Anda di halaman 1dari 7

Fatwa-fatwa Seputar Berhari Raya

Dengan Pemerintah
Disusun Oleh: Armen Halim Naro

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah


Syaikhul Islam ditanya tentang sebagian penduduk sebuah kota melihat hilal Dzul
Hijjah. Tetapi tidak diakui oleh pemerintah kota. Apakah mereka berpuasa yang'
zhahirnya tanggal 9 (Dzul Hijjah), padahal,yang sebenarnya 10 (Dzulhijjah)?
Syaikhul Islam menjawab: Benar. Mereka harus berpuasa pada (tanggal) 9 yang secara
zhahir diketahui mereka, sekalipun hakikatnya pada (hari tersebut) adalah 10 (Dzul
Hijjah), jika memang ru'yah mereka benar. Sesungguhnya di dalam Sunan (disebutkan)
dari Abu Hurairah, dari Nabi, Beliau bersabda:
Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian
berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah had ketika kalian (semua) menyembelih.
1
(Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkannya).
Dari Aisyah RA beliau berkata: Rasulullah telah bersabda,
"(Idul) Fitri, (yaitu) ketika semua manusia berbuka. Dan Idul Adha, (yaitu) ketika semua
orang menyembelih" (Diriwayatkan oleh Tirmidzi).
Dan perbuatan ini yang berlaku di semua kalangan para imam kaum Muslimin.2
Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al Bani berkata: Saya berpendapat bahwa
masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, ti dak berpecah belah;
sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain
-baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan
-memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di sebagian negara
Arab. Wallahul musta'an".3
Menurut penulis, jika dalam permasalahan puasa Syaikh menyerukan untuk berpuasa
dengan pemerintah, maka tentu berhari raya lebih dianjurkan lagi.

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baz


Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Saya dari Asia Tenggara. Tahun Hijriah kami
terlambat satu hari dibandingkan dengan Kerajaan Arab Saudi. Dan kami - para
mahasiswa- akan bersafar pada bulan Ramadhan tahun ini. Rasulullah bersabda,

"Puasalah kalian dengan melihatnya (hilal, Pen) dan berbukalah kalian -dengan
melihatnya..." sampai akhir hadits. Kami telah memulai puasa di Kerajaan Arab Saudi,
kemudian akan bersafar ke negara kami pada bulan Ramadhan. Dan di penghujung
Ramadhan, puasa kami menjadi 31 hari. Pertanyaan kami, bagaimana hukum puasa kami
dan berapa hari kami harus berpuasa?
Beliau (Syaikh) menjawab: Jika Anda berpuasa di Saudi atau di tempat lainnya;
kemudian sisanya berpuasa di negara Anda, maka berbukalah bersama mereka (yaitu
berhari rayalah bersama mereka, Pen), sekalipun berlebih dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai
dengan sabda Rasulullah:
"Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua kalian
berbuka".
Akan tetapi, jika tidak sampai 29 hari, maka hendaklah disempurnakan, karena bulan
tidak akan kurang dari 29 hari. Wallahu waliyyut taufiq.4
Beliau juga ditanya: Jika telah pasti masuk bulan Ramadhan di salah satu negara Islam,
seperti Kerajaan Arab Saudi, dan selanjutkan negara tersebut mengumumkannya, akan
tetapi di negara yang saya tempati belum diumumkan masuknya bulan Ramadhan,
bagaimanakah hukumnya? Apakah kami berpuasa cukup dengan terlihatnya di Saudi?
Atau kami berbuka dan berpuasa dengan mereka (negara saya, Red.), ketika mereka
mengumumkan masuknya bulan Ramadhan?
Begitu juga dengan permasalahan masuknya bulan Syawwal, yaitu hari 'Id. Begaimana
hukumnya, jika dua negara berselisih. Semoga Allah membalas dengan sebaik balasan
dari kami dan dari kaum Muslimin?
Bellau (Syaikh) menjawab: Setiap Muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara
tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi :
"Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Den berbuka kalian, ialah pada hari
kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua)
menyembelih.
Wa billahit taufiq.5

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah.


