220110120003
220110120026
Tiara Nurrarchmi P
220110120101
Era Sucia
220110120146
Widya Dahlia J
220110120154
Lathifani Azka220110120161
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2015
BAB I
SITUASI ANALISIS
Pada tahun 2014, Indonesia memiliki jumlah populasi keempat terbesar di dunia
setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, yaitu sebanyak 252.124.458 jiwa. Peningkatan
jumlah penduduk ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
terjadinya jumlah perkawinan dan fertilitas yang tidak terkendali.
Badan
Kependudukan
dan
Keluarga
Berencana
Nasional
(BKKBN),
menemukan bahwa usia kawin pertama rata-rata wanita sekitar usia 21-22 tahun. Hasil
Sensus Penduduk tahun 2000, menunjukkan bahwa penduduk Indonesia didominasi
oleh kelompok usia produktif yaitu usia 15-59 tahun sekitar 65,03%. Disusul kemudian
oleh kelompok usia muda 0-14 tahun sebesar 30,43% dan kelompok usia tua di atas 65
tahun sebesar 4,54%. Kondisi tersebut relatif menetap, hanya proporsi penduduk
kelompok usia muda yang mengalami sedikit penurunan dan proporsi penduduk
kelompok usia produktif dan tua mengalami sedikit peningkatan. Median umur
penduduk menjadi menua, yaitu dari 23,78 tahun menurut hasil sensus penduduk tahun
2000 menjadi 27,2 tahun menurut hasil sensus penduduk tahun 2010. Dengan demikian,
maka penduduk Indonesia dapat dikategorikan sebagai penduduk intermediate, yaitu
transisi dari penduduk usia muda ke penduduk usia tua.
Kepala BKKBN, Fasli Jalal (2014), menyatakan bahwa tingginya jumlah
penduduk akan berdampak pada berbagai macam hal. Dampak tersebut diantaranya
berpengaruh terhadap jumlah ketersediaan lahan, jumlah ketersediaan energi,
ketersediaan lapangan pekerjaan, dan ketersediaan pangan. Selain dampak tersebut,
terdapat banyak masalah sosial yang dihadapi dengan jumlah penduduk yang tidak
terkendali. Salah satu dampak sosial yang muncul, yaitu angka kemiskinan yang
meningkat. Dampak lain yang muncul adalah masalah kesehatan yakni angka kematian
ibu dan anak yang meningkat setiap tahunnya. Oleh karenanya, dibutuhkan perhatian
dan penanganan yang serius termasuk pengaturan kehamilan agar tidak terjadi kondisi
kesehatan yang berisiko.
Keluarga Berencana (KB) merupakan program kesehatan pemerintah yang
dirancang oleh BKKBN sejak tahun 1987. Program pemerintah ini masih digunakan
dan terus mengalami pembaharuan untuk meningkatkan keberhasilan dalam mengontrol
penggunaan
program
Keluarga
Berencana
adalah
untuk
mengantisipasi laju pertumbuhan penduduk, menekan angka kelahiran, dan usaha untuk
menurunkan angka kesakitan serta kematian ibu yang semakin tinggi akibat kehamilan
yang dialami wanita (Suratun, 2008). Pengguna KB akan mendapatkan 3 (tiga) manfaat
utama, baik untuk ibu, anak dan keluarga, antara lain: (1) Manfaat untuk ibu, yaitu
mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, mencegah setidaknya satu dari empat
kematian ibu, menjaga kesehatan ibu, dan merencanakan kehamilan terprogram; (2)
Manfaat untuk anak, yaitu mengurangi risiko kematian bayi, meningkatkan kesehatan
bayi, mencegah kekurangan gizi pada bayi, tumbuh kembang bayi lebih terjamin,
kebutuhan ASI eksklusif selama 6 bulan relatif dapat terpenuhi, dan mendapatkan
kualitas kasih sayang yang lebih maksimal; (3) Manfaat KB untuk keluarga, yaitu
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan keharmonisan keluarga lebih terjaga
(BKKBN, 2012).
Upaya promosi kesehatan sudah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai
promosi kesehatan, salah satunya terkait program Pelayanan Keluarga Berencana
dengan tujuan untuk meningkatkan status atau derajat kesehatan yang optimal. Indikator
keberhasilan derajat kesehatan salah satunya dilihat dari Angka Kematian Ibu dan Anak.
Program promosi kesehatan yang sudah dilakukan pemerintah terkait pelayanan KB
diantaranya pelayanan dan konseling, tim KB keliling, penyuluhan oleh kader-kader,
pelayanan dan konseling pada calon pengantin wanita, rujukan KB, dan Rencana Aksi
Nasional Pelayanan KB.
