Anda di halaman 1dari 23

1.

Epilepsi
Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang
berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi di otak (1).
Etiologi Epilepsi
Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit serebrovaskuler
(stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala,
gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat) (2). Beberapa faktor lainnya adalah
gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang.
Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan
frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang
seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion),
dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang (3).
Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi internasional kejang epilepsi dapat dilihat pada tabel I. Kejang diklasifikasikan
menjadi dua kategori umum yaitu : (a) kejang parsial (kejang parsial dapat disebabkan oleh
suatu lesi pada beberapa bagian korteks, seperti tumor, malformasi perkembangan atau
stroke) dan (b) kejang umum (kejang umum sering disebabkan oleh genetik) (4).
Tabel I. Klasifikasi internasional kejang epilepsi (5-6) :
1. Kejang parsial (awal terjadi kejang secara lokal)

a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)


(1) Disertai gejala motor
(2) Disertai gejala sensori khusus atau somatosensori
(3) Disertai gejala kejiwaan
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
(1)

Kejang

parsial

sederhana,

diikuti

gangguan

kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.


(2) Diawali gangguan kesadaran, diikuti gangguan
kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.
c. Umum sekunder (pada awalnya kejang parsial dan
berubah menjadi kejang tonik-klonik)
2. Kejang umum
a. Absen
b. Myoklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
g. Spasme infantil
3. Kejang yang tidak dapat diklasifikasikan

4. Status epileptikus

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan
neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan
inhibitori (7). Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid
(GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas
neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat,
aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida,
sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu,
dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh
abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan
dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron (8).
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal
Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca 2+, sehingga ion-ion Na+ dan
Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada
membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam
penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat
peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus
menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan
cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5
Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat).
Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na + dan Ca2+ yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis
NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor
glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua
obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf
yang teraktivasi (9). Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang
menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.
Gajala Klinis (10)

(1) Gajala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada setiap
pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama.
(2) Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial.
(3) Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
(4) Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat.
(5) Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi kehilangan
kesadaran.
Penegakan Diagnosis (10)
1. EEG (electroencephalogram) sangat berguna dalam diagnosis berbagai macam jenis
epilepsi.
2. EEG mungkin normal pada beberapa pasien yang secara klinis masih terdiagnosis
epilepsi.
3. MRI (magnetic resonance imaging) sangat bermanfaat (khususnya

dalam

menggambarkan lobus temporal), tetapi CTscan tidak membantu, kecuali dalam


evaluasi awal untuk tumor otak atau perdarahan serebral.

Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :


1. Menentukan diagnosis yang tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis epilepsi
mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam jangka
waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat
antiepilepsi. Penderita juga dinilai oleh masyarakat sebagai penderita epilepsi yang menurut
penilaian masyarakat penyakit tersebut adalah penyakit kutukan. Sangat disayangkan apabila
penderita sinkop yang berulang, diterapi dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu dibutuhkan

pengetahuan yang baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis epilepsi. Jangan pernah
coba-coba dalam terapi epilepsi.
2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi
Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien dengan serangan
epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan. Keputusan ini seharusnya dibuat
setelah mendiskusikan dan mengevaluasi keadaan pasien, menimbang manfaat dan kerugian
pengobatan.
Setelah kejang pertama
Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko terjadinya bangkitan
selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non epileptik, pengobatan harus ditujukan
pada faktor penyebab yang mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi
dengan glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik dengan
perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat diatasi
dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal,
risiko pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita epilepsi benigna
dengan spikes di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat karena
penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya sedikit serangan
nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya
bangkitan akan berulang (termasuk tumor otak, displasia kortikal dan malformasi
arteriovenosa).
Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-ragu untuk
memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan mempertimbangkan dilakukannya
tindakan bedah.
Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik seringkali gagal.
Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik
(2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya,
yaitu treat, possibly treat dan probably treat.
Tabel 1

A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteiovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todds postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.

C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :


a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan
pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya alcohol,
penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi,
hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala),
sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan
spikes sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang akibat hal-hal
di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang mengalami kejang pertama
namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang
yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang
pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan risk and benefit
setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien. Sebagai contoh terapi diindikasikan
untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi kekambuhan sewaktu-waktu maka
akan membahayakan pasien bahkan mengancam nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan
pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai risiko terjadinya kejang
kedua biasanya hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar

terjadi pada dua tahun pertama. Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka
penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang pertama.
3. Memilih obat yang paling sesuai
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien
1. Tipe serangan
Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan

First-line

Second-line/

Third line/

add on

add on

Asam valproat

Tiagabin

Levetiracetam

Vigabatrin

Zonisamid

Felbamat

Pregabalin

Pirimidon

Asam valproat

Lamotrigin

Topiramat

Karbamazepine

Okskarbazepin

Levetiracetam

Parsial simple & Karbamazepine


kompleks dengan
atau tanpa general Fenitoin
sekunder
Fenobarbital
Okskarbazepin
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin

Tonik klonik

Mioklonik

Fenitoin

Zonisamid

Fenobarbital

Pirimidon

Asam valproat

Topiramat

Lamotrigin

Levetiracetam

Clobazam

Zonisamid

Clonazepam

Fenobarbital

Absence (tipikal Asam valproat


dan atipikal)
Lamotrigin

Etosuksimid

Atonik

Lamotrigin

Asam valproat

Levetiracetam
Zonisamid

Felbamat

Topiramat

Tonik

Asam valproat

Clonazepam

Fenitoin

Clobazam

Fenobarbital

Epilepsy
juvenil

absence Asam valproat

Clonazepam

Etosuksimid

Epilepsy
mioklonik juvenil

Asam valproat

Clonazepam

Fenobarbital

Etosuksimid

2. karakteristik pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus dipertimbangkan
secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang
tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien
tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka
sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya
wanita yang masih dalam usia subur.
4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah yang
direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol dengan efek
samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).

Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan dengan
melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian memutuskan apakah
selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah evaluasi dilakukan, baru kemudian
dipertimbangkan adanya penambahan dosis.
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk
meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi pada
permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung menurun
pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis
awal :
Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik
Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis awal,
di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin, pirimidone, tiagabin,
topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada penggunaan lamotrigin dihubungkan
dengan dosis. Untuk meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat
tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap
sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak
dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang
dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan
menaikkan dosis yang lebih kecil.
Pemberian obat mulai dari dosis terapetik
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti gabapentin,
fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi dengan obat
tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang direkomendasikan.
Evaluasi ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat antiepilepsi
dengan obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :

a. Diagnosis epilepsi
b. Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
c. Adanya lesi aktif
d. Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa diberikan
dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?apakah pengaturan dosis yang diberikan
cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)
e. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang paling umum
terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).
Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

Obat

Dosis
(mg/hari)

awal Dosis
paling

yang Dosis
umum maintenance

Frekuensi
pemberian

(mg/hari)

(mg/hari)

(kali/hari)

Fenitoin

200

300

100-700

1-2

Karbamazepin

200

600

400-2000

2-4

Okskarbazepin

150-600

900-1800

900-2700

2-3

Lamotrigin

12,5-25

200-400

100-800

1-2

Zonisamid

100

400

400-600

1-2

Ethosuximid

500

1000

500-2000

1-2

Felbamat

1200

2400

1800-4800

Topiramat

25-50

200-400

100-100

Clobazam

10

20

10-40

1-2

Clonazepam

2-8

1-2

Fenobarbital

60

120

60-240

1-2

Pirimidon

125

500

250-1500

1-2

Tiagabin

4-10

40

20-60

2-4

Vigabatrin

500-1000

3000

2000-4000

1-2

Gabapentin

300-400

2400

1200-4800

Pregabalin

150

300

150-600

2-3

Valproat

500

1000

500-3000

2-3

Levetiracetam

1000

2000-3000

1000-4000

5. Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
1. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus
segera dipilih.
2. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama,
dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat

yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang
pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan
terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai
monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru
politerapi dipertimbangkan.
5. Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi.
Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah dilakukan evaluasi hasil
pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah, (3) efek samping minimal, (dapat
ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat.
Dewasa ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat
tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling
tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan
mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan
tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995).
Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah:
(1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar
obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme
aksi yang jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme
terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak
lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang
penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari.
Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi.
Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan
pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan
sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995).
6. Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt (1995)
mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan sedikit

interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan vigabatrin sebagai
terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya
sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien
mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.
Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik,
terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena
itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de
Biitencourt,1995).
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya: valproat dan
etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat
lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan
lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang
rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar
terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan
menggunakan obat-obat yang:
(1) mempunyai mekanisme aksi berbeda;
(2) efek samping relatif ringan;
(3) indeks terapi lebar, dan
(4) interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek samping obat
relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).
Fong (1995) mengatakan bahwa kombinasi obat hanya dipakai apabila semua upaya
monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak menolong,
obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap diteruskan,
sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat dari kelompok lini kedua. Apabila obat
lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat pertama. Sebaliknya, obat

lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya
tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus
epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada
kasus itu, atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.
7. Pemantauan terapi
Manajemen umum epilepsi :
1. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat
2. Menentukan dan mengobati penyebab
3. Mengobati serangan :
a. Menilai perlunya terapi obat :
b. Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang reversible
c. Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui dengan pasti
( kejang demam, rolandic epilepsy)
d. Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah banyak
manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko tinggi.
e. Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
f. Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alcohol, kurang tidur, stress emosional,
demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
g. Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi stimulator
nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat antiepilepsi.
4. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
b. Hentikan kejang
c. Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien

d. Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.


