Anda di halaman 1dari 30

JURNAL

INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN HAK ASASI


MANUSIA KORPORASI MULTINASIONAL

Oleh:
ANDI AKHIRAH KHAIRUNNISA
NIM. 031111108

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015
1

INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN


HAK ASASI MANUSIA KORPORASI MULTINASIONAL

JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

DOSEN PEMBIMBING

PENYUSUN

IMAN PRIHANDONO,SH.,LL.M.,Ph.D.
NIP. 197602042005011003

ANDI AKHIRAH KHAIRUNNISA


NIM. 031111108

INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN HAK ASASI


MANUSIA KORPORASI MULTINASIONAL

Andi Akhirah Khairunnisa


Mahasiswa bidang minat Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Abstrak
Pertanggungjawaban HAM oleh korporasi multinasional terdapat beberapa hambatan. Secara
umum hambatan ini diakibatkan oleh dua hal yaitu status korporasi multinasional dan
instrumen HAM yang tidak mengikat korporasi multinasional secara langsung. Pertama,
berkaitan dengan status yang dimiliki oleh korporasi tersebut. Mengingat statusnya dalam hal
ini international legal personality masih menjadi perdebatan di dunia internasional. Kedua,
terkait dengan belum adanya instrumen yang mengikat korporasi multinasional di level
internasional dimana mengakibatkan pelanggaran HAM oleh korporasi multinasional seringkali
tidak terselesaikan dengan baik. Tulisan ini membahas dua isu yaitu : (1) Instrumen hukum
pertanggungjawaban HAM oleh korporasi multinasional di level internasional. (2) Mekanisme
pertanggungjawaban dan pemulihan terhadap pelanggaran HAM oleh korporasi multinasional.
Kata kunci: Hak Asasi Manusia; Korporasi Multinasional; Instrumen Internasional
Abstract
There are several obstacles concerning the human right responsibility of Multinational
Corporation. In general, these obstacles are caused by two things which are the status of the
Multinational Corporation and the human rights instruments which are not binding to the
Multinational Corporation directly. First, with regard to the status of the corporation since the
international legal personality of the corporations is still debatable. Second, with regard to the
absences of the legally binding instruments for the violation of human rights in international
level. This paper addresses two issues: (1) International instrument of the human rights violation
3

by the Multinational Corporation. (2) The responsibility and remedy mechanism of the human
rights violation by the Multinational Corporation.
Key word: Human right; Multinational Corporation; International Instrument.

Pendahuluan
Pada perkembangannya, dalam dunia internasional banyak terjadi kasus dimana
perusahaan melakukan pelanggaran HAM. Tindakan-tindakan perusahaan tersebut dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip-prinsip HAM sebagaimana yang tercantum dalam
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1, International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (ICESCR)

maupun International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR)3 serta beberapa prinsip Hak Asasi Manusia lainnya. Mengingat korporasi multinasional
sendiri belum memiliki legal personality dihadapan hukum internasional, hal tersebut
menyebabkan belum adanya instrumen internasional yang mengikat korporasi multinasional
secara langsung dalam hal pelanggaran HAM yang dilakukan. Tulisan ini mengulas dan
menjawab permasalahan mengenai bagaimana instrumen-instrumen hukum di level internasional
mengatur pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi multinasional dan bagaimanakah
mekanisme pertanggungjawaban serta pemulihan yang ada dalam instrumen-instrumen tersebut.
Tulisan ini membahas dan menjawab permasalahan mengenai keefetifitasan dan
implementasi instrumen HAM yang ada dalam pelanggaran HAM oleh korporasi multinasional
dan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban serta pemulihan apabila terjadi pelanggaran
HAM oleh korporasi multinasional.
UPAYA PERTANGGUNGJAWABAN HAM KORPORASI MULTINASIONAL
Korporasi multinasional merupakan entitas yang memiliki kekuatan unik dalam dunia
internasional, meskipun demikian korporasi multinasional tetaplah tidak menjadi bagian dari
1

Universal Declaration of Human Rights 1948 (selanjutnya disebut UDHR).