Program promosi kesehatan terkait dengan pelayanan Keluarga Berencana yang
selama
ini
dilakukan
pemerintah
ternyata
belum
sepenuhnya
menunjukkan
keberhasilan. Hal ini diihat dari jumlah penduduk dan angka kematian ibu dan anak
yang setiap tahunnya tidak terjadi penurunan yang signifikan sehingga dinilai belum
sesuai dengan target MDGs.
Dalam proses pelaksanaannya, program promosi kesehatan pemerintah terkait
dengan Keluarga Berencana masih mengalami beberapa hambatan. Hambatan tersebut,
BAB II
TUJUAN, POPULASI YANG MENJADI PERHATIAN,
HASIL DAN TUJUAN HASIL
2.1 Tujuan
1) Tujuan Umum
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pelayanan KB ini disusun sebagai acuan untuk
memperkuat Pelayanan KB guna mendukung upaya percepatan pencapaian
target Millenium Development Goals (MDGs), meningkatkan kesehatan ibu,
dan meningkatkan akses universal terhadap pelayanan kesehatan reproduksi.
2) Tujuan Khusus
Tujuan khusus program promosi kesehatan pemerintah terkait Keluarga
Berencana (KB), meliputi:
a. Tersedianya acuan untuk mengembangkan dan melaksanakan berbagai
kegiatan untuk mempercepat pencapaian target pelayanan KB.
b. Tersedianya bahan advokasi untuk memperoleh dukungan dari berbagai
pemangku kepentingan terkait.
c. Terjadinya sinergitas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh berbagai
pemangku kepentingan dalam memperkuat pelayanan KB.
2.2 Populasi yang Menjadi Perhatian
1) Sasaran Umum
Populasi yang menjadi perhatian atau sasaran dari program promosi kesehatan
pemerintah terkait KB, mencakup:
a. Kementerian dan lembaga di tingkat pusat yang berkepentingan dengan
pelayanan KB.
b. Lembaga di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota yang berkepentingan
dengan pelayanan KB.
c. Badan-badan dan organisasi non-pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah yang berkepentingan dengan pelayanan KB.
d. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah
yang berkepentingan dengan pelayanan KB.
e. Lembaga-lembaga mitra pembangunan, baik yang bertaraf internasional,
nasional, maupun lokal di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota
2) Sasaran Khusus
BAB III
STRATEGI, AKTIVITAS, OUTPUT, TUJUAN PROSES, DAN SUMBER DAYA
3.1 Strategi
Piagam Ottawa (Ottawa Charter) merupakan acuan bagi penyelenggaraan
promosi kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Strategi promosi kesehatan
menurut Piagam Ottawa (1986) terbagi menjadi empat, yaitu kebijakan berwawasan
kesehatan (healthy public policy), lingkungan yang mendukung (supportive
environment),
reorientasi
pelayanan
kesehatan
(reorient
health
service),
BAB IV
INDIKATOR
Indikator Keberhasilan Pelayanan Keluarga Berencana
Pencapaian upaya akselerasi pencapaian target pelayanan keluarga berencana
diukur dengan indikator sebagai berikut:
1. Kesiapan layanan:
Sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 78
disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan
tenaga, fasilitas pelayanan, alat, dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga
berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
a) Alat dan obat kontrasepsi (Alokon)
Pada saat ini pemerintah menyediakan secara gratis tiga jenis alokon di
seluruh wilayah Indonesia, yaitu kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR), dan susuk KB. Sedangkan untuk jenis alokon lainnya juga tersedia
secara gratis bagi masyarakat miskin (Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga
Sejahtera 1). Namun ada sebagian masyarakat yang harus membayar sendiri
penggunaan alokon yang dibutuhkan.
b) Fasilitas Kesehatan
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar diharapkan
memberikan kontribusi terbesar dalam memberikan pelayanan KB di
masyarakat. Berdasarkan hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011,
kegiatan pelayanan (Kesehatan Ibu dan Anak) KIA/ KB telah dilaksanakan
di puskesmas sekitar 97,5%. Namun, puskesmas yang petugasnya telah
mendapat pelatihan KB baru mencapai 58% dan hanya terdapat 32,2%
puskesmas yang memiliki kecukupan sumber daya dalam program KB.
Kecukupan sumber daya
2. Kualitas Layanan
a)
Pemilihan Metode.
SDKI (2007), rasio penggunaan non-MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang) dan MKJP setiap tahun semakin tinggi, atau pemakaian
kontrasepsi non-MKJP lebih besar dibandingkan dengan pemakaian
kontrasepsi MKJP. Padahal Couple Years Protection (CYP) non-MKJP yang
berkisar 1-3 bulan memberi peluang besar untuk putus penggunaan
kontrasepsi (20-40%).