Syaikh Shalih bin Fauzan.bin Abdullah ditanya: Jika telah pasti masuknya bulan
Ramadhan di suatu negara Islam, seperti Kerajaan Arab Saudi, sedangkan di negara lain
belum diumumkan tentang masuknya, bagaimana hukumnya? Apakah kami berpuasa
dengan kerajaan? Bagaimana permasalahan ini, jika terjadi perbedaan pada dua negara?
Beliau Syaikh menjawab: Setiap muslim berpuasa dan berbuka bersama dengan kaum
muslimin yang ade di negaranya. Hendaklah kaum muslimin memperhatikan ru'yah hilal

di negara tempat mereka tinggal di sana, dan agar tidak berpuasa dengan ru'yah negara
yang jauh dari negara mereka, karena mathla' berbeda-beda. Jika misalkan sebagian
Muslimin berada di negara yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang
memperhatikan ru'yah hilal -maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan
kerajaan Arab Saudi.6

Fatwa Lajnah Da-imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta`


Arab Saudi.
Lajnah Da-imah III Buhuts Ilmiah wal-Ifta' ditanya: Bagaimana pendapat Islam
tentang perselisihan hari raya kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha? Perlu
diketahui, hal ini dapat menyebabkan berpuasa pada hari yang diharamkan berpuasa,
yaitu hari raya Idul Fithri atau berbuka pada hari diwajibkan berpuasa? Kami
mengharapkan jawaban tuntas tentang permasalahan yang penting ini, yang dapat kami
jadikan alasan di hadapan Allah. Jika terjadi perselisihan, kemungkinan bisa dua hari,
(atau) kemungkinan tiga hari. Seandainya Islam menolak perselisihan, bagaimana jalan
yang benar untuk menyatukan hari raya kaum Muslimin?
Dijawab: Para ulama sepakat bahwa mathla' hilal berbeda-beda. Den hal itu diketahui
dengan panca indera dan akal. Akan tetapi mereka berselisih dalam memberlakukan atau
tidaknya dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya.
Ada dua pendapat.
(Pertama), diantara imam fiqih berpendapat, bahwa berbedanya mathla' berlaku dalam
menentukan permulaan puasa dan penghabisannya.
(Kedua), diantara mereka tidak memberlakukannya, dan setiap kelompok berdalil
dengan Kitab, Sunnah serta Qias. Dan kadang-kadang, kedua kelompok berdalil dengan
satu nash, karena ada persamaan dalam beristidlal (berdalil), seperti firman Allah Ta'ala
Barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan, maka berpuasalah. (QS AlBaqarah:185).
FirmanNya:
Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah:: "Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi
manusia. (QS Al Baqarah:189).
Den sabda Nabi:
Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya. (Hadits).
Itu semua karena perbedaan mereka dalam memahami nash dan dalam mengambil istidlal
dengannya.
Kesimpulannya, permasalahan yang ditanyakan masuk ke dalarn wilayah Ijtihad. Oleh
karenanya, para ulama -baik yang terdahulu maupun yang sekarang- telah berselisih. Den

tidak mengapa, bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal pada malam
ketiga puluh, untuk mengambil hilal yang bukan mathla` mereka, jika kiranya mereka
benar-benar telah melihatnya.
Jika sesama mereka masih berselisih juga, maka hendaklah mereka mengambil keputusan
pemerintah negaranya -jika seandainya pemerintahan mereka Muslim. Karena,
keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan mengangkat
perselisihan. Dalam hal ini umat wajib mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya
tidak Muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis Islamic Center yang ade di
negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat Id.
Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan selam tercurahkan kepada Nabi,
keluarga dan para sahabatnya.
(Tertanda, Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Ghudayyan,
Abdullah bin Mani').7

Pemerintah Dan Penentuan Hari Raya


Dalam menentukan hari raya, Pemerintah tidak lepas dari dua hal. Yaitu, keputusannya
sesuai dengan syari'at, dan keputusannya yang tidak sesuai dengan tuntunan syari'at,
dengan penjelasanya sebagai berikut:
Pertama.
Jika keputusan dalam menentukan hari raya telah sesuai dengan syari'at, yaitu
menggunakan ru'yah hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan tatkala hilal
tertutup awan, maka dalam hal ini tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk keluar dan
membangkang terhadap orang yang telah Allah jadikan sebagai waliyyu amril mukminin.
Permasalahan: Jika seseorang melihat hilal sendirian, apakah dia boleh berbuka dan
berhari raya sendiri?
Jawab: Dalam hal ini, para ulama mempunyai dua pendapat yang masyhur.

Dia tidak dibenarkan berbuka. Tetapi, hendaklah dia berbuka dan berpuasa
dengan kaum muslimin. Demikian ini adalah madzhab jumhur Ulama (Hanafiyah8
Malikiyah9 dan Hanafiah10"), dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau berkata: "Dan demikian ini adalah pendapat yang terkuat, sesuai dengan
sabda Nabi
"Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada
hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian
(semua) menyembelih".

