IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. L
Umur
: 40 tahun
:Islam
Alamat
: Bandungan
Pekerjaan
Pendidikan
:SMA
Status
: Menikah
No. RM
:1607xxx
Masuk RS
: 14 Juli 2016
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara aloanamnesis dengan ibu pasien tanggal 17 Juli 2016
Keluhan Utama:
Kejang dan penurunan kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang:
10 tahun SMRS, pasien mengalami keluhan terdapat benjolan di leher dan dikatakan tumor
tiroid, lalu dilakukan operasi. Pasca operasi pasien wajib meminum obat calos setiap pagi dan
sore. Selama 9 tahun pasien rajin meminum obatnya dan tidak terdapat keluhan.
Sejak 1 tahun SMRS pasien tiba-tiba sering kejang. Kejang terjadi tiba-tiba, seringkali saat
beraktivitas dan lebih sering kejang jika pasien kelelahan atau stress. Tidak ada aura sebelum
kejang. Kejang terjadi + 1 bulan sekali, dan biasanya berlangsung + 3-5 menit, saat kejang
pasien mengalami penurunan kesadaran + 10-30 menit, namun kemudian sadar lagi.
Sejak 1 minggu SMRS pasien mengalami kejang lebih sering, kejang terjadi 2x dalam
seminggu terakhir dan berlangsung +5 menit.
1 hari SMRS pasien mengalami kejang 2x, berlangsung +5 menit, setelah kejang pertama
sempat sadar namun tidak sampai 5 menit kemudian kejang lagi dan kehilangan kesadaran.
1
30 menit SMRS pasien kembali mengalami kejang, kejang berlangsung selama 5 menit
saat pasien sedang beraktivitas, kejang terjadi tiba-tiba pada seluruh tubuh, tonik klonik, selama
kejang mata terpejam, kemudian pasien mengalami penurunan kesadaran dan sempat sadar
sebentar, namun langsung kejang lagi dan kehilangan kesadaran lagi. Saat dibawa ke rumah
sakit pasien belum sadar. Di IGD sadar dan sempat mengalami kesulitan bicara + 5 menit,
namun kemudian normal lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya, riwayat batuk pilek (-), nyeri tenggorokan (-)
demam (-), pasien juga tidak memiliki riwayat nyeri kepala sebelum terjadi kejang, riwayat
batuk lama (-), riwayat sesak napas (-), riwayat infeksi sinus (-) riwayat infeksi telinga (-),
riwayat trauma kepala (-), riwayat diare lama (-), riwayat keganasan (+) tumor tiroid, namun
sudah dinyatakan sembuh, riwayat transfusi darah (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa (-), riwayat DM (-), riwayat batuk lama (-).
Riwayat Pengobatan
Pasien meminum tablet callos 2x sehari secara teratur, saat kejang sempat beberapa kali
berobat ke klinik dan diberikan obat kejang (pasien lupa nama obatnya). Namun 3 hari SMRS
obat kejangnya habis.
Riwayat Pribadi Dan Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan 3 orang anak. Pasien tidak pernah merokok
atau minum alcohol. Suami pasien adalah seorang petani dan pasien merupakan pasien BPJS .
Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal
Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-) riwayat sakit jantung (-) nyeri dada (-)
Sistem Respirasi
Sistem Gastrointestinal : Mual (-) muntah (-) diare (-) makan minum (+) BAB (+)
Sistem Neurologi
Sistem Urogenital
Resume Anamnesis
Ny. L seorang wanita berusia 40 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan
kejang-kejang dan penurunan kesadaran sejak 30 menit SMRS. Kejang berlangsung selama 5
menit saat pasien sedang beraktivitas, kejang terjadi tiba-tiba pada seluruh tubuh tidak disertai
aura, selama kejang mata terpejam, kemudian pasien mengalami penurunan kesadaran, pasien
sempat sadar sebentar lalu kejang lagi dan kembali mengalami penurunan kesadaran. Sejak 1
minggu SMRS pasien sering mengalami kejang, kejang terjadi 2x dalam seminggu terakhir dan
berlangsung +5 menit.
