Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang
diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu
keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan
kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan
terjadinya kematian.1,2
Asfiksia merupakan mekanisme kematian terbanyak yang ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya
obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah
yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh
dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem
serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia
mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.1
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP
wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya
seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah
satunya asfiksia.1
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian asfiksia, jenis-jenis
asfiksia serta pemeriksaan tanda-tanda asfiksia pada keadaan postmortem.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar
oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan
dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen
(udara) dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paruparu. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut
hiperkapnia.1
Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan
berhentinya respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau
ketiadaan kembang kempis (absence of pulsation). Namun pengertian asfiksia dan
anoksia (atau lebih tepatnya hipoksia) sering dicampuradukkan. Oleh sebab itu,
sebelum dipahami lebih dulu tentang anoksia.3
Anoksia adalah suatu keadaan di mana tubuh sangat kekurangan oksigen,
yang berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:1,2
1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan
karena oksigen tidak dapat mencapai darah sebagai akibat kurangnya oksigen
yang masuk paru-paru.
2. Anoksia anemik (anaemic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan
karena darah tidak dapat menyerap oksigen, seperti pada keracunan karbon
monoksida.
3. Anoksia stagnan (stagnant anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan
karena darah tidak mampu membawa oksigen ke jaringan, seperti pada heart
failure atau embolism.
4. Anoksia histotoksik (histotoxic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang
disebabkan karena jaringan tidak mampu menyerap oksigen, seperti pada
keracunan sianida.
Ketiga jenis anoksia yang terakhir (yaitu anoksia anemik, stagnan dan
histotoksik) disebabkan oleh penyakit atau keracunan, sedang anoksia yang

pertama (yaitu anoksia anoksik) disebabkan kekurangan oksigen atau obstruksi


mekanik pada jalan nafas. Yang disebut asfiksia sebenarnya adalah anoksia
anoksik, atau sering juga disebut asfiksia mekanik (mechanical asphyxia).1
Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk
dapat melangsungkan metabolisme secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini
disebut anoksia, yang setelah dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia
tersebut tidak tepat.2
Dalam kenyataan sehari-hari hipoksia ternyata merupakan gabungan dari
empat kelompok, dimana masing-masing kelompok tersebut memang mempunyai
ciri tersendiri, walaupun ciri atau mekanisme yang terjadi pada masing-masing
kelompok akan menghasilkan keadaan atau akibat yang sama bagi tubuh.
Kelompok tersebut adalah: 2
1. Hipoksik-hipoksia; dalam keadaan ini oksigen gagal untuk masuk ke dalam
sirkulasi darah.
2. Anemik-hipoksia; dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen
yang cukup untuk metabolisme dalam jaringan.
3. Stagnan-hipoksia; dimana oleh karena sesuatu keadaan terjadi kegagalan
sirkulasi.
4. Histotoksik-hipoksia; suatu keadaan dimana oksigen yang terdapat dalam,
oleh karena sesuatu hal, oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh
jaringan. Dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu:
a. Histotoksik-hipoksia ekstra-seluler; enzim pernafasan jaringan menderita
keracunan misalnya pada keracunan sianida dan pada keracunan CO.
b. Histotoksik-hipoksia periseluler; oksigen tidak dapat masuk ke dalam sel
oleh karena terjadi penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada
keracunan eter atau keracunan kloroform.
c. Substrate histotoxic-hypoxia; dalam keadaan ini bahan makanan untuk
metabolisme yang efisien tidak cukup tersedia.
d. Metabolite histotoxic-hypoxia; dalam keadaan ini hasil akhir (end product)
dari pernafasan seluler tidak dapat dieliminer, sehingga metabolisme
berikutnya tidak dapat berlangsung, misalnya pada keadaan uremia dan
keracunan gas CO2.

B. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:3
1. Penyebab Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan
seperti laryngitis difteri, tumor laring, asma bronkiale, atau menimbulkan
gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru, pneumonia, COPD.
2. Trauma mekanik, yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli, pneumotoraks bilateral, sumbatan atau halangan pada
saluran napas dan sebagainya. Emboli terbagi atas 2 macam, yaitu emboli
lemak dan emboli udara. Emboli lemak disebabkan oleh fraktur tulang
panjang. Emboli udara disebabkan oleh terbukanya vena jugularis akibat luka.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan, misalnya
barbiturate, narkotika.
C. Stadium Asfiksia
Asfiksia terbagi atas beberapa stadium, yaitu antara lain:4
1. Stadium Dispneu
Defisiensi oksigen pada sel-sel darah merah dan akumulasi karbondioksida
dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla. Hal ini akan
mengakibatkan gerak pernafasan yang cepat dan kuat, peningkatan denyut
nadi dan sianosis terutama dapat diamati pada wajah dan tangan. Pada fase
dispneu asfiksia ini berlangsung kira-kira 4 menit.
2. Stadium Konvulsi
Pertama adalah kejang klonik, setelah itu kejang tonik, terakhir terjadi spasme
opistotonik. Kesadaran mulai hilang, pupil menjadi lebar dan denyut jantung
menjadi lambat serta tekanan darah turun. Hal ini terjadi dimungkinkan karena
meningkatnya kerusakan dari nukleus-nukleus pada otak karena defisensi
oksigen. Fase konvulsi asfiksia terjadi kira-kira 2 menit.
3. Stadium Apneu
Depresi pusat pernafasan semakin dalam sehingga pernafasan menjadi
semakin lemah dan dapat berhenti. Timbullah keadaan tidak sadar dan

