Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati (18).
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan manifestasi ekstrakranial paling
umum dari amubiasis. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936 (18).
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang
jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di
negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara
endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik (17).
Abses hati amuba biasanya cenderung pada usia tua dan jenis kelamin
laki-laki serta pada orang-orang setelah perjalanan ke daerah endemis, yang
ditandai dengan hepatomegali dengan abses besar atau abses multipel. Abses hati
amuba pada orang yang belum berpergian ke atau tinggal di daerah endemik,
biasanya disebabkan karena keadaan imunosupresi (seperti AIDS). Faktor

penjamu yang memberikan kontribusi untuk tingkat keparahan penyakit adalah


usia muda, kehamilan, malnutrisi, alkoholisme, penggunaan glukokortikoid, dan
keganasan (9).
Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai
aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai
pengelolaan serta prognosisnya. (17).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
.
2.1

Anatomi dan fisiologi hati


Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500 gr

atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio
hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati
memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi
segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi
menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang
meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi strukturstruktur yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan
fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya
terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel
khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan
mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus.
Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. ( 7,10,17).

Gambar 2.1 Anatomi Hati.


Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di
antaranya yaitu: (7,8, 10, 15)
1.

Pembentukan dan ekskresi empedu


Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam

empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di
dalam usus.
2.

Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)


setelah penyerapan dari saluran pencernaan

a.

Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,


konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme

b.

karbohidrat.
Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar

c.

lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat


Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari

3.

asam amino.
Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B 12,

tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan
dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B 12 juga
disimpan secara normal.
a. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang
dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi
akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam
bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi
cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.

b. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam


jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
4.

Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat


lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam

melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid,


penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon yang
disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati
meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol,
dan aldosteron.
5.

Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi


Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat

penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu
menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati
merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung
kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.

2.2

Definisi

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati (18).
Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekroinflamatori purulen di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba, terutama
entamoeba hystoliyica ( 1, 11).

Gambar 2.2 Abses Hati


2.3

Epidemiologi
AHA di negara negara yang sedang berkembang, didapatkan secara

endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP(18). Hampir 10 % penduduk


dunia terutama di daerah tropis dan subtropis terinfeksi E.histolytica tetapi hanya
1/10 yang memperlihatkan gejala. Penyakit ini sering terjadi pada orang muda dan
etnik Hispanik dewasa (92%). AHA terjadi 10 kali lipat pada laki-laki

dibandingkan wanita, dan jarang pada anak-anak

(14)

. Kebanyakan yang menderita

amubiasis hati pada rentang usia antara 20-50 tahun, dan , tersering pada dekade
keempat (5, 17).
Amebiasis merupakan infeksi tertinggi ketiga penyebab kematian setelah
schistosomiasis dan malaria(14). Daerah endemisnya meliputi Afrika, Asia
Tenggara, Meksiko, Venezuela dan kolombia(6, 9). Penularan umumnya melalui
jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal (5, 17).
Insiden abses hati amuba di Amerika Serikat mencapai 0,05%, sedangkan
di India dan Mesir mencapai 10-30% per tahun dengan perbandingan lakilaki:wanita yaitu sebesar 3:1 sampai dengan 22:1 (6, 9). Insiden AHA di rumah sakit
seperti Thailand berkisar 0,17%, sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia
berkisar antara 5-15% pasien per tahun (5, 17).
2.4

Etiologi
Beberapa spesies amoeba dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam

mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat menyebabkan
penyakit. Individu yang terinfeksi Entamoeba histolyticahanya sebagian kecil
yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya
virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan
kemampuannya menimbulkan lesi pada hati(17).

Gambar 2.3 Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar


Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang
mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk
parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki
organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista
yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk
motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus, dapat bermultiplikasi dengan
cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista, tumbuh dalam keadaan anaerob
dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini
tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim
pencernaan. Tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar,
sampai yang ukuran 50 um, jika terjadi diare. Tropozoit besar sangat aktif
bergerak, mampu memangsa eritrosit,mengandung protease yaitu hialuronidase
danmukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk
tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Tropozoit akan
membentuk kista sebelum keluar ke tinja, apabila tidak diare/disentri (16, 17).
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan
dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam
lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan
bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista
berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini

dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas


media

(16, 17)

2.5

Patogenesis

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik


melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada
orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan
melalui seks oral ataupun anal (3,4).
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen
usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai
oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit
yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus besar

(2,3,17)

