Anda di halaman 1dari 22

U

ntuk menyusun segmentasi generik (generic segmentation) kelas menengah Indonesia kami menggunakan
pendekatan segmentasi psikografis (psychographic segmentation approach) yaitu pendekatan segmentasi yang
mengacu pada atribut-atribut yang terkait dengan nilai-nilai (values), kepribadian (personality), sikap (attitudes),
minat (interest), atau gaya hidup (lifestyle). Penggunaan atribut-atribut psikografis memungkinkan pemasar
memahami akar-akar penyebab mengapa konsumen memilih produk A ketimbang B; atau kenapa mereka memiliki
pola konsumsi tertentu yang berbeda dari konsumen lain.

www.inventure.id

1 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Pendekatan segmentasi psikografis


memiliki keunggulan karena memberikan
pemahaman yang kaya terhadap atributatribut psikografis yang secara langsung dan
signifikan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan konsumen. Atribut-atribut psikografis
merefleksikan kriteria-kriteria yang ditetapkan
konsumen dalam proses pengambilan
keputusan pembelian atau penggunaan produk
dan layanan.
Dalam studi ini kami fokus untuk
mengidentifikasi nilai-nilai (values) yang
dianut oleh konsumen di berbagai segmen
yang kami identifikasi karena nilai-nilai
merupakan kriteria paripurna dalam melakukan
pengambilan keputusan (ultimate decision
making criteria). Nilai-nilai sangat sentral dalam
studi mengenai kondisi konsumen karena
nilai-nilai mempengaruhi dan membentuk
pola sikap (attitude), perilaku (behavior), gaya
hidup (lifestyle), atau kebutuhan (needs) dari
konsumen.

Schwartz (2006) menulis, Values are used to characterize societies and individuals, to
trace change over time, and to explain the motivational bases of attitudes and behavior.

www.inventure.id

2 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Tiga Dimensi
Dalam mengembangkan model segmentasi kami
berfokus untuk bisa menggambarkan nilai-nilai yang
dimiliki oleh konsumen kelas menengah Indonesia.
Karena nilai-nilai membentuk dan mempengaruhi
sikap, perilaku, gaya hidup, dan kebutuhan
konsumen, maka harapannya, dengan mengetahui
nilai-nilai kita juga bisa mengungkap motif di balik
sikap, perilaku, dan gaya hidup tersebut.
Dalam penelitian ini kami menggunakan tiga
dimensi segmentasi untuk memetakan nilai-nilai,
sikap, dan perilaku, dan gaya hidup konsumen,
yaitu: tingkat kepemilikan sumber daya (ownership
of resources), tingkat pengetahuan dan wawasan
(knowledgeability), dan tingkat keterhubungan sosial
(social connection). Tiga dimensi nilai-nilai ini kami
lihat cukup representatif menggambarkan pergeseran
nilai-nilai dan perilaku konsumen kelas menengah
Indonesia sebagai dampak dari kemajuan sosialekonomi (socioeconomic development) yang terjadi di
Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.

www.inventure.id

3 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Dimensi kepemilikan sumber daya (resources)


menggambarkan tingkat sumber daya yang
dimiliki terutama sumber daya finansial yang
mempengaruhi kemampuan daya beli dan
konsumsi terhadap berbagai barang dan jasa.
Besar kecilnya sumber daya yang dimiliki
seseorang mencerminkan tingkat hidup (standard
of living). Masyarakat kelas menengah umumnya
diidentikan dengan kelompok masyarakat yang
sudah memiliki standar hidup lumayan karena
memiliki aset finansial yang cukup signifikan
seperti penghasilan tiap bulan, rumah, mobil,
barang-barang rumah tangga (TV, lemari es, AC,
mesin cuci, dan sebagainya), tabungan, atau
instrumen investasi seperti emas, saham, atau
reksadana.
Ketika seseorang naik kelas dari miskin menjadi
lebih kaya (atau dengan kata lain, memiliki
sumber daya finansial yang lebih besar) maka
ia akan memiliki daya beli (buying power) yang
lebih besar. Daya beli yang kian meninkat
tersebut pada suatu tingkat tertentu akan
mempengaruhi perilaku mereka dalam membeli
dan mengkonsumsi barang dan jasa. Karena
itu pergeseran massif suatu negara dari negara
miskin menjadi negara perpendapatan menengah
juga membawa dampak perubahan perilaku
konsumen yang luar biasa.

