Disusun oleh:
Dini Amelia Rahmah (012106130)
Nabila Syifa Marta W (012116460)
Pembimbing:
dr. Widi Antono, Sp. B, M.Kes
HALAMAN PENGESAHAN
NAMA
FAKULTAS
: KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS
BIDANG PENDIDIKAN
: ILMU BEDAH
PEMBIMBING
September 2015
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat abdomen meenggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut
yang timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yaitu berupa tindakan bedah , misal keadaan darurat dalam abdomen
dapat disebabkan karena perdarahan intra abdomen, peradangan, infeksi, atau obstruksi pada
alat pencemaan, strangulasi jalan cerna dapat mengakibatkan perforasi yang mengakibatkan
kontaminasi rongga perut dengan oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. Akut
abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan darurat dalam
abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi.
Peradangan peritonium merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen misalnya apendiksitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal, ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi atau luka
tembus abdmen.
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan abdomen akut. Secara garis besar, keadaan
tersebut dapat dikelompokkan dalam lima hal, yaitu: 1. Proses peradangan bakterial-kimiawi;
2. Obstruksi mekanis: seperti pada volvulus, hernia atau perlengketan; 3. Neoplasma atau
tumor: karsinoma, polypus, atau kehamilan ektopik; 4. Kelainan vaskuler: emboli,
tromboemboli, perforasi, dan fibrosis; 5. Kelainan kongenital
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari
dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga
perut.Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi
bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi lambung
berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam
lambung ke dalam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna
merupakan suatu bentuk kasus kegawatan.
Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus
gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika
superior,dan trauma.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecil), kontaminasi terus menerus bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan
adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor yang memudahkan
peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangan tergantung dari kemampuan melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Atas dasar pemaparan di atas penyusun akan memaparkan refleksi kasus pada pasien
dengan peritonitis generalisata et causa perforasi gaster yang penyusun tekankan di RSUD
RAA Soewondo Pati.
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA
I.
ANAMNESIS
A. Identitas
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
No. RM
Ruang
Tanggal Masuk
Tanggal Keluar
: Tn. S
: 51 tahun
: Laki-laki
: Petani
: Grogolan 3/1 Dukuhseti
: 074728
: Bugenville
: 22 Juli 2015
: 24 Agustus 2015
B. Data dasar :
1. Anamnesis
Keluhan Utama: mual-muntah dan perut kembung
a) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang laki-laki umur 51 tahun datang melalui rujukan dari Puskesmas
Grogolan ke IGD RSUD RAA Soewondo Pati dengan keluhan mual muntah,
keluhan ini disertai rasa nyeri dan kembung pada seluruh lapang perut. Perut
makin lama makin nyeri sejak 1 hari dirawat di Puskesmas.
Tidak adanya riwayat trauma sebelumnya. Nyeri dirasakan terus menerus dan
menggangu tidur. BAB (Buang Air Besar) tidak bisa, tidak bisa untuk buang
angin, BAK (Buang Air Kecil) normal, tidak ada hematuria, tidak ada rasa tak
puas saat selesai BAK, tak ada nyeri saat BAK, tak ada BAK yang netes,
demam,
b) Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit seperti ini (-)
- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat Gastritis (-)
- Riwayat trauma abdomen (-)
II.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di Bangsal Bugenville pada tanggal 23 Juli 2015 :
1. Keadaan Umum
Tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, kesan gizi kurang.
2. Status Gizi
BB: 40 kg
TB: 160 cm
BMI = 15,625 kg/m2
Kesan: underweight
3. Tanda Vital
Tensi
: 90/60 mmHg
Nadi
Respirasi : 20 x/menit
Suhu
: 37 C (peraxiller)
4. Kulit
Ikterik (-), petekie (-), turgor cukup, hiperpigmentasi(-), kulit kering (-), kulit
hiperemis (-), pitting edema (-)
5. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah dicabut (-), luka (-)
6. Wajah
Simetris, moon face (-)
7. Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-) ,mata cekung (+/+), perdarahan
subkonjungtiva(-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+) normal, arcus
senilis (-/-), katarak (-/-)
8. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
9. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-),
10. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (+), stomatitis (-), mukosa basah (-) gusi berdarah (-),
lidah kotor (-), lidah hiperemis (-), lidah tremor (-), papil lidah atrofi (-) di bagian
tepi
11. Leher
Simetris, trachea di tengah, KGB membesar (-), tiroid membesar (-), nyeri tekan
(-), JVP (-)
12. Thoraks-paru
INSPEKSI
STATIS
DINAMIS
PALPASI
PERKUSI
AUSKULTASI
ANTERIOR
- RR 20x/menit,
- RR 20x/menit,
- Hiperpigmentasi (-),
- Hiperpigmentasi (-),
- Hemitoraks kanan=kiri,
- Hemitoraks kanan=kiri,
- ICS Normal,
- ICS Normal,
- Pernafasan thorakal
- Pernafasan thorakal
Pergerakan
hemitoraks Pergerakan
hemitoraks
kanan=kiri
- Nyeri tekan (-),
kanan=kiri
- Nyeri tekan (-),
- Tumor (-)
- Tumor (-)
13. Thorax-Jantung
POSTERIOR
Palpasi
midclavicula sinistra, kuat angkat (-), pulsus parasternal (-), sternal lift (-),
pulsus epigastric (-)
Perkusi
Batas atas
Pinggang jantung
Batas kanan bawah
Batas kiri bawah
Sinistra
Auskultasi
Katup aorta
Katup trikuspid
Katup pulmonal
Katup mitral
HR
14. Abdomen
15. Ekstremitas
PF - Ekstremitas
III.
