Anda di halaman 1dari 27

PAPER

PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR DAN NON MENULAR

HIPERTENSI

KELOMPOK 3
DWI RETNO AYUNITA

25010114120078

MARTYNA WIDYA

25010114120101

NELLY ROFIATUL UMAH

25010114120106

OKTAVINTA WARITS PUTRI P

25010114120120

ADELIA ANGGRAENI

25010114120133

LAILA ISNAENI

25010114120148

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, kasus penyakit degeneratif
menjadi meningkat. Hal ini disebabkan karena perubahan perilaku, gaya
hidup serta didukung pula oleh teknologi yang ada di masyarakat. Di negaranegara yang sedang berkembang, penyakit tidak menular (PTM) seperti
penyakit jantung, kanker dan depresi akan segera menggantikan penyakit
menular dan malnutrisi sebagai penyebab kematian dan disabilitas. Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang dilakukan di Indonesia
menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian tertinggi adalah PTM, yaitu
penyakit kardiovaskuler (31,9%) termasuk hipertensi (6,8%) dan stroke
(15,4%).
Hipertensi merupakan suatu peningkatan tekanan darah sistolik
dan/atau diastolik yang di atas normal. Menurut WHO dan The International
Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi
di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh
dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara
adekuat.
Dengan adanya pergeseran penyakit degeneratif, hipertensi tidak
hanya menyerang pada usia tua saja, tetapi remaja juga bisa mengalaminya.
Pada masa transisi, remaja rentan untuk mengalami masalah yang memicu
untuk berperilaku yang berisiko tinggi, seperti merokok, minum-minuman
beralkohol, dan lain-lain. Perilaku-perilaku berisiko tersebut merupakan salah
satu faktor penyebab hipertensi.
Prevalensi hipertensi remaja di seluruh dunia sekitar 1520%
populasi. Berdasarkan data hasil pencatatan dan pelaporan Riskesdas Depkes
RI Tahun 2007 prevalensi hipertensi remaja sekitar 615 %. Dari berbagai
penelitian epidemiologis yang dilakukan di Indonesia tahun 2007
menunjukkan 1,818,6% penduduk yang berusia 20 tahun adalah penderita

hipertensi. Prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 0,65% sampai


13,23%.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, hipertensi
menjadi urutan ke-4 dari 10 besar penyakit di Semarang pada tahun 2009.
Kasus hipertensi pada tahun 2009 di Kota Semarang terjadi sebanyak 2063
kasus (12,85%). Prevalensi hipertensi pada usia muda di Kota Semarang
terjadi sebanyak 164 kasus (6,01%). Dari 164 kasus tersebut, sebanyak 610% sudah mengalami komplikasi seperti penyakit jantung, ginjal, dan lainlain. Meskipun prevalensinya rendah hal ini bisa saja menjadi masalah
kesehatan yang serius karena akan mengakibatkan komplikasi yang
berbahaya jika tidak terkendali dan tidak diupayakan pencegahan dini faktorfaktor risiko yang mempengaruhi kejadian hipertensi pada remaja.
Hipertensi bersifat diturunkan atau bersifat genetik. Individu dengan
riwayat keluarga hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk
menderita hipertensi daripada yang tidak. Insidensi hipertensi meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Dan pria memiliki risiko hipertensi lebih
tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal.
Kurangnya olahraga meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga
otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras
dan sering otot jantung memompa, makin besar tekanan yang dibebankan
pada arteri.
Melihat dari permasalahan yang ada di atas, maka dalam makalah ini
kami akan membahas kaitan perilaku di usia muda dengan kejadian
hipertensi.
1.2.