Sementara itu CYP dari MKJP yang berkisar 3-5 tahun memberi peluang
untuk kelangsungan yang tinggi, namun pengguna metode ini jumlahnya
kurang banyak. Hal ini mungkin disebabkan oleh penggunaan metode ini
membutuhkan tindakan dan keterampilan profesional tenaga kesehatan yang
lebih kompleks.
b)
Kepuasan penggunaan KB
Salah satu yang memengaruhi kepuasan dalam menggunakan alat/ cara KB
adalah masalah/ efek samping yang timbul. Berdasarkan data SDKI (2007),
diperoleh data mengenai masalah yang timbul dalam pemakaian alat/ cara
KB menurut metode yang dipakai. Jenis Intra Uterine Device (IUD) yang
merupakan salah satu metode MKJP, paling sedikit menimbulkan keluhan
dibandingkan pil, suntikan, dan susuk KB.
3. Dampak
a) Pengetahuan Pengguna KB
Metode KB dapat dibedakan menjadi KB cara modern dan cara tradisional.
Metode KB cara modern adalah sterilisasi, pil, IUD, suntik, susuk KB,
kondom, intravagina/ diafragma, kontrasepsi darurat, dan Metode Amenorea
Laktasi (MAL). Sedangkan cara tradisional, misalnya pantang berkala dan
senggama terputus.
Berdasarkan SDKI (2012), bahwa suntik dan pil adalah cara KB modern
yang paling diketahui oleh masyarakat di semua golongan usia, termasuk
pada usia risiko tinggi di atas 35 tahun. Kedua jenis kontrasepsi tersebut
dinilai kurang efektif untuk mencegah kehamilan. Jenis kontrasepsi yang
efektif untuk mencegah kehamilan bagi wanita risiko tinggi adalah MKJP
seperti IUD, sterilisasi wanita, dan sterilisasi pria.
Sedangkan, berdasarkan jenis tempat tinggal, pengetahuan mengenai
sterilisasi, IUD, kondom, diafragma, kontrasepsi darurat, dan MAL di
perkotaan cenderung lebih tinggi. Adapun pil, suntik, dan implan di
perkotaan juga lebih tinggi, namun tidak jauh berbeda dengan di pedesaan.
Pada setiap tingkatan pendidikan, baik yang tidak sekolah, tidak tamat SD,
tamat SD, tidak tamat SMU+, maupun tamat SMU+, metode yang paling
diketahui adalah suntik dan pil. Sedangkan yang kurang diketahui, di setiap
tingkat pendidikan juga hampir sama, yaitu MAL, kontrasepsi darurat, dan
diafragma. Mengenai pil, suntik, dan susuk cenderung sama di tiap level
pendidikan, kecuali untuk yang tidak sekolah. Sedangkan sterilisasi, IUD,
dan metode lain cenderung semakin diketahui seiring meningkatnya
pendidikan (SDKI, 2012).
b) Total Fertility Rate (TFR)
TFR adalah gambaran tentang rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang
perempuan dari usia 15 sampai 49 tahun sampai masa akhir reproduksinya.
Data TFR berdasarkan hasil SDKI 1991, 1994, 1997, 2002-2003, 2007, dan
2012, menunjukkan adanya penurunan dari 3 anak per wanita pada SDKI
1991 menjadi 2,6 anak pada SDKI 2002-2003. Angka TFR ini stagnan dalam
3 periode terakhir pemantauan SDKI (2002, 2007, & 2012). Dalam
pencapaian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2014
sebesar 2,36 maupun target MDGs 2015 sebesar 2,11. Dengan melihat hal
tersebut, tampaknya dibutuhkan upaya lebih sungguh-sungguh.
c) Age Specific Fertility Rate (ASFR)
ASFR untuk usia 15-19 tahun menggambarkan banyaknya kehamilan pada
remaja usia 15-19 tahun. Hasil SDKI 2012, ASFR untuk usia 15-19 tahun
adalah 48 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun, sedangkan target yang
diharapkan pada tahun 2015 adalah 30 per 1.000 perempuan usia 15-19
tahun.
8.800. Data
2.
3.
ASFR untuk usia 15-19 tahun adalah 48 per 1.000 wanita usia 15-19 tahun,
sedangkan targetnya pada tahun 2015 adalah 30 per 1.000 wanita usia 15-19
tahun.
4.
5.
Unmet need tahun 1991-2012 cenderung menurun dari 12,7% menjadi 8,5%,
sedangkan target RPJMN 2014 sebesar 6,5% dan target MDGs 2015 sebesar
5%
6.
Rasio non-MKJP/ MKJP tahun 1991-2012 justru cenderung meningkat dari 1,5
menjadi 4,5. Selain itu, angka drop out non MKJP juga cenderung lebih tinggi
dibandingkan MKJP.
7.