Dalam mensyarah hadits di atas, Tirmidzi berkata: "Sebagian Ahli Ilmu


menafsirkan hadits ini; mereka mengatakan, berpuasa dan berbuka bersama
jama'ah".11

Dia dibenarkan untuk berbuka secara sembunyi. Demikian ini madzhab


Syafi'iyyah, 12 sebagian Hanafiyah dan Hanabilah.
Dr. Anmad Muwafi berkata: Sebenarnya pendapat Syafi'iyyah dalam bab ini
cukup kuat; karena berpuasa dan berbuka berkaitan dengan ru'yah, dan dia telah
yakin melihat hilal Syawwal. Dan ini cukup baginya untuk tidak berpuasa.
Bagaimana dia dituntut untuk berpuasa, padahal dia yakin bahwa ia telah keluar
dari puasa wajib? Ini tidak bertentangan dengan hadits
"Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada
hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian
(semua) menyembelih".
Karena tujuan akhir dari hadits tersebut, ialah menganjurkan kepada kaum
Muslimin yang telah melihat hilal sendirian dan tidak terlihat oleh yang lainnya.
Kalau tidak, dia sembunyikan puasanya dengan selalu menampakkan apa yang
dilakukan oleh jama'ah, atau dia- dianjurkan berpuasa, untuk mensepakati jama'ah
kaum Muslimin, dan berbuka ketika kalian semua berbuka. Karena tidak mungkin
dia berbuka sebelum yang lain dan berhari raya sendirian, bukan berarti wajib
baginya puasa.
Wallahu Ta'ala a'lam. 13

Kedua.
Jika pemerintah membuat keputusan yang salah dalam menentukan hari raya, misalnya
dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di kalender, atau dengan
semisalnya yang tidak ada tuntunannya dalam syari'at, maka -wallahu a'lam- tidak ada
alasan bagi seorang Muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan
untuk berhari raya, bersama kebanyakan kaum Muslimin, dalam hal ini bersama
pemerintah; demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan. Sesuai
dengan sabda Rasulullah:
"Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, lalah pada had
kalihn berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua)
menyembelih.'
Ash Snan'ani, ketika mensyarah hadits ini berkata: "Dalam hadits ini, dalil yang
menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan), manusia, karena orang yang sendirian
mengetahui hari raya dengan ru'yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan
diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka". 14

Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar , berkata:
"Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian)
datanglah kafilah pada sore harinya, Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin
mereka- melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat
itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Id". 15
Asy Syaukani menyebutkan, diperbolehkan shalat 'Id pada hari kedua. Tidak ada
perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur baik karena ragu atau
alasan lainnya; dengan mengqiaskan dengannya. 16
Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan: Jika dikatakan "bisa saja pemerintah yang
diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang
terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja
persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan
mereka: Atau sebab-sebab yang lain yang tidak disyari'atkan. Atau karena pemerintah
bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal".
Maka dikatakan (kepada mereka): Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan
cara apapun, Pen), tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan
melihat ru'yah hilal; balk sebagai mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau
lalai. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih bahwa Nabi bersabda tentang para
penguasa:
"Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan
mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka"
Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum Muslimin yang tidak
melakukan kelalaian atau kesalahan.17
Wallahu a'lam.
1

HR Tirimizi, Bab Ma Ja-a Annal Fithra Yauma Tafthurun...), Sunan dengan Tuhfah
(3/382, 383).
2
Majmu' Fatawa (25/202).
3
Tamamut Minnah, hlm. 398).
4
Fatawa Pamadhan (1/145).
5
Fatawa Ramadhan (1/112).
6
Al Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan (3/124).
7
Fatawa Ramadhan (1/117).
8
Lihat Fat-hul Qadlr bersama Hidayah (2/325).
9
Lihat Al Qawanin, Ibnu Juzaiy (102).
10
Lihat At Inshaf, AI Mardawi (3/278).
11
Lihat Sunan Tirmidzi bersama Tuhfah (3/383).
12
Lihat Majmu' Syarah Muhazzab, Nawawi (6/286).
13
Talsir Al Fiqh Al Jami' Lit Ikhtiaratii Fiqhiyyah Li Syalkhil Islam Ibni Taimiyah
(1/449-450).
14
Subulus Salam (2/134).

15

Hadits dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitab Shalat, Bab (Idza Lam
Yakhrujil Imam Ul 'Id...) no. 1.157.
16
Lihat Nailul Authar (2/295). '
17
Majmu' Fatawa (25/206).
Dicopy dari: Majalah As-Sunnah Edisi 07 [Tahun VIII/1425H/2004M]

Anda mungkin juga menyukai