Rumusan Masalah
Bagaimana kaitan perilaku tidak sehat di usia muda dengan kejadian
hipertensi?
Tujuan
Mengetahui kaitan perilaku tidak sehat di usia muda dengan kejadian

1.3.

hipertensi.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi Hipertensi
Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap dinding
pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah terhadap dinding arteri
ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Besar tekanan
bervariasi tergantung pada pembuluh darah dan denyut jantung. Tekanan
darah paling tinggi terjadi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan
paling rendah ketika ventrikel berelaksasi (tekanan diastolik). Pada keadaan
hipertensi, tekanan darah meningkat yang ditimbulkan karena darah
dipompakan melalui pembuluh darah dengan kekuatan berlebih.
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dengan tekanan
sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Penderita
hipertensi mengalami peningkatan tekanan darah melebihi batas normal, di
mana tekanan darah normal sebesar 110/90 mmHg. Tekanan darah
dipengaruhi oleh curah jantung, tahanan perifer pada pembuluh darah, dan
volume atau isi darah yang bersirkulasi.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor risiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi
dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis
kelamin, dan umur, serta faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas,
kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang
mengandung natrium dan lemak jenuh. Hipertensi yang tidak terkontrol akan
meningkatkan angka mortalitas dan menimbulkan komplikasi ke beberapa
organ vital seperti jantung (infark miokard, jantung koroner, gagal jantung
kongestif), otak (stroke, enselopati hipertensif), ginjal (gagal ginjal kronis),
mata (retinopati hipertensif).
Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan

2.2.

yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.


2.1.
Hipertensi primer atau hipertensi

esensial

terjadi

karena

peningkatan persisten tekanan arteri akibat ketidakteraturan mekanisme


kontrol homeostatik normal, dapat juga disebut hipertensi idiopatik.
Hipertensi ini mencakup sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan

saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, efek dalam ekskresi Na,


peningkatan Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan
risiko seperti obesitas dan merokok.
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal merupakan hipertensi

2.2.

yang penyebabnya diketahui dan terjadi sekitar 10% dari kasus-kasus


hipertensi. Hampir semua hipertensi sekunder berhubungan dengan
ganggaun sekresi hormon dan fungsi ginjal. Penyebab spesifik hipertensi
sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular

renal,

hiperaldesteronisme

primer,

sindroma

Cushing,

feokromositoma, dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.


Umumnya

hipertensi

sekunder

dapat

disembuhkan

dengan

penatalaksanaan penyebabnya secara tepat.


Berdasarkan bentuknya, hipertensi dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi
sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan
sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan
pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada
arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik
merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil
pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan
tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya
ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi
apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga
memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan
meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan
dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara
dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan
sistolik dan diastolik.
Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu
hipertensi benigna dan hipertensi maligna. Hipertensi benigna merupakan
keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya

ditemukan saat penderita check up. Hipertensi maligna merupakan keadaan


hipertensi yang membahayakan biasanya disertai keadaan kegawatan sebagai
akibat komplikasi pada organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi
kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.
Klaifikasi Tekanan
Darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat I
Hipertensi derajat II

Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
< 120
120-139
140-159
160

Tekanan Darah
Distolik (mmHg)
< 80
80-89
90-99
100

Di Indonesia, berdasarkan konsensus yang dihasilkan Pertemuan Ilmiah


Nasional Pertama Perhimpunan Hipertensi Indonesia tanggal 13-14 Januari
2007, belum dapat membuat klasifikasi hipertensi untuk orang Indonesia. Hal
ini dikarenakan data penelitian hipertensi di Indonesia berskala nasional
sangat jarang, sehingga Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) memilih
klasifikasi sesuai WHO/ISH karena memiliki sebaran yang lebih luas.

Sebagian besar penderita hipertensi termasuk dalam kelompok hipertensi


ringan.
2.3.

Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan Total Peripheral
Resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang
tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi.

Patofisiologi hipertensi primer terjadi melalui mekanisme :