www.inventure.id

4 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Dimensi knowledgeability menggambarkan tingkat


pengetahuan, wawasan, keterbukaan pikiran,
adopsi informasi dan teknologi, visi dan tujuan
hidup (vision & sense of purpose), penerimaan
terhadap modernisasi dan nilai-nilai universal, dan
lain-lain. Tingkat pengetahuan yang tinggi dan
terbukanya wawasan seseorang akan berpengaruh
secara mendasar pada pola pikir dan orientasi
hidup seseorang. Hal ini pada gilirannya akan
mempengaruhi nilai-nilai yang dianut dan perilakuperilakunya. Meningkatnya pengetahuan dan
wawasan melalui pendidikan secara mendasar akan
mendorong keterbukaan intelektual (intellectual
openess), fleksibilitas, dan keluasan pandangan yang
pada gilirannya akan mendorong terbentuknya
nilai-nilai kemandirian (self-direction values) (Kohn &
Schooler, 1983).
Pengetahuan dan wawasan yang diperoleh
melalui pendidikan dari SD hingga pendidikan
tinggi juga mempengaruhi nilai-nilai pencapaian
(achievement values) seseorang. Dengan terbukanya
pengetahuan dan wawasan tak hanya di level lokal/
nasional, tapi juga global, maka seseorang akan
semakin bisa melihat dan membandingkan standar
pencapaian di negara-negara lain. Dan hal tersebut
bisa mendorongnya untuk memenuhi standar
pencapaian global tersebut. Dengan terbukanya
informasi global melalui berbagai media seperti
internet, media sosial, TV kabel (CNN, BBC, dan
sebagainya.) maka masyarakat Indonesia semakin
menjadi warga dunia dan menggunakan standarstandar pencapaian global. Mereka tak lagi menjadi
katak dalam tempurung yang terk.ungkung dalam
standar-standar pencapaian lokal/nasional.

www.inventure.id

5 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Dimensi social connection menggambarkan tingkat


keterhubungan seseorang dengan lingkungan
sosialnya. Lingkungan sosial ini mencakup unit yang
paling kecil yaitu keluarga dan tetangga, lingkungan
masyarakat yang lebih luas seperti negara, hingga
lingkungan masyarakat global/universal. Dimensi
ini mencerminkan seberapa besar seseorang
mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan sosialnya.
Kemunculan teknologi dan perangkat sosial (social
technologies & tools) seperti internet dan media
sosial memungkinkan koneksi antar individu kini tak
hanya sebatas dilaksanakan secara fisik (phisically/
offline-connection) tapi juga secara virtual/online
(virtually/online connection). Perkembangan teknologi
yang massif berlangsung sepuluh tahun terakhir ini
membawa perubahan besar yang belum pernah ada
dalam kemajuan umat manusia sebelumnya.
Masyarakat kelas menengah sering diidentikan
dengan kelompok masyarakat di mana dalam fase
perkembangan sosial-ekonomisnya, kebutuhankebutuhan dasarnya (basic needs) telah terpenuhi/
terlampaui untuk kemudian meningkat ke kebutuhankebutuhan yang lebih tinggi (advance). Maslow (1943)
mengidentifikasi bahwa motivasi manusia dipengaruhi
oleh kebutuhan-kebutuhan yang bergerak secara
hirarkis dari kebutuhan fisik (phisiological needs),
kebutuhan keamanan (safety needs), kebutuhan akan
cinta dan rasa memiliki (love and belonging needs),
kebutuhan akan kehormatan dan harga diri (esteem
needs), hingga kebutuhan beraktualisasi diri (selfactualization needs).