Sejak 1 tahun yang lalu pasien tiba-tiba sering kejang tiba-tiba, seringkali saat beraktivitas dan
lebih sering kejang jika pasien kelelahan atau stress. Kejang terjadi + 1 bulan sekali, dan
biasanya berlangsung + 3-5 menit, saat kejang pasien mengalami penurunan kesadaran + 10-30
menit, namun kemudian sadar lagi. Pasien pernah berobat ke klinik dan diberi obat namun sudah
habis (pasien lupa nama obatnya). Pasien memiliki riwayat operasi kelenjar tiroid 10 tahun
SMRS.
Di IGD pasien mulai sadar namun tidak sampai 5 menit kemudian kejang lagi dan
penurunan kesadaran lagi. Saat tersadar pasien mengalami kesulitan berbicara yang terjadi
selama + 5 menit. Keesokan harinya kesulitan bicara hilang dan pasien tidak mengalami keluhan.
Diskusi I
Dari hasil anamnesis didapatkan seorang anak wanita berusia 40 tahun mengalami kejang.
Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas
neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini
bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum,
melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang
terkena.
3
Menurut informasi pasien memiliki riwayat operasi kelenjar tiroid 10 tahun yang lalu, yang
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kejang. Operasi kelenjar tiroid dapat menyebabkan
terjadinya disfungsi keelenjar paratiroid yang menyebabkan kurangnya kalsium dalam darah .
Selain hipokalsemia, tumor dan infeksi juga salah satu faktor resiko terjadinya kejang. (Han,
2015)
Kejang
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara yang menyebabkan
aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz &
Sowden; 2002). Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak akibat berbagai etiologi yang ditandai
oleh gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berulang yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Sidharta, 2003). Lepas muatan listrik tersebut
terjadi karena terganggunya fungsi neuron oleh gangguan fisiologis, biokimia, anatomis, atau
gabungan faktor-faktor tersebut. Setiap kelainan yang mengganggu fungsi otak baik kelainan
lokal maupun umum, dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan epilepsi (Lumbantobing, 2000).
Etiologi
Epilepsi bukan suatu penyakit, melainkan sekumpulan gejala dan tanda akibat berbagai
etiologi yang berbeda. Sebagian besar kasus epilepsi (70%) etiologinya tidak diketahui atau
idiopatik. Penderita biasanya tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tingkat
intelegensianya normal (Cornaggia dkk, 2006; Lumbantobing, 2000). Pada pencitraan juga tidak
dijumpai adanya kelainan struktural otak (Parton dan Cockerell, 2003; Lumbantobing, 2000).
Sedangkan sisanya diketahui penyebabnya atau simtomatik. Epilepsi simtomatik disebabkan oleh
(Parton dan Cockerell, 2003): Kasus-kasus perinatal yaitu malformasi atau disgenesis, misalnya
sklerosis lobus temporal, ensefalopati iskemik hipoksik akibat asfiksia berat, dan perdarahan
serebral pada bayi-bayi prematur. Infeksi : infeksi kongenital yang disebabkan oleh bakteri
maupun virus (TORCH); meningitis bakterial, ensefalitis virus, abses intraserebral,
tuberkuloma.Trauma kepala : luka panetrasi, perdarahan; Tumor otak; Penyakit serebrovaskular :
stroke, malformasi arteriovenosus, trombosis sinus venosus.
Patofisiologi
Dalam sistem saraf pusat terdapat neurotransmiter yang bersifat eksitasi dan inhibisi.
Neurotransmiter eksitasi utama di otak adalah glutamat, sedangkan neurotransmiter inhibisi
utama adalah gamma aminobutyric acid (GABA). Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi sehingga potensial membran dipertahankan sebesar 70 mV. Pada
keadaan dimana eksitasi meningkat, inhibisi menurun, atau terjadi keduanya, terjadi depolarisasi
(potensial membran menjadi lebih positif). Jika potensial membran mencapai ambang tertentu,
terjadilah lepas muatan listrik (Stafstrom, 1998; Manford, 2003). Pada hipoparatiroid, kadar
kalsium dalam darah akan rendah, sehingga saraf yang terpapar konsentrasi kalsium darah yang
rendah dalam waktu lama akan memperlihatkan penurunan ambang eksitasi, respon yang
berturut-turut terhadap satu rangsangan, dan pada kasus yang khusus, aktivitas yang terus
menerus.