Ekstremitas
Superior
Inferior
Oedem
-/-
-/-
Akral dingin
-/-
-/-
Capillary refill
< 2 detik
< 2 detik
Reflek fisiologis
+/+
+/+
Ikterik
-/-
-/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium 21-08-2015
Parameters
WBC
HGB
Hasil
3,73 (10^3/uL)
8,8 (g/dL)
Parameters
HbsAg
APTT/PTT
Hasil
Non Reaktif
Pasien 30.3
K
HCT
Wkt Perdarahan / BT
Wkt Pembekuan / CT
Protombine Time / PT
25,1 (%)
300
500
Ratio 0.98
INR 0.98
Kontrol 30.9
288 (10^3/uL)
PLT
Kimia darah
Parameter
Gula Darah Sewaktu
Ureum
Creatinin
Na
Albumin
Hasil
90 mg/dl
21,5 mg/dl
1,08 mg/dl
133,6
2,1 g/dl
Parameter
K
Cl
SGOT
SGPT
Hasil
4.5
98,3
16.7
10.2
BAB III
REFLEKSI KASUS
Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering bersamaan
dengan kondisi bakteremia dan sindroma sepsis. (Harrison Textbook 18th Edition,
2011) Peritonitis merupakan suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis
dapat bersifat lokal maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi. Peradangan
peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan
benda asing. Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis merupakan salah satu
penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 1040%. Peritonitis difus sekunder yang merupakan 90% penderita peritonitis dalam
praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu perforasi gastrointestinal
ataupun kebocoran. (Tarigan, M.H, 2012)
Suatu perforasi dapat terjadi akibat trauma dan non trauma. Non trauma
misalnya akibat volvulus, spontan pada bayi baru lahir, ingesti obat-obatan, tukak,
malignansi, dan benda asing. Sedangkan trauma dapat berupa trauma tajam
maupun trauma tumpul, misalnya iatrogenik akibat pemasangan pipa nasogastrik.
memburuk. Pasien
mengeluh sesak napas dan demam serta terdapat penurunan Hb. Pada hari ke 10
perut pasien mengalami distensi disertai bising usus menurun dan nyeri tekan pada
seluruh lapang abdomen. Pasien diduga mengalami perforasi kembali pada gaster.
Pada pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa albumin pasien adalah 2,1.
Ditemukannya hipoalbumin ini dicurigai merupakan penyebab utama terjadinya
perforasi kembali pada gaster. Ditemukan pula ronki basah pada kedua paru-paru
pasien dan konfirmasi dari Dokter Spesialis Penyakit Dalam bahwa pasien juga
didiagnosis Pneumonia. Usia tua dan status gizi yang kurang diduga juga
berpengaruh dalam hal ini.
Insidens terjadinya postoperative peritonitis adalah 1%-20% pasien setelah
operasi laparotomy, dan sebab paling banyak adalah akibat kerusakan anastomosis.
Biasanya gejala muncul saat hari ke 5 sampai hari ke 7 post operatif dan memiliki
angka mortalitas yang sangat tinggi (Puyana dan Ordonez, 2006).
Dokter operator memutuskan untuk dipasang drainase karena resiko operasi
yang tinggi dan kondisi pasien yang buruk sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan operasi laparatomi kembali. Pasien lalu mengalami Enterocutaneous
Fistula (ECF) setelah drainase dilepas sehingga dipasang colostomy bag untuk
menampung feses. Setelah 20 hari menjalani perbaikan keadaan umum dan gizi,
pada hari ke- 30, ECF dapat menutup dan keadaan pasien stabil sehingga diijinkan
untuk pulang.
ECF adalah keadaan terhubungnya saluran pencernaan dengan kulit secara
abnormal, sekitar 75-90% terjadi akibat tindakan post-operatif. Angka kejadiannya
sangat kecil. Durasi operasi lebih dari 2 jam sehingga terjadi kontaminasi
intraoperatif dan pemasangan drain yang kurang baik sehingga dianggap benda
asing oleh tubuh dan merusak anastomosis gastroenterik termasuk dalam penyebab
terjadinya ECF. Beberapa faktor resiko dari ECF adalah malnutrisi, serum albumin
yang rendah, penyakit cardiovascular, usia lanjut, PPOK, penggunaan obat
corticosteroid, konsumsi alcohol dan merokok, mempunyai 2 lebih penyakit
sistemik , abses intra-abdominal, peritonitis, sepsis dan status gizi yang buruk.
Segera setelah didiagnosa ECF, langkah pertama adalah resusitasi dengan cairan
kristaloid dan mengobati sepsis. Tranfusi perlu dilakukan bila pasien anemis.
Langkah kedua mengontrol fistula output. Langkah ketiga adalah mengoptimalkan
pengobatan dan nutrisi pasien. Langkah terakhir adalah melakukan tindakan
operatif untuk repair ECF (Galie dan Whitlow, 2006).
Pada kasus di Indonesia juga ditemukan fistula gastrokutan post operatif untuk
perforasi gaster yang mengalami hipoalbumin dan leukositosis. Pemberian terapi
gizi yang sesuai dengan waktu yang tepat dapat membantu mempercepat
penutupan fistula dan penyembuhan luka (Puruhitadan Murbawani, 2013).
Dilihat dari segi sosial, pasien ini mendapat dukungan moral penuh dari
keluarganya, terutama istri pasien. Kondisi pasien yang sangat memburuk setelah
diduga ada perforasi kembali dan memiliki peluang kecil untuk sembuh tanpa
operasi tidak membuat istri pasien pesimis. Adanya motivasi yang kuat dari
keluarga bahwa pasien dapat sembuh membuat pasien menjadi lebih bersemangat
dalam menjalani pengobatan. Keluarga pasien juga berperan dalam memperbaiki
pola makan pasien sehingga badan pasien yang awalnya sangat kurus akhirnya
mulai mengalami kenaikan berat badan dan perbaikan kondisi.
Bila ditilik dari segi ekonomi dan pendidikan, pasien termasuk golongan yang
kurang mampu dalam hal keuangan, ini bisa dilihat dari status pasien yang
merupakan penerima bantuan iuran (BPJS PBI). Hal tersebut dapat berpengaruh
terhadap status gizi pasien yang underweight karena kurangnya tingkat kesadaran
akan kesehatan dan pola makan, sehingga diduga mempengaruhi terjadinya
perforasi kembali pasca Laparatomi Simple Closure Gaster akibat menurunnya
kadar albumin yang erat kaitannya dengan kondisi underweight.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari refleksi kasus yang kita uraikan dapat disimpulkan bahwa operasi
laparatomi simple closure gaster pada pasien dengan peritonitis generalisata et
causa perforasi gaster harus mempertimbangkan banyak hal; malnutrisi, serum
albumin yang rendah, usia lanjut, PPOK, peritonitis, dan status gizi yang buruk.
karena dapat terjadi Enterocutaneous Fistula (ECF) serta peritonitis kembali
walaupun kemungkinan terjadinya hal tersebut sangat kecil.Tindakan preventif
yang bisa dilakukan agar tidak terjadi hal-hal tersebut salah satunya dengan
meningkatkan surgery safety karena dapat berasal dari kontaminasi intraoperatif
maupun kesalahan operator.
Dukungan keluarga pasien dan motivasi untuk sembuh dari diri pasien juga
merupakan hal yang penting dan perlu diperhatikan. Karena jika dukungan hanya
berasal dari tenaga kesehatan saja tanpa adanya support dari pihak lain, waktu
pemulihan pasien berpotensi menjadi lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Murbawani,Etisa, Puruhita,Niken, 2013, Terapi Gizi pada Pria 27 Tahun dengan Fistula
Gastrokutan Low Output Post Eksplorasi Laparotomi et Causa Perforasi Duodenum, Med
Hosp 2013; vol 2 (1) : 58-61
Ordoez,Carlos A. , Puyana,Juan Carlos , 2006, Management of Peritonitis in the Critically
Ill Patient, Surg Clin North Am. 2006 Dec; 86(6): 13231349.
Galie,Kathryn L. , Whitlow,Charles B. ,2006, Postoperative Enterocutaneous Fistula: When
to Reoperate and How to Succeed, Clin Colon Rectal Surg. 2006 Nov; 19(4): 237246.