www.inventure.id

6 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

ah, kalau masyarakat kelas menengah sudah


mulai terlewati kebutuhan-kebutuhan dasarnya,
maka dengan sendirinya kebutuhan mereka akan
meningkat kepada kebutuhan-kebutuhan yang
lebih tinggi yaitu kebutuhan-kebutuhan sosial
seperti love, self-esteem, dan self actualization.
Karena pertimbangan inilah kami melihat social
connection menjadi dimensi yang penting untuk
menggambarkan nilai-nilai dan perilaku konsumen
kelas menengah. Pentingnya dimensi social
connection ini misalnya terlihat pada fenomena
kesuksesan 7-Eleven dan peritel-peritel sejenis di
Jakarta. 7-Eleven sukses menangkap konsumen
kelas menengah dari kalangan muda karena berhasil
memosisikan diri sebagai tempat untuk bersosialisasi
dan berkoneksi sosial dengan teman dan kolega
(sering disebut juga sebagai tempat nongkrong).
Jadi mereka ke 7-Eleven tak hanya melulu mencari
makanan atau minuman seperti umumnya
minimarket/supermarket yang lain, tapi juga untuk
memenuhi kebutuhan berkoneksi sosial.

www.inventure.id

7 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Karena pertimbangan
inilah kami melihat
social connection menjadi
dimensi yang penting untuk
menggambarkan nilai-nilai
dan perilaku konsumen kelas
menengah.

www.inventure.id

8 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

DELAPAN SEGMEN
Dengan menggunakan kerangka kerja teoritik di atas Middle Class Institute (MCI) melakukan
studi untuk memotret dan mengetahui profil konsumen kelas menengah Indonesia baik
mencakup nilai-nilai, sikap, dan perilakunya. Studi ini meliputi focus group discussion (FGD) dan
indepth interview ditambah dengan studi etnografi untuk lebih dalam menelusuri background
sosialnya. FGD dan indepth interview dilakukan bulan November 2011 dengan mengambil
responden yang merepresentasi konsumen kelas menengah yaitu pekerja/profesional,
wirausahawan (tradisional/modern), ibu rumah tangga (bekerja/tidak bekerja), pelajar/
mahasiswa, dan pegawai pemerintah (PNS) dengan pengeluaran berkisar US$2-20 per hari
sesuai definisi kelas menengah yang dirumuskan oleh Asian Development Bank (2010). Agar
pengelompokan responden lebih seragam, rentang pengeluaran ini dibagi menjadi dua yaitu
kelompok pengeluaran US$2-10 dan US$10-20.

www.inventure.id

9 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Segmentasi Konsumen Kelas Menengah


Indonesia dan Ukuran Pasarnya
Dengan mengacu pada dimensi nilai-nilai konsumen
seperti sudah dibahas di muka, yaitu: tingkat
kepemilikan sumber daya (resources), tingkat
pengetahuan/wawasan (knowledgeability), dan koneksi
sosial (social connection) kami berhasil mengidentifikasi
delapan segmen kelas menengah Indonesia. Model
segmentasinya digambarkan dalam bentuk sebuah
matriks seperti terlihat pada gambar. Bagaimana profil
dan karakteristik dari delapan segmen konsumen kelas
menengah Indonesia berdasarkan model segmentasi
di atas? Dalam bab ini kami hanya menjelaskan secara
sekilas karakteristik konsumen kelas menengah di
delapan segmen tersebut. Mengingat pembasannya
cukup mendalam dan panjang, kami menyajikan
penjelasan mendalam mengenai nilai-nilai, sikap, dan
perilaku di masing-masing segmen tersebut di satu
bahasan terpisah di bab berikutnya. Agar pembaca
memiliki snapshot mengenai delapan segmen tersebut,
kami juga menyajikan ringkasannya dalam bentuk
sebuah tabel.

www.inventure.id

10 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Performer adalah kalangan professional dan entrepreneur yang


memiliki ambisi luar biasa untuk membangun kompetensi diri. Mereka
adalah self-achiever yang menggunakan kompetensi dan ketrampilan
sebagai alat untuk mendongkrak tingkat ekonomi. Karena itu mereka
selalu meng-update informasi, mengadopsi teknologi, dan terus belajar
untuk meng-improve diri. Karena memegang informasi dan teknologi,
mereka cenderung melihat persaingan (dengan rekan-rekan kerja)
secara positif. Performer lebih selfish dengan misi hidup mencapai
kebebasan keuangan (financial freedom). Ya, karena mereka belum
puas dengan tingkat kehidupan ekonomi saat ini.