keluarnya cairan sperma secara tidak disadari (involunter). Dapat juga terjadi
keluarnya urine dan faeces secara tidak disadari walaupun jarang. Hal ini
terjadi karena terjadi relaksasi sfingter. Fase apneu asfiksia berlangsung kirakira 1 menit.
4. Stadium final
Pada stadium ini terjadi kelumpuhan pernafasan secara lengkap. Setelah
beberapa kontraksi otomatis dari otot-otot aksesoris pernafasan dileher,
kemudian pernafasan berhenti. Jantung mungkin masih berdenyut setelah
beberapa waktu setelah respirasi berhenti.
D. Tanda-tanda Asfiksia
Pada jenazah yang meninggal dunia akibat asfiksia akan dapat ditemukan
tanda-tanda umum sebagai berikut:1,2
1. Sianosis
Kurangnya oksigen akan menyebabkan darah menjadi lebih encer dan lebih
gelap. Warna kulit dan mukosa terlihat lebih gelap, demikian juga lebam
mayat. Perlu diketahui bahwa pada setiap proses kematian pada akhirnya akan
terjadi juga keadaan anoksia jaringan. Oleh sebab itu, keadaan sianosis dalam
berbagai tingkat dapat juga terjadi pada kematian yang tidak disebabkan
karena asfiksia. Dengan kata lain keadaan sianosis bukan merupakan tanda
yang khas pada asfiksia.
2. Kongesti vena (venous congestion)
Kongesti yang terjadi di paru-paru pada kematian karena asfiksia bukan
merupakan tanda yang khas. Kongesti yang khas yaitu kongesti sistemik yang
terjadi di kulit dan organ selain paru-paru. Sebagai akibat dari kongesti vena
ini akan terlihat adanya bintik-bintik perdarahan (petechial haemorrhages atau
sering juga disebut Tardieu Spot). Bintik-bintik perdarahan ini lebih mudah
terjadi pada jaringan longgar, seperti misalnya jaringan bawah kelopak mata.
Penekanan pada vena di leher (misalnya akibat strangulasi) akan
menyebabkan timbulnya bintik-bintik perdarahan pada mata dan muka.
Bintik-bintik perdarahan ini lebih mudah dilihat pada organ yang memiliki

membran transparan; seperti misalnya pleura, perikardium atau kelenjar timus.


Pada asfiksia yang hebat bintik-bintik perdarahan dapat terlihat pada faring
atau laring.
3. Edema
Kekurangan oksigen yang berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan
pada pembuluh darah kapiler sehingga permeabilitasnya meningkat. Keadaan
ini akan menyebabkan timbulnya edema, terutama edema paru-paru. Pada
strangulasi juga dapat terlihat adanya edema pada muka, lidah, dan faring.
Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh
untuk semua kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama, yaitu:1,2
Pada pemeriksaan luar:
Muka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan) yang
disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada HbO2.

Gambar 2.1. Ujung-ujung jari yang sianotik pada kasus asfiksia


Tardieu's spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu's spot merupakan
bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran kapiler darah setempat.

Gambar 2.2. Tardieus spot pada konjungtiva palpebrae

Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena terhambatnya
pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas/ permeabilitas kapiler. Hal ini
akibat meningkatnya kadar CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair.
Lebam mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2.

Gambar 2.3. Lebam mayat pada asfiksia


Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan adanya
fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pada pemeriksaan dalam:
1. Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat akibat kongesti / bendungan alat
tubuh dan sianotik.
2. Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.
3. Tardieu's spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika,
laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
4. Busa halus di saluran pernapasan.
5. Edema paru.
6. Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring,
fraktur tulang lidah dan resapan darah pada luka.
E. Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan
terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat
mekanik), misalnya:1,2
1.

Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:


Pembekapan (smothering)

Penyumbatan (gagging dan choking)


2.

Penekanan dinding saluran pernafasan:


Penjeratan (strangulation)
Pencekikan (manual strangulation)
Gantung (hanging)

3.

External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar.
2. Drowning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
3. Inhalation of suffocating gases.
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni
disebabkan oleh asfiksia, mraka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukkan
tenggelam ke dalam kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan sendiri.
Berikut akan dibahas beberapa kasus asfiksia mekanik.

1.

Penggantungan (Hanging/ Strangulation by suspension)


Penggantungan merupakan suatu strangulasi berupa tekanan pada leher
akibat adanya jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban. Dengan
demikian berarti alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya
aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Kasus gantung hampir sama
dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal tenaga yang dibutuhkan
untuk memperkecil lingkararan jerat. Kematian karena penggantungan pada
umumnya bunuh diri.1,2
Penggantungan dibagi menjadi:1,2
Accidental Hanging; penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi
dalam dua kelompok yaitu yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan
sewaktu melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang (auto-erotic
hanging)
Homicidial

Hanging;

pembunuhan

dengan

metode

menggantung

korbannya relatif jarang dijumpai, cara ini baru dapat dilakukan bila
korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya lemah, baik
lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah pengaruh obat bius,
alkohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara
penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku.