. Trofozoit melekat ke

sel epitel dan mukosa kolon dengan Gal/GalNAc yang mengivasi mukosa
membentuk lesi, yang awalnya berupa mikroulserasi mukosa caecum, kolon
sigmoid dan rektum, yang mengeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel epitel.
Ulserasi yang meluas ke submukosa menghasilkan ulser khas yang berbentuk
termos (flask-shaped) yang berisi trofozoit diantara jaringan mati dan sehat (11).
Amuba

ini

dapat

menjadi

patogen

dengan

mensekresi

enzim

cysteineprotease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar


keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke
submukosa memasuki kapiler darah, lalu melalui sirkulasi vena porta masuk ke
hati. Entamoeba hystolitica sangat resisten terhadap lisis yang dimediasi
komplemen sehingga dapat bertahan di aliran darah. Organisme ini juga terkadang

10

menginvasi organ selain hati, seperti pada paru-paru dan otak. Pecahnya abses hati
amuba ke dalam pleura, perikard dan ruang peritoneal juga dapat terjadi (2, 4, 11, 17).
E.hystolitica di dalam hati mensekresi enzim proteolitik yang berfungsi
melisiskan jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi
neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi
membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik, yang biasa berupa
well demarcated abscess. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti
jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena
lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran
limfatik.

Dinding

abses

bervariasi

tebalnya,bergantung

pada

lamanya

penyakit.Secaraklasik, cairan abses menyerupai achovy paste dan berwarna


coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang
dicerna(2, 4, 11, 17).

11

Gambar 2.4 Patofisiologi invasi amuba


2.6

Gambaran Klinis
Abses hati amuba lebih sering dikaitkan dengan presentasi klinis yang akut

dibandingkan abses hati piogenik. Gejala terjadi rata-rata dua minggu pada saat
diagnosis ditegakkan. Gejala klinis dapat terjadi periode laten antara infeksi hati
usus sampai bertahun-tahun, dan kurang dari 10% pasien didapatkan riwayat diare
berdarah akibat disentri amuba (12).
Nyeri perut dirasakan pada 75-90% pasien, lebih berat dibandingkan
piogenik, terutama di kuadran kanan atas. Nyeri perut terkadang disertai dengan
mual, muntah, anoreksia penurunan berat badan kelemahan tubuh dan pembesarah
hati yang juga terasa nyeri. Nyeri spontan pada perut kanan atas, biasanya disertai
dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan diatasnya
yang merupakan gambaran klinis khas yang sering dijumpai. Dua puluh persen
penderita dengan kecurigaan abses hati amuba mempunyai riwayat penyakit diare
atau disentri (11).
Demam umumnya terjadi dengan pola internitten (38-40oC). Malaise,
mialgia dan artralgia juga umum terjadi. Ikterus jarang ditemukan, dan apabila
ditemukan menandakan prognosis buruk. Manifestasi paru dapat terjadi, tetapi
pericardial rub dan peritonitis jarang ditemukan. Kadang-kadang friction rub
terdengar di hati (2, 9).

12

2.7

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal terpenting untuk

menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu


laboratorium, tes serologi (amuba), kultur darah, kultur cairan aspirasi dan
pencitraan (USG, CT Scan) (11).
Pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperatur, pembesaran hati
dan nyeri tekan. Jaundice jarang ditemukan, tetapi apabila ditemukan maka harus
diduga adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat penyakit kronik
sebelumnya

(12)

. Organisme diisolasi dari tinja pada 50% pasien. Aspirasi pada

abses amuba harus dilakukan jika diagnosis masih belum jelas, dengan gambaran
pasta coklat kemerahan dan berbau sedikit. Trofozoit hanya didapatkan pada 20%
aspirasi. Hasil foto thoraks abnormal didapatkan pada 50-80% pasien dengan
gambaran atelektasis paru lobus kanan bawah, efusi pleura kanan dan kenaikan
hemidiafragma kanan (6, 11, 12).
USG abdomen merupakan pilihan utama, karena noninvasif dan
sensitivitasnya

tinggi

(80-90%)

untuk

mendapatkan

lesi

hipoechoic

denganinternal echoes. CT scan kontras digunakan terutama mendiagnosis abses


yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat
membantu informasi tentang lesi primer. MRI tidak memiliki sensitivitas yang
lebih tinggi dibandingkan CT scan, tetapi berguna jika hasil masih meragukan,
diagnosis membutuhkan potongan koronal atau sagital dan untuk pasien yang
intoleransi dengan kontras. Pencitraan hepar tidak bisa membedakan abses hati