Klasifikasi Epilepsi (The International League Against Epilepsy /ILAE, 1981)
Pada tahun 1981 ILAE membuat klasifikasi bangkitan epilepsi berdasarkan jenis bangkitan
epilepsi dan gambaran elektroensefalografi (EEG) iktal dan interiktal (Stafstrom, 1998; Ismael,
2000; Parton dan Cockerell, 2003).
a. Bangkitan parsial (fokal, lokal)
b. Parsial sederhana: dengan manifestasi motorik, autonomik, somatosensorik, psikik
c. Parsial kompleks
d. Dengan gangguan kesadaran sejak onset
e. Onset parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
f. Kejang parsial menjadi tonik klonik umum secara sekunder
g. Parsial sederhana menjadi tonik klonik umum
h. Parsial kompleks menjadi tonik klonik umum
i. Bangkitan umum
5
j. Absens
k. Hanya gangguan kesadaran
l. Dengan komponen klonik ringan
m. Dengan komponen atonik
n. Dengan komponen tonik
o. Dengan automatisme
p. Dengan komponen otonom
q. b sampai f dapat terjadi sendiri atau kombinasi
r. Mioklonik
s. Klonik
t. Tonik
u. Tonik-klonik
v. Atonik atau statik
III. Tidak dapat diklasifikasikan
Diagnosis Sementara
Diagnosis Klinis
Diagnosis Topis
: Intrakranial
Diagosis Etiologis
Keadan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
GCS
: E4 V5 M6
Status Gizi
: Kesan cukup
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 125/80 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Respirasi
:20x/menit
Suhu
:36,2 oC
Kepala
: Normocephal
Rambut
Wajah
Mata
THT
Leher
Thoraks
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
: Ictus cordis teraba tidak kuat angkat pada ICS V midclavicularis sinistra
7
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: datar
Auskultasi
: BU +
Palpasi
: supel +, hepatosplenomegali -
Perkusi
Ektremitas
Superior
Inferior
Sikap Tubuh
: Simetris
Gerakan Abnormal
: Tidak ada
:(-)
Brudzinky I
:(-)
Brudzinky II :(-)
Laseque
:(-/-)
Kernig
:(-/-)
NERVUS
N. I Olfaktorius
N. II Optikus
N. III
Okulomotorius
PEMERIKSAAN
KANAN
KIRI
Daya penghidu
Daya penglihatan
Penglihatan warna
Lapang pandang
Ptosis
Ukuran pupil
3 mm
3 mm
Strabismus konvergen
Menggigit
Membuka mulut
Sensibilitas muka
Refleks kornea
Trismus
Strabismus konvergen
Kedipan mata
Refleks cahaya
konsensuil
Strabismus divergen
N. IV
Trokhlearis
N. V Trigeminus
N. VI Abdusens
N. VII Fasialis
Lipatan nasolabial
Simetris
Simetris
Sudut mulut
Simetris
Mengerutkan dahi
Simetris
Simetris
Menutup mata
Meringis
Menggembungkan pipi
Simetris
N
N
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Motorik
B
B
GB
B
5/5 5/5
/5/
N
Tn
RP
/5/
5
5
5/5 5/5
/5/
/5/
RF
Tr
+
-
Eu
Eu
Eu
Eu
10
Cl
:Baik
HASIL
NILAI RUJUKAN
Hemoglobin
11.3 g/dl
Leukosit
5.4 ribu
Eritrosit
3.08
Hematokrit
34.9%
35 47%
Trombosit
382 ribu
MCV
87.7
82 98 fL
MCH
28.4
27 52 pg
MCHC
32.4
32 37 g/dl
RDW
14.7
10 18 %
MPV
7.3
7 11 mikro m3
Limfosit
1.1
1.0 4.5
Monosit
0.0
0.2 1.0
Eosinofil
0.1
0.04 0.8
Basofil
0.1
0 0.2
Hematologi
Neutrofil
5.1
1.8 7.5
Limfosit %
17.3
25 40
Monosit %
0.6
28
Eosinofil %
1.9
24
Basofil %
0.8
01
Neutrofil %
79.4
50 70
PCT
0.277
0.2 0.5
Glukosa puasa
75 mg/dl
74-100mg/dl
SGOT
21 IU/L