www.inventure.id

11 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Aspirator adalah performer yang sudah mapan dan cukup puas dengan kondisi
ekonomi saat ini. Mereka juga open mind terhadap globalisasi dan dan mengadopsi
nilai-nilai universal. Karena sudah merasa cukup, maka orientasi hidup mereka tidak
lagi selfish. Ia mulai memikirkan hal-hal di luar dirinya: mulai peduli dengan anggota
DPR yang hobi korupsi; mulai peduli pesawat kok jatuh melulu; mulai peduli dengan
pemanasan global atau hutan Kalimantan yang dibabat habis. Ia punya harapan
menjadi influencer bagi masyarakat, lingkungan, dan negaranya. Jadi tidak benar,
seluruh kelas menengah Indonesia itu acuh tak acuh terhadap negaranya.

www.inventure.id

12 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Expert kebanyakan adalah profesional di berbagai bidang mulai


dari dokter, arsitek, konsultan, atau pengacara yang selalu berupaya
menjadi ekspert di bidang yang digelutinya. Setiap hari mereka sibuk
menekuni bidang profesinya dari pagi hingga larut malam. Dokter
yang sudah laku misalnya, harus mengurusi pasien-pasiennya dari
pagi hingga dini hari. Hidupnya cenderung rutin dan monoton,
tapi mereka menikmatinya, karena semua pekerjaan itu dilakukan
dengan passionate. Karena tertawan oleh pekerjaan, mereka tidak
memiliki cukup waktu luang untuk anak-anak, jalan-jalan di mal, atau
menghadiri acara-acara keluarga/kerabat. Karena itu lingkungan
pergaulan mereka juga terbatas, melulu di lingkungan profesinya.
Intinya, their life is their career.

www.inventure.id

13 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Climber adalah para pegawai pabrik (blue collar), salesman, supervisor, dan
sebagainya yang berupaya keras membanting-tulang untuk menaikkan status
ekonominya. Harapan utama mereka adalah mendongkrak karir dan menaikkan
taraf kehidupan menjadi lebih baik. Karena umunya masih mengawali karir,
mereka masih suka pindah-pindah kerja (job-hunter), risk-taker dalam karir, dan
cenderung melihat bahwa career is a journey. Seperti halnya Expert, mereka
memiliki sedikit waktu luang karena pagi-pagi harus berangkat ke kantor atau
pabrik dan lepas Magrib baru bisa pulang ke rumah dalam kondisi capek.
Umumnya mereka memiliki family-values yang tinggi dan bekerja keras melulu
untuk keluarga. Karena itu mereka adalah sosok hero of their family.

www.inventure.id

14 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Follower umumnya adalah kalangan muda (SMA dan kuliah) yang membutuhkan panutan (role
model) untuk menemukan dan menunjukkan eksistensinya. Kenapa butuh panutan? Ya karena
mereka masih mencari jati diri, belum punya banyak pengalaman, dan wawasannya masih
terbatas (short-term vision, less sense of purpose). Mereka adalah generasi galau (ababil: ABG
labil). Karena hal ini pula, tangible aspect seperti tampilan fisik, kepemilikan barang mahal,
atau citra diri menjadi sesuatu yang penting. Bagi mereka teman adalah segalanya (friends
are everything) dan diterima di lingkungan teman merupakan sesuatu yang penting untuk
menunjukkan eksistensi mereka. Koneksi dengan teman (connecting with friends) mereka
lakukan melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter.

