Anda di halaman 1dari 4

Rabu, 270116.

19:00

Before Sunrise, Sunset, and Midnight


Oleh: @belvage
Coretan ini hanyalah satu dari ratusan, bahkan mungkin ribuan celetukan orang setelah
nonton sekuel film apik, Before Sunrise (1995) - Before Sunset (2004) - Before Midnight
(2013). Sebagai satu dari jutaan penonton yang kagum dengan film garapan Richard
Linklater itu, saya, seperti juga mungkin dirasakan penonton lain, sempat heran, ramuan
macam apa yang diracik sang sutradara sehingga suasana sehari-hari yang biasa terjadi
dalam momen perkenalan bisa disulap menjadi penuh kejutan.
Celine

dan

Jesse,

semula

keduanya

hanyalah

penumpang

kereta

seperti

penumpang-penumpang lain. Mereka di pertemukan di kursi bersebelahan, lalu ngobrol


ngalor-ngidul. Keduanya berbincang tentang berbagai macam hal yang mungkin biasa
menjadi obrolan kita sehari-hari, dari mimpi, ambisi, sampai ke soal mengenai keinginan
orang tua untuk melihat anaknya menjadi ini dan itu. Sebuah percakapan yang biasa.
Dialog yang jamak ditemukan di kehidupan sehari-hari. Dan di tangan Richard, semua itu
akan menjadi lain.
Scene pertama film itu dibuka dengan gambar rel yang diambil dari engle atas kereta
yang sedang berjalan. Rel lurus yang tampak menjulur memanjang, tetapi kemudian dari
arah berbeda ada rel lain yang menyatu tiba-tiba.
Ethan Hawke dan Julia Delphy, adalah si pemeran tokoh bernama Celine dan Jesse.
Perkenalan bermula berkat pertengkaran sepasang orang setengah baya di gerbong kereta.
Celine yang sedang membaca buku di tangannya tampak terganggu dengan pertengkaran
orang yang duduk di sebelahnya. Ia kemudian berpindah mencari tempat duduk lain yang
kosong dan itu tepat berada di sebelah kursi Jesse. Celine dan Jesse yang belum saling
kenal mulanya hanya saling bertukar pandangan. Kebetulan keduanya juga saling
memegang buku. Jadi boleh dibilang di scene ini sutradara telah mencicil karakter tokoh
utama, pemuda-pemudi yang berasal dari latar belakang orang melek buku.
***

Kuatnya dialog di film trilogi tersebut konon karena sang sutradara memang
mendasarkan ceritanya dari pengalaman pribadi ketika mengalami kandasnya perasaan
setelah perkenalan singkat dengan seorang perempuan. Sosok itu, menurut cerita yang
beredar, bernama Amy Lehrhaupt, persis seperti kepribadian Celine yang coba
digambarkan di film pertamanya. Ia berkenalan dengan Amy tanpa sengaja, lalu keduanya
melewatkan waktu yang sesaat itu dengan berbincang sambil berjalan-jalan mengelilingi
Philadelphia. Namun setelah itu rupanya takdir berkata lain. Amy tewas dalam kecelakaan
setelah sebelumnya keduanya sempat hilang kontak selama beberapa waktu. Padahal
bayangan tentang Amy masih mencandera Richard.
Namun terlepas dari dialog dan akting yang begitu sempurna, kupikir ada struktur
narasi yang barangkali tak disadari oleh si sutradara sehingga membuat efek dari cerita
film buatannya demikian kuat. Bila ada yang pernah menontonnya dan coba
mengingat-ingat kembali, narasi yang dibangun dari cerita film itu berpijak di atas struktur
sederhana oposisi biner 'pertemuan' dan 'perpisahan', sebuah siklus kecil yang akan selalu
dialami oleh setiap manusia di belahan bumi manapun ketika menjalin interaksi dengan
liyan. Barangkali itulah daya tarik yang membuat ide cerita yang dijajal di film trilogi
tersebut tidak hanya berhasil merebut penonton di negaranya saja, tetapi juga berhasil
mengenai' imajinasi ideal manusia di negeri-negeri lain, sebuah hubungan yang 'hidup',
yang tak ditentukan oleh lama tidaknya sebuah hubungan, melainkan oleh percakapan
yang biasa-biasa saja, yang sederhana tetapi selalu nyambung.
Saya memang sengaja menempatkan film itu sebagai narasi pada umumnya,
sebagaimana film itu hendak menyuguhkan narasi melalui percakapan dua tokohnya.
Melalui pembacaan pada pola struktur opisisi biner di narasinya itu, akan ketahuan betapa
Richard tidak saja berhasil melakukan perlawanan terhadap kacaunya kenyataan saat
menerima kabar kematian yang menimpa perempuan yang mengesankan di kehidupannya,
tetapi juga penonton seperti diseret masuk ke dalam arus cerita melalui dialog sederhana
untuk merasai ulang momen dimana diri penonton sendiri pernah mengalami suasana
seperti cerita yang Celine dan Jesse alami.
Momen awal pertemuan yang biasa, perkenalan yang biasa, tapi justru mengejutkan.
Perbincangan asyik dengan lawan bicara yang menyenangkan hingga membuat dua anak
manusia itu saling memeram rasa. Sebuah momen yang di kehidupan nyata sehari-hari,