International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya disebut ICESCR)
diratifkasi oleh Indonesia pada tahun 2005.
3
International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (selanjtunya disebut ICCPR) diratifikasi oleh
Indonesia pada tahun 2005.
2

subjek hukum internasional. Korporasi multinasional tidak termasuk dalam subyek hukum
internasional tapi dalam hal pembuatan kebijakan oleh sebuah negara, korporasi multinasional
memiliki peran yang sangat penting.4 Bahkan dalam beberapa aspek, korporasi multinasional
memiliki peranan dan pengaruh yang melebihi negara.5
Semakin meningkatnya peran korporasi multinasional dalam ranah publik mengakibatkan
pihak publik dalam hal ini pemegang saham, karyawan, konsumen, dan penduduk lokal
mendapat dampak lingkungan maupun sosial terhadap aktifitas yang dilakukan oleh korporasi
multinasional tersebut. Dampak-dampak tersebut berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya maupun hak-hak sipil dan politik. Negara merupakan elemen utama dalam hal
pertanggung jawaban HAM, namun dewasa ini pelaku pelanggaran HAM tidak hanya negara
tapi juga pihak lain yaitu dalam hal ini korporasi multinasional. Meskipun demikian, korporasi
multinasional tidak dapat disamakan dengan negara dalam hal pertanggungjawaban HAM.
Korporasi mempunyai dampak pada HAM dengan tiga cara yaitu kegiatan sendiri,
kontribusi langsung dan kontribusi tidak langsung,6 kegiatan sendiri yaitu dimana kegiatan
perusahaan menyebabkan pelanggaran HAM misalnya tidak adanya upah layak yang diberikan,
kontribusi langsung diartikan sebagai yang secara aktif mendorong rekan bisnis untuk melanggar
HAM.7 Sedangkan kontribusi tidak langsung adalah mengacu pada kontribusi dimana
perusahaan memasuki atau menjalin hubungan dengan rekan bisnis yang melanggar HAM
meskipun tindakan yang dilakukan tidak berpengaruh pada dampak yang lebih buruk.8 Untuk
kegiatan perusahaan sendiri, hal tersebut jelas bahwa pemulihan adalah tanggung jawab
perusahaan secara langsung, sedangkan kedua hal yaitu adanya kontribusi menjadi penting untuk
dibedakan mengingat penanganan atau pemulihan yang harus dilakukan, apabila kontribusi
langsung maka perusahaan yang bersangkutan bertanggungjawab untuk memulihkan kondisi,
sedangkan kontribusi tidak langsung, pelanggaran HAM bisa dihentikan melalui perubahan
perilaku rekan bisnis tersebut.
4

Addo, Michael K., (ed.) Human Rights Standards and the Responsibility of Transnational Corporations.
Kluwer Law International, 1999 h.4.
5
Cf. Henry J. Steiner, Organizational Irrationality and Corporate Human Rights Violations, Harvard
Law Review, 2009, h. 1931.
6
Global Compact Network Indonesia, Bagaimana Menjalankan Bisnis dengan Menghormati Hak Asasi
Manusia: Sebuah alat panduan bagi perusahaan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2014, h.27.
7
Ibid.
8
Ibid.

Pentingnya pengaturan terkait pertanggungjawaban HAM oleh korporasi multinasional