Menurut SDKI (2007) IUD yang merupakan salah satu MKJP, paling sedikit
(4.8 %) menimbulkan keluhan/ masalah dibandingkan pil (14,1 %), suntikan
(21,9 %), dan susuk KB (13,5%).
BAB V
PENINJAUAN PERENCANAAN PROGRAM
Berdasarkan penjelasan pada bahasan sebelumnya terkait program Pelayanan
KB di Indonesia, maka kelompok menyimpulkan bahwa program tersebut belum sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah. Oleh karena itu, maka kelompok
menyusun perencanaan yang mungkin dapat diaplikasikan untuk mengefektifkan
program promosi kesehatan peayanan KB tersebut.
Perencanaan kelompok ini ditinjau berdasarkan data yang diperoleh, yang
menunjukkan bahwa tujuan hasil pelaksanaan program KB dinilai masih belum efektif.
Dengan demikian, maka perlu adanya perencanaan ulang baik dari pihak pemberi
pelayanan dan dari masyarakatnya tersendiri.
Berdasarkan analisis kelompok terdapat beberapa perencanaan yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan Program Pelayanan Keluarga Berencana
ini, diantaranya:
1.
Ditinjau dari pihak pemberi pelayanan kesehatan, disebutkan bahwa sudah terdapat
pemberian alat dan obat kontrasepsi secara gratis, namun hal masih belum jelas
strategi pembagiannya. Pembagian alokon gratis lebih diprioritaskan untuk
masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama dengan
dinas kesehatan dan Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI) untuk
duduk bersama membicarakan bagaimana caranya atau menyusun strategi agar
sepenuhnya dapat memberi pelayanan KB gratis.
2.
3.
Selain itu, untuk mengontrol atau mengecek keberhasilan program KB, sebaiknya
perlu adanya buku panduan khusus semua tentang KB kepada para ibu yg baru saja
melahirkan yang diberikan bersamaan dengan buku KIA.
4.
Puskesmas juga perlu mengadakan kegiatan rutin satu bulan sekali dengan kegiatan
puskesmasling (puskesmas keliling) untuk mengecek atau mengonrol pasangan usia
produktif atau KB aktif untuk tetap menggunakan KB.
5.
Dari pihak pemerintah perlu diadakan perlombaan tentang "Puskesmas Aktif BerKB". Perlombaan tersebut dinilai untuk membangun bina suasana para tugas
kesehatan untuk ikut berkontribusi dalam program ini.
6.
Dari pihak masyarakat, disamping diberikan adanya alokon gratis pada masyarakat
menengah ke bawah dan buku panduan lengkap KB, masyarakat masih perlu
mendapatkan penyuluhan mengenai pentingnya program KB. Hal ini dilakukan
karena mengingat pengetahuan masyarakat tentang penggunaan dan jenis
pemakaian KB dinilai masih kurang. Penyuluhan ini dapat memberdayakan
masyarakat untuk ikut serta berperan aktif dengan tenaga kesehatan. Kegiatan
tersebut dapat dikolaborasikan dengan mengadakan pertunjukan drama atau teater
tentang pentingnya progam KB mengingat keberagamaan kebudayaan-kebudayan
di Indonesia.
7.
mencapai tujuan yang diharapkan pemerintah, terutama agar sesuai dengan target
MDGs.
DAFTAR PUSTAKA
BKKBN. 3 Manfaat Utama Program Keluarga Berencana. (2012, Mei 22). Dipetik 5
21,
2015,
dari
BKKBN:
http://gorontalo.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?
ID=19&ContentTypeId=0x01003DCABABC04B7084595DA364423DE7897.
Badan Pusat Statistik. (2012). Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
BKKBN. (2011). Sejarah BKKBN. Dipetik 5 21,
http://www.bkkbn.go.id/ViewProfil.aspx?ProfilID=21
2015,
dari
BKKBN:
BKKBN. (2013, November 16). Membahas Data KB. Dipetik Mei 27, 2015, dari
BKKBN:
http://kalsel.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?
ID=481&ContentTypeId=0x01003DCABABC04B7084595DA364423DE7897
Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. (2013). Rencana Aksi Nasional
Pelayanan Keluarga Berencana 2014-2015. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Indonesia, R. (2009). Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Kementrian Kesehatan. (2007). Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Kementrian Kesehatan. (2012). Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan 2011.
Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.
Puspitasari, W. (2015, Mei Kamis). Dipetik 5 21, 2015, dari Antara News:
http://www.antaranews.com/berita/432027/bkkbn-nyatakan-laju-pertumbuhanpenduduk-masih-tinggi
WHO. (2013). Maternal Mortality in Indonesia. Dipetik Mei Senin, 2015, dari
http://www.who.int/gho/maternal_health/countries/idn.pdf?ua=1