0 50 U/L
SGPT
13 IU/L
0 50 IU/L
Ureum
34.8mg/dl
10 50 mg/dl
Kreatinin
0.62 mg/dl
Asam urat
2 mg/dl
2 7 mg/dl
Kimia Klinik
160mg/dl
Trigliserida
131 mg/dl
70 140 mg/dl
Na+K+Cl
132 mg/dl
<150 mg/dl
Natrium
138.2mmol/L
138-146mmol/L
Kalium
4.24mmol/L
3.5-5.1 mmol/L
Chlorida
100.4 mmol/L
96-100 mmol/L
Kalsium
5.0 mg/dL
8.8-10.2 mg/dL
V. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Tampak kalsifikasi simetris pada nucleus kaudatus kanan kiri, globus palidus
kanan kiri, thalamus kanan kiri, subcortical white matter region frontal kanan kiri
kiri
Pada injeksi kontras tampak gyral enhancement pada region frontal kanan kiri dan
Kesan:
Gambaran meningitis
Gambaran Fahr Disease
Curiga gambaran edema serebri
DISKUSI II
Pada gambaran CT Scan, ditemukan gambaran deposisi kalsium (Fahr disease) pada cerebrum
dan cerebellum.
Fahr disease
Fahr disease merupakan kelainan neurologi yang ditandai dengan adanya deposit kalsium
abnormal pada ganglia basal dan korteks serebrum. Deposit kalsium terdiri dari kalsium karbonat
dan kalsium fosfat, dan biasanya berlokasi di ganglia basalis, thalamus, hipokampus, cerebral
cortex, cerebral subcortical, pada white matter dan dentante nucleus . (Saleem, 2013)
Etiologi (Saleem, 2013)
Kelainan Endokrin
Kelainan endokrin, biasanya gangguan paratiroid biasanya yang paling berhubungan
dengan Fahr disease. Gangguan ini termasuk hipoparatiroid idiopatik, hipoparatiroid
sekunder, pseudohipoparatiroid, pseudo-pseudoparatiroid, dan hiperparatiroid.
Hipoparatiroid idiopatik merupakan kondisi tidak biasa yang ditandai dengan ketiadaan
kelenjar paratiroid, atau penggantian kelenjar paratiroid dengan lemak, atau atropi
kelenjar paratiroid.
terhadap
menyebabkan
Gangguan Vitamin
Vitamin D dikenali berperan dalam metabolism kalsium dan gangguan dalam
homeostasisnya memiliki pengaruh signifikan pada pasien dengan Fahr disease
Penyebab lain
Penyebab lainnya antara lain miopati mitokondria, keadaan neurodegenerative,
neuroferritinopati, genetik, penuaan dan lain-lain.
Wilayah yang terkalsifikasi pada ganglia basalis memberikan sinyal dengan intensitas rendah
pada gambaran T2 dan intensitas rendah atau tinggi pada gambaran T1.Lesi cerebellum nampak
lebih heterogen
Radiografi Tengkorak Polos
Radiografi tengkorak plos merupakan modalitas pencitraan untuk kepentingan diagnostic.
Kalsifikasi muncul sebagai titik atau bercak yang terdistribusi simetris diatas sella tursika dan
lateral ke garis tengah, sementara kalsifikasi subkortikal dan serebellum tampak berombak.
Dari pemeriksaan ditemukan riwayat operasi tiroid, diduga penyebab Fahrs disease berkaitan
dengan hipoparatiroid.
Hipoparatiroid
Hipoparatiroid adalah gabungan gejala dari produksi hormon paratiroid yang tidak adekuat.
Keadaan ini jarang sekali ditemukan dan umumnya sering sering disebabkan oleh kerusakan atau
pengangkatan kelenjar paratiroid pada saat operasi paratiroid atau tiroid, dan yang lebih jarang
lagi ialah tidak adanya kelenjar paratiroid (secara congenital). Kadang-kadang penyebab spesifik
tidak dapat diketahui.