yang pertama adalah karena dampak dari pelanggaran HAM itu sendiri akan sama saja baik
pelakunya oleh negara maupun korporasi multinasional, yang kedua adalah dengan adanya
pengaplikasian hukum HAM yang tidak meluas, mengurangi keefektifitasan HAM itu sendiri
terhadap pengaplikasiaannya di waktu mendatang.9
Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa adanya pengaturan yang jelas terkait
pertanggungjawaban secara internasional apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum
internasional yang mana pelakunya adalah individu ataupun negara. Lain halnya dengan
korporasi multinasional yang sebenarnya juga memiliki potensi yang besar untuk melakukan
pelanggaran terhadap hukum internasional tetapi tidak adanya regulasi yang jelas untuk
membuatnya bertanggung jawab.
Dengan tidak digolongkannya korporasi multinasional kedalam subyek hukum
internasional, hal tersebut menyebabkan apabila terjadi pelanggaran HAM oleh korporasi
multinasional maka hukum nasional yang berlaku. Misalnya di Indonesia, pengaturan tentang
perlindungan dan penghormatan terhadap HAM diatur dalam beberapa hukum positif antara lain
Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
selain itu diatur juga tentang masalah pengadilan HAM untuk mengadili kasus pelanggaran
HAM dan pelanggaran HAM berat. Dari semua peraturan perundang-undangan tersebut,
menyatakan bahwa negara yang wajib bertanggung jawab dalam hal terjadi pelanggaran HAM
sebagaimana disebutkan dalam peraturang perundang-undangan tersebut, sementara untuk
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan akan dikenai pertanggungjawaban pidana
biasa sebagaimana diatur dalam undang-undang terkait misalnya Undang-undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 apabila pelanggarannya berkaitan
dengan perusakan lingkungan. Misalnya juga apabila perusahaan melakukan pelanggaran terkait
hak pekerjanya maka akan dikenai ketentuan pidana sesuai dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan contoh diatas terkait tidak adanya instrumen internasional yang mengikat
perusahaan

untuk

bertanggungjawab

dalam

pelanggaran

HAM

secara

internasional

mengakibatkan hukum nasional yang berlaku. Hal tersebut pada faktanya tidak berlaku efektif
9

Addo, Op.Cit.h. 239.

untuk memberi efek jera terhadap perusahaan agar tidak melakukan pelanggaran HAM.
Mengingat penegakan hukum disuatu negara pun seringkali masih mudah untuk dipengaruhi
oleh kepentingan lainnya, khususnya dalam hal ini perusahaan sebagai pihak pemilik modal yang
memiliki peran besar dalam perkembangan ekonomi suatu negara.

Upaya Pengaturan Bisnis dan HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


PBB dalam hal ini sebagai organisasi internasional terbesar di dunia telah melakukan
beberapa upaya terkait pertanggungjawaban HAM oleh korporasi multinasinal. Pada bulan
Agustus 2003, PBB melalui UN Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human
Rights (Sub-Commission) mengakui sebuah norma dalam hal bisnis dan HAM yaitu The Norms
on the Responsibilities of Transnational Corporations and other Business Enterprises with
regard to Human Rights (UN norms). UN norms menggambarkan sebuah bentuk dokumen
komperhensif terbaru dan laporan singkat dokumen global yang berisikan kewajiban dan
tanggung jawab korporasi terkait HAM.10 Dalam proses pembuatannya, seorang ahli berpendapat
bahwa dewasa ini pelanggaran HAM oleh korporasi terjadi diberbagai situasi bisnis maka dari
itu diperlukannya sebuah regulasi dalam level supranasional.11
UN Norms ini tidak mengatur kewajiban baru terhadap pelaku bisnis, melainkan hanya
menegaskan dan menguatkan kewajiban-kewajiban yang telah ada dalam deklarasi-deklarasi
terkait pertanggungjawaban HAM oleh pelaku bisnis misalnya OECD-Guidelines on
Multinational Enterprises dan the UN Global Compact Initiative.12 Meskipun dokumen ini bukan
merupakan sebuah perjanjian internasional, tetapi norma-norma yang ada di dalamnya
menjadikannya memiliki karakter authoritative recommendation13 maksudnya norma tersebut
merupakan sumber kuat yang direkomendasikan. UN Norms ini juga bertujuan untuk
menjangkau korporasi multinasional agar memaksakan tanggung jawab HAM ke negara

10

Karl-Heinz Moder, Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and other Business
Enterprises with regard to Human Rights Background paper to the FES side event at the 60th session of the UNCommission on Human Rights, Program Officer FES Geneva, 2005, h. 1.
11
David Weissbrodt, Business and Human Rights (2005) 74 University of Cincinnati Law Review, h. 56.
12
Ibid.
13
Ibid.