Gambar 2.4. Gambaran penggantungan


Mekanisme pada penggantungan yaitu saluran udara tertutup karena
pangkal lidah terdorong ke atas belakang, kearah dinding posterior pharynk.
Pallatum molle dan uvula terdorong ke atas, menekan epiglotis sehingga
menutup lubang larynk. Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban
penggantungan terjadi akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah karena asfiksia. Lidah korban penggantungan bisa terjulur,
bisa juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat
berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada
diatas kartilago tiroidea.1
Alat penggantung yang dapat digunakan pada kasus penggantungan yaitu:1
Alat penggantung dengan permukaan yang luas (misalnya sarung) dapat
menyebabkan tekanan hanya pada permukaan saja, sehingga yang terjepit
hanya vena (vena jugularis) sehingga muka bengkak dan kebiruan,
kongesti vena, mata menonjol karena bendungan.
Alat penggantung dengan permukaan yang kecil (misalnya tali jemuran)
menyebabkan tekanan besar ke dalam, selain vena, arteri juga terjepit
sehingga wajah pucat , mata tidak menonjol.
Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk
lingkaran (V shape). Alur jeratan yang simetris/ tipikal pada leher korban
penggantungan menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher
korban. Alur jeratan yang asimetris/ atipikal menunjukkan letak simpul di

samping leher. Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri
sebagai berikut:1
Alur jeratan pucat.
Tepi alur jerat coklat kemerahan.
Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
Ada 8 hal yang perlu kita lakukan pada pemeriksaan tempat kejadian,
yaitu:1,2
Memastikan korban apakah masih hidup atau telah mati.
Mencari bukti yang menunjukkan cara kematian.
Memperhatikan jenis simpul tali gantungan.
Mengukur jarak antara ujung kaki korban dengan lantai.
Memperhatikan letak korban di tempat kejadian.
Cara menurunkan korban.
Mengamankan bekas serabut tali.
Memperhatikan bahan penggantung.
Ada 3 bukti yang bisa menunjukkan kepada kita tentang cara kematian
korban, yaitu:1
Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya.
Arah serabut tali penggantung.
Distribusi lebam mayat.
Deskripsi leher korban penggantungan yang penting kita berikan antara
lain:1
Lokasi luka
Lokasi luka pada leher korban penggantungan dapat berada di depan,
samping dan belakang leher. Luka yang berada di depan leher kita ukur
dari dagu atau manubrium sterni korban. Luka yang berada di samping
leher kita ukur dari garis batas rambut korban. Luka yang berada di
belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban.

Jenis luka
Jenis luka korban penggantungan terdiri atas luka lecet, luka tekan dan
luka memar. Penting juga kita mendeskripsikan mengenai warna, lebar,
perabaan dan keadaan sekitar luka. Anggota gerak korban penggantungan
dapat kita temukan adanya lebam mayat pada ujung bawah lengan dan
tungkai.
Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher).
Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati).
Penting juga kita ketahui ada tidaknya luka lecet pada anggota gerak
tersebut. Dubur korban penggantungan (hanging) dapat mengeluarkan feses.
Alat kelamin korban dapat mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid).
Pengeluaran urin pada korban penggantungan disebabkan kontraksi otot polos
pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia. Lebam mayat dapat kita temukan
pada genitalia eksterna korban.1
Penyebab kematian paling sering dari penggantungan adalah obstruksi
aliran darah servikal. Berat kepala manusia itu sendiri sekitar 4,5 kg, berat ini
sendiri mengalokasi dari tekanan konstriksi itu sendiri. Hal penting lainnya
dari penyebab kematian mungkin dari stimulasi nervus vagus dan lebih khusus
lagi, bertanggung jawab pada refleks dari nervus karotis. Tekanan pada nervus
vagus telah digunakan untuk tujuan terapeutik pada akhir abad ini. Pada kasus
disritmia kardi, refleks henti jantung atau takikardi bisa di stimulasi oleh
tekanan jari atau pemijatan pada sinus karotid dari satu atau dua sisi secara
umum, kontraksi jantung mulai lagi tapi pada beberapa kasus yang komplit,
hasilnya henti jantung tetap terjadi.1
Hubungan antara nervus laringeal superior dan nervus vagus dapat
menimbulkan stimulasi yang intens pada awalnya, kemudian menjadi
stimulasi yang simultan pada akhirnya, hasilnya menyebabkan perlambatan
yang fatal pada refleks jantung. Hal ini juga bertahan khususnya pada kasuskasus trauma laringeal. Fraktur pada tulang rusuk dan pada dasar tengkorak

biasanya jarang terobservasi pada kasus kematian dengan menggantung diri


dan jikapun ada, umumnya hanya kasus jatuh dari ketinggian tertentu sebagai
penggantungan yudisial.1
2.