Etiologi:
Jarang sekali terjadi hipoparatiroidisme primer, dan jika ada biasanya terdapat pada anak-anak
dibawah umur 16 tahun. Ada tiga kategori dari hipoparatiroidisme:
1) Defisiensi sekresi hormon paratiroid, ada dua penyebab utama:
a) Post operasi pengangkatan kelenjar partiroid dan total tiroidektomi.
b) Idiopatik, penyakit ini jarang dan dapat kongenital atau didapat (acquired).
2) Hipomagnesemia.
3) Sekresi hormon paratiroid yang tidak aktif.
Diagnosis
Diagnosa sering sulit ditegakkan karena gejala yang tidak jelas, oleh sebab itu pemeriksaan
laboratorium akan membantu. Biasanya hasil laboratorium yang ditunjukkan, yaitu:
a. Kalsium serum rendah. Tetanus atau kejang terjadi pada kadar kalsium serum yang
berkisar dari 5-6 mg/dl (1,2 - 1,5mmol/L) atau lebih rendah lagi.
CT Scan Kepala
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dilakukan untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di
otak.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan
MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun
epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. (Duncan, Kirkpatrick,
Kustiowati dkk 2003).
Usulan/Planning:
EEG
Ekokardiografi
Pemeriksaan PTH
V. DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis
: Epilepsy
Diagnosis Topis
: Intraserebral
Diagnosis Etiologi
: Fahr Disease
VI. PENATALAKSANAAN
Alogaritma penatalaksanaan kejang pada dewasa antara lain:
Stadium I (0-10 menit)
Pada kondisi ini, perbaikan fungsi kardio-respirasi adalah yang paling utama. Harus dipatikan
bahwa jalan napas pasien tidak terganggu. Dapat pula diberikan oksigen. Jika diperlukan
resusitasi dapat dilakukan
Stadium II (10-60 menit)
Pada stadium ini, perlu dilakukan pemeriksaan status neurologis dan tanda vital. Selain itu, perlu
juga dilakukan monitoring terhadap status metabolik, analisa gas darah dan status
hematologi. Pemeriksaan EKG jika memungkinan juga perlu dilakukan .
Selanjutnya dilakukan pemasangan infus dengan NaCl 0,9%. Bila direncakanan akan digunakan
2 macam obat anti epilepsi, dapat dipakai 2 jalur infus. Darah sebanyak 50-100 cc perlu diambil
untuk pemeriksaan laboratorium (AGD, glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium, magnesium,
pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan dan kadar AED).
Pemberian OAE emergensi berupa:
Diazepam 0,2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV lalu evaluasi kejang 5 menit
jika masih kejang ulangi pemberian diazepam.
Selama penanganan ini, etiologi penyebab kejang harus dipastikan.
Stadium III (60-90 menit)
Jika kejang masih saja berlangsung, dapat diberikan:
Fenitoin IV 15-20 mg/kg dengan kecepatan <50 mg/menit (tekanan darah dan EKG perlu
dimonitor selama pemberian fenitoin). Jika masih kejang, dapat diberikan fenitoin tambahan 510 mg/kgbb. Bila kejang berlanjut, berikan phenobarbital 20 mg/kgbb dengan kecepatan
pemberian 50-75 mg/menit (monitor pernapasan saat permberian phenobarbital). Pemberian
phenobarbital dapat diulang 5-10 mg/kgbb. Pada pemberian phenobarbital, fasilitas intubasi
harus tersedia karena resikonya dalam menimbulkan depresi napas. Selanjutnya, dapat
dipertimbangkan apakah diperlukan pemberian vasopressor (dopamin).
Stadium IV (>90 menit)
Bila selama 30-60 menit kejang tidak dapat diatasi, penderita perlu mendapatkan perawatan di
ICU. Pasien diberi propofol (2mg/kgBB bolus IV) atau midazolam (0,1 mg/kgBB dengan
kecepatan pemberian 4 mg/menit) atau tiopentone (100-250 mg bolus IV pemberian dalam 2o
menit dilanjutkan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah bangkitan
klinik atau bangkitan EEG terakhir, lalu lakukan tapering off. Selama perawatan, perlu dilakukan
monitoring bangkitan EEG, tekanan intrakranial serta memulai pemberian OAE dosis rumatan.