meskipun negara tersebut tidak meratifikasi instrumen HAM yang mengatur kewajiban
tersebut.14
Sejak awal pembentukannya, dokumen ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak
khususnya pelaku bisnis termasuk organisasi15 mereka. Kritik tersebut berupa perlawanan
terhadap regulasi yang diatur, mekanisme monitoring, kerangka hukum baru yang akan mengikat
mereka, serta paksaan penegakan HAM atas instrumen yang telah mereka inisiasi terlebih
dahulu. Meskipun demikian ada beberapa negara yang mendukung UN Norms ini salah satunya
adalah Switzerland.16 International Trade Union dan ILO tidak menolak adanya norma ini, tapi
lembaga-lembaga tersebut ragu apakah dengan adanya norma tersebut bisa membantu
perkembangan korporasi dalam hal perlindungan HAM.17
Tidak hanya kritik yang didapat dengan adanya UN Norm ini, beberapa dukungan juga
didapat dari beberapa organisasi yang fokus di HAM. Organisasi-organisasi tersebut
menganggap bahwa dokumen ini merupakan solusi terbaik untuk menghilangkan celah yang ada
antara pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam hal perlindungan HAM.
Selain itu banyak ahli yang menyambut dengan baik adanya norma ini, mereka menyatakan
bahwa dengan adanya norma ini maka akan mengakhiri pelanggaran HAM oleh korporasi.18
Diskusi berkepanjangan yang dilakukan beberapa negara, organisasi-organisasi,
perwakilan masyarakat terkait UN Norm ini tetap merupakan proses diskusi yang tidak jelas
sehingga dibandingkan dengan instrumen lainnya, UN Norm ini banyak pihak yang
menolaknya.19

14
Larry Cat Backer, Multinational Corporations, Transnational Law: The United Nations Norms on the
Responsibilities of Transnational Corporations as Harbinger of Corporate Responsibility in International Law
(2006) 37 Columbia Human Rights Law Review, h. 287 ; John Gerard Ruggie, Business and Human Rights: The
Evolving International Agenda (2007) 101 American Journal of International Law, h. 819&821.
15
International Organisation of Employers, International Chamber of Commerce dan lain-lain.
16
Karl-Heinz, Op.Cit. h. 4.
17
Ibid.
18
Surya Deva, UNs Human Rights Norms for Transnational Corporations and Other Business
Enterprises: An Imperfect Step in the Right Direction (2004) 10 ILSA Journal of International & Comparative Law,
h.493&497; Julie Campagna, United Nations Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and
Other Business Enterprises with Regard to Human Rights: The International Community Asserts Binding Law on
the Global Rule Makers (2004) 37 John Marshall Law Review, h.1205.
19
Karl-Heinz, Op.Cit. h. 4.

Upaya Pengaturan Bisnis dan HAM dalam United Nations Guiding Principle on Business
and Human Right (UNGP) 2011
Pada tahun 2003 awal disetujuinya UN Norms tetapi dianggap kurang kuat untuk
mendukung penegakan pelanggaran HAM oleh korporasi dikarenakan dianggap tidak adanya
legal standing.20 Sehingga pada 16 Juni 2011, United Nations Human Rights Council (UNHRC)
sepakat untuk mengesahkan UNGP sebagai implementasi kerangka PBB dalam protect, respect
dan remedy terhadap HAM.21
UNGP merupakan sebuah standar global yang berwenang untuk mencegah dan
menunjukkan resiko dari dampak merugikan dalam HAM dikaitkan dengan kegiatan bisnis.
UNGP juga berisi tentang seperangkat alat yang dapat digunakan oleh masyarakat, investor dan
lainnya sebagai langkah progress terhadap tanggung jawab mereka dalam menghormati HAM. 22
UNGP merupakan hasil dari enam tahun riset dan konsultasi yang dilakukan oleh beberapa
perwakilan khusus PBB dalam bisnis dan HAM yang terdiri dari Professor John Ruggie,
pemerintah dari beberapa negara, korporasi, asosiasi bisnis, masyarakat umum, investor hingga
individu ataupun kelompok yang sekiranya berpengaruh dari seluruh dunia.23
Sebagai standar global yang dapat diaplikasikan ke seluruh pelaku bisnis, UNGP
menyediakan konsep yang lebih jauh dan kejelasan operasional memperjelas apa yang diatur
dalam United Nations Global Compact. Hal tersebut dapat menjadi inti dasar kegiatan bisnis dan
investasi serta hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah terkait HAM.
UNGP diatur dengan tiga pilar yaitu kerangka protect, respect dan remedy yang telah ada
terdahulu.24 Pertama adalah kewajiban negara untuk melindungi segala sesuatu yang berlawanan
dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga termasuk pelaku bisnis melalui
kebijakan yang sesuai, Kedua adalah tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM,
20
Office of the High Commissioner for Human Rights, 2004/116: Responsibilities of transnational
corporations
and
related
business
enterprises
with
regard
to
human
rights,
http://www.businesshumanrights.org/Documents/UNNorms diakses pada 25 April 2015.
21
United Nations Office of The High Commissioner for Human Right, The UN Guiding Principles on
Business and Human Rights: Relationship to UN Global Compact Commitments, Juni 2014
22
Ibid.
23
Ibid.
24
John Ruggie, Presentation of Report to United Nations Human Rights Council, Geneva, 30 May 2011,
http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie-statement-to-un-human-rights-council-30-may2011.pdf diakses pada 25 April 2015.