www.inventure.id

15 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Trend-setter memiliki daya beli yang lebih tinggi (more


resources) dibanding follower. Karena lebih mampu, mereka
ingin menjadi panutan dalam gaya hidup (peripheral lifestyle)
seperti fesyen, gaya selebriti, gadget, dan sebagainya)
bagi teman-temannya. They are victim of trends. Mereka
menemukan eksistensinya ketika diikuti dan menjadi center
of attention di lingkungan teman-temannya. Untuk bisa terus
mengikuti tren dan isu-isu terbaru, mereka aktif berkoneksi
di lingkungan teman-temannya menggunakan Facebook
atau Twitter. Dengan karakteristik seperti itu, tak diragukan
lagi bahwa mereka adalah orang-orang narsis (narcissist) dan
cenderung self-centered.

www.inventure.id

16 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Flow-er adalah sosok yang tidak puas dengan tingkat kehidupan


ekonominya saat ini, namun mereka tak tahu harus bagaimana untuk
merubahnya. Karena tingkat pendidikan dan pengetahuan yang terbatas,
mereka cenderung kurang meng-update informasi dan mengadopsi
teknologi sehingga wawasan dan visi hidupnya terbatas. Dengan
keterbatasan itu, hidup mereka cenderung pasrah dan mengalir (flow) di
tengah perubahan kehidupan (teknologi, informasi, sosial, politik, dan
sebagainya) yang cepat dan bergolak. Keluarga dan (terutama) anak
adalah aset terbesar yang mereka miliki. Di tengah pergolakan hidup yang
cepat pegangan mereka hanya satu, yaitu keyakinan agama (high spiritual
values). Karena itu mereka cenderung menyeimbangkan kehidupan dunia
dan akhirat.

www.inventure.id

17 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Settler adalah Flow-er yang sudah memiliki kemapanan hidup. Sosok ini
merintis warung atau punya lahan luas hasil warisan yang menghasilkan
sumber keuangan cukup besar bagi kehidupan ekonomi. Mereka tidak lagi
memiliki keresahaan hidup dari sisi ekonomis. Hanya saja, berbeda dengan
Aspirator atau Performer, mereka bukanlah sosok yang knowledgeable, bisa
jadi cuma lulus SD atau SMP. Karena tingkat pengetahuan yang terbatas,
maka mereka cenderung memegang nilai-nilai tradisional dan fobia
terhadap perkembangan informasi, teknologi, dan globalisasi. Karena sudah
puas dengan sukses yang dicapai saat ini, mereka cenderung tidak belajar
dan mengembangkan diri. They are at the comfort zone.

www.inventure.id

18 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

www.inventure.id

19 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

www.inventure.id

20 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Photo Credit :

More info :

Cover by Wihinggil Prayogi

Jl. Beton 21F Kayu Putih Jakarta Timur 13220 Indonesia.

page 1. https://goo.gl/96jim5 | page 2 https://goo.gl/ICCXjN


page 3 http://goo.gl/FZ6KvP | page 4 http://goo.gl/nBMexu
page 5 https://goo.gl/qORyWy | page 6 http://goo.gl/EHsqvR
page 7 https://goo.gl/CJ1Wpp | page 8 http://goo.gl/Wndv9y
page 9 http://goo.gl/SAu6I3

(021) 2983 3679 | info@inventure.co.id | www.inventure.id

InventureID

@inventureID

Layout by Wihinggil Prayogi

About MCI

Copyright 2015 by Inventure.id

Middle Class Institute (MCI) adalah sebuah lembaga riset yang


mengkhususkan diri mengkaji konsumen kelas menengah Indonesia secara berkelanjutan. Dengan studi ini diharapkan para
marketer dapat memahami konsumen kelas menengah dengan
lebih baik dan sistematis. Hasil-hasil studi tersebut akan dipublikasikan dalam bentuk tulisan di media, research report, seminar
dan workshop, maupun melalui www.inventure.id

All rights reserved. No part of this publication may be reproduced,


distributed, or transmitted in any form or by any means, including
photocopying, recording, or other electronic or mechanical methods,
without the prior written permission of the publisher, except in the
case of brief quotations embodied in critical reviews and certain other
noncommercial uses permitted by copyright law. For permission requests, write to the publisher, addressed Attention: Permissions Coordinator, at the address above.

www.inventure.id

21 | 8 Faces Indonesia Middle Class Consumer

Anda mungkin juga menyukai