Penatalaksanaan Fahrs Disease
Terapi farmakologis sebaiknya digunakan untuk memperbaiki kelelahan, depresi dan obsesif
kompulsif dan untuk memperbaiki distonia. Oxybutin digunakan untuk inkontinensia urin dan
antiepilepsi digunakan untuk kejang. Kejang dan gangguan gerak pada Fahrs disease yang
berkaitan dengan gangguan paratiroid dapat diperbaiki dengan perbaikan tingkat kalsium dan
fosfat, misalnya dengan terapi menggunakan alfa hidroksi vitamin D3 dan kortikosteroid
memperbaiki deficit neurologis. Clonazepam dan antipsikotik atipikal juga berfungsi dalam
penatalaksanaan pasien dengan Fahrs disease.
Perhatian khusus diperlukan saat menggunakan lithium karena ini dapar meningkatkan risiko
kejang pada pasien dengan Fahrs disease. Strategi perbaikan termasuk penggunaan
carbamazepine, benzipene dan barbiturate dapat meningkatkan terjadinya gait.
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus antara lain:
a. Citicolin
Citicolin merupakan prekursor phospholipid, menghambat deposisi beta amiloid di otak,
membentuk acetylcholine, meningkatkan neurotransmiter norepinephrine, dopamine, &
serotonin, menghambat aktivitas fosfolipase & sfingomielinase memberikan efek
neuroproteksi. Bioavailabilitas hampir 90% (per oral), citicoline eksogen akan
dihidrolisis di dalam usus halus, dan siap diserap dalam bentuk choline & cyctidine dan
kembali dibentuk menjadi citicoline. Choline akan didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh, termasuk sel-sel otak (0,5%) & IV (2%)
b. Ranitidin adalah anatagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung.
Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50%
perangsangan sekresi asam lambung adalah 3694 mg/mL. Kadar tersebut bertahan
selama 68jam . Ranitidine diabsorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak
plasma dicapai 23 jam setelah pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi
secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2 3 jam pada pemberian oral,
Ranitidin diekskresi melalui urin.
c. Mecobalamin merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan
dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan
homolog vitamin B12 lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme
asam nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin/methylcobalamin meningkatkan
metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin bekerja sebagai koenzim
dalam sintesa metionin. Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin pada deoksiuridin
dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada penelitian lain ditemukan mecobalamin
mempercepat sintesis lesitin, suatu komponen utama dari selubung mielin. Mecobalamin
diperlukan untuk kerja normal sel saraf. Bersama asam folat dan vitamin B6,
mecobalamin bekerja menurunkan kadar homosistein dalam darah. Homosistein adalah
suatu senyawa dalam darah yang diperkirakan berperan dalam penyakit jantung.
d. Phenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi. Adanya gugus fenil atau
aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik;
Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf pusat.
Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi.
Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari
fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada
saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacumisalnya sel sistem konduksi
di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindah anion melintasi membran sel; dalam
hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan
beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala
prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin
e. Paracetamol menghambat siklooksigrenase sehingga konversi asam arakhidonat menajdi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Paracetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat daripada aspirin.