maksudnya adalah pelaku bisnis harus melakukan tindakannya dengan ketentuan yang
seharusnya (due diligence) untuk mencegah pelanggaran HAM dan menyatakan dampak
terhadap hal yang mereka lakukan. Ketiga adalah kebutuhan untuk akses maksimal dalam
penyelesaian masalah yang dialami oleh korban akibat perbuatan korporasi yang berhubungan
dengan bisnis baik itu secara yudisil maupun non-yudisil.
Tiga pilar ini menekankan kepada para stakeholder terkait sifat dasar isu ini dan
mencegah terjadinya kegagalan yang sama dengan UN Norms serta sebagai bentuk penekanan
terhadap tanggung jawab HAM dalam bisnis.25 Pendekatan ini diterima secara terbuka oleh
pelaku bisnis mengingat UN Norms sendiri dan tanggung jawab sosial korporasi membebaskan
pemerintah dari tanggung jawabnya.26

INSTRUMEN PERTANGUNGJAWABAN HAM KORPORASI DI LEVEL


INTERNASIONAL
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR)
ICCPR tidak memuat secara ekspilisit hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan bisnis
seperti aturan terkait HAM lainnya, kovenan ini juga tidak menyebutkan larangan perbuatan
tertentu dimana pelakunya adalah kelompok, organisasi atau korporasi.27 Meskipun demikian,
HRC melalui General Comment ICCPR telah menerjemahkan beberapa hal terkait korporasi.
25

John Ruggie, Interim Report of the Special Representative of the Secretary-General on the Issue of
Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises, U.N. Doc. E/CN.4/2006/97 (2006).
26
Ibid.
27
A/HRC/4/35/Add.1 for a brief discussion of the other treaties, including ICERD and CEDAW.; Manfred
Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary (2 rev ed, 2005), para 38.

10

Pada General Comment 31 dinyatakan bahwa Negara harus bertindak dengan due diligence
untuk mencegah, menginvestigasi, dan menghukum serta memberi ganti rugi atas perbuatan
orang perorang atau entitas.28 Meskipun demikian tetap tidak menyebutkan secara eksplisit
terkait perbuatan oleh korporasi atau pelaku bisnis, dalam General Comment tersebut seringkali
menggunakan istilah private person, private entities, natural person, legal person, private
actors, private sectors dimana semua istilah tersebut secara luas mencakup pelaku bisnis.
Dari penjelasan dan pandangan yang terdapat dalam General Comment 31 dapat
diketahui bahwa yang memiliki kewajiban untuk mengatur, dan bertindak sebagai pengawas
dalam tindakan korporasi adalah Negara sebagai bagian dari kewajiban untku menghormati dan
menjamin HAM. Disebutkan juga dalam General Comment bahwa apabila negara gagal untuk
menghukum dan melakukan ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan oleh korporasi maka
dianggap melanggar kovenan ini.29
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa ICCPR tidak memuat ketentuan langsung
dalam pasal-pasalnya terkait kewajiban korporasi untuk bertanggungjawab menghormati dan
melindungi HAM. Tetap lah Negara yang memiliki kewajiban itu semua, sementara kegiatan
korporasi agar tidak bertentangan dengan HAM menjadi tanggung jawab negara untuk
melakukan pengawasan-pengawasan.