Penjeratan (Strangulation by ligature)


Jerat adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat
suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat badan
korban.1,2
Mekanisme jeratan yaitu tertutupnya jalan nafas akibat larynk yang
tertekan ke belakang ke arah dinding pharynk sehingga lumen tertutup oleh
karena mendapat tekanan dari samping dan dari depan. Tekanan dari depan
akan menutup jalan nafas, sedangkan dari samping akan menutup pembuluh
darah di samping leher, biasanya hanya vena yang tertutup. Karena tekanan
tidak sekeras penggantungan sehingga muka tidak sianotik. Tekanan pada
vena jugularis dan tekanan tidak komplit pada arteri carotis menyebabkan
perdarah kecil-kecil pada wajah, konjungtiva, scalp, dan fascia m.temporalis.
kemungkinan dapat terjadi pula vagal refleks.1,2
Alat yang biasanya dipakai dapat berupa sapu tangan, handuk, tali, kaos
kaki, dasi, stagen, selendang, ikat pinggang, kabel listrik dan lain-lain.1
Ciri-ciri dari suatu kasus penjeratan antara lain:1
Kekuatan jerat pada ujung tali jerat, sedangkan pada gantungan kekuatan

karena berat badan


Jejas penjeratan bersifat horisontal bersilangan di atas dan di bawah
Adanya tanda asfiksia
Kausa mati menyerupai gantung diri
Pemeriksaan lokal menyerupai gantung diri hanya bedanya pada
penjeratan, jejeas bersifat horizontal
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian

infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat,


dan hukuman mati (zaman dahulu).1
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat juga kita temukan pada bayi yang
terjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal
reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.1

Bunuh diri pada kasus jeratan dilakukan dengan cara melilitkan tali secara
berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan
dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.1
Pemeriksaan tempat kejadian pada kasus jeratan kita lakukan secara rutin
sebagaimana pada kasus yang lain. Kita hendaknya memperhatikan jeratan
pada leher korban dan cara melepaskan jeratan dari leher korban. Ada 5 hal
yang penting kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain:1
Arah jerat mendatar/ horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
Jenis simpul penjerat.
Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang
digunakan untuk menjerat.
Pemeriksaan autopsi pada kasus jeratan mirip kasus penggantungan
kecuali pada:1
Distribusi lebam mayat yang berbeda.
Alur jeratan mendatar/ horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah.

3.

Pencekikan (Manual Strangulation/ Throttling)


Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan
pada leher korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan
bawah.1
Mekanisme pencekikan yaitu tertutupnya jalan nafas dengan satu atau dua
tangan menekan leher sehingga menekan sisi-sisi larynx dan menutup glotis.
Bila tangan ditekan pada bagian depan larynx akan menutup lumen dengan
menyempitkan diameter anteropostrior. Bisa juga pangkal lidah terdorong ke
belakang atas (seperti pada hanging) dan glotis tertutup. Pada pemeriksaan

rekonstruksi sukar dilakukan karena tekanan pada leher sebentar dan juga
karena elastisitas jaringan leher.1
Ada 3 cara melakukan pencekikan, yaitu:1
Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang
korban.
Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang
korban. Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke
arah pelaku maka ini disebut mugging.
Ada 3 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan luar dari autopsi
kasus pencekikan, antara lain:1
Tanda asfiksia.
Tanda kekerasan pada leher (penting).
Tanda kekerasan pada tempat lain.
Ada 2 tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu:1
Bekas kuku.
Bantalan jari.
Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka lecet
yang berbentuk semilunar/ bulan sabit. Kadang-kadang kita dapat menemukan
sidik jari pelaku. Perhatikan pula tangan yang digunakan pelaku, apakah
tangan kanan (right handed) ataukah tangan kiri (left handed). Arah
pencekikan dan jumlah bekas kuku (susunan bekas kuku) juga tak luput dari
perhatian kita. Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir,
lidah, hidung, dan lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa
korban melakukan perlawanan.1,2

Gambar 2.5. Bekas kuku pada kasus pencekikan


Ada 4 hal yang penting kita cari pada pemeriksaan dalam autopsi bagian
leher korban pada kasus pencekikan, yaitu:1
Perdarahan atau resapan darah.
Fraktur.
Memar atau robekan membran hipotiroidea.
Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid,
kelenjar ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring. Fraktur
yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.

4.

Asfiksia Traumatik
Asfiksia traumatik (external pressure of the chest) adalah terhalangnya
udara untuk masuk dan keluar dari paru-paru akibat terhentinya gerak napas
yang disebabkan adanya suatu tekanan dari luar pada dada korban, yaitu:1

penekanan rongga dada, rongga perut, diafragma


penekanan dari luar
misalnya desak-desakan O2 kurang asfiksia
Ada 3 macam kecelakaan yang dapat menimbulkan kematian pada korban
kasus asfiksia traumatik, yaitu:1
Terjepit antara lantai dengan elevator, antara 2 kendaraan, atau antara
dinding dengan kendaraan yang mundur.
Tertimbun runtuhan benda atau bangunan, pasir, atau batubara.
Berdesakan di pintu sempit akibat panik.
Ada 2 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi korban
kasus asfiksia traumatik, yaitu:1
Mencari tanda kekerasan di dada.
Menemukan tanda asfiksia.

5.

Suffocation
Obstruksi jalan nafas sehingga menghalangi masuknya udara kedalam
paru-paru yang mengakibatkan terjadinya asfiksia. Terbagi atas pembekapan
(smothering), chocking, dan gagging.
Pembekapan (smothering)
Pembekapan adalah suatu suffocation dimana lubang luar jalan napas yaitu
hidung dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau partikelpartikel kecil.1,2
Ada 3 cara kematian pada kasus pembekapan, yaitu:1
o Kecelakaan (paling sering)
o Pembunuhan
o Bunuh diri
Ada 3 cara kecelakaan pada kematian kasus pembekapan, yaitu:1
o Tertimbun tanah longsor atau salju.
o Alkoholisme.

o Bayi tertutup selimut atau payudara ibu.


Ada 3 cara pembunuhan pada kasus pembekapan, yaitu: 1
o Hidung dan mulut diplester.
o Bantal ditekan ke wajah.
o Serbet atau dasi dimasukkan ke dalam mulut.
Ada 3 cara bunuh diri pada kasus pembekapan, yaitu: 1
o Menggunakan plester atau kantong plastik.
o Bantal yang diikatkan ke kepala.
o Menggunakan dasi atau serbet.
Ada 3 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi kasus
pembekapan, yaitu: 1
o Mencari penyebab kematian.
o Menemukan tanda-tanda asfiksia.
o Menemukan edema paru, hiperaerasi dan sianosis pada kematian yang
lambat.
Ada 3 hal penting yang kita cari untuk menemukan penyebab kematian
pada kasus pembekapan, yaitu: 1
o Jika kita menemukan bantal, cari apakah ada tanda-tanda kekerasan.
o Cari ada tidaknya trauma tumpul di sekitar hidung dan mulut.
o Mencari ada tidaknya kain, handuk, dasi, serbet, atau pasir dalam
rongga mulut.
Burking merupakan kombinasi antara pembekapan (smothering) dengan
external pressure on the chest/ traumatic asphyxia. Pelaku melakukan
burking dengan cara terlebih dahulu melumpuhkan korban lalu
menelentangkan korban dan pelaku duduk di atas dada korban (traumatic
asphyxia). Satu tangan pelaku menutup hidung atau mulut korban
(smothering) sedangkan tangan yang lain menekan rahang ke atas.1
Tersedak (chocking)

Tersedak adalah suatu suffocation dimana ada benda padat yang masuk
dan menyumbat lumen jalan udara, yang memiliki ciri yaitu:1
o Oleh karena benda asing
o tanda asfiksia jelas
o awalnya batuk keras asfiksia mati

Ada 2 cara kematian pada kasus tersedak, yaitu: 1


o Kecelakaan (paling sering)
o Pembunuhan (kasus infanticide)
Ada 3 macam kecelakaan yang dapat menimbulkan kematian pada kasus
tersedak, yaitu: 1
o Gangguan refleks batuk pada alkoholisme.
o Pada bayi atau anak kecil yang gemar memasukkan benda asing ke
dalam mulutnya.
o Tonsilektomi, aspirasi, dan kain kasa yang tertinggal pada anestesi eter.

Gambar 2.6. Gambaran tersedak (chocking)

Ada 4 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan autopsi kasus
tersedak, yaitu:1

o Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadangkadang ada tanda kekerasan di mulut korban.
o Menemukan tanda asfiksia.
o Mencari tanda-tanda edema paru, hiperaerasi dan atelektasis pada
kematian lambat.
o Tersedak dapat terjadi sebagai komplikasi dari bronkopneumonia dan
abses.
Gagging
Pada perampokan ada kalanya korban setelah diikat agar tidak mudah
berteriak mulut disumbat dengan kain yang diikat dari mulut ke belakang
kepala (gagging). Dalam hal ini palatum molle tertekan pada pharynk.1
6.

Tenggelam (Drowning)
Tenggelam adalah suatu suffocation dimana jalan napas terhalang oleh air/
cairan sehingga terhisap masuk ke jalan napas sampai alveoli paru-paru.
Tenggelam merupakan kematian karena asfiksia akibat masuknya air atau
cairan lainnya. Beberapa kematian karena tenggelam kadang tidak hanya
disebabkan oleh asfiksia tetapi juga karena hipotermia. Paparan seseorang
terhadap suhu air dibawah 20oC (68oF) akan menghasilkan kematian dari
hipotermia setelah terpapar beberapa jam. Paparan terhadap suhu air yang
mendekati 0oC (32oF) akan menghasilkan kematian dalam beberapa menit.1,5
Ada 2 jenis mati tenggelam berdasarkan posisi mayat, yaitu:1

Submerse drowning; mati tenggelam dengan posisi sebagian tubuh mayat


masuk ke dalam air, seperti bagian kepala mayat.

Immerse drowning; mati tenggelam dengan posisi seluruh tubuh mayat


masuk ke dalam air.
Ada 2 jenis mati tenggelam berdasarkan penyebabnya, yaitu:1,2
Dry drowning; mati tenggelam dengan inhalasi sedikit air. Ada 2 penyebab
kematian pada kasus dry drowning, yaitu spasme laring (menimbulkan
asfiksia) dan vagal reflex/ cardiac arrest/ kolaps sirkulasi.
Wet drowning; mati tenggelam dengan inhalasi banyak air. Ada 3
penyebab kematian pada kasus wet drowning, yaitu asfiksia, fibrilasi

ventrikel pada kasus tenggelam dalam air tawar dan edema paru pada
kasus tenggelam dalam air asin (laut).
Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia,
mekanisme kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam adalah karena
inhibisi vagal, dan spasme larynx. Adanya mekanisme kematian yang berbedabeda pada tenggelam, akan memberi warna pada pemeriksaan mayat dan
pemeriksaan laboratorium, dengan kata lain kelainan yang didapatkan pada
kasus tenggelam tergantung dari mekanisme kematiannya.1,2
Terendam dalam medium cair mengakibatkan kematian dengan berbagai
mekanisme. Kebanyakan kematian individual terjadi akibat dari terhirupnya
cairan (wet drowning), menghasilkan gangguan pernapasan dan selanjutnya
hipoksia serebri. Sebagian, diperkirakan sekitar 15-20%, tidak menghirup
cairan (dry drowning). Kemungkinan lain, kematian dapat tertunda setelah
episode near drowning. Kematian biasanya terjadi akibat ensefalopati hipoksia
atau perubahan-perubahan sekunder dalam paru-paru. Pada beberapa kasus,
khususnya dimana keadaan terapung dipertahankan secara buatan, kematian
terjadi akibat hipotermia.1,2
Sekitar 15-20% kematian akibat tenggelam merupakan dry drowning
dimana tidak terdapat inhalasi cairan yang banyak. Salah satu usulan adalah
bahwa masuknya air secara tiba-tiba kedalam mulut dan tenggorok
menghasilkan laringospasme yang hebat dengan akibat asfiksia. Kemungkinan
lain, provokasi serupa dapat merangsang jalur saraf sensoris simpatis ke
derajat tertentu dimana terdapat inhibisi reflex vagal pada jantung dan
asystolic cardiac arrest. Cara kematian lain menyebutkan dimana terdapat
suatu sistem yang menghubungkan spasme arteri koronaria dengan
pendinginan tiba-tiba pada kulit.1,2
Seorang perenang yang mahir sekalipun dapat menjadi lemah secara
bertahap sebagai hasil dari hipotermia dan tenggelam. Tubuh yang terendam
menghangatkan cairan yang bersentuhan dengannya, dan dengan segera yang

berdekatan dengan permukaan tubuh. Air menyerap panas sekitar 25 kali lebih
cepat daripada udara. Terdapat tiga fase klinis dari hipotermia yang dimulai
dengan fase eksitatorik dimana menggigil berhubungan dengan kebingungan
mental, fase adinamik dimana terdapat kekakuan otot dan sedikit penurunan
kesadaran, dan fase paralitik yang dicirikan oleh keadaan tidak sadar yang
menuntun kepada aritmia jantung dan kematian. Fase-fase ini memiliki
hubungan penting terhadap resusitasi pada korban near drowning, sebagian
besar karena fase paralitik dapat menirukan keadaan mati.1
Mekanisme tenggelam ada 3 macam, yaitu:1,5
Beberapa korban sesaat bersentuhan dengan air yang dingin terutama leher
atau jatuh secara horizontal ia mengalami vagal refleks.
Korban saat menghirup air, air masuk ke laring menyebabkan laringeal
spasme. Mekanisme kematian karena asfiksia. Pada korban ditemukan
tanda-tanda asfiksia tetapi tanda-tanda tenggelam pada organ dalam tidak
ada karena air tidak masuk.
Korban saat masuk ke dalam air ia akan berusaha untuk mencapai
permukaan sehingga menjadi panik dan terhirup air, batuk dan berusaha
untuk ekspirasi. Karena kebutuhan oksigen maka ia akan lebih banyak
menghirup air. Lama-lama korban akan sianotik dan tidak sadar. Selama
tidak sadar, korban akan terus bernafas dan akhirnya paru tidak dapat
berfungsi sehingga pernafasan berhenti. Proses ini berlangsung 3-5 menit,
kadang-kadang 10 menit.
Pada orang tenggelam, tubuh korban dapat beberapa kali berubah posisi,
umumnya korban akan tiga kali tenggelam, ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:1,2
Pada waktu pertama kali orang terjun ke air oleh karena gravitasi ia akan
terbenam untuk pertama kalinya.
Oleh karena berat jenis tubuh lebih kecil dari berat jenis air, korban akan
timbul, dan berusaha untuk bernafas mengambil udara, akan tetapi oleh

karena tidak bisa berenang, air akan masuk tertelan dan terinhalasi,
sehingga berat jenis badan sekarang menjadi lebih besar dari berat jenis
air, dengan demikian ia akan tenggelam untuk kedua kalinya.
Sewaktu berada pada dasar sungai, laut atau danau, proses pembusukan
akan berlangsung dan terbentuk gas pembusukan.
Waktu yang dibutuhkan agar pembentukan gas pembusukan dapat
mengapungkan tubuh korban adalah sekitar 7-14 hari.
Pada waktu tubuh mengapung oleh karena terbentuknya gas pembusukan,
tubuh dapat pecah terkena benda-benda disekitarnya, digigit binatang atau
oleh karena pembusukan itu sendiri, dengan demikian gas pembusukan
akan keluar, tubuh korban terbenam untuk ketiga kalinya dan yang terakhir
Penyebab mati tenggelam yang termasuk undeterminated yaitu sulit kita
ketahui cara kematian korban karena mayatnya sudah membusuk dalam air.
Ada 2 tanda penting yang perlu kita ketahui dari kejadian pembunuhan pada
kasus mati tenggelam, yaitu:1
Biasanya tangan korban diikat yang tidak mungkin dilakukan oleh korban.
Kadang-kadang dapat kita temukan tanda-tanda kekerasan sebelum korban
ditenggelamkan.
Ada 4 tanda penting yang perlu kita ketahui dari kejadian bunuh diri pada
kasus mati tenggelam, yaitu:1
Biasanya korban meninggalkan perlengkapannya.
Kita dapat temukan suicide note.
Kedua tangan/ kaki korban diikat yang mungkin dilakukan sendiri oleh
korban.
Kadang-kadang tubuh korban diikatkan bahan pemberat.
Tabel 2.1 Perbedaan tenggelam pada air tawar dengan air asin
Perbedaan Tempat
Air laut

Air Tawar

Paru paru besar dan berat

Paru-paru besar dan ringan

Basah
Bentuk besar kadang overlapping
Ungu biru dan permukaan licin
Krepitasi tidak ada
Busa sedikit dan banyak cairan
Dikeluarkan dari torak akan mendatar dan

Relatif ringan
Bentuk biasa
Merah pucat dan emfisematous
Krepitasi ada
Busa banyak
Dikeluarkan dari toraks tapi kempes

ditekan akan menjadi cekung


Mati dalam 5-10 menit, 20 ml/kgBB
Darah:

Mati dalam 5 menit, 40 ml.kgBB


Darah:

1. BJ 1,0595 -1,0600

1. BJ 1,055

2. Hipertonik

2. hipotonik

3. hemokonsentrasi dan edema paru

3. hemodilusi/hemolisis

4. hipokalemia

4. hiperkalemia

5. hipernatremia

5. hiponatremia

6. hiperklorida
6. hipoklorida
Resusitasi lebih mudah
Resusitasi aktif
Tranfusi dengan plasma
Tranfusi dengan PRC
Ada 7 tanda intravitalitas mati tenggelam, yaitu:1
Cadaveric spasme.
Perdarahan pada liang telinga tengah mayat.
Benda air (rumput, lumpur, dan sebagainya) dapat kita temukan dalam
saluran pencernaan dan saluran pernapasan mayat.
Ada bercak Paltauf di permukaan paru-paru mayat.
Berat jenis darah pada jantung kanan berbeda dengan jantung kiri.
Ada diatome pada paru-paru atau sumsum tulang mayat.
Tanda asfiksia tidak jelas, mungkin ada Tardieu's spot di pleura mayat.
Pada kasus mati tenggelam (drowning), dapat kita temukan tanda-tanda
adanya kekerasan berupa luka lecet pada belakang kepala, siku, lutut, jari-jari
tangan, atau ujung kaki mayat.1
Ada 4 macam pemeriksaan khusus pada kasus mati tenggelam, yaitu:1,2
Percobaan getah paru (lonset proef).
Pemeriksaan diatome (destruction test).

Penentuan berat jenis (BD) plasma.


Pemeriksaan kimia darah (gettler test).
Adanya cadaveric spasme dan tes getah paru (lonset proef) positif
menunjukkan bahwa korban masih hidup saat berada dalam air.1
Kegunaan melakukan percobaan paru yaitu mencari benda asing (pasir,
lumpur, tumbuhan, telur cacing) dalam getah paru-paru mayat. Syarat
melakukannya adalah paru-paru mayat harus segar/ belum membusuk.1
Cara melakukan percobaan getah paru yaitu permukaan paru-paru dikerok
(2-3 kali) dengan menggunakan pisau bersih lalu dicuci dan iris permukaan
paru-paru. Kemudian teteskan diatas objek gelas. Syarat sediaan harus sedikit
mengandung eritrosit. Evaluasi sediaan yaitu pasir berbentuk kristal, persegi
dan lebih besar dari eritrosit. Lumpur amorph lebih besar daripada pasir,
tanaman air dan telur cacing. Ada 3 kemungkinan dari hasil percobaan getah
paru, yaitu:1
Hasilnya positif dan tidak ada sebab kematian lain.
Hasilnya positif dan ada sebab kematian lain.
Hasilnya negatif.
Jika hasilnya positif dan tidak ada sebab kematian lain maka dapat kita
interpretasikan bahwa korban mati karena tenggelam. Jika hasilnya positif dan
ada sebab kematian lain maka ada 2 kemungkinan penyebab kematian korban,
yaitu korban mati karena tenggelam atau korban mati karena sebab lain. Jika
hasilnya negatif maka ada 3 kemungkinan penyebab kematian korban, yaitu:1
Korban mati dahulu sebelum tenggelam.
Korban tenggelam dalam air jernih.
Korban mati karena vagal reflex / spasme larynx.
Jika hasilnya negatif dan tidak ada sebab kematian lain maka dapat kita
simpulkan bahwa tidak ada hal hal yang menyangkal bahwa korban mati

karena tenggelam. Jika hasilnya negatif dan ada sebab kematian lain maka
kemungkinan korban telah mati sebelum korban dimasukkan ke dalam air.1
Kegunaan melakukan pemeriksaan diatome adalah mencari ada tidaknya
diatome dalam paru-paru mayat. Diatome merupakan ganggang bersel satu
dengan dinding dari silikat. Syaratnya paru-paru harus masih dalam keadaan
segar, yang diperiksa bagian kanan perifer paru-paru, dan jenis diatome harus
sama dengan diatome di perairan tersebut.1,2
Cara melakukan pemeriksaan diatome yaitu ambil jaringan paru-paru
bagian perifer (100 gr) lalu masukkan ke dalam gelas ukur dan tambahkan
H2SO4. Biarkan selama 12 jam kemudian panaskan sampai hancur membubur
& berwarna hitam. Teteskan HNO3 sampai warna putih lalu sentrifus hingga
terdapat endapan hitam. Endapan kemudian diambil menggunakan pipet lalu
teteskan diatas objek gelas. Interpretasi pemeriksaan diatome yaitu bentuk
atau besarnya bervariasi dengan dinding sel bersel 2 dan ada struktur bergaris
di tengah sel.1
Positif palsu pada pencari pasir dan pada orang dengan batuk kronis.
Untuk hepar atau lien, tidak akurat karena dapat positif palsu akibat
hematogen dari penyerapan abnnormal gastrointestinal.1
Penentuan Berat Jenis (BD) Plasma Penentuan berat jenis (BD) plasma
bertujuan untuk mengetahui adanya hemodilusi pada air tawar atau adanya
hemokonsentrasi pada air laut dengan menggunakan CuSO4. Normal 1,059
(1,0595-1,0600); air tawar 1,055; air laut 1,065. Interpretasinya ditemukan
darah pada larutan CuSO4 yang telah diketahui berat jenisnya.1
Pemeriksaan kimia darah (gettler test) bertujuan untuk memeriksa kadar
NaCl dan Kalium. Interpretasinya adalah korban yang mati tenggelam dalam
air tawar, mengandung Cl lebih rendah pada jantung kiri daripada jantung
kanan. Kadar Na menurun dan kadar K meningkat dalam plasma. Korban
yang mati tenggelam dalam air laut, mengandung Cl lebih tinggi pada jantung

kiri daripada jantung kanan. Kadar Na meningkat dan kadar K sedikit


meningkat dalam plasma.1
Pada pemeriksaan histopatologi dapat kita temukan adanya bintik
perdarahan di sekitar bronkioli yang disebut Partoff spot.1

7. Inhalation of Suffocating Gasses


Inhalation of suffocating gasses adalah suatu keadaan dimana korban
menghisap gas tertentu dalam jumlah berlebihan sehingga kebutuhan O 2 tidak
terpenuhi. Ciri-cirinya yaitu:1
kekurangan O2 di suatu tempat/ daerah sekitarnya (daerah tambang)
tanda asfiksia
tanda intoksikasi CO2
tanda trauma seperti kejatuhan batu
Ada 3 cara kematian pada korban kasus inhalation of suffocating gasses,
yaitu menghisap gas CO, CO2, H2S. Gas CO banyak pada kebakaran hebat.
Gas CO2 banyak pada sumur tua dan gudang bawah tanah. Gas H 2S pada
tempat penyamakan kulit.1

BAB III
PENUTUP
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Asfiksia merupakan istilah yang
sering digunakan untuk menyatakan berhentinya respirasi yang efektif (cessation
of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis (absence of pulsation).
Asfiksia merupakan mekanisme kematian terbanyak yang ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya
obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah
yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh
dan nyawa manusia. Jenis asfiksia mekanik antara lain yaitu:
a.

Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:


Pembekapan (smothering)
Penyumbatan (gagging dan choking)

b.

Penekanan dinding saluran pernafasan:


Penjeratan (strangulation)
Pencekikan (manual strangulation)
Gantung (hanging)

c.

External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari


luar.

d.
e.

Drawning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.


Inhalation of suffocating gases.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hasymi MA, Ayunazhari I, Dina NF, Sari DO, Suminarti. Pocket Book of
Medical Forensic: Minds Forensic First Edition. Banjarmasin: Laboratorium
Forensik RSUD Ulin Banjarmasin, 2012.
2. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Barat: Binarupa
Aksara, 1997.
3. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman bagi Dokter dan Penegak
Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008.
4. Apuranto H, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Edisi Ketiga. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FK Universitas Airlangga, 2007.
5. James SH, Nordby JJ. Forensic Science: An Introduction to Scientific and
Investigative Techniques Second Edition. United States: CRC Press, 2005.

Anda mungkin juga menyukai