1) Curah jantung dan tahanan perifer
Peningkatan curah jantung terjadi melalui dua cara yaitu peningkatan
volume cairan atau preload dan rangsangan saraf yang mempengaruhi
kontraktilitas jantung. Curah jantung meningkat secara mendadak akibat
adanya rangsang saraf adrenergik. Barorefleks menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler sehingga tekanan darah kembali normal. Namun pada
orang tertentu, kontrol tekanan darah melalui barorefleks tidak adekuat
sehingga terjadi vasokonstriksi perifer.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama terjadi apabila
terdapat peningkatan volume plasma berkepanjangan akibat gangguan
penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam berlebihan.
Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran
darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal.
Peningkatan volume plasma menyebabkan peningkatan volume diastolik
akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah.
Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan
sistolik.
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap normalitas tekanan darah. Tekanan darah ditentukan oleh
konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan
konsentrasi sel otot halus berpengaruh pada peningkatan konsentrasi
kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang dimediasi oleh angiotensin dan
menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible.
Peningkatan resistensi perifer disebabkan oleh resistensi garam
(hipertensi tinggi renin) dan sensitif garam (hipertensi rendah renin).
Penderita hipertensi tinggi renin memiliki kadar renin tinggi akibat jumlah
natrium dalam tubuh yang menyebabkan pelepasan angiotensin II.
Kelebihan angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dan memacu
hipertrofi dan proliferasi otot polos vaskular. Kadar renin dan angiotensin
II yang tinggi pada hipertensi berkorelasi dengan kerusakan vaskular.
Sedangkan pada pasien rendah renin, akan mengalami retensi natrium dan

air yang mensupresi sekresi renin. Hipertensi rendah renin akan


diperburuk dengan asupan tinggi garam.
Jantung harus memompa secara kuat dan menghasilkan tekanan lebih
besar untuk mendorong darah melintasi pembuluh darah yang menyempit
pada peningkatan Total Periperial Resistence. Keadaan ini disebut
peningkatan afterload jantung yang berkaitan dengan peningkatan tekanan
diastolik. Peningkatan afterload yang berlangsung lama, menyebabkan
ventrikel kiri mengalami hipertrofi. Terjadinya hipertrofi mengakibatkan
kebutuhan oksigen ventrikel semakin meningkat sehingga ventrikel harus
mampu memompa darah lebih keras untuk memenuhi kebutuhan tesebut.
Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung mulai menegang melebihi panjang
normalnya yang akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan
volume sekuncup.
2) Sistem renin-angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem renin-angiotensin merupakan sistem
endokrin penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus

aparantus

ginjal

sebagai

respon

glomerulus

underperfusion, penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf


simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam pengaturan tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, kemudian oleh
hormon renin yang diproduksi ginjal akan diubah menjadi angiotensin I
(dekapeptida tidak aktif). Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II
(oktapeptida sangat aktif) oleh ACE yang terdapat di paru-paru.
Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena
bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.

Renin

Angiotensin I

Angiotensin I Converting Enzyme (ACE)


Angiotensin II

Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal

Sekresi hormone ADH rasa haus


Urin sedikit pekat & osmolaritas

Ekskresi NaCl (garam) dengan mereabsorpsinya di tubulus gi


Mengentalkan
Konsentrasi NaCl di pembuluh darah
Menarik cairan intraseluler ekstraseluler
Volume darah

Tekanan darah

Diencerkan dengan volume ekstraseluler

Volume darah

Tekanan darah

3) Sistem saraf simpatis


Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor pada medula otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis
dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang merangsang
serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, di mana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.
Sirkulasi sistem saraf simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom memiliki peran penting dalam
mempertahankan tekanan darah. Hipertensi terjadi karena interaksi antara

sistem saraf otonom dan sistem reninangiotensin bersama dengan faktor


lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.
4) Perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah
Perubahan struktural dan fungsional sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah terutama pada usia
lanjut. Perubahan struktur pembuluh darah meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang mengakibatkan penurunan kemampuan distensi dan
daya regang pembuluh darah. Sel endotel pembuluh darah berperan dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.

BAB 3
ANALISIS EPIDEMIOLOGI
3.1.

Faktor Risiko Hipertensi


Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner sebagai akibat dari penyakit hipertensi
yang ditangani secara baik dibedakan menjadi 2 kelompok , yaitu :
Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko tidak dapat diubah yang antara lain umur, jenis kelamin dan genetik.
Hipertensi adalah faktor risiko yang paling sering dijumpai.

a. Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,
risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi
hipertensi di kalangan usia lanjujt cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan
kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama
ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Sedangkan
menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang
lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya
hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan
struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit
dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat adalah
meningkatnya tekanan darah sistolik. Penelitian yang dilakukan di 6 kota
besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan
Makasar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi
hipertensi sebesar 52,5% (Kamso, 2000).
b. Jenis Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih
banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan
rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga
memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah
dibandingkan dengan wanita Namun, setelah memasuki menopause,
prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Bahkan setelah usia 65
tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan
pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal. Penelitian di Indonesia
prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita.
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer
(esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor
lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seorang menderita
hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan
garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya

menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan


bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30%
akan turun ke anak-anaknya.
Faktor Risiko Yang Dapat Diubah
Faktor risiko penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat,
kurang aktifitas gerak, berat badan berlebih/kegemukan, konsumsi alkohol,
Hiperlipidemia/ hiperkolesterolemia, stress dan konsumsi garam berlebih,
sangat erat berhubungan dengan hipertensi.
a. Kegemukan (obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang
dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) yaitu
perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter
(Kaplan dan Stamler, 1991). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan
kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat
badandan indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan
darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab
hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar.
Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orangorang gemuk 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal.
Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20 -33% memiliki
berat badan lebih (overweight). Penentuan obesitas pada orang dewasa
dapat dilakukan pengukuran berat badan ideal, pengukuran persentase
lemak tubuh dan pengukuran IMT.

b. Psikososial dan Stress

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,dendam,


rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal
melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat
serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress
berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian
sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang
muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan,
prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika
Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan
stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka. Stress
adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara
individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk
mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber
daya (biologis, psikologis, dan sosial) yang ada pada diri seseorang
(Damayanti, 2003). Peningkatan darah akan lebih besar pada individu
yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi (Pinzon,
1999). Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa
bagi wanita berusia 45-64 tahun, sejumlah faktor psikososial seperti
keadaan tegangan, ketidakcocokan perkawinan.
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan
endotel pembuluh darah arteri,dan mengakibatkan proses artereosklerosis,
dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat
tekanan ekonomi, stress harian, mobilitas pekerjaan, gejala ansietas
dankemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan
dengan pening-katan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit
kardiovaskuler apapun. Studi eksperimental pada laboratorium animals
telah membuktikan bahwa faktor psikologis stress merupakan faktor
lingkungan sosial yang penting dalam menyebabkan tekanan darah tinggi,
namun stress merupakan faktor risiko yang sulit diukur secara kuantitatif,
bersifat spekulatif dan ini tak mengherankan karena pengelolaan stress

dalam etikologi hipertensi pada manusia sudah kontroversial (Henry dan


Stephens tahun 1997 dalam Kamso, 2000).
c. Merokok
Ada keterkaitan antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis
pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut
jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan
risiko kerusakan pada pernbuluh darah arteri.
d. Olah Raga
Olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan
melakukan olah raga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan
darah, tanpa perlu sampai berat badan turun.
e. Konsumsi Alkohol Berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan
darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan
darah dan asupan alkohol, dan diantaranya melaporkan bahwa efek
terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol
sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti
Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihanberpengaruh terhadap
terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh
asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya,
kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di
kelompok usia ini.
f. Konsumsi Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik
cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer
(esensial) terjadi respons penurunan tekanan darah dengan mengurangi

asupan garam. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau


kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada
masyarakat asupan garam sekitar.7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih
tinggi.
g. Hiperlipidemia/Hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) yang ditandai dengan peningkatan
kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan
kadar kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting
dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan
perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.

3.2.

Prevalensi Hipertensi di Indonesia


Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih
rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan
tentang pola makan yang baik.
Pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC VII
2003 didapatkan prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan
perempuan 4,7%), perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%).