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR)


ICESCR disetujui oleh PBB pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada 3 January
1976.30 ICESCR terdiri dari beberapa ketentuan signifikan hukum internasional terkait hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. 31 Diawali dengan menjamin hak-hak masyarakat untuk menentukan
nasib sendiri (self determination).32 Pasal dua dianggap penting berdasarkan dua alasan, yaitu
terkait garis besar tanggung jawab negara pihak yang diatur dalam kovenan dan menentukan
28

General Comment 31, para. 8.


Ibid.
30
The Offfice of the United Nations for Commissioner of Human Right, ohchr.org, diakses pada 5 Juni
29

2015.
31

Fact Sheet No 16 (Rev.1), The Committee on Economic, Social and Cultural Rights
<http://www.unhchr.ch/html/menu6/2/fs16.htm> diakses pada 5 Juni 2015.
32
Pasal 1 ICESCR.

11

bagaimana pendekatan mereka dalam mengimplementasikan hak-hak substantif yang terdapat


dalam pasal 6 sampai 15.
Mengingat banyaknya hak-hak sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan
bisnis, dengan adanya hal tersebut maka komite telah menegaskan kewajiban Negara untuk
mengatur hak pekerja khususnya terkait isu tenaga buruh dan buruh anak, diskriminasi terkait
pelanggaran, kondisi bekerja yang aman, serta hak untuk membentuk dan ikut serta dalam
serikat.33 Komite dengan jelas memikirkan betul-betul bahwa negara pihak memiliki kewajiban
untuk melindungi pegawai atau pekerja dari pelanggaran hak-hak yang terdapat di ICESCR oleh
Negara sendiri sebagai pelakunya ataupun non-negara, termasuk pelaku bisnis. Hal yang perlu
dipertegas bahwa negara memiliki peran utama dalam mengatur dan memutuskan segala hal
yang berkaitan dengan segala perilaku pekerja termasuk membuat dan menegakkan peraturan
perundang-undangan untuk menjamin perlindungan hak.34
Dalam general comment of ICESCR nomor 19 menyebutkan bahwa kovenan ini berlaku
ekstrateritorial sebagaimana halnya sama dengan ICCPR, dimana negara dapat melindungi hakhak warga negaranya dari pelanggaran yang terjadi di luar negeri. Dari penjelasan tersebut dapat
dilihat bahwa ICESCR menekankan kepada negaralah sebagai pemegang peran penting dalam
hal pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi, disebutkan secara langsung apakah
pelaku bisnis memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab apabila terjadi pelanggaran hak-hak
yang tercantum dalam ICESCR.

International Labor Organization (ILO)


Area subyek utama standar buruh internasional termasuk hak-hak dasar dalam bekerja,
yang terdapat dalam delapan standar buruh inti ILO. 35 Hak yang dimaksud adalah antara lain
kebebasan untuk berasosiasi dan hak untuk berorganisasi; hak untuk berunding bersama-sama;
penghapusan pekerja paksa; penggunaan tenaga kerja di bawah umur dan penghapusannya

33
34

Ibid.
Werner Sengenberger, The International Labor Organization Goals, Functions and Political Impact,
Friedrich Ebert Stiftung, h.8.
35

12

secara efektif; larangan untuk diskriminasi tempat kerja; sebagaimana juga mandat untuk
menyetarakan perempuan dan laki-laki.
ILO memiliki beberapa konvensi-konvensi utama terkait perlindungan pekerja diseluruh
dunia, hal ini sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak dasar yang
dimiliki oleh para pekerja. Sama dengan instrumen-instrumen lainnya, konvensi-konvensi yang
dimiliki ILO pun mengikat negara sebagai para pihaknya, hal tersebut menunjukkan bahwa
negaralah yang bertanggungjawab setiap adanya pelanggaran HAM terhadap pekerja, dari situlah
negara yang bisa mengontrol tindakan pelaku bisnis tanpa bisa memberi tanggung jawab
langsung kepada para pelaku bisnis apabila mereka yang menjadi pelaku langsung pelanggaran
HAM tersebut.