13

amuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya menyerang lobus kanan hepar
dekat dengan diafragma dan biasanya tunggal (1,12).
Tes

serologi

yang

bisa

digunakan

meliputi

ELISA,

indirect

hemagglutination, cellulose acetate precipitin, counterimmunoelectrophoresis,


immunofluorescent antibody, dan tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi
harus diintepretasikan dengan klinis pasien karena kadar serum antibodi mungkin
masih tinggi selama beberapa tahun setelah perbaikan atau penyembuhan.
Sensitivitas tes 95% dan spesifitasnya lebih dari 95%. Hasil negatif palsu
mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis PCR untuk
mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi antigen
amuba pada serum sudah sering dilakukan pada penelitian (11).
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan
jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri
tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi
disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan
USG juga dibantu oleh tes serologi. Diagnosis abses hati amuba juga dapat
menggunakan kriteria Sherlock (2002), yaitu: (11)
a.
b.
c.
d.

Ada riwayat berasal dari daerah endemik


Hepatomegali pada laki-laki muda
Respon baik terhadap obat amebisid (metronidazole)
Leukositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan

leukositosis dengan riwayat sakit yang lama


e. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto thoraks PA dan lateral
f. Pemeriksaan scan didapatkan filling defect
g. Tes fluorescent antibodi amuba positif

14

2.8

Pemeriksaan penunjang

1.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan

hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL 3 . pada


pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%,
total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9
u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati
adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL 3.
Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan
uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap
parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan
antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan
ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar (5, 16,17)
2.

Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian

kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura


kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu
banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara
bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk
mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran
USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding
yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan

15

dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa
massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa
hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras
tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 %
kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (17)

Gambar 2.5 Gambaran CT Scan pada abses hati amuba


2.9

Diagnosis banding
Diagnosis banding untuk abses hati amuba adalah sebagai berikut:

1.

Kista hepar (11)

2.

Keganasan pada hati (13)


Hepatoma merupakan tumor ganas hati primer. Biasanya ditandai dengan

nyeri perut kanan atas, penurunan berat badan, anoreksia, malaise, dan terdapat
benjolan pada perut kanan atas.Pemeriksaaan fisik didapatkan hepatomegali yang
berbenjol-benjol. Pemeriksaan penunjang lain yang sering digunakan untuk
menegakkan diagnosa, yaitu: pemeriksaan laboratorium yang didapatkan
peningkatan AFP dan pada USG ditemukan lesi lokal/ difus di hati.
3.

Kolesistitis akut (13)


Kolesistitis akut merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat

infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan,
dan panas badan. Anamnesis didapatkan nyeri epigastrium atau perut kanan atas

16

yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam. Pada pemeriksaan fisik
teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu
ekstrahepatik. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan
laboratorium dimana ditemukan leukositosis dan pemeriksaan USG didapatkan
penebalan dinding kandung empedu, serta sering ditemukan pula sludge atau batu.

4.

Abses hati piogenik(11)

Tabel 2.1 perbedaan antara Abses hati piogenik dan Abses hati amuba
Demografi

Abses hati piogenik


Usia 50-70 tahun

Abses hati amuba


Usia 20-40 tahun

Jenis kelamin:

Jenis kelamin: (>10:1)

laki-laki =perempuan
Faktor risisko Infeksi bakteri akut, khususnya

laki-laki >perempuan
Berpergian atau menetap di

mayor

daerah endemik

intraabdominal
Obstruksi bilier/ manipulasi

Gejala klinis

Diabetes melitus
Nyeri perut regio kuadran kanan

Akut:

atas, demam, menggigil, rigor, menggigil,


lemah,

malaise,

anoreksia,

demam

tinggi,

nyeri

abdomen,

sepsis.

penurunan berat badan, diare,

Sub akut: penurunan berat

batuk, nyeri dada pleuritik

badan,

demam

dan

nyeri

abdomen relatif jarang.


Khas:

17

tidak

ada

gejala

kolonisasi usus dan kolitis


Nyeri tekan perut regio kanan

Tanda klinis

Hepatomegali disertai nyeri tekan,

Laboratoriu

massa abdomen, ikterus


atas bervariasi
Leukositosis, anemia, peningkatan Serologi amuba positif (70%-

enzim-enzim hati (alkali fosfatase

95%)

melebihi

Leukositosis

aminotransferase),

peningkatan

bervariasi

bilirubin, anemia.

hipoalbuminemia

Tidak ditemukan eosinofilia.

kultur darah positif (50%-60%)

Alkali fosfatase meningkat dan


aminotransferase

Pencitraan

dan

biasanya

Abses multifokal (50%), biasanya

normal.
Khas, abses tunggal (80%),

pada lobus kanan, tepi ireguler

biasanya lobus kanan, rounded


atau

oval,

bersepta,

wall

enchancement pada CT Scan


Cairan

dengan kontras intravena


Purulen, tampak kuman pada Konsistensi
dan
warna

aspirasi

pewarnaan gram, kultur positif

bervariasi,

(80%)

jarang ditemukan.

2.10

steril,

trofozoit

Komplikasi
Abses akan membesar tanpa terapi, dan meluas ke diafragma atau ruptur

ke kavitas peritoneal. Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5
- 5,6 %. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal
atau kulit. Ruptur abses ke dalam rongga toraks menyebabkan fistula
hepatobronkial yang dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik
mengandung amoeba, abses paru dan empyema amuba (20-30%). Ruptur abses ke

18

dalam perikardium menyebabkan gagal jantung, perikarditis dan tamponade


jantung. Ruptur abses ke peritoneum menyebabkan peritonitis (12).
Kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder, terutama setelah aspirasi
atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum
terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,
pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema,
serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. (2, 4)
Komplikasi lain yang jarang terjadi seperti: gagal hati fulminan,
hemobilia, obstruksi vena kava inferior, sindrom Budd-chiari, abses cerebri
(penyebaran secara hematogen) (11).
2.11

Terapi (2,7, 11, 19)

1.

Medikamentosa
Pasien muda yang telah melakukan perjalanan ke daerah endemik, pada

pencitraan didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat toksik, dengan dugaan
kuat abses amuba, maka pemeriksaan feses harus dilakukan untuk mencari kista
dan trofozoit amuba dan serum harus diperiksa antibodi E. Histolitica.
Abses

hati

amoeba

tanpa

komplikasi

lain

dapat

menunjukkan

penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan


yang dianjurkan adalah:
a.

Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis

intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk

19

kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari secara oral selama 7 10
hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis.
Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole
(nitroimidazole kerja panjang) 2 gram per oral dan omidazole 2 gram per oral,
yang dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Lebih dari 90% pasien
mengalami respon yang baik dengan terapi metronidazole, baik berupa penurunan
nyeri maupun demam dalam 72 jam. Terapi kemudian dilanjutkan dengan preparat
lumenalamubisid untuk eradikasi kista dan mencegah transmisi lebih lanjut,
seperti Iodoquinol 3x650 mg selama 20 hari, diloxanise furoat 3 x 500mg selama
10 hari, aminosidine paromomycin 25-35 mg/kg per hari selama -10 hari..
b.

Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosisyang direkomendasikan untuk

mengatasi abses hati sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih
aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.
Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anakanak.
c.

Chloroquin
Klorokuin digunakan sebagai terapi alternatif, tetapi sebaiknya dihindari

karena efek kardiovaskular dan gastrointestinal, selain tingginya angka relaps.


Dosis klorokuin biasa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah
2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2
atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi

20

selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari (Chloroquin base 600mg)
selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari (Chloroquin base 300mg) selama 2-3
minggu, perbaikan klinis diharapkan dalam 3 hari.

2.

Aspirasi jarum perkutan


Indikasi aspirasi jarum perkutan, yaitu: risiko tinggi untuk terjadinya

ruptur abses dengan ukuran kavitas lebih dari 5 cm, abses pada lobus kiri hati
yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan frekuensi tinggi untuk merembes
ke peritoneum atau perikardium, tidak ada respon klinis terhadap terapi dalam 3-5
hari, untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien
dengan lesi multipel. Aspirasi dilakukan dengan panduan USG.
3.

Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur

atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak
abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada
lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan
komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.
Penyulit

yang

dapat

terjadi

yaitu:

perdarahan,

perforasi

organ

intraabdomen, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk


drainase.
4.

Drainase secara operasi

21

Tindakan ini jarang dikerjakan kecuali pada kasus tertentu seperti abses
dengan ancaman ruptur atau secara teknis sulit atau gagal dengan aspirasi biasa/
drainase perkutan.
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah
dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk
perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau
tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang
mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya
bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan
untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba
intraperitoneal.
5. Reseksi hati
Pada abses hati piogenik multiple kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi
spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel dan disertai dengan
hepatolitiasis, terutama pada lobus kiri hati.
Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal
Indonesia) dan PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) di surabaya pada
tahun 1996:
1. Abses hati dengan diameter 1-5 cm diberikan terapi medikamentosa,
apabila respon negatif, maka dilakukan aspirasi.
2. Abses hati dengan diameter 5-8 cm dapat dilakukan aspirasi berulang.
3. Abses hati dengan diameter 8 cm harus dilakukan drainase perkutan.
2.12

Prognosis

22

Abses hati amuba merupakan panyakit yang sangat treatable. Angka


kematiannya < 1% apabila tanpa penyulit. Penegakkan diagnosis yang terlambat
dapat memberikan penyulit abses ruptur sehingga meningkatkan angka kematian,
apabila ruptur ke dalam peritoneum maka angka kematiannya sebesar 20 %,
apabila ruptur ke dalam perikardium maka angka kematian 32-100% (11).
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas
memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%.
Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada
peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini
disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab
kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit
ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak
serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,17)
2.13

Pencegahan
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar

dengan kista. Penderita asimptomatik dapat mengeluarkan hingga 15 juta kista per
hari. Pencegahan infeksi membutuhkan sanitasi yang memadai dan pemberantasan
pembawa kista. Pada daerah berisiko tinggi, infeksi dapat diminimalkan dengan
menghindari konsumsi buah dan sayuran yang tidak dikupas dan penggunaan air

23

kemasan, dan karena kista tahan terhadap klor maka dianjurkan desinfeksi dengan
iodin.Profilaksis yang efektif untuk saat ini tidak ada (11).

BAB 3
KESIMPULAN
Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekroinflamatori purulen di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba, terutama
entamoeba hystoliyica. Abses hati amuba didapatkan secara endemik dan jauh
lebih sering dibandingkan Abses hati Piogenik di negara negara yang sedang
berkembang, Penyakit ini sering terjadi pada orang muda dan etnik Hispanik
dewasa (92%). AHA terjadi 10 kali lipat pada laki-laki dibandingkan wanita, dan
jarang pada anak-anak. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati pada rentang
usia antara 20-50 tahun, dan , tersering pada dekade keempat.
Abses hati amuba disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Cara penularan
umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan higiene
yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun
anal.
Gejala klinis pada AHA yaitu demam tinggi, menggigil, nyeri abdomen,
sepsis, penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen relatif jarang.

24

Penegakkan diagnosis sering dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik pasien dan


beberapa pemeriksaan penunjang yang mendukung, yaitu dengan menggunakan
USG dan pemeriksaan laboratorium.
Abses hati amuba merupakan panyakit yang sangat treatable. Angka
kematiannya < 1% apabila tanpa penyulit. Penegakkan diagnosis yang terlambat
dapat memberikan penyulit abses ruptur sehingga meningkatkan angka kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ayles HM and Cock KD. Hepatic abscess and cyst. In: Handbook of liver
disease. Editors: Friedman LS and Keefe EB 2nd edition. Elsevier Inc.
Philadelphia, 2004; 349-364
2. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920overview#showall.
3. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal
684.
4. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
5. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
6. Guardino JM. Gastric cancer . In: Primo Gastro;The Pocket GI/ Liver
Companion. Lippincott williams & wilkins.2008; 160-1.

25

7. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar
fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
8. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a
glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
9. Kim AY and Chung RT. Bacterial, parasitic and fungal infections of the
liver, including liver abscess. In: Sleisenger and fordtrans gastrointestinal
and liver disease; Pathophysiology/ diagnosis/ management. Editors:
Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ. Elsevier. 9 Edition. Philadelphia.
2010; 136-9
10. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam
: Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis prosesproses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
11. Nusi, Iswan. Abses hati amuba. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati,Siti. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II edisi V. Jakarta : Jakarta :Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2014.Hal 1991-1995.
12. Raiford DS. Liver abscess. In: Textbook of gastroenterology. 5 th edition.
Editors: Yamada T, Alpers DH, Kaloo AN, Kaplowitz N, Owyang C, Powell
DW, Blackwell publishing. 2009;2412-5
13. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324.

26

14. Reed SL. Amebiasis and infection with free-living amebas. In: Harrisons
Gastroenterology and Hepatology. Editors: Longo DL and Fauci AS,
McGraw-Hill company.2010; 125-142
15. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel
ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
16. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya :
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29
17. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1,
80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
18. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus.Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta :Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
19. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554

27

Anda mungkin juga menyukai