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa proporsi kelompok usia 45-54 tahun
dan lebih tua selalu lebih tinggi pada kelompok hipertensi dibandingkan
kontrol. Kelompok usia25-34 tahun mempunyai risiko hipertensi 1,56 kali
dibandingkan usia 18-24 tahun. Risiko hipertensi meningkat bermakna
sejalan dengan bertambahnya usia dan kelompok usia >75 tahun berisiko
11,53 kali. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki pada kelompok
hipertensi lebih tinggi dibanding kontrol dan laki-laki secara bermakna
berisiko hipertensi 1,25 kali daripada perempuan. Berdasarkan jenjang
pendidikan, hasil analisis mendapatkan responden yang tidak bersekolah
secara bermakna berisiko 1,61 kali terkena hipertensi dibandingkan yang
lulus perguruan tinggi, dan risiko tersebut menurun sesuai dengan
peningkatan tingkat pendidikan. Sementara berdasarkan pekerjaan, proporsi
responden yang tidak bekerja dan Petani/Nelayan/Buruh, ditemukan lebih

tinggi pada kelompok hipertensi dibanding kontrol. Proporsi hipertensi


terendah ditemukan pada responden yang bersekolah dan responden yang
tidak bekerja mempunyai risiko 1,42 kali terkena hipertensi dibandingkan
responden yang bersekolah. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi responden
yang tinggal di desa lebih tinggi pada kelompok hipertensi daripada kontrol.
Namun hasil analisis multivariat menunjukkan tidak ada perbedaan risiko
hipertensi yang bermakna. Sementara dilihat dari status ekonomi, tidak ada
perbedaan proporsi yang berarti antara kelompok hipertensi dan kontrol.
Besarnya risiko faktor perilaku terhadap kejadian hipertensi dapat di lihat di
table berikut

Berdasarkan perilaku merokok, proporsi responden yang dulu pernah


merokok setiap hari pada kelompok hipertensi ditemukan lebih tinggi (4,9%)
daripada kelompok kontrol (2,6%), dan risiko perilaku pernah merokok ini

secara bermakna ditemukan sebesar 1,11 kali dibandingkan yang tidak pernah
merokok. Berdasar hasil Riskesdas 2013, perilaku merokok penduduk 15
tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke 2013, cenderung
meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013. 64,9
persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok tahun
2013. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun, 9,9 persen perokok
pada kelompok tidak bekerja, dan 32,3 persen pada kelompok kuintil indeks
kepemilikan terendah. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap
adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI
Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang).
Berdasarkan perilaku konsumsi alkohol, proporsi mengonsumsi alkohol 1
bulan terakhir ditemukan lebih tinggi pada kelompok hipertensi (4,0%)
daripada kontrol (1,8%). Risiko hipertensi bagi mereka yang mengonsumsi
alkohol 1 bulan terakhir ditemukan bermakna, yaitu sebesar 1,12 kali.
Berdasarkan pola konsumsi sayur-buah, nampak tidak ada perbedaan
proporsi asupan sayur-buah yang berarti antara kelompok hipertensi dan
kelompok kontrol, dan risiko hipertensi yang ditemukan tidak bermakna.
Risiko hipertensi juga ditemukan tidak berbeda bermakna menurut konsumsi
makanan manis, makanan asin, maupun makanan yang berlemak. Pola
konsumsi yang ditemukan meningkatkan risiko hipertensi secara bermakna
adalah konsumsi minuman berkafein >1 kali/hari, yaitu 1,1 kali dibanding
yang minum <3 kali/bulan.

Berdasarkan status gizi, proporsi responden yang obese dan kegemukan lebih
tinggi pada kelompok hipertensi daripada kontrol. Secara bermakna, besarnya
risiko hipertensi pada kelompok obesitas meningkat 2,79 kali, gemuk 2,15
kali, dan normal 1,44 kali dibandingkan mereka yang kurus. Obesitas
abdominal juga mempunyai risiko hipertensi secara bermakna (OR 1,40).
Kelompok yang mengalami stress mempunyai proporsi lebih tinggi (11,7%)
pada kelompok hipertensi dibandingkan pada kontrol (10,0%). Demikian
halnya proporsi responden yang mempunyai riwayat penyakit jantung, dan
riwayat penyakit diabetes melitus lebih tinggi pada kelompok hipertensi
daripada kontrol, namun tidak ada peningkatan risiko yang bermakna.
Berikut data prevalensi hipertensi berdasar Riskesdas 2013, dengan
responden usia 18 tahun ke atas dengan metode wawancara responden yang
mengonsumsi obat hipertensi (D/O) dan pengukuran (U)

Berdasarkan wawancara tahun 2013 (9,5%) lebih tinggi dibanding tahun


2007 (7,6%). Tiga provinsi, yaitu Papua, Papua Barat dan Riau terlihat ada
penurunan. Enam provinsi tidak terjadi perubahan seperti Nusa Tenggara
Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, Aceh, dan DKI Jakarta.
Di provinsi lainnya prevalensi hipertensi cenderung meningkat.