8. Ketaatan pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat menrupakan faktor
prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada penderita epilepsi yang patuh
minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan terus menerus
dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang
dipakai adalah menurut Ley (1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh
minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang
dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat
yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain
yang tidak dianjurkan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi
dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya
efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya pengobatan serta adanya
pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas, 2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi adalah dukungan keluarga,
dukungan dokter, motivasi yang baik, kontrol teratur dan tidak ada stigma akibat epilepsi.
Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi kita harus memperhatikan faktor-faktor apa saja
yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan, disamping tentunya faktor obat
yang efikasius, dosis yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus diperhatikan.

Penggolongan obat antiepilepsi


(1) Hidantoin
Fenitoin

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan
pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11). Fenitoin memiliki range
terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam
darah (12). Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na +) (13)
yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11). dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis
awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam
(10). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP,
sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda),
disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin
terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga
mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia (14).
(2) Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik (11).
Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang
penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai
obat utama (15). Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan
konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek
langsung terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan
durasi pembukaan reseptor GABAA (7) dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida).
Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic
GABAergic inhibition (16). Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis
pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari (14). Efek samping SSP merupakan hal yang umum
terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah
kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat
menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan
Stevens-Johnson syndrome (10).
(3) Deoksibarbiturat

Primidon
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik (4). Primidon
mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori (11). Efek anti kejang primidon hampir
sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi
metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA) (4). PEMA dapat
meningkatkan aktifitas fenobarbotal (11). Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (7). Efek
samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan,
perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi (11).
(4) Iminostilben
(a)

Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik (4). Karbamazepin


digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik (11).
Karbamazepin menghambat kanal Na+ (7), yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+
kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6
tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan
dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa
400 mg 2 kali sehari (8). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin
adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual,
goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan usia (10).
(b) Okskarbazepin
Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug
yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal (4). Okskarbazepin digunakan untuk
pengobatan kejang parsial (10). Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme
kerja karbamazepin (4). Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 810mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari (11). Efek samping
penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi,

dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping
lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin (10).
Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450 (4).
(5) Suksimid
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan target dari
beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca 2+ tipe T. Talamus
berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca 2+ tipe T pada
kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada
kejang absens (4). Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal
dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih
dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari (11). Efek samping penggunaan etosuksimid adalah
mual

dan

muntah,

efek

samping

penggunaan

etosuksimid

yang

lain

adalah

ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri


tegak), pusing dan cegukan (10).
(6) Asam valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik (11). Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan
menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga
berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta
mempengaruhi kanal kalium (10). Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11).
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual,
muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin
ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam
valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari
penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme
yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi
tidak sampai menyebabkan kerusakan hati (10).

Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan
dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan.
Valproat

sendiri

juga

dapat

menghambat

metabolisme

lamotrigin,

fenitoin,

dan

karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme


valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5%
saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut (12).
(7) Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang (11). Benzodiazepin merupakan agonis
GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan
reseptor GABAA (7). Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 611 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari
(7). Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas,
kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual
(11).
(8) Obat antiepilepsi lain
(a)

Gabapentin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun
kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati (12). Uji double-blind dengan
kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa
penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo.
Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan
dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800
mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600
mg/hari) (15). Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui
mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks
saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe
T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terusmenerus (4). Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 512 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali

sehari (11). Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan
ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa
pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan (10).
(b) Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki
efikasi pada parsial dan epilepsi umum (10). Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat
metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal
Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam
amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari (11). Penggunaan
lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien
geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan
berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat
menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. StevensJohnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin (10).
(c)

Levetirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxopyrrolidine acetamide) (31). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik (10). Mekanisme levetirasetam dalam
mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan
levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N (11) dan mengikat protein sinaptik yang
menyebabkan penurunan eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan
levetiracetam dengan protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2
kali sehari (7). Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek
pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam (10).
(d) Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik,
dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium
(Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan

menghambat karbonat anhidrase yang lemah (11). Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari (7).
Efek samping utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit
berkonsentrasi, sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau
abnormal). Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan
penurunan berat badan (10).
(e)

Tiagabin

Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16 tahun. Tiagabin
meningkatkan aktivitas GABA (11), antagonis neuron atau menghambat reuptake GABA (7).
Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah pusing,
asthenia (kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi (17).
Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP (10).
(f)

Felbamat

Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan
bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia
aplastik (11). Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon
GABA (4). Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali
sehari (11). Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah
anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia
dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi
kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang
mempunyai riwayat penyakit cytopenia (10).
(g) Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid (4) yang digunakan sebagai terapi tambahan
kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa (11). Mekanisme aksi zonisamid
adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca 2+) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali
sehari (7). Efek samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit
kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal (10).

Anda mungkin juga menyukai