VII. PROGNOSIS
Didapat kesan prognosis pada pasien ini:
Death
: dubia ad bonam
Desease
: dubia ad bonam
Dissability
: dubia ad bonam
Discomfort
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
FOLLOW UP
Hari/
Tanggal
Kamis,
14 Juli SMRS,
nyeri kepala (-)
2016
TSS/CM
GCS: E4 V5
M6
TD: 125/90
HR: 92
RR: 24
T: 36.1
Kejang
Serial
epilepsy
500 mg
Inj
H+1
Inj
Citcolin
piracetam 2x1
Inj
meticobalamin
1x1
Inj
ceftriaxone 2x
1 gr
Jumat,
Semalam
KU/Kes:
jang
Ke
Inj
Citcolin
Ser
ial
epilepsy
H+2
500 mg
Inj
piracetam 2x1
Inj
meticobalamin
1x1
Inj
ceftriaxone 2x
1 gr
Inj
phenitoin
dalam
500
cc12 tpm
PCT 3
Sabtu,
Semalam
16 Juli sudah
2016
KU/Kes:
tidak TSS/CM
GCS: E4 V5
kejang, tidak
M6
bisa
tidur
TD: 160/80
semalaman,
HR: 74
RR: 22
mual muntah
T: 36.6
(-),
nyeri
kepala (-)
jang
Ke
Citcolin
Ser
ial
epilepsy
H+3
x 500 mg PO
Inj
2
500 mg
Inj
piracetam 2x1
Inj
meticobalamin
1x1
Inj
ceftriaxone 2x
1 gr
Inj
phenitoin
dalam
500
cc12 tpm
PCT 3
x 500 mg PO
Haloper
Minggu
Kejang
(-), KU/Kes:
, 17 Juli mual
2016
muntah TSS/CM
GCS: E4 V5
(-), demam (-),
M6
pusing (-)
TD: 112/77
HR: 72
RR: 22
T: 36.3
jang
Ke
idol 2x5 mg
Inj
Citcolin
Ser
ial
epilepsy
H+4
500 mg
Inj
piracetam 2x1
Inj
meticobalamin
1x1
Inj
ceftriaxone 2x
1 gr
Inj
phenitoin
dalam
500
cc12 tpm
PCT 3
x 500 mg PO
Haloper
Senin,
Kejang (-)
Mual muntah
18 Juli
(-)
2016
Nyeri kepala
(-)
KU/Kes:
TSS/CM
GCS: E4 V5
jang
M6
TD: 120/80
HR: 74
RR: 22
T: 36.6
ial
Ke
Citcolin
Ser
epilepsy
H+5
idol 2x5 mg
Inj
2
500 mg
Inj
piracetam 2x1
Inj
meticobalamin
1x1
Inj
ceftriaxone 2x
1 gr
Inj
phenitoin
dalam
500
cc12 tpm
PCT 3
x 500 mg PO
Haloper
Selasa,
Kejang (-)
Mual muntah
19 Juli
(-)
2016
Nyeri kepala
(-)
KU/Kes:
Ke
TSS/CM
GCS: E4 V5
jang
Ser
M6
TD: 120/82
HR: 80
RR: 22
T: 36.5
ial
Citcolin
epilepsy
H+6
idol 2x5 mg
Inj
2
500 mg
Inj
piracetam 2x1
Inj
meticobalamin
1x1
Inj
ceftriaxone 2x
1 gr
Inj
phenitoin
dalam
500
cc12 tpm
PCT 3
x 500 mg PO
Haloper
idol 2x5 mg
Boleh
pulang
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and
Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Ali. RA. Aetiology of the Epilepsy. Epilepsi .2001; (6) 1 : 13 18
Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Bate
L,
Gardiner
M.
Moleculer
Genetics
of
Human
Epilepsies.
1999
URL
http : //www.ermm.cbcu.cam.uk.
Duncan
Diagnosis
of
Epilepsy
in
Adults,
available
from
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang :
55-63.
Han P, Trinidad B, Shi J (2015). Hypocalemia Induced Seizure: Demystifying The Calcium
Paradox, American Society For Neurochemistry
Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press. 1996
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Laidlaw J, dan Richens A. A Texbook of Epilepsy. 2nd ed. New York. Churchill Livingstone.
1982.
Lumbantobing SM. 2000. Etiologi dan faal sakitan epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS,Ismael
S,penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi kedua.Jakarta:BPIDAI.H:179203.
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2003. Neurologi klinis dasar. Edisi ke9.Jakarta: Dian
Rakyat.
Pengcheng Han dkk (2015). Hypocalcemia-Induced Seizure: Demystifying The Calcium
Paradox. American Society For Neurochemistry
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam
Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi Dari Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2011
Prasad A, Prasad C, stafstrom CE. Recent Advances in the Guidlines of Epilepsy. Insight from
human and animal studies. Epilepsia.1999; 40 (10) :1329-1352.
Saleem, S. (2013). Fahrs Syndrome: Literature Review Of Current Evidence. Orphanet Journal
Of Rare Disease. Available on www.ojrd.com
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10:
30-35.