Berdasarkan pengukuran yang menunjukkan penurunan yang sangat berarti


dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Asumsi
penurunan, diperkirakan karena (i) perbedaan alat ukur yang digunakan tahun
2007 tidak diproduksi lagi (discontinue) pada tahun 2013, (ii) kesadaran
masyarakat yang semakin membaik pada tahun 2013. Asumsi (ii) terlihat

pada gambar 3.5.3 dimana prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis atau


gejala meningkat. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat yang sudah
memeriksakan diri ke tenaga kesehatan agak meningkat sedikit.

BAB 4
PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil Riskesdas 2007 dan 2013, serta beberapa literatur
di atas, hipertensi dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Dimana faktor risiko
yang lebih mempengaruhi kejadian hipertensi ialah faktor risiko yang dapat
diubah, yang semuanya mencakup dengan perilaku atau gaya hidup tidak sehat.
Kejadian hipertensi yang makin meningkat di usia muda, tentu diakibatkan oleh
peningkatan faktor risiko pada usia muda pula. Sesuai hasil riset pada bab
sebelumnya, menunjukkan bahwa faktor perilaku tidak sehat memiliki kedudukan
penting terhadap kejadian hipertensi.
Angka pada hasil survei kejadian hipertensi tersebut dapat meningkat
apabila faktor risiko pada tiap individu meningkat. Mengingat saat ini manusia
dimanjakan dengan semakin majunya teknologi sehingga terjadi transisi atau
pergeseran terhadap perilaku kesehatan mereka.
Perilaku tidak sehat ini dimulai dari enggannya individu melakukan
aktivitas fisik. Fakta yang ada di lapangan, mereka memanjakan diri dengan
kemahiran teknologi yang ada sehingga malas untuk beraktivitas. Konsumsi
makanan mereka pun, dipilih menu-menu cepat saji yang dengan mudah mereka
buat atau pun peroleh. Selain itu mereka juga mencari kepuasan diri dengan
mengikuti trend atau mode yang ada, seperti merokok, meminum minuman
beralkohol tanpa batas. Kebiasaan tersebut jika dilakukan dengan terus menerus,
maka bukan tidak mungkin jika mereka akan terkena gangguan tertentu, seperti

hipertensi, yang kemudian dapat memicu gangguan yang lain seperti penyakit
jantung koroner dan stroke.
Sesuai data kasus hipertensi yang dikelompokkan berdasarkan faktor
risiko, maka perilaku tidak sehat yang dilakukan di usia muda dapat
meningkatkan kasus terjadinya hipertensi di usia muda seiring dengan
meningkatnya faktor risiko terjadinya hipertensi pada diri mereka.

BAB 5
PENGENDALIAN HIPERTENSI
Dengan adanya faktor risiko kejadian hipertensi yang dapat diubah, maka
berikut beberapa pengendalian terhadap faktor risiko :
1) Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan.
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi
pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang
badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar
20-33% memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian obesitas
harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan.
2) Mengurangi asupan garam didalam tubuh.
Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan

kebiasaan makan

penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dilaksanakan.


Batasi sampai dengan kurang dari 5 gram ( 1 sendok teh ) per hari pada saat
memasak.
3) Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat menontrol
sistem syaraf yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah.
4) Melakukan olah raga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 34 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menarnbah kebugaran
dan memperbaiki metabolisme tubuh yang ujungnya dapat mengontrol
tekanan darah.
5) Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat
memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon

monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah
dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan
proses artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi,
dibuktikan

kaitan

erat

antara

kebiasaan

merokok

dengan

adanya

artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan


denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
6) Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko
kerusakan pada pembuluh darah arteri. Tidak ada cara yang benar-benar
efektif untuk memberhentikan kebiasaan merokok. Beberapa metode yang
secara umum dicoba adalah sebagai berikut:
a. Inisiatif Sendiri
Banyak perokok menghentikan kebiasannya atas inisiatif sendiri, tidak
memakai pertolongan pihak luar. Inisiatif sendiri banyak menarik para
perokok karena hal-hal berikut :
Dapat dilakukan secara diam-diam.
Program diselesaikan dengan tingkat dan jadwal sesuai kemauan.
Tidak perlu menghadiri rapat-rapat penyuluhan.
Tidak memakai ongkos.
b. Menggunakan Permen yang mengandung Nikotin
Kencanduan nikotin membuat perokok sulit meninggalkan merokok.
Permen nikotin mengandung cukup nikotin untuk mengurangi penggunaan
rokok. Di negara-negara tertentu permen ini diperoleh dengan resep
dokter. Ada

jangka waktu tertentu untuk menggunakan

permen ini.

Selama menggunakan permen ini penderita dilarang merokok. Dengan


demikian, diharapkan perokok sudah berhenti merokok secara total sesuai
jangka waktu yang ditentukan.
c. Kelompok Program
Beberapa orang mendapatkan manfaat dari dukungan kelompok untuk
dapat berhenti marokok. Para anggota kelompok dapat saling member
nasihat dan dukungan. Program yang demikian banyak yang berhasil,
tetapi biaya dan waktu yang diperlukan untuk menghadiri rapat-rapat
seringkali menyebabkan enggan bergabung
7) Mengurangi konsumsi alkohol
Hindari konsumsi alkohol berlebihan. Laki-Iaki tidak lebih dari 2 gelas per
hari. Wanita tidak lebih dari 1 gelas per hari.
BAB 6
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan data dan pembahasan, hipertensi dapat dipicu oleh beberapa
faktor, yakni faktor yang tidak dapat diibah meliputi usia, umur, jenis
kelamin, dan faktor genetik atau keturunan. Sementara faktor yang dapat
diubah ialah kegemukan/ obesitas, tingkat psikososial/stress, aktivitas
merokok, olahraga, tingkat konsumsi alkohol, dan konsumsi garam. Faktor
yang dapat diubah, ialah faktor yang berasal dari kebiasaan atau perilaku
individu. Sehingga, apabila seseorang melakukan aktivitas yang dapat
memicu faktor risiko tersebut maka kejadian hipertensi dapat meningkat pula,
misalnya merokok, mengonsumsi alkohol secara berlebihan, tidak melakukan
aktivitas fisik dengan teratur. Apabila perilaku itu dilakukan secara terusmenerus, maka faktor risiko terjadinya hipertensi pun akan meningkat. Maka,
pengendalian terjadinya hipertensi antara lain ialah mengurangi aktivitasaktivitas yang dapat memicu terjadinya hipertensi dengan melakukan gaya
hidup sehat sesuai dengan batasan pada faktor risiko penyebab hipertensi
yang dapat diubah.
6.2. Saran
Bagi pemerintah :
1. Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara
aktif (skrining)
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini
3. Meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui
revitalisasi Puskesmas untuk pengendalian PTM melalui Peningkatan
sumberdaya tenaga kesehatan yang profesional dan kompenten dalam
upaya pengendalian PTM khususnya tatalaksana PTM di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas.
Bagi masyarakat :
1. Mengetahui faktor risiko penyebab hipertensi
2. Memiliki perilaku atau gaya hidup yang sehat supaya menghilangkan atau
tidak meningkatkan faktor risiko yang memicu terjadinya hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA
Kartikasari, Agnesia Nuarima. 2012. Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat
di Desa Kabongan Kidul, Kabupaten Rembang (Laporan Karya Tulis Ilmiah).

Semarang : FK UNDIP dalam http://core.ac.uk/download/pdf/11735629.pdf


diakses pada 26 September 2015.
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I : Nefrologi dan
Hipertensi. Jakarta: Media Aesculapius FKUI
Pedoman Teknis Penemuan Dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular 2006. Jakarta : Direktorat Jenderal PP
& PL Departemen Kesehatan RI
Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Rahajeng, Ekowati dan Tuminah, Sulistyowati. 2009. Prevalensi Hipertensi dan
Determinannya di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi
Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai