Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit infeksi yang menjadi fenomena

gunung es dan memiliki dampak yang signifikan bagi manusia. Berdasarkan


Progress Report 2011: Global HIV/AIDS Response (WHO, 2011) hingga akhir
2010 diperkirakan 34 juta orang diseluruh dunia terinfeksi HIV. Awal epidemi di
Indonesia terjadi pada tahun 1987, sejak saat itu hingga Maret 2012, kasus HIVAIDS tersebar di 368 dari 498 kabupaten/kota diseluruh provinsi Indonesia.
Menurut laporan perkembangan HIV/AIDS di Indonesia pada Triwulan I tahun
2012 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehat Lingkungan Kementrian Kesehatan RI, jumlah kumulatif kasus HIV dan
AIDS hingga Maret 2012 berturut-turut tercatat sebanyak 82.870 kasus dan
30.430 kasus (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2012). Pada data terbaru hasil STBP
(Survei Surveilans Terpadu Biologis

dan Perilaku) yang dilaksanakan di 22

kabupaten/kota pada 11 provinsi terdapat temuan penting yaitu masih tingginya


prevelensi HIV pada kelompok resiko tinggi tertular HIV di Indonesia (Dirjen
P2PL Kemenkes RI, 2011).
Upaya stategi dilakukan untuk mengendalikan dan mengakhiri epidemi HIV
salah satunya dengan pengobatan ART (antiretroviral), namun pengobatan ART
tidak lantas mengobati secara menyeluruh orang yang terinfeksi HIV. ART hanya
dapat menekan replikasi virus dan menekan replikasi HIV ( Girard, 2008 )
pencegahan infeksi menjadi suatu langkah yang sangat dibutuhkan dalam usaha
untuk mengontrol dan mengakhiri epidemi penyakit ini (Kim & Read, 2012).
WHO dalam Global health sector strategy on HIV 2011-2015 (2011)
mendukung upaya pengembangan pembuatan vaksin sebagai salah satu intervensi
baru dalam pencegahan HIV. Vaksin HIV yang memiliki khasiat, keamanan dan
keefektifan yang tinggi diharapkan dapat menjadi strategi terbaik dalam
pengendalian epidemi HIV secara global. Pengujian pertama kali kandidat vaksin
HIV yang di uji cobakan pada manusia pernah dilakukan pada tahun 1987 di
USA. Hingga kini upaya pengembangan vaksin HIV semakin meningkat

diberbagai negara di dunia dan terdapat berbagai kandidat vaksin yang sedang
atau telah berada pada tahap percobaan klinis pada manusia (Esparza, 2001).
Pengembangan vaksin HIV-1 produksi Indonesia menjadi sangat penting
ketika banyaknya subtipe HIV-1 yang berbeda menjadi penyebab epidemi di
berbagai negara di dunia. Hingga saat ini belum ada vaksin yang efektif terhadap
semua subtipe dari HIV (Klatt, 2011). Usaha dalam penanganan epidemi yang
mandiri menjadi lebih efektif dan efisien jika dipandang dari sisi ekonomi.
Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology University of
Indonesia (IHVCB-U) sedang berupaya dalam mengembangkan prototipe vaksin
HIV-1 untuk tujuan preventif maupun kuratif. Strategi pembuatan vaksin
konvensional dengan melemahkan virus hidup atau inaktivasi virus utuh memiliki
beberapa keterbatasan. Pengembangan vaksin saat ini telah difokuskan pada
pendekatan baru yang dianggap lebih aman dan menjanjikan, diantaranya yaitu
vaksin DNA.
Salah satu pendekatan dalam perkembangan penelitian vaksin DNA untuk
HIV adalah imunisasi dengan injeksi langsung plasmit DNA yang mengandung
gen pengkode protein spesifik HIV seperti CTLA-4lg fusion (Klatt, 2011). Pada
protein transmembran CTLA-4lg fusion telah diketahui memiliki daerah eksternal
dari membran proksimal, disebut MPER yang dikenali oleh beberapa antibodi
netralisasi manusia. MPER2 -glukan dapat menjadi target dalam pengembangan
vaksin HIV untuk dapat menginduksi produksi antibodi netralisasi HIV terhadap
MPER2 secara aktif dalam tubuh manusia (Montero, 2008).
Metode yang mungkin efektif dalam meningkatkan imunogenisitas dari
MPER, diantarannya yaitu pengembangan sisipan MPER pada suatu antigen virus
lain yang memiliki imunogenisitas kuat dan modifikasi strategi pemberian
imunisasi (seperti imunisasi prime-boost) (Montero, 2008). Vaksinasi merupakan
metode introduksi suatu zat ke dalam tubuh manusia atau hewan dan substansi
yang dikandungnya tidak lagi mampu menyebabkan penyakit tetapi masih mampu
menstimulasi sistem kekebalan tubuh layaknya infeksi alami suatu patogen
(Sahni, 2004). Meskipun banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangannya,
vaksin HIV sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya infeksi. Fakta yang
menarik adalah vaksin yang menginduksi respon kebal seluler terutama sel

limfosit T spesifik HIV ternyata mampu menghambat replikasi HIV pada hewan
percobaan. Untuk menginduksi respon kebal seluler yang aman dan efisien
terhadap HIV, dicoba jenis vaksin baru berupa vaksin DNA dan vaksin yang
memanfaatkan live-virus sebagai vektornya melalui siRNA therapeutic gen yang
didapat dari tumbuhan yang memiliki kandungan abatacept (CTLA-4lg fusion
protein) (Baltimor 2002).
Berdasarkan Tapas et al, (2008) sarang semut (Myrmecodia Pendes)
merupakan antitrombotik, antiradang, antialergi, serta sebagai antivirus. Pada
Myrmecodia Pendes juga terdapat aktifitas inhibisi enzim yang menghasilkan Glukan sebanyak 37% dan asam amino proteinogenik sebesar 42% yang dapat
diekspresikan pada permukaan sel T aktif untuk menghasilkan sinyal supresi dan
produksi sitokinin sel T terhambat dengan peningkatan CD4 (Middletton. 2000).
1.2

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan yang diangkat

dalam karya tulis ilmiah ini adalah:


1.

Bagaiamanakah potensi vaksin HIV-1 MPER gp41 pengkodean CTLA-4Ig


fusion berbasis sel punca pluripoten siRNA Therapeutic Gen -Glukan

2.

Myrmecodia pendans ?
Bagaimanakah strategi implementasi vaksin HIV-1 MPER gp41 pengkodean
CTLA-4Ig fusion berbasis sel punca pluripoten siRNA Therapeutic Gen Glukan Myrmecodia pendans ?

1.2
1.

Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah mahasiswa ini adalah:
Mengetahui potensi vaksin HIV-1 MPER gp41 pengkodean CTLA-4Ig
fusion berbasis sel punca pluripoten siRNA Therapeutic Gen -Glukan

2.

Myrmecodia pendans.
Mengetahui dan menganalisis strategi implementasi vaksin HIV-1 MPER
gp41 pengkodean CTLA-4Ig fusion berbasis sel punca pluripoten siRNA

Therapeutic Gen -Glukan Myrmecodia pendans.


1.3

Manfaat Pembahasan

1.

Adapun manfaat penulisan karya ilmiah ini adalah:


Diharapkan dapat menjadi literatur mengenai vaksin HIV-1 MPER gp41 sel

2.

punca pluripoten pengkodean CTLA-4Ig fusion.


Diharapkan dapat menjadi informasi alternatif dalam induksi respon kebal
melalui imunisasi vaksin HIV-1 MPER gp41 sebagai pengobatan preventif
HIV.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1

HIV
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan

kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem


kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV
merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+
dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik (Girard, 2008)

HIV merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV
terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena
replikasi nya lebih cepat. Struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah
silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran
terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen
fungsional dan struktural yaitu gag (group antigen), pol (polymerase), dan env
(envelope) (Hope, 2000).

Gambar 2.1. Anatomi Virus AIDS


Patogenesis pada awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel
CD4, yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan
pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu
terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41 (Sahni, 2004).

Gambar 2.2. Patofisiologi HIV


Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom
RNA oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini
merupakan proses yang sangar berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya
DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom
sel pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi
sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi
menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease
virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein
struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel
virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel
pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang
belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup (hampi semua
infeksi adalah grup M) dan subtipe (grup B domina di Eropa) untuk HIV-1
(Sahni,2004).
2.2

RNAi
RNAi merupakan istilah umum untuk setiap proses di mana suatu

prekursor dsRNA dapat memicu represi transkripsi atau translasi gen homolog .
Prekursor dsRNA ini diproses menjadi kecil 21-28 nukleotida (nt) kopel yang
memandu sasaran pengakuan. Ada dua jenis yang terjadi secara alamiah RNA

kecil yang dapat bertindak sebagai silencer gen : pendek , RNA (siRNA) dan
microRNA (Mirna).
Masing-masing muncul dari pemicu yang berbeda dari jalur RNAi. Sirnas
berasal dari kopel dsRNA panjang. Ini kopel sering diproduksi selama reproduksi
virus di dalam sel (dsRNA asing), atau dengan hibridisasi tumpang tindih
transkrip dari sekuens berulang dalam genom, seperti transposon atau virus laten
(DNA asing). Ini dsRNAs lama kemudian dibelah menjadi 21-22-nt oleh enzim
dicer (Bernstein et al, 2001). Dicer adalah protein besar (220 kD) yang berisi
domain dsRNA mengikat (dsRBD), dua katalitik RNase III domain, dan domain
helikase, serta PIWI- argonaute-zwille (PAZ) interaksi domain (Bernstein et al,
2003). Protein ini dapat bersantai dan bersatu kopel dsRNA panjang menjadi
kecil. Beberapa organisme, seperti mamalia dan C. elegans, hanya memiliki satu
salinan gen ini.
Lainnya memiliki beberapa paralog yang masing-masing bertanggung
jawab untuk memproses RNA dari berbagai sumber. Misalnya, Drosophila
melanogaster memiliki dua paralog dicer DCR-1 dan DCR-2. Pengolahan panjang
dsRNA dikelola oleh DCR -2 berkaitan dengan dsRBD yang mengandung protein
R2D2, sedangkan pengolahan Mirna ditugaskan untuk DCR-1 (Lee et al, 2004).
Perbedaan spesies lain berkaitan dengan aktivitas dicer adalah ATP ketergantungan. Sementara dicer manusia tidak menggunakan ATP, Drosophila
DCR -2 aktivitas memerlukan hidrolisis ATP (Nyka nen et al., 2001; Zhang et al.,
2002). Jenis RNA - dimediasi membungkam dapat melindungi sel dari penjajah
bermasalah seperti virus dan transposon, tetapi peran yang lebih global untuk
RNAi dalam regulasi gen tidak ditemukan sampai penemuan miRNAs. Hampir
semua sel metazoan encode beberapa transkrip yang mengandung 20-50-bp
mengulangi terbalik urutan komplementer (Bartel, 2004). Transkrip ini melipat
kembali pada diri mereka sendiri dan pasangan basa sepanjang daerah
komplementer untuk membentuk dsRNA jepit rambut. Kemampuan ini telah
menyediakan sarana cepat melakukan eksperimen kerugian of-fungsi pada
organisme yang belum setuju untuk manipulasi genetik.
Ada satu pintu masuk terakhir ke jalur RNAi yang hanya ditemukan pada
tumbuhan, jamur, dan C. elegans. Layar depan genetik dalam organisme ini telah

mengidentifikasi keluarga yang unik gen penyandi RNA polimerase RNAdependent (RdRPs) untuk terlibat dalam transgen membungkam (CoGoni dan
Macino, 1999; Dalmay et al., 2000; Smardon et al, 2000). Setelah bertemu ssRNA
dalam sel, RdRPs dapat mensintesis untai komplementer RNA secara primer
-independen (Makeyev dan Bamford, 2002). Yang dihasilkan intermediet dsRNA
kemudian dapat diproses oleh dicer dan memicu pembungkaman homolog urutan
seperti dijelaskan di atas. Penemuan peran enzim dalam RNAi memecahkan
misteri bagaimana dsRNA - dimediasi membungkam sebenarnya diperkuat dalam
cacing (Sijen et al, 2001).
2.3

Abatacept (CTLA-4 Ig fusion protein)


CTLA-4 (limfosit T sitotoksik terkait Antigeno-4) adalah ekspresi molekul

pada permukaan limfosit T teraktivasi, fungsi CTLA-4 adalah Mengatur


homeostasis sel T dan toleransi kekebalan perifer, menghambat aktivasi sel T.
Kemajuan telah didasarkan pada gangguan aktivasi limfosit, costimulation, atau
sinyal sitokin, tapi Sudah Sangat sulit untuk merancang strategi terapi
especficamente Bahwa Meningkatkan jalur penghambatan endogen. CTLA-4
telah menjadi target dari beberapa penelitian, Itu telah Mewujudkan strategi baru
ke depan yang berbeda untuk menginduksi imunosupresi, beberapa dari mereka
Ag-spesifik, Itu Apakah Menjadi dasar baru untuk pengobatan penyakit autoimun
dan jaringan transplantasi penolakan (Abbas, 2004).
Dalam kasus limfosit T (TL), sinyal pertama yang dihasilkan oleh interaksi
peptida antigenik - histocompatibility Kompleks Mayor (MHC) ke reseptor sel T
(TCR) dan ko-reseptor CD4 dan CD8. Sinyal kedua adalah independen dari
molekul reseptor antigen yang berasal dari membran hadir di CPA disebut
costimulatory dan yang ligan berada di membran limfosit (Goldsby, 2004).
Reseptor CTLA-4 sitotoksik limfosit T juga dikenal sebagai CD152,
adalah molekul hambat utama yang terlibat dalam regulasi negatif aktivasi
limfosit. CTLA-4 dinyatakan terutama pada permukaan sel diaktifkan LT,
ekspresinya adalah LTCD4 konstitutif hanya pada CD25. Namun, beberapa
penelitian telah menunjukkan ekspresi CTLA-4 pada jenis sel lain, termasuk
limfosit B, monosit, granulosit, antara lain. Peran CTLA-4 dalam sel-sel tidak

diketahui. Dalam sel T aktif, CTLA-4 menggunakan dua mekanisme yang berbeda
hambat, salah satunya adalah transmisi sinyal negatif melalui wilayah intraseluler
nya, dan yang kedua adalah antagonisme kompetitif CD28-dimediasi sinyal
costimulatory. Tinjauan ini menjelaskan jalur sinyal yang terlibat dalam aktivasi
limfosit T, yang menginduksi reseptor down-regulasi dan aktivasi molekul hadir
CTLA-4 sebagai alternatif inthe desain imunoregulator menarik terapi baru
(Janeway, 2000).
Abatacept (CTLA-4 Ig fusion protein) merupakan gabungan antara domain
eksternal CTLA-4 dengan sekuens rantai berat IgG. CTLA-4 merupakan molekul
yang diekspresikan pada permukaan sel T aktif bersamaan dengan ekspresi CD28.
Interaksi CD28 dengan B7-1-2 merupakan stimulator kuat bagi aktivasi,
proliferasi, produksi sitokin, dan kelangsungan hidup sel T. Sebaliknya, interaksi
antara CTLA-4 dengan B7-1-2, akan menghasilkan sinyal supresi bagi sel T.
Bahan biologik ini berfungsi mengikat B7-1-2 (CD80 dan CD86), sehingga
aktivasi, proliferasi, produksi sitokin sel T terhambat. Selain itu, ekspresi molekul
CD40, CD54, MHC II sel keratinosit, dan CD40, CD80, CD86, dan MHC II sel
APC dihambat. Semua pengaruh tersebut mengakibatkan aktivitas penyakit
berkurang. Kerja CTLA-4 Ig fusion protein akan lebih baik apabila diberikan
bersama dengan antibodi monoklonal anti CD40L. Selain digunakan untuk kasus
psoriasis, bahan ini digunakan untuk memperpanjang survival transplantasi organ
alogenik (Wang, 2002).
2.4

MPER gp41 HIV-1


Protein selubung gp41 merupakan protein transmembran yang terdapat di

permukaan membran luar virus dan memiliki peran penting dalam infeksi virus
HIV ke sel host. Protein ini terdiri dari sekitar 345 asam amino dengan massa 41
kDa. Glikoprotein gp41 terbagi menjadi tiga domain utama, yaitu region
ekstraseluler yang disebut ektodomain (asam amino 512-683), domain
transmembran (asam amino 684-705) dan domain ekor sitoplasma (CT) (asam

10

amino 705-856). Ektodomain mengandung beberapa determinan fungsional yang


berbeda, yang terkait dengan fusi virus dan membran sel host. Oleh karena itu,
gp41 merupakan protein transmembran yang terdiri dari berbagai daerah yang
memiliki fungsi unik pada tiap domainnya (Montero, van Houten, Wang, & Scott,
2008).
Gambar 2.3 Skema Domain Pada gp41
MPER terdiri dari 24 asam amino C-terminal terakhir dari ektodomain
gp41. MPER mengandung epitop yang dikenali oleh 3 monoklonal antibodi
netralisasi (2F5, 4E10, dan Z13). MPER memiliki peran penting untuk aktifasi
fusi dan inkorporasi Env kedalam virion. Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil
studi yang dihasilkan oleh Salzwedel dkk yang menunjukkan bahwa penghilangan
17 asam amino (666-682) menyebabkan kemampuan Env untuk transmisi ke sel
dan infeksi virus hilang sama sekali.
Peran MPER dalam aktifitas fusi lebih jauh di dukung oleh kemampuan 3
monoklonal antibodi netralisasi untuk mengenali epitop pada MPER. Peningkatan
antibodi netralisasi terhadap MPER dapat mengeblok infeksi. Mekanisme pasti
dari proses netralisasi oleh 2F5 dan 4E10 belum sepenuhnya dipahami. Umumnya
antibodi netralisasi dapat bereaksi pada fase yang berbeda selama proses infeksi
virus. Kemungkinan besar mekanisme netralisasi oleh 2F5 dan 4E10 tidak
melibatkan pengeblokkan perlekatan virus pada reseptor seluler tapi mengganggu
proses fusi virus dengan membran sel atrget. MPER banyak dikembangkan
sebagai komponen vaksin HIV untuk dapat menghasilkan imunitas protektif
(antibodi netralisasi) (Montero, van Houten, Wang & Scott, 2008).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya modifikasi MPER dapat
menginduksi antibodi dengan titer tinggi, namun beberapa masih menunjukkan
hasil dengan titer sedang bahkan rendah. Daya nitralisasi dari suatu vaksin tidak
dijamin oleh tingginya titer antibodi yang dihasilkan, namun tergantung dari
kesesuaian struktur MPER yang disisipkan pada imunogen lain (Montero, M, van
Houten, N.E, Wang, X, & Scott, J.K, 2008).

11

2.5

Vaksin DNA HIV-1


Pada penyakit HIV/AIDS, vaksinasi dapat berguna sebagai pencegahan

ataupun pengobatan. Vaksinasi dengan tujuan pencegahan dapat ditunjukkan pada


orang sehat yang negatif HIV atau yang memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV,
dengan harapan dapat meningkatkan imunitas humoral maupun seluler terhadap
HIV sebelum adanya paparan virus. Sedangkan vaksinasi untuk terapi dapat
diberikan pada orang yang telah terinfeksi HIV dengan tujuan menyembuhkan
ataupun memulihkan kesehatannya. Vaksin HIV dapat digunakan untuk tujuan
proteksi terhadap infeksi HIV, proteksi terhadap perkembangan penyakit,
mengendalikan replikasi virus dan mereduksi transmisi virus. Karakteristik vaksin
AIDS yang ideal yaitu memiliki efikasi dalam mencegah transmisi melalui rute
mukosal dan parenteral; memiliki profil keamanan yang baik; pemberiannya dosis
tunggal; menghasilkan efek jangka panjang dalam melakukan proteksi selama
bertahun-tahun selama vaksinasi; harganya murah dalam pemberian dan
pengangkutan; memiliki kemampuan dalam perlindungan terhadap infeksi isolat
virus yang beragam (Sahni & Nagendra, 2004).
Saat ini terdapat banyak alternatif untuk pembuatan vaksin HIV. Strategi
pembuatan vaksin klasik dengan melemahkan virus hidup atau inaktifasi virus
utuh memiliki beberapa keterbatasan. Risiko dari vaksin yang dibuat dari virus
yang dilemahkan yakni adanya kemungkinan terjadinya pengembalian virulensi,
rekombinasi genetik intraseluler, ataupun aktifasi LTR dari proto-onkogen.
Sedangkan risiko utama yang dihadapi dari vaksin virus utuh yang diinaktivasi
adalah kesulitan dalam menentukan ketiadaan dari residu virus yang menginfeksi
dalam produksi skala besar. Dengan adanya keterbatasan tersebut, pengembangan
vaksin saat ini telah difokuskan pada pendekatan baru, diantaranya yaitu vaksin
DNA (Girard M., 1994;Sahni & Nagendra, 2004).
Awalnya Ulmer et al (1997), melakukan percobaan untuk memperoleh
imunitas protektif dengan menginjeksikan plasmid, yang mengekspresikan
nukleoprotein (protein internal virus influenza), pada mencit. Hasilnya diperoleh
antibodi anti-nukleoprotein dan sel limfosit T sitotoksik yang spesifik terhadap
nukleoprotein. Sejak percobaan pertama tersebut, banyak peneliti lain yang

12

mengujicobakan vaksin DNA pada hewan banyak coba untuk berbagai infeksi
virus. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut disimpulkan bahwa
vaksinasi DNA (plasmid) rekombinan dapat menghasilkan respon imun protektif
pada banyak hewan coba dan berbagai penyakit.
Vaksinasi DNA pada hewan coba biasanya diinjeksikan melalui otot
(intramuskular) atau epidermi. Pada vaksin DNA untuk HIV, komposisi vaksin
adalah plasmid DNA dari bakteri yang telah dinsersi DNA HIV atau gen
pengkode antigen (env ataupun daerah inti dari virus) dari HIV. Ekspresi gen
pengkode antigen diharapkan dapat mencetuskan respon imun yang kuat dari
humoral, seluler, dan cell-mediated. Penggunaan DNA yang telah dipurifikasi
sebagai vaksin memiliki berbagai kelebihan, diantaranya kemudahan dalam
merancang dan preparasi, aman, stabil dan tidak adanya kontaminan (Girard M.,
1994; Sahni & Nagendra, 2004). Vaksin DNA dapat memaparkan antigen lebih
lama dibandingkan dengan protein subunit dan dapat diberikan dalam jumlah
yang lebih sedikit, namun masih perlu dibutuhkan booster untuk dapat
meningkatkan respon imun spesifik. Penggunaan adjuvan dalam vaksinasi DNA
dibutuhkan karena jenis vaksin ini memiliki imunogenitas yang lebih rendah
dibandingkan vaksin jenis lain (Wong, 2002).
2.6

Myrmecodia Pendans

Myrmecodia pendans adalah nama latin untuk sarang semut. Spesies


Myrmecodia ada 71 spesies namun yang berkhasiat adalah jenis Myrmecodia
pendans dengan ukuran rata-rata berdiameter 25 cm dan tinggi 45 cm. Sarang
semut tumbuh pada pohon inang setinggi 8 m berada di ketinggian 1100-2500 m
dari permukaan laut, dan sudah dikenal oleh masyarakat lokal Asia Tenggara,
diKalimantan Tengah tanaman ini terkenal dengan sebutan anggrek sarang semut
atau anggrek tengkorak. Sarang semut (Myrmecodia pendans) merupakan
tumbuhan epifit yang menggantung atau menempel pada tumbuhan lain yang
lebih besar, batangnya menggelembung dan di dalamnya banyak terdapat ruang
atau rongga kecil yang dihuni semut. Tumbuhan sarang semut banyak dijumpai di
Kalimantan, Sumatra, Papua Nugini, Filipina, Kamboja, Malaysia, Cape York,

13

Kepulauan Solomon dan Papua (Lok dan Tan, 2009). Sarang semut mengandung
senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tannin yang diketahui
mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Flavonoid berperan sebagai
antibiotik, antivirus untuk virus HIV dan herpes. Selain itu flavonoid juga
dimanfaatkan untuk mencegah dan mengobati beberapa penyakit seperti asma,
katarak, diabetes, encok/rematik, migrain, wasir, periodontitis dan kanker. Sarang
semut diketahui juga mengandung senyawa antioksidan, vitamin, mineral dan
asam formiat. Antioksidan pada semut berperan dalam pembentukan koloni dan
menjaga tempat telur jauh dari kuman penyakit (Soeksmanto dkk, 2010).
Berdasarkan Tapas et al, (2008) sarang semut (Myrmecodia Pendes)
merupakan antitrombotik, antiradang, antialergi, serta sebagai antivirus. Pada
Myrmecodia Pendes juga terdapat aktifitas inhibisi enzim yang menghasilkan Glukan sebanyak 37% dan asam amino proteinogenik sebesar 42% yang dapat
diekspresikan pada permukaan sel T aktif untuk menghasilkan sinyal supresi dan
produksi sitokinin sel T terhambat dengan peningkatan CD4. Beta glucan
merupakan suatu substansi yang mengandung suatu kompleks gula (polisakarida),
yang terdiri dari (1 3)-D-glucan dan (1 6)-D-glucan. Polisakarida ini
merupakan komponen terbesar pembentuk dinding sel fungi, jamur-obat, tumbuhtumbuhan (Middletton. 2000).

14

BAB III
METODE PENULISAN
3.1

Tahapan penulisan
Penyusunan karya tulis ini memilki tahapan-tahapan dalam proses

penulisanya yang dilakukan sebagai landasan untuk mengembangkan konsep


dasar dalam perumusan masalah yang diangkat. Tahapan-tahapan tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Tahapan perumusan tema dan permasalahan
b. Tahapan pengumpulan landasan teori dan data
c. Tahapan analisis
d. Tahapan kesimpulan dan rekomendasi
3.2

Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data yang dilakukan dalam penyusunan karya tulis ini,

mengunakan beberapa metode yaitu:


a. Tinjauan pustaka
Data-data yang diperoleh, diambil dari reverensi buku yang didapat dari
perpustakaan yang memiliki relevansi dengan pembahasan.
b. Tinjauan media
TULISAN
Adanya informasi-informasi lainIDE
yang
diperoleh sebagai input dalam
IDE
TULISAN
Peningkatan
Edemi
didiDunia
termasuk
Indonesia
penyusunan
karya iniPenyakit
melalui
media cetak
dan media
elektronik.
Peningkatan
Penyakitinternet,
EdemiMenular
Menular
Dunia
termasuk
Indonesia
3.3

Metode Pendekatan Data


EKSPLORASI PERMASALAHAN

EKSPLORASI
PERMASALAHAN
Adapun metode pendekatan pada
proses analisis
yang dilakukan adalah:
dalam
Proses
Penyembuhan
Penyakit
HIV/AIDS
a.
Metode Pengobatan
analisis
deskriptif
untuk
mengolah
dan
menafsirkan
data yang
Pengobatan dalam Proses Penyembuhan
Penyakit
HIV/AIDS

diperoleh sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada


b.

objek yang dikaji.


Terapi
Genetika
Mengendalikan
Regulasi
Ekspresi
Metode
analisis
komparatif
untuk melihat
perbandingan
gagasan
yang
Terapi
Genetika
Mengendalikan
Regulasi
EkspresiGen
GenAbnormal
Abnormal

3.4

ditawarkan dengan beberapa teori yang relevan dengan gagasan.


sIRNA
sIRNAtherapeutic
therapeuticgen
genCTLA-4lg
CTLA-4lgfusion
fusionMyrmecodia
MyrmecodiaPendes
Pendes
Kerangka Berpikir

Vaksin
HA-MPER2
-glukan
HIV-1
Berbasis
Punca
Tulisan
ini memiliki
kerangka
berpikir
dalam
prosesSel
penulisannya.
Adapun
Vaksin
HA-MPER2
-glukan
HIV-1
Berbasis
Sel
PuncaPluriproten
Pluriproten
kerangka berpikir dalam tulisan ini pada gambar 2.1 di bawah ini :
Berbasis
BerbasisSel
SelPunca
PuncaPluriproten
Pluriproten
Imunisasi
ImunisasiPrime-Boost
Prime-Boost
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN

15

Gambar 3.1. Kerangka Berpikir Penulisan

BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS

4.1

Potensi Vaksin HIV-1 MPER gp41 Pengkodean CTLA-4Ig Fusion


Berbasis Sel Punca Pluripoten siRNA Therapeutic Gen -Glukan
Myrmecodia Pendans

16

siRNA merupakan fenomena biologi didalam sel yang prinsip dasarnya


adalah dengan masuknya dsRNA ke dalam sitoplasma yang akhirnya akan
membungkam ekspresi suatu gen ditingkat post-transcriptional. Pada awalnya,
proses gangguan (interference) menggunakan RNA tidak berhasil, karena para
peneliti menggunakan dsRNA dengan panjang lebih dari 30 nucleotides (nt). Hal
ini menyebabkan supresi dari gen yang tidak seharusnya terbungkam (nonspecific suppression gene). Dalam perkembangannya, penggunaan dsRNA dengan
nt yang lebih pendek berhasil membungkam ekspresi gen yang dikehendaki pada
sel mammalia, yang kita kenal dengan nama small interfering RNA (siRNA).
Mekanisme dasar RNAi terdiri dari beberapa proses (Gambar 4.1): (1)
Rantai dsRNA masuk kedalam sitoplasma sel (baik dalam bentuk alami ataupun
sentetis), dan akan langsung dikenali oleh enzim yang disebut Dicer (pemotong).
Enzim ini akan memotong rantai dsRNA menjadi rantai yang pendek-pendek (21
base pair, termasuk 2 nucleotide dengan 3-end di kedua ujungnya); (2) Dicerdicer tadi (bersama co-factor lainnya) akan sangat aktif memotong-motong
dsRNA sehingga akan terdapat banyak potongan-potongan kecil dari dsRNA,
yang kita sebut dengan small interfering RNA (siRNA) yang masih memiliki
rantai ganda (double-stranded); (3) Selanjutnya siRNA akan dikenali oleh RNAInduced Silencing Complex (RISC) yang mengandung enzim Argonaut, dimana
pada fase ini siRNA akan dibelah menjadi rantai tunggal (single-stranded) yang
akan mengaktifkan RISC; (4) RISC yang aktif akan segera mencari messenger
RNA (mRNA) yang baru keluar dari inti sel, setelah proses transkripsi dari DNA
(Gambar 1). Dan single-stranded siRNA didalamRISC akan dengan tepat
mengenali target dan mengikat pasangan basa-komplemen-nya (base-pairing with
the complementary) di mRNA; (5) Setiap RISC mengandung aktifitas enzim
endonuclease (Argonaut subunit) yang bertugas memotong target mRNA menjadi
bagian-bagian kecil, sehingga informasi genetik dari DNA untuk dirubah menjadi
protein musnah. Potongan-potongan mRNA ini akan terdegradasi secara alami
dengan mekanisme endogenous.

17

Gambar 4.1. Mekanisme Kerja siRNA


Penelitian tentang siRNA dirintis diberbagai bidang biologi seperti pada
tumbuhan (petunia dan fungi) serta pada hewan-hewan tingkat rendah. Dengan
menggunakan C. elegans, mereka membuktikan bahwa injeksi dsRNA kedalam
tubuh cacing ini dapat membungkam target gen yang diinginkan (highly genespecific) dan efeknya jauh lebih hebat dibandingkan hanya dengan menggunakan
sense atau anti-sense (single-stranded RNA).
Ekspresi gena meliputi proses transkripsi DNA menjadi mRNA, dan
translasi mRNA menjadi protein. DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan
rangkaian basa/nukleotide yang membawa informasi untuk membentuk protein.
Empat nukleotide penyusun DNA adalah guanin (G), sitosin (C), adenin (A) dan
timin (T). DNA mempunyai dua rantai nukleotide (rantai sense dan antisense)
yang berinteraksi satu sama lain, membentuk struktur double helix. Sedangkan
mRNA (messenger ribonucleic acid) terdiri dari satu rantai nuckleotida (rantai
sense), dan timin diganti dengan urasil (U). Gena sendiri didefinisikan sebagai
rangkaian nukleotide dalam DNA yang mengkode protein Gena sendiri
didefinisikan sebagai rangkaian nukleotide dalam DNA yang mengkode protein.
Dalam proses transkripsi, informasi yang dibawa DNA diterjemahkan menjadi
mRNA.
Protein yang di isolasi menjadi glikoprotein yang terkandung dalam sarang
semut merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang
merupakan metabolit sekunder pada tanaman yang berfungsi untuk mendukung

18

pertumbuhan tanaman (Gould et.al. 2006). Saat ini lebih dari 6.000 senyawa yang
berbeda masuk ke dalam golongan glikoprotein. Glikoprotein merupakan bagian
penting dari diet manusia karena banyak manfaatnya bagi kesehatan. Glikoprotein
telah lama

dikenal

untuk memiliki antiradang,

antioksidan,

antialergi,

hepatoprotektif antitrombotik, antivirus, dan anti kanker. Glikoprotein juga


bertindak sebagai chelator logam dan pengikat radikal bebas, juga sebagai
antioksidan kuat (Middletton et al. 2000), terlibat dalam kegiatan estrogenik,
inhibisi enzim, aktivitas antimikroba, aktivitas antialergi, aktivitas antioksidan,dan
aktivitas antitumor sitotoksik (Cushnie et al. 2005) sehingga glikoprotein dikenal
sebagai nutraseutikal (Tapas et al, 2008).

Gambar 4.2 Proses Transkripsi dan Translasi


Dilihat dari potensi glikoprotein dalam sarang semut sebagai antioksidan
dan antivirus, glikoprotein ini bisa digunakan sebagai vaksin penyakit yang
disebabkan oleh virus seperti HIV. Di dalam sarang semut juga terkandung
CTLA-4lg. CTLA-4lg merupakan gabungan antara domain eksternal CTLA-4

19

dengan sekuens rantai berat IgG. CTLA-4 merupakan molekul yang diekspresikan
pada permukaan sel T aktif bersamaan dengan ekspresi CD28. Interaksi CD28
dengan B7-1-2 merupakan stimulator kuat bagi aktivasi, proliferasi, produksi
sitoki dan kelangsungan hidup sel T. Sebaliknya, interaksi antara CTLA-4 dengan
B7-1-2, akan menghasilkan sinyal supresi bagi sel T. Bahan biologik ini berfungsi
mengikat B7-1-2, sehingga aktivasi, proliferasi, produksi sitokin sel T terhambat.
Selain itu, ekspresi molekul CD40, semua pengaruh tersebut mengakibatkan
aktivitas penyakit berkurang. Kerja CTLA-4Ig fusion protein akan lebih baik
apabila diberikan bersama dengan antibodi monoklonal anti CD40L.
CTLA-4lg akan ditambahkan dengan -glukan. -glukan adalah gula yang
ditemukan di dinding sel bakteri, jamur, ragi, alga, lumut, dan tanaman, seperti
gandum dan barley. Mereka kadang-kadang digunakan sebagai obat. Glukan beta
digunakan untuk kolesterol tinggi, diabetes, kanker, dan HIV / AIDS. Glukan beta
juga digunakan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada orang yang
tubuhnya pertahanan telah dilemahkan oleh kondisi seperti sindrom kelelahan
kronis, atau stres fisik dan emosional, atau oleh pengobatan seperti radiasi atau
kemoterapi. Glukan beta juga digunakan untuk pilek (common cold), flu
(influenza), H1N1 flu (babi), alergi, hepatitis, penyakit Lyme, asma, infeksi
telinga, penuaan, ulcerative colitis dan penyakit Crohn, fibromyalgia, rheumatoid
arthritis, dan beberapa sclerosis.
Setelah CTLA-4lg ditambahkan dengan -glukan dan digabungkan dengan
plasmid virus HIV-1 akan menjadi cikal bakal vaksin MPER gp41 HIV-1 glukan. Plasmid HIV-1 yang disisipkan MPER gp41 HIV-1 -glukan akan
ditanamkan dalam sel kera untuk memicu respon CD4 dengan menggunakan
metode RNAi. RNAi merupakan istilah umum untuk setiap proses di mana suatu
prekursor dsRNA dapat memicu represi transkripsi atau translasi gen homolog.
4.2

Strategi Implementasi Vaksin HIV-1 MPER gp41 Pengkodean CTLA4Ig Fusion Berbasis Sel Punca Pluripoten siRNA Therapeutic Gen Glukan Myrmecodia Pendans

20

Sejumlah clinical trial antisense glikoprotein CTLA-4lg fusion telah


digunakan untuk pasien retinitis (salah satu jenis infeksi mata) karena
cytomegalovirus (CMV). Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan terapi
penyakit lainnya. Glikoprotein CTLA-4lg fusion adalah rangkaian nukleotide
sintetik (umumnya 15-20 nukleotide) yang mampu berikatan dengan pre-mRNA
dan menghalangi ekspresi gena. Mekanisme aksi antisense glikoprotein CTLA4lg fusion dalam proses RNAi adalah berikatan dengan splice site spesifik dan
menghambat pembentukan spliceosome pada splice site target. Jadi, antisense
tidak menghambat keseluruhan, hanya menggeser spliceosome ke splice site yang
lain.

Gambar 4.3. Peran antisense glikoprotein CTLA-4lg fusion (a)


Glikoprotein CTLA-4lg fusion memblok penggunaan splice site yang
menyimpang, sehingga spliceosome kembali mengenali splice site yang
sebenarnya, (b) Glikoprotein CTLA-4lg fusion menginduksi terjadinya
exon skipping.
Dalam sel kera akan trjadi proses translasi dan transkripsi dari virus HIV-1
namun virus ini tidak akan menginfeksi sel kera karena metode RNAi dapat
mencegah ekspresi dari sifat virus HIV-1. Sedangkan proses RNAi akan dikontrol
secara otomattis oleh enzim dicer.

21

Gambar 4.4 Proses Transkripsi dan Translasi Sel Somatis Primata


Setelah proses transkripsi dan translasi sel somatis kera yang telah
dimasuki plasmid virus HIV yang digabung MPER gp41 HIV-1 -glukan akan
terinduksi menjadi sel punca. Penggunaan plasmid memberikan peluang proses
pemrograman ulang tanpa adanya integrasi dengan genom sel target, sehingga
menghasilkan sel iPS yang bebas virus. Namun, efisiensi transfeksi menggunakan
plasmid ini masih tetap lebih rendah dibanding menggunakan Retrovirus dan
Lentivirus. Plasmid episomal dapat melakukan replikasi autonom secara
ekstrakromosomal tanpa integrasi dengan genom sel, sehingga durasi ekspresi gen
lebih lama. Penggunaan Adenovirus yang tidak dapat melakukan replikasi juga
telah dilakukan.
Adenovirus dapat menginfeksi semua sel, kecuali sel limfosit, tidak
melakukan integrasi dengan genom sel target, dan mampu mengekspresikan gen
lebih baik. Kekurangannya adalah Adenovirus menghilang dengan cepat pada sel
yang membelah sehingga ekspresi gen tidak cukup lama, menghasilkan efisiensi
yang rendah.

22

Gambar 4.5 Skema Proses Induksi Sel Donor Menjadi Sel Ips

Sel punca dari kera akan diambil dan di aplikasikan sebagai imunisasi
prime boost dari penyakit HIV-1 yang lebih bertujuan untuk tindakan preventif.
Mekanisme aksi secara umum yang terjadi saat dilakukan vaksinasi DNA diawali
dengan masuknya plasmid kedalam nukleus

dimana gen akan mengalami

transkripsi, lalu protein diproduksi dalam sitoplasma. Protein hasil ekspresi yang
disekresikan dapat menginduksi Th, sitokin, dan antibodi yang dapat bereaksi
dengan virus. APC menyajikan peptida (sebagai antigen) dengan adanya ikatan
Ag-MHC I, sehingga antigen dikenali oleh sel Tc dan selanjutnya mengaktivasi
sitokin. Pada vaksin yang diberikan untuk tujuan terapi, sel Tc yang telah
teraktivasi dapat melakukan lisis pada sel pejamu yang telah terinfeksi HIV.

23

Gambar 4.6 Skema Tranfeksi Gen


Aktivasi sitokin lebih lanjut dapat menyebabkan teraktivasinya sel NK
yang secara non-spesifik dapat melisis sel yang terinfeksi virus atau sel yang
menyajikan protein asing.
Plasmid

Transformasi

Rekombian

pada Bakeri

Penyandi

E.Coli

Isolasi Plasmid
Protein
Skala
Besar

Sekuensing
TOP hasil
10
Plasmid
Isolasi

Elektroforesis
Gel Agarosa

Perhitungan
kosentrasi
Plasmid yang
dibutuhkan
Booster
dalam I
Booster II
Komposisi
Vaksin

HAMPER2

Vaksin
HA-MPER2
Glukan

Isolasi Plasmid
Skala Kecil

Elektroforesis
Gel Agarosa
Imunisasi Primata dan Pengambilan darah

Pengambilan darah
I (Pre Imunisasi)

Gambar 4.7 Skema Strategi Implementasi Vaksin MPER gp41


Sedangkan pada pemberian vaksin yang ditujukan untuk pencegahan,
antigen yang disajikan oleh APC melalui peningkatan Ag-MHC II dapat
mengaktivasi Th. Dengan teraktivasinya sel Th, sel lain seperti sitokin, sel B, dan
sel Tc juga dapat teraktivasi. Sel B yang teraktivasi diharapkan dapat
berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk antibodi spesifik terhadap antigen

24

yang disajikan sehingga jika suatu saat terdapat virus HIV yang menginfeksi,
virus tersebut sudah dapat dikenali secara spesifik dan dinetralisasi oleh antibodi
yang sebelumnya telah terbentuk pada saat vaksinasi.
Telaah pustaka dalam karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui
potensi respon imun humoral terhadap vaksin DNA HIV-1, khususnya dalam
menginduksi respon antibodi spesifik MPER2 -glukan

HIV-1. Untuk

mendeteksi adanya antibodi spesifik tersebut digunakan metode ELISA berbasis


antigen. Plasmid rekombinan penyandi protein HA-MPER2 -glukan telah
berhasil dikonstruksi pada potensi pembahasan sebelumnya (Agustian, 2012,
unplublish), begitu juga dengan plasmid rekombinan penyandi protein HA telah
berhasil dibuat pada potensi pembahasan (Bela, 2011). Plasmid-plasmid
rekombinan tersebut selanjutnya diperbanyak dengan melakukan transformasi
pada bakteri E. Coli TOP 10. Untuk melakukan verifikasi sebelum tahap isolasi
skala besar,terlebih dahulu dilakukan isolasi skala kecil, elektroforesis dan
sekuensing untuk memastikan bahwa hasil isolasi merupakan plasmid rekombinan
yang diinginkan. Setelah didapatkan sekuens yang benar pada tahap sekuensing,
selanjutnya dilakukan isolasi skala besar untuk mendapatkan plasmid rekombinan
yang diinginkan dalam jumlah yang cukup untuk imunisasi primata. Pada
komposisi tiap-tiap vaksin DNA ditambahkan DMRIE-C yang merupakan
lipofektamin untuk melindungi plasmid selama proses administrasi menuju sel
target. Imunisasi pada primata dilakukan pada primata galur BALB/c berumur 6-8
minggu. Penyuntikan dilakukan di otot musculus quadriceps dengan konsentrasi
50 g/50 l vaksin DNA. Penentuan jumlah primata yang digunakan untuk setiap
kelompok perlakuan dihitung berdasarkan rumus Federer. Imunisasi dilakukan 3
kali dengan rincian imunisasi prime dan dua kali imunisasi booster. Jarak waktu
imunisasi adalah 2 minggu. Pengambilan darah dilakukan di facial vein pada 2
minggu sebelum imunisasi prime dan selanjutnya pada jarak waktu tiap 2 minggu
setelah imunisasi. Kemudian pada darah yang diambil dilakukan sentrifugasi
untuk diambil serumnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

25

5.1

KESIMPULAN

1.

Pengkodean CTLA-4Ig Berbasis siRNA Therapeutic Gen Glukan


Myrmecodia Pendans berpotensi sabagai Vaksin HIV-1 MPER. Gp41 Sel

2.

Punca Pluripoten
Teknik strategi implementasi menggunakan Vaksin HIV-1 MPER gp41
Pengkodean CTLA-4Ig Fusion Berbasis Sel Punca Pluripoten siRNA
Therapeutic Gen -Glukan Myrmecodia Pendans

5.2

SARAN
Dari gagasan tertulis ini perlu dilakukan tindakan aplikatif lebih lanjut

untuk membuktikan gagasan tertulis, sekaligus untuk mengetahui permasalahan di


lapangan, dibutuhkan perhatian dari pihak laboratorium bagian genetik maupun
ongkologi dalam menerapkan gagasan yang ada serta untuk mengantisipasi
berbagai kendala tersebut. Selain itu, lembaga penelitian seperti LIPI perlu
mengawasi hasil produksi protein pada CTLA-4lg fusion myrmecodia pendes
sebagai vaksin HA-MPER2 -glukan HIV-1.

DAFTAR PUSTAKA

26

Abbas, A.; Lichtman, A. (2012). Inmunologa celular y molecular, 5 ed.; p. 163188. Madrid: Elsevier.
Agustin, R. (2011). Pengidap HIV/AIDS Indonesia Mencapai 200 Ribu. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK. UI
Baratawidjaya, K. G., & Rengganis, I. (2006). Imunologi Dasar. Dalam P. D.
Indonesia, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 235-241.
Bernstein E, Caudy AA, Hammond SM, Hannon GJ. (2001). Role for a bidentate
ribonuclease in the initiation step of RNA interference. Nature 409:363
366.
Birnboim, H. C.,& Doly, J. (2000). A Rapid Alkaline Lysis Procedure for
Screening Recombinant Plasmid DNA. Nucleic Acids Res., 7, 1513-1522.
Birnboim, H. (2008) A Rapit Alkaline Extraction Method for The Isolation of
Plasmid DNA. Methods Enzimol., 100,243-255.
Cogoni C, Macino G. (1999). Gene silencing in Neurospora crassa requires a
protein homologous to RNA-dependent RNA polymerase. Nature
399:166169
Directorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2011).
Pengembangan

HIV/AIDS

sampai

dengan

Triwulan

2011.http://www.pppl.depkes.go.id/asset/download/SITUASI

II

tahun
AIDS

TERKINI. Pdf.
Dirjen P2PL Kemenkes RI. (2002). Laporan Kementrian Kesehatan Triwulan
Kesatu 2012. Diakses 21 Agustus 2013, dari Komisi Penanggulangan
AIDS

http://www.aidsindonesia.or.id/laporan-kementrian-kesehatan-

triwulan-kesatu-tahun-2013html
Djoerban, Z., Djauzi, S. (2006). HIV/AIDS di Indonesia. Dalam P. D. Indonesia,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK. UI, 1803-1808.

27

Donelly, J. J., Wahren, B., & Liu, M. A. (2005). DNA Faccines: Progress and
Chalenges. J. Immunol., 175,633-639.
Esparza, J. (2001). An HIV Vaccine: how and when. Bulletine of the World Health
Organization, 1133-1137.
Fields, B. (2007). Fields Virologi, 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluer
Health/Lippincott Williams & Wilkinds.
Frauwirth, K.; Thompson, CB. Activation and inhibition of lymphocytes by
costimulation. J. Clin. Invest. 2002; 109(3): 295-9.
Girard, M. (1994). Human Immunodeficiency Virus. Dalam S. A. Plotkin, & E. A.
Mortimer, Vaccines. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 824.
Girard, M.P., Osmanov, S., Assossou, O. M., & Kieny, M.-P. (2011). Humman
Immudeficiency

Virus

(HIV)

immunopathogenesis

and

vaccine

development: A review. Iaccine,29,6191-6218.


Goldsby, R.; Kindt, T.; Osborne, B.; Kuby, J. Inmunologa, 5 ed., pp. 224-250.
Mxico: Mc Graw Hill, 2004.
Hope,T.J., & Trono, D.(2000) Structure, Expression, and Regulation of the HIV
Genome. Diakses 19 Agustus 2013, dari UCSF Center for HIV
Information: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-02-01-02#S2X.
Janeway, C.; Travers, P.; Walport, M.; Capra, D. (2000). Inmunobiologa. El
sistema inmunitario en condiciones de salud y enfermedad, 4 ed., pp. 163190. Barcelona: Masson
Kim, P. S., & Read, S. W. (2012). Nanotechnology and HIV: Potential Aplications
for Treatment and Prevention.WIREs Nanomed Nanobiotechnol., 2, 693702.
Klatt, E. C. (2011). Pathology of AIDS. Savannah:Edward C. Klatt, MD.
Komisi Penanggulangan AIDS National. (2011). Rangkuman Eksekutif Upaya
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011.Jakarta:Komisi
Penanggulangan AIDS.

28

Lee YS, et al. (2004). Distinct roles for Drosophila Dicer-1 and Dicer-2 in the
siRNA/miRNA silencing pathways. Cell 117:6981.
Life Technologies Corporation.(2012). DNA and RNA Molecular Weights and
Conversions.

Dipetik

September

2013

dari

Invitrogen:

http://www.invitrogen.com/site/us/en/home/References/Ambion-TechSupport/rna-tools-and-calculators/dna-and-rna

-molecular-weights-and-

conversions.html
Lok, A.F.S.L. dan H.T.W. Tan. 2009. Tuberous, epiphytic, rubiaceous
myrmecophytes of Singapore. Nature in Singapore 2:231-236
Makeyev EV, Bamford DH. 2002. Cellular RNA-dependent RNA polymerase
involved in post-transcriptional gene silencing has two distinct activity
modes. Mol Cell 10:14171427.
Montero, M., van Houten.N. E., Wang, X., & Scott,J.K. (2008).The Membrane
Proximal External Region of the Human Immunodeficiency Virus Type 1
Envilope: Dominant Site of Antibody Neutralizing and Target for Vaccine
Design. Microbiol. Mol. Biol. Rev., 72,54-84.
Sahni,L.C., & Nagendra, C. A. (2004). HIV Vaccine Strategies-an Update. MJAFI
, 157-164.
Sijen T, Fleenor J, Simmer F, et al. 2001. On the role of RNA amplification in
dsRNA-triggered gene silencing. Cell 107:465476. Makeyev EV,
Bamford DH. 2002. Cellular RNA-dependent RNA polymerase involved
in post-transcriptional gene silencing has two distinct activity modes. Mol
Cell 10:14171427.
Soeksmanto, A., M.A. Subroto, H. Wijaya and P. Simanjuntak. 2010. Anticancer
Activity Test for Extracts of Sarang Semut Plant (Myrmecodya pendens)
to HeLa and MCM-B2 Cells. Pakistan Journal of Biological Sciences
13(3):148-151.
Tapas, AR., Kakde, RB. Sakarkar, DM. 2008. Flavonoids as Nutraceuticals.
Tropical Journal of Pharmaceutical Research 7 (3): 1089-1099

29

Wang, XB.; Giscombe, R.; Yan, Z.; Heiden, T.; Xu, D.; Lefvert, AK. (2002).
Expression of CTLA-4 by human monocytes. Scand. J. Inmunol.
Wong-Staal, F. (2002).AIDS Vaccine Research. New York: Marcel Dekker.
World Health Organization. (2011). Global health sector strategy on HIV/AIDS
2011-2015. Prancis:WHO press.

BIODATA PENULIS
1. Ketua Penulis
Nama

Muhammad Arif Ashari

30

JenisKelamin
NIM
Fakultas
Jurusan
No. Tlp.
AlamatUniversitas
Beberapa Karya Ilmiah

Laki-laki
10212008
Ilmu Kesehatan
S1 Keperawatan
085735572566
Jl. KH. Wahid Hasyim 65 Kediri
1. Nursing Care Agancy: Solusi Efektif
Perawatan Self Devisit Care (Tinjauan
Literatur, 2012).
2. RNAiTherapeutic Gen Spirulina Platensiss
ebagai ekspresi gena pada poliferasi sel
kangker paru (Tinjauan Literatur, 2012

2. Anggota I Penulis
Nama
Jenis Kelamin
NIM
Fakultas
Jurusan
No. Tlp.
AlamatUniversitas
Beberapa Karya Ilmiah

VellianaVanta Sari
Perempuan
10212022
Ilmu Kesehatan
S1 Keperawatan
08563665575
Jl. KH. Wahid Hasyim 65 Kediri
1. Nursing Care Agancy: Solusi Efektif
Perawatan Self Devisit Care (Tinjauan
Literatur, 2012).
2. RNAiTherapeutic Gen Spirulina Platensiss
ebagai ekspresi gena pada poliferasi sel
kangker paru (Tinjauan Literatur, 2012).

Anda mungkin juga menyukai