebih
cenderung berlangsung dinegara yang sedang berkembang dari pada negara yang
sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau sekitar 1400 juta orang) dari perkiraan
populasi 3800 juta orang dinegara yang sedang berkembang menderita anemia jenis
ini sedangkan prevalensi dinegara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta
orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang. Menurut WHO 40% kematian ibu
dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan (Nurhaeni, 2008)
Anemia merupakan masalah kesehatan yang penting bagi wanita hamil
terutama dinegara berkembang seperti di Indonesia. Secara umum di Indonesia
anemia merupakan penyakit ke-4 yang prevalensinya terbanyak dengan prevalensi
sebesar 20% (SKRT 2007). Sebanyak 40,1 diantaranya adalah ibu hamil dengan jenis
anemia yang domin an adalah anemia karena kekurangan zat besi. (SKRT 2007). Hal

Universitas Sumatera Utara

ini juga terbukti di Thailand bahwa penyebab utama anemia pada ibu hamil adalah
karena defisiensi zat besi (43,1%). Disamping itu studi di Malawi ditemukan dari 150
ibu hamil terdapat 32% mengalami defisiensi zat besi demikian juga dengan studi di
Tanzania memperlihatkan bahwa anemia ibu hamil berhubungan dengan defisiensi
zat besi (Fatimah, dkk 2011).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Depkes, 2008) Sulawesi Tenggara
termasuk Provinsi dengan prevalensi anemia sangat tinggi di Indonesia selain Maluku
utara, prevalensi anemia gizi ibu hamil di Sulawesi tenggara 6 2,5% selain itu Data
tahun 2009 Prevalensi Anemia pada ibu hamil 67,21% di Provinsi Sumatera Utara
(Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2009) . Banyak pada wanita hamil, anemia
gizi besi disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi
(Amiruddin dkk, 2004).
Persentase wanita hamil dari keluarga miskin terus meningkat seiring
bertambahnya usia kehamilan (8%

anemia di trimester I, 12 persen anemia di

trimester II dan 29% anemia pada trimester III). Sebuah penelitian yang dilakukan di
Manado pada Oktober 2002 terhadap 30 ibu hamil menunjukkan ada hubungan
positif antara pendapatan ibu hamil dengan kadar serum ferritin darahnya. (Fatmah,
2012).
Budaya adalah merupakan hal hal yang berkaitan dengan akal, dimana
mencakup kebiasaan kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masayarakat dan berperan dalam setiap aspek kehidupan, tetapi masih banyak
dijumpai sejumlah perilaku budaya yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip prinsip

Universitas Sumatera Utara

kesehatan menurut ilmu kedokteran atau bahkan membrikan dampak kesehatan yang
kurang menguntungkan bagi ibu dan anaknya (Syafrudin & Mariam, 2010).
Prilaku budaya yang berpengaruh terhadap anemia diantaranya adalah, pola
makan, makanan pantangan dan pembagian makanan dalam keluarga, hasil penelitian
Fatimah, dkk 2011 di Kabupatem Maros Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pola
makan ibu hamil memiliki hubungan yang signifikan terhadap rendahnya kadar Hb
ibu hamil, senada dengan penelitian Harnany 2006 di Kota Pekalongan menunjukkan
bahwa 85% ibu hamil yang anemia merupakan responden yang memiliki makanan
pantangan.
Status gizi ibu akan mempengaruhi status gizi janin dan berat lahir bayi.
Penilaian status gizi dan perubahan fisiologis selama hamil dapat digunakan untuk
memperkirakan laju pertumbuhan janin, misalnya berat badan bayi rendah sebelum
konsepsi serta pertambahan berat badan yang tidak adekuat (Arisman, 2004).
Status gizi ibu hamil sangat erat kaitannya dengan berat bayi lahir, bayi
dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gr mempunyai kesemapatan tinggi secara
statistik untuk mendapatkan penyakit atau meninggal pada awal kehidupannya. Pada
tubuh ibu yang kurang gizi tidak dapat membentuk plasenta yang sehat, yang cukup
menyimpan zat zat gizi untuk janin selama pertumbuhannya.
Maka gizi ibu yang kurang baik perlu diperbaiki keadaan gizinya atau yang
obesitas menjadi mendekati normal, yang dilakukan sebelum hamil. Sehingga mereka
mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapatkan bayi yang sehat, serta untuk
mempertahankan kesehatnnya sendiri (Soejiningsih, 2000)

Universitas Sumatera Utara

Status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan janin dalam


kandungan, apabila status gizi buruk, baik sebelum kehamilan atau pada saat
kehamilan akan menyebabkan BBLR. Disamping itu akan mengakibatkan
terlambatnya pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir, bayi baru lahir
mudah terinfeksi, abortus dan sebagainya. Kondisi anak yang terlahir dari ibu yang
kekurangan gizi dan hidup dalam lingkungan yang miskin akan menghasilkan
generasi yang kurang gizi dan mudah terkena penyakit infeksi. Keadaan ini biasanya
ditandai dengan berat dan tinggi badan yang kurang optimal (Soejiningsih, 2001)
Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2010) ternyata hanya 61,4 %
ibu hamil yang datang berkunjung untuk memeriksakan kehamilan 4 kali dengan pola
kunjungan 1 kali trimester 1, 1 kali trimester 2 dan 2 kali trimester 3 dengan
komponen lengkap pemeriksaan 5T hanya 19,9% dan provinsi Sumatera Utara yang
terendah hanya 6,8%. Sedangkan Cakupan pemeriksaan kehamilan K4 Propinsi
Sumatera Utara antara 70-82% padahal standar cakupan K4 seharusnya 95% (Profil
Sumatera Utara, 2011)
Kunjungan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan merupakan salah
satu cara untuk menurunkan angka kejadian BBLR penelitian Asiyah dkk, dikota
Kediri menunjukkan hal yang bertentangan ternyata 95% ibu yang melahirkan BBLR
4x atau lebih melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan tetapi dengan pelayanan
yang tidak sesuai dengan standar 7T.
Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Kecamatan Pancur Batu MeiSeptember 2012 terdapat ibu hamil 382 dan 8% diantaranya melahirkan bayi BBLR

Universitas Sumatera Utara

yang tersebar di 21 desa, dimana masih dijumpai penduduk dengan keadaan status
sosial ekonomi dibawah Upah Minimum Propinsi (UMP) dan latar belakang
pendidikan rendah selain itu dengan komposisi penduduk yang didominasi suku
Karo, Batak dan Jawa yang masih memegang prilaku sesuai dengan adat istiadatnya
dianhtaranya pada suku karo dilarang makan daun katuk, pada suku jawa dilarang
makan jantung pisang, minum es, dan dianjurkan untuk banyak makan minyak
goreng, pada suku batak dialarang minum es, makan pisang gempet, semuanya
prilaku ini dilaksanakan tanpa alasan yang logika. Ibu hamil juga kurang dari 4 kali
melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat topik
Pengaruh status sosial ekonomi, budaya dan pemeriksaan kehamilan ibu terhadap
kejadian BBLR di wilayah kerja puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.

1.2.Permasalahan
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh status sosial ekonomi
budaya dan pemeriksaan kehamilan ibu terhadap kejadian BBLR di wilayah kerja
puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang tahun 2012

1.3.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh status sosial ekonomi
(pendidikan dan pendapatan) dan budaya (pola makan, makanan pantangan dan
pembagian makanan dalam keluarga) pemeriksaan kehamilan ibu (jumlah kunjungan

Universitas Sumatera Utara

dan komponen pelayanan 7T) terhadap kejadian BBLR di wilayah kerja Puskesmas
Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.

1.4.Hipotesis
Faktor sosial ekonomi, budaya dan pemeriksaan kehamilan ibu berpengaruh
terhadap kejadian BBLR di wilayah kerja puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang tahun 2012.

1.5.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan:
1.5.1. Bermanfaat sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan di Dinas
Kesehatan dalam program penanggulangan BBLR.
1.5.2. Bermanfaat sebagai bahan informasi bagi petugas kesehatan agar mendeteksi
secara dini anemia pada kehamilan yang akan menyebabkan peningkatan
BBLR

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai