19:00
dan
Jesse,
semula
keduanya
hanyalah
penumpang
kereta
seperti
Kuatnya dialog di film trilogi tersebut konon karena sang sutradara memang
mendasarkan ceritanya dari pengalaman pribadi ketika mengalami kandasnya perasaan
setelah perkenalan singkat dengan seorang perempuan. Sosok itu, menurut cerita yang
beredar, bernama Amy Lehrhaupt, persis seperti kepribadian Celine yang coba
digambarkan di film pertamanya. Ia berkenalan dengan Amy tanpa sengaja, lalu keduanya
melewatkan waktu yang sesaat itu dengan berbincang sambil berjalan-jalan mengelilingi
Philadelphia. Namun setelah itu rupanya takdir berkata lain. Amy tewas dalam kecelakaan
setelah sebelumnya keduanya sempat hilang kontak selama beberapa waktu. Padahal
bayangan tentang Amy masih mencandera Richard.
Namun terlepas dari dialog dan akting yang begitu sempurna, kupikir ada struktur
narasi yang barangkali tak disadari oleh si sutradara sehingga membuat efek dari cerita
film buatannya demikian kuat. Bila ada yang pernah menontonnya dan coba
mengingat-ingat kembali, narasi yang dibangun dari cerita film itu berpijak di atas struktur
sederhana oposisi biner 'pertemuan' dan 'perpisahan', sebuah siklus kecil yang akan selalu
dialami oleh setiap manusia di belahan bumi manapun ketika menjalin interaksi dengan
liyan. Barangkali itulah daya tarik yang membuat ide cerita yang dijajal di film trilogi
tersebut tidak hanya berhasil merebut penonton di negaranya saja, tetapi juga berhasil
mengenai' imajinasi ideal manusia di negeri-negeri lain, sebuah hubungan yang 'hidup',
yang tak ditentukan oleh lama tidaknya sebuah hubungan, melainkan oleh percakapan
yang biasa-biasa saja, yang sederhana tetapi selalu nyambung.
Saya memang sengaja menempatkan film itu sebagai narasi pada umumnya,
sebagaimana film itu hendak menyuguhkan narasi melalui percakapan dua tokohnya.
Melalui pembacaan pada pola struktur opisisi biner di narasinya itu, akan ketahuan betapa
Richard tidak saja berhasil melakukan perlawanan terhadap kacaunya kenyataan saat
menerima kabar kematian yang menimpa perempuan yang mengesankan di kehidupannya,
tetapi juga penonton seperti diseret masuk ke dalam arus cerita melalui dialog sederhana
untuk merasai ulang momen dimana diri penonton sendiri pernah mengalami suasana
seperti cerita yang Celine dan Jesse alami.
Momen awal pertemuan yang biasa, perkenalan yang biasa, tapi justru mengejutkan.
Perbincangan asyik dengan lawan bicara yang menyenangkan hingga membuat dua anak
manusia itu saling memeram rasa. Sebuah momen yang di kehidupan nyata sehari-hari,
kita tahu, biasanya hanya berlaku ketika masa-masa PDKT saja. Pada titik ini tiga film
Richard tersebut memperlihatkan betapa kekuatan imajinasi sang sutradara mampu
menuntut realitas supaya berlaku sekehendak dirinya (melalui percakapan natural di
filmnya).
Before Sunrise, film pertama yang sempat membuat para kritikus tak mampu menahan
mulutnya berkomentar, bisa juga dibaca secara semiotis, mewakili suasana sebelum
datangnya matahari pagi di mana fajar adalah sebuah awal, momen gelap menandai situasi
ketika semua bisa terjadi dengan tiba-tiba dan bahkan di luar rencana, seperti pertemuan
Celine dan Jesse di gerbong kereta berkat pertengkaran orang tua yang beradu mulut dan
bikin berisik, sebuah kejutan peristiwa dan momen berkenalan yang menjadi penentu
jalannya cerita selanjutnya. Lalu Before Sunset, menghadirkan narasi kepada narasi di film
sebelumnya, sebagai cermin dari masa transisi, berkisah tentang kelokan cinta sesaat yang
terpisah oleh tujuan masing-masing dan kemudian mencoba mengoreksi kekeliruan masa
lalu, tentang satu sama lain yang tidak bisa menepati janji bertemu karena suatu hal,
tentang Jesse yang akhirnya memilih menikah dengan perempuan lain dan Celine yang
meniti karir di LSM. Dan terakhir, 18 tahun kemudian, Before Midnight menjadi film yang
mungkin saja bukan akhir cerita perjalanan dari terang ke malam, dari Sunrise ke Sunset
hingga Midnight.
Barangkali saking membekasnya efek suasana yang berhasil dimunculkan dari film
Richard tersebut, saya sempat terpikir untuk menulis cerita semacam itu. Idenya sederhana,
seperti trilogi film itu, narasi intinya bermain di ruang antara pertemuan dan perpisahan.
Berangkat dari seorang anak desa yang dekil (yang tidak mirip dengan anak kecil di sesi
awal cerita Ronggeng Dukuh Paruk) yang kemudian harus berpisah dengan kampung
halaman dan teman masa kecil demi melanjutkan sekolah ke kota, mengecap manis
asamnya masa muda lengkap dengan kisah kasih sekolah seperti kampus birunya Ashadi
Siregar, tapi tidak berhenti di situ. Saya juga akan mengikuti perjalanan si tokoh itu hingga
ke masa tuanya. Tentu tak lupa saya hadirkan pasangan sebagai partner perjalanan. Entah
seperti apa ceritanya saya belum terbayang. Tapi jika Richard membutuhkan waktu 18
tahun untuk menyelesaikan trilogi filmnya dengan serius, saya akan menulis kisah 70
tahun hidup manusia dan menuangkannya ke dalam mungkin sekitar 400 halaman dalam
waktu kurang dari setahun, dengan main-main. Saya akan menyuguhkan potret kehidupan