Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta


Lepra (penyakit kusta, Morbus Hansen) adalah suatu penyakit infeksi
kronis pada manusia yang disebabkan Mycobacterium leprae (M. leprae) yang
secara primer menyerang saraf perifer dan sekunder menyerang kulit dan mukosa
saluran nafas bagian atas mata, otot, tulang dan testis (Amirudin dalam Harahap,
2000).
Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah tersebut
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial, ekonomi, psikologis
(dalam Hutabarat, 2008)
2.1.2 Etiologi
Menurut Amirudin dalam Harahap (2000), Penyebab penyakit ini adalah
Mikobakterium lepra (Mycobacterium leprae, M. lepra).
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraselular,
menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian
atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri M.
leprae 12-21 hari dan masa tunasnya 40 hari 40 tahun (Mansjoer dkk, 2000).
Menurut Entjang (2003), bentuk batang, Gram positif, tahan asam (acidfast), tidak bergerak, sampai sekarang belum dapat dibiakkan.

2.1.3 Epidemiologi
Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya. (Kokasih dalam Djuanda,
2008)
Menurut Amirudin dalam Harahap (2000), Sebenarnya kapan penyakit
kusta ini mulai bertumbuh tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada yang
berpendapat penyakit ini berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir,
Eropa, Afrika dan Amerika.
Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari
pasien kusta tipe MB (Multi basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat
(Mansjoer dkk, 2000).
Penyakit ini menyerang segala umur namun jarang sekali pada anak
dibawah usia 3 tahun. Hal ini diduga berkaitan dengan masa inkubasi yang cukup
lama. Namun meskipun sebagian besar penduduk di daerah endemik lepra pernah
terinfeksi M. Leprae tidak semua akan terserang penyakit ini karena kekebalan
alamiah terhadap kuman tersebut. Diperkirakan sekitar 15% dari populasi
didaerah endemis kekebalan tubuhnya tidak cukup untuk membunuh kuman yang
masuk dan kemungkinan suatu saat bisa terserang penyakit ini (Edington dalam
Lenna, 2004).
Menurut Entjang (2003), masa inkubasinya antara beberapa bulan sampai
beberapa tahun. Seseorang bisa saja mendapatkan penularan pada masa kanakkanak, tetapi gejala penyakitnya baru muncul setelah dewasa.

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak


perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber
penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan iklim (Mansjoer
dkk, 2000).
2.1.4

Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan

gejala-gejala utama atau Cardinal signs, yaitu :


a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi)
atau kemerahan (eritematous) yang mati rasa.
b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang
dilayani oleh saraf tersebut, dan dapa berupa :
1. Gangguan fungsi sensorik

: mati rasa/ kurang rasa

2. Gangguan fungsi motorik

: paresis atau paralysis

3. Gangguan fungsi otonom

: kulit kering, retak, edema.

c. Basil tahan asam (BTA)


Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping
telinga serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf
seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas untuk penyakit kulit lain
dan menurut pengalaman kemungkinan besar mengarah ke kusta, maka
kita dapat menetapkan seseorang tersebut sebagai suspek kusta.

10

Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda


utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka
(suspek) kusta.
Pemeriksaan apusan kulit (skin smear) beberapa tahun terakhir tidak
diwajibkan dalam program nasional untuk penegakan diagnosis kusta. Tetapi saat
ini program nasional mengambil kebijakan untuk mengaktifkan kembali
pemeriksaan skin smear. Pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk
mempercepat penegakan diagnosis karena sekitar 7-10% penderita yang datang
dengan lesi PB yang meragukan merupakan kasus MB yang dini. Bila
pemeriksaan bakteriologis tersebut juga tidak ditemukan BTA, maka tersangka
perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan kemudian atau dirujuk ke dokter
spesialis kulit hingga diagnosa dapat ditegakan atau disingkirkan (Ditjen PPM dan
PL 2007 dalam Olii, 2009).
Diagnosis banding penyakit kulit yang jarang ditemukan:
1. Frambusia

(Yaws) : lesi berupa beberapa benjolan (nodul) yang

berkelompok di tungkai, berwarna merah, permukaan kasar dan terdapat


krusta berwarna kuning. Kadang-kadang berulserasi dan sembuh
membentuk parut atrofi berwarna agak putih. Gambar wajah tampak lesi
atrofi, hipopigmentasi, dan kadang-kadang sensasi terhadap rasa raba dan
nyeri agak terganggu.
2. Granuloma Multiforme : penyakit ini pada beberapa tingkatan sangat
menyerupai kusta. Pertama kali ditemukan dan terutama ditempat lain di
dunia. Penyebabnya masih belum diketahui, kemungkinan merupakan satu

11

varian dari granuloma anulare. Tahap awal ditandai oleh adanya gatal
(tidak terjadi pada kusta). Lesi menghilang sendiri cepat atau lambat dan
tidak ada respon terhadap pengobatan apapun. Fungsi sensasi, pengeluaran
keringat dan saraf perifer normal.
3. Pellagra : bercak dapat menyerupai kusta tipe PB yang sedang mengalami
reaksi. Lesi khas, simetris, tanpa keluhan dan seringkali dihubungkan
dengan

malnutrisi,

alkoholisme

dan kemiskinan.

Fungsi

sensasi

pengeluaran keringat dan saraf perifer normal. Lesi tersebut (serta keadaan
umum pasien) memberikan respon cepat dengan pemberian asam nikotinat
(McDougall dan Yuasa, 2005),
2.1.5 Klasifikasi Lepra
Menurut WHO 1988 dalam Mardika (2004) membagi lepra atas dua tipe
yaitu :
1. Paucibacillary (PB), indeks bakteri < 2+, termasuk indeterminate TT,
BT smear negatif
2. Multibacillary (MB), indeks bakteri 2+, termasuk tipe BT smear
positif, BB, BL dan LL.

12

Menurut WHO (1995) dan Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP (1990)


membagi tipe Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB)
Tabel 2.1. Klasifikasi PB dan MB menurut P2MPLP
Kelainan kulit dan hasil
Tipe PB
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (Makula)
a. Jumlah
1-5
b. Ukuran
Kecil dan besar
c. Distribusi
Unilateral atau
bilateral simetris
d. Permukaan
Kering dan kasar
e. Batas
Tegas
f. Gangguan
Selalu ada dan jelas
sensibilitas
g. Kehilangan
kemampuan
berkeringat,
bulu
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit

Bercak tidak
berkeringat, ada bulu
rontok pada bercak

Tidak ada

b. Membran
mukosa Tidak pernah
(hidung
tersumbat
pendarahan
dihidung)
3. Nodulus
Tidak ada
4. Penebalan syaraf tepi
Lebih sering terjadi
dini, asimetris

Tipe MB

Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas,
jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut.
Bercak masih
berkeringat, bulu
tidak rontok.

Ada, kadang-kadang
tidak ada
Ada, kadang-kadang
tidak ada

Kadang-kadang ada
Terjadi pada yang
lanjut biasanya lebih
dari satu dan simetris

5. Deformitas

Biasanya asimetris
terjadi dini

Terjadi pada stadium


lanjut

6. Sediaan apus

BTA negatif

BTA positif

7. Ciri-ciri khusus

Central healing
penyembuhan
ditengah

Punched out lesion


(lesi seperti kue
donat), madarosis
ginekomastia,
hidung pelana, suara
sungau.

Sumber Mansjoer (2000)

13

Tabel 2.2. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)


Tipe PB

1. Lesi kulit (Makula datar,


papul

yang meninggi,

nodus)

Tipe MB

1-5 lesi

>5 lesi

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi

Distribusi tidak simetris

lebih simetris

Hilangnya sensi yang Hilangnya


sensasi
jelas
kurang jelas

2. Kerusakan

saraf

Hanya satu cabang saraf

(menyebabkan hilangnya
sensi/kelemahan

otot

yang

oleh

dipersarafi

Banyak
cabang syaraf

saraf yang terkena)


Sumber : Kokasih A dalam Djuanda (2008)
2.1.6 Penularan Penyakit Kusta
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar
ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama
dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar
keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu
menjadi tempat lesi pertama (Mansjoer dkk, 2000).
Menurut Entjang (2000), cara penularan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung, melalui kulit yang ada lukanya atau lecet, dengan kontak yang
lama dan berulang-ulang.
Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita mempunyai
resiko tertular lebih besar.

14

Menurut Mansjoer dkk (2000), Kusta dapat menyerang semua umur, anakanak lebih rentan dari pada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok
dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12
tahun.
2.1.7

Pengobatan dan Pencegahan

A. Pengobatan
1. Lepra tipe PB
Jenis dan obat untuk orang dewasa
Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)
a. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan
2. Lepra tipe MB
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28
a. 1 tablet Lampren 50 mg
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

15

1 blister untuk 1 bulan


Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan
3. Dosis MDT Menurut Umur
Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe PB
digunakan bagan sebagai berikut :
Nama
Obat
Rifampisin

< 5 tahun

5-9
Tahun
300
mg/bln

10-14
tahun
450
mg/bln

>15 tahun

keterangan

600
mg/bln

Minum di
depan
petugas

Berdasarkan 25 mg/hari
Berat Badan

50
mg/hari

100
mg/hari

Minum di
depan
petugas

25 mg/hari

50
mg/hari

100
mg/hari

Minum di
rumah

DDS

Sumber : Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi UPK (2011)

16

Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe MB


digunakan bagan sebagai berikut :
Nama
Obat
Rifampisin

< 5 tahun

5-9
Tahun
300
mg/bln

10-14
tahun
450
mg/bln

>15
tahun
600
mg/bln

Keterangan

25 mg/hari

50
mg/hari

100
mg/hari

Minum di
depan
petugas

25 mg/hari

50
mg/hari

100
mg/hari

Minum di
rumah

100
mg/bln

150
mg/bln

300
mg/bln

Minum di
depan
petugas

DDS

Berdasarkan
Berat Badan

Clofazimine
50 mg
50 mg
50
2 kali
setiap 2
mg/hari
seminggu hari
Sumber : Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi UPK (2011)

Minum di
depan
petugas

Minum di
rumah

Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan
a. Rifampisin : 10-15 mg/ kg BB
b. DDS

: 1-2 mg/ kg BB

c. Clofazimin : 1 mg/ kg BB
B. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil
penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan

17

kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara


teratur (Zulkifli, 2003).
Sementara itu menurut Entjang (2000), usaha pencegahan pribadi adalah
menghindari kontak dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka
hygiene badan cukup menjamin pencegahannya. Hygiene lingkungan yang baik
dan makanan yang sehat cukup kwalitas maupun kwantitasnya. Usaha pencegahan
untuk masyarakat, dilaksanakan dengan menghilangkan sumber penularan yaitu
dengan mengobati semua penderita.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah
dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab (Zulkifli, 2003).
Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan maka
pemberantasannya dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu:
1. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam
masyarakat untuk diberikan pengobatan yang sebaik-baiknya.
2. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding)
a. Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin
dicapai penderita.
b. Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan
kunjungan rumah untuk diberikan pengobatan dan penerangan.

18

c. Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia


tidak lepas dari pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan
karena jangka waktu pengobatannya sangat lama, minimal tiga
tahun terus menerus.
3. Pendidikan kesehatan tentang penyakit lepra kepada masyarakat :
a. Agar masyarakat mempunyai pengertian yang wajar tentang
penyakit

lepra

tanpa

membesar-besarkannya

maupun

mengecilkannya.
b. Agar masyarakat dapat mengenal gejala penyakit lepra pada
tingkat awal, sehingga pengobatan dapat segera diberikan supaya
memudahkan penyembuhan dan mencegah terjadinya kecacatan.
c. Agar masyarakat tahu bahwa penyakit lepra dapat disembuhkan
asal

pengobatan

dilaksanakan

secara

teratur.

Pentingnya

pengobatan ini tidak hanya untuk penyembuhan saja, melainkan


juga untuk mencegah penularan kepada anggota keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
d. Agar masyarakat menyadari bahwa penghuni serumah (contact
person) harus memeriksakan diri setiap tahun untuk menemukan
kasus-kasus yang dini (Entjang , 2000).

19

2.1.8 Evaluasi Pengobatan


Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta
adalah sebagai berikut :
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu
6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan
laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam
waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan
pemeriksaan (surveillance)dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
d. Masa pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
a) Tipe PB selama 2 tahun
b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium
e. Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun
tidak mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register pasien.
f. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembalisetelah pernah dinyatakan sembuh atau
RFT (Depkes dalam Mansjoer dkk , 2000)

20

2.2 Lingkungan Fisik Rumah


b. Kondisi Fisik Bangunan
Rumah adalah tempat tinggal dimana seluruh anggota rumah tangga tinggal
dan menjalankan kegiatan sehari-hari dari makan hingga tidur, sehingga kondisi
rumah yang ditempati dapat mempengaruhi status dan derajat kesehatan
penghuninya (Badan Pusat Statistik dalam Harun, 2011).
Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat
berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta
keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO
Mengenai Kesehatan dan Lingkungan dalam Silitonga, 2010).
Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, dapat digolongkan menjadi 3
golongan, yaitu:
1) Rumah permanen, memiliki ciri dinding bangunannya dari tembok,
berlantai semen atau keramik, dan atapnya berbahan genteng.
2) Rumah semi-permanen, memiliki ciri dindingnya setengah tembok
dan setengah bambu, atapnya terbuat dari genteng maupun seng
atau asbes, banyak dijumpai pada gang-gang kecil.
3) Rumah non-permanen, ciri rumahnya berdinding kayu, bambu atau
gedek, dan tidak berlantai (lantai tanah), atap rumahnya dari seng
maupun asbes (Silitonga, 2010).
Rumah yang sehat tidaklah harus mahal yang terpenting adalah memenuhi
syarat rumah sehat serta penghuni dalam rumah dapat hidup dengan baik. Bahan

21

bangunannya tidak harus mahal. Lantai rumah yang terpenting tidak bersentuhan
dengan tanah.
c. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah yang berarti kadar CO2
yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Fungsi kedua dari
ventilasi adalah untuk membebaskan ruangan dari bakteri-bakteri pathogen karena
disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus (Susanta, 2007).
Menurut Notoatmodjo ada dua macam ventilasi, yakni :
1. Ventilasi alamiah, dimana aliran udara didalam ruangan tersebut
terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubanglubang pada dinding dan sebagainya. Dipihak lain ventilasi alamiah
ini tidak menguntungkan karena juga merupakan jalan masuknya
nyamuk dan serangga lainnya kedalam rumah. Untuk itu harus ada
usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk
tersebut.
2. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk
mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin dan mesin pengisap
udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di
pedesaan. Perlu diperhatikan disini bahwa sistem pembuatan ventilasi
harus dijaga agar udara tidak mendeg atau membalik lagi, harus

22

mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah harus ada jalan masuknya


dan keluarnya udara (dalam Harun, 2011).
Penghitungan luas ventilasi dilakukan dengan cara membagi jumlah luas
lubang ventilasi dalam ruangan dibagi luas lantai ruangan tersebut. Bila ruangan
digunakan setiap hari, maka ventilasi ruangan tersebut dimasukkan kategori ada,
luas 10% luas lantai (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI dalam Harun, 2011).
C. Suhu
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan
derajat. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer
ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang
memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25 C, dan suhu rumah yang
tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 C atau > 25 C (Susanta, 2007).
Suhu dalam rumah akan mempengaruhi derajat kesehatan penghuninya.
Menurut Desikan dalam Kartini (2004), Daerah yang panas dengan kelembaban
tinggi merupakan faktor mempermudah penularan penyakit. Hal ini terbukti
karena M.leprae hidup optimal pada suhu 30-33 C dan kelembaban tinggi.
Kuman M.leprae sebagai penyebab penyakit kusta merupakan kuman yang
dapat hidup dengan baik di suhu 27-30C . Oleh karena itu suhu dalam ruangan
(rumah) harus di jaga agar tidak melebihi batas normal (20C-25C).
D. Kelembaban
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam
udara. Secara

umum

penilaian

kelembaban

23

dalam

rumah

dengan

menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan Kualitas Kesehatan


Lingkungan dan Pemukiman kelembaban

udara

yang

memenuhi syarat

kesehatan dalam rumah adalah 40-70% (Depkes RI 1994 dalam Fatimah, 2008).
Rumah yang memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya, rumah yang lembab akan menjadi
tempat yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri.
E. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian merupakan keadaan dimana kondisi antara jumlah
penghuni dengan luas seluruh rumah seimbang dengan jumlah penguninya.
Apabila luas rumah tidak seimbang dengan jumlah penguni atau melebihi akan
berdampak negatif pada kesehatan (Maku, 2009).
Dilihat dari segi kesehatan kondisi rumah dengan padat penghuni atau
tidak sesuai dengan ketentuan dapat berpengaruh terhadap penularan penyakit
terutama penyakit yang dapat menular lewat udara seperti penyakit kusta.
Mukono dalam Harun, (2011), Berdasarkan Dir. Higiene dan Sanitasi
Depkes RI, 1993 maka kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi
standar (9 m per orang) dan kepadatan tinggi yaitu lebih 9 m per orang dengan
ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung
setengah.
Suhu di dalam rumah dipengaruhi oleh jumlah penghuni di dalam rumah
dan luas rumah yang ditempati. Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan
jumlah penghuni akan menyebabkan suhu di dalam rumah menjadi tinggi dan hal
ini yang dapat mempercepat penularan suatu penyakit.

24

2.3 Kerangka Berpikir


a. Kerangka Teori
Perorangan

Lingkungan

Hygiene
Kepadatan
Penduduk
Lingkungan Fisik :

Kusta
PB & MB

Sosial
Ekonomi

Pendidikan

Pekerjaan

1. Kondisi fisik
bangunan
2. Ventilasi
3. Suhu
4. Kelembaban
5. Kepadatan
hunian

Status Gizi
Pencahayaan
Imunitas

Malnutrisi

25

b. Kerangka Konsep
Lingkungan Fisik Rumah
1.
2.
3.
4.
5.

Kondisi fisik bangunan


Ventilasi
Suhu
Kelembaban
Kepadatan Hunian

Penderita Kusta

1. Kondisi fisik bangunan : kondisi fisik bangunan rumah yang ditempati


dapat mempengaruhi status dan derajat kesehatan penghuninya, baik itu
rumah permanen, semi permanen dan non permanen.
2. Ventilasi : ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan sehingga
pertukaran oksigen didalam ruangan terjaga.
3. Suhu : suhu rumah yang terjaga serta memenuhi syarat sehingga tidak
akan mempengaruhi derajat kesehatan penghuninya.
4. Kelembaban : kelembaban rumah yang terjaga dan memenuhi syarat
sehingga tidak menjadi tempat media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme seperti bakteri.
5. Kepadatan hunian : keadaan dimana kondisi antara jumlah penghuni
dengan luas seluruh rumah seimbang, sehingga tidak mempermudah
penularan penyakit yang ditularkan lewat udara.

26

Anda mungkin juga menyukai