kita tahu, biasanya hanya berlaku ketika masa-masa PDKT saja. Pada titik ini tiga film
Richard tersebut memperlihatkan betapa kekuatan imajinasi sang sutradara mampu
menuntut realitas supaya berlaku sekehendak dirinya (melalui percakapan natural di
filmnya).
Before Sunrise, film pertama yang sempat membuat para kritikus tak mampu menahan
mulutnya berkomentar, bisa juga dibaca secara semiotis, mewakili suasana sebelum
datangnya matahari pagi di mana fajar adalah sebuah awal, momen gelap menandai situasi
ketika semua bisa terjadi dengan tiba-tiba dan bahkan di luar rencana, seperti pertemuan
Celine dan Jesse di gerbong kereta berkat pertengkaran orang tua yang beradu mulut dan
bikin berisik, sebuah kejutan peristiwa dan momen berkenalan yang menjadi penentu
jalannya cerita selanjutnya. Lalu Before Sunset, menghadirkan narasi kepada narasi di film
sebelumnya, sebagai cermin dari masa transisi, berkisah tentang kelokan cinta sesaat yang
terpisah oleh tujuan masing-masing dan kemudian mencoba mengoreksi kekeliruan masa
lalu, tentang satu sama lain yang tidak bisa menepati janji bertemu karena suatu hal,
tentang Jesse yang akhirnya memilih menikah dengan perempuan lain dan Celine yang
meniti karir di LSM. Dan terakhir, 18 tahun kemudian, Before Midnight menjadi film yang
mungkin saja bukan akhir cerita perjalanan dari terang ke malam, dari Sunrise ke Sunset
hingga Midnight.
Barangkali saking membekasnya efek suasana yang berhasil dimunculkan dari film
Richard tersebut, saya sempat terpikir untuk menulis cerita semacam itu. Idenya sederhana,
seperti trilogi film itu, narasi intinya bermain di ruang antara pertemuan dan perpisahan.
Berangkat dari seorang anak desa yang dekil (yang tidak mirip dengan anak kecil di sesi
awal cerita Ronggeng Dukuh Paruk) yang kemudian harus berpisah dengan kampung
halaman dan teman masa kecil demi melanjutkan sekolah ke kota, mengecap manis
asamnya masa muda lengkap dengan kisah kasih sekolah seperti kampus birunya Ashadi
Siregar, tapi tidak berhenti di situ. Saya juga akan mengikuti perjalanan si tokoh itu hingga
ke masa tuanya. Tentu tak lupa saya hadirkan pasangan sebagai partner perjalanan. Entah
seperti apa ceritanya saya belum terbayang. Tapi jika Richard membutuhkan waktu 18
tahun untuk menyelesaikan trilogi filmnya dengan serius, saya akan menulis kisah 70
tahun hidup manusia dan menuangkannya ke dalam mungkin sekitar 400 halaman dalam
waktu kurang dari setahun, dengan main-main. Saya akan menyuguhkan potret kehidupan

manusia yang biasa-biasa saja tanpa berpretensi memberinya kuasan-kuasan politik di


kisah itu (sebab tanpa membicarakan politik, juga bentuk politik itu sendiri). Lalu sebelum
membunuh tokoh utama di cerita yang saya tulis, saya akan membawanya pulang lebih
dulu. Pulang ke kampung halamannya untuk bertemu dengan teman-teman masa kecil
yang sebagian telah meninggal mendahuluinya. Saya akan menggambarkan suasana
pedesaan yang asri yang tak sempat disentuh oleh tangan-tangan proyek percepatan
pembangunan dan carut-marutnya dinamika politik lokal. Saya akan membawanya pulang
ke rumah masa kecilnya supaya tak semengerikan merasai pengalaman menjadi tua di kota
besar seperti kisah yang ditulis SGA.
Hmmm... mungkin nanti saya akan menulisnya.

Anda mungkin juga menyukai