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)


RSPO adalah organisasi multi-stakeholder internasional yang tergolong baru dimana pada
awal tahun 2005, masyarakat bisnis, aktifis lingkungan dan kelompok masyarakat lainnya yang
memiliki minat di minyak kelapa sawit mendirikan organisasi ini, yang mana organisasi ini
ditujukan untuk menjaga keseimbangan minyak palem di pasaran, sebagai sumber penghasilan
dari wilayah produksi dan yang mengkonsumsi produk.36 RSPO bukanlah sebuah organisasi yang
bertujuan untuk keuntungan melainkan adalah untuk mempromosikan pertumbuhan dan menjaga
keseimbangan produksi serta penggunaan minyak kelapa sawit melalui kerja sama terhadap
suplai selain itu juga sebagai tempat untuk komunikasi dengan para stakeholder.37 RSPO dibuat
sebagai salah satu bentuk respon terhadap pasar yang menolak produk akibat dari perusakan
lingkungan dan pelanggaran HAM.38
Prinisip-prinsip dalam RSPO tidak secara langsung menyatakan terkait perlindungan
HAM khususnya hak sosial dan hak atas lingkungan. Hak-hak tersebut direfleksikan dalam
RSPO melalui mekanisme yang ada di RSPO terkait pemenuhan hak-hak tersebut. Mekanisme
36

RSPO, About us, www.rspo.org/about, diakses pada 7 Mei 2015.


Pasal 1 RSPO by laws.
38
Sophie Chao, The Roundtable and Sustainable Pam Oil (RSPO) and Complaint resolution: Guidance on
Submitting a complaint for civil society organization and lokal communities, Forest People Program, United
Kingdom, hal. 8.
37

13

yang dimaksud adalah komplain atau laporan terhadap pelanggaran prinsip, kriteria, dan aturan
RSPO lainnya.39

International Finance Corporation (IFC)


IFC adalah institusi pengembangan global terbesar yang khusus fokus pada sektor privat
di negara berkembang, dimana IFC merupakan anggota dari World Bank Group.40 IFC didirikan
pada tahun 1956 memiliki visi utama yaitu orang-orang harus memiliki kesempatan untuk keluar
dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. 41 Selama beberapa tahun terakhir, IFC
Sustainability Framework telah menjadi kerangka internasional dalam proyek pembiayaan untuk
resiko sosial dan lingkungan yang paling diterima secara luas di perkembangan dunia.42
IFC Sustainability Framework terdiri dari kebijakan terhadap lingkungan, ketahanan
sosial, standar lingkungan dan sosial serta akses ke informasi kebijakan.43 Kerangka ini
dipublikaskan pada tanggal 1 Agustus 2011, dan mulai berlaku pada 1 January 2012. 44 Ini
merupakan revisi dan pembaruan kerangka versi 2006, yang mana merupakan hasil dari diskusi
global dan proses perjanjian antara tahun 2009 sampai tahun 2011. 45 Versi 2006 mendukung
banyak hak-hak penting dalam konteks bisnis misalnya hak-hak buruh, hak masyarakat adat, hak
kesehatan melalui lingkungan yang bersih.46 Selain itu juga mendukung due diligence, termasuk
juga manajemen resiko termasuk manajemen lingkungan, sosial, buruh dan resiko yang
berhubungan lainnya.
Dengan adanya performance standard terkait tindakan korporasi dalam berhubungan
dengan stakeholder tertentu misalnya masyarakat, kaum marginal, masyarakat adat, yang hakhak mereka termasuk di dalamnya. Tetapi tindakan korporasi yang berkaitan dengan kelompok
39

Saurlin Pandapotan, Op.Cit., hal. 23.


International
Finance
Corporation,
About
IFC,
http://www.ifc.org/wps/wcm/connect/corp_ext_content/ifc_external_corporate_site/about+ifc , diakses pada 08 Mei
2015.
41
Ibid.
42
Steven Herz et al, The International Finance Corporations Performance Standards And The Equator
Principles: Respecting Human Rights And Remedying Violations?, World Resources Institute, 2008, h. 2.
43
International Finance Corporation, Performance Standard on Environmental and Social Sustainability,
2012, h. 1.
44
International Finance Corporation, http://www.ifc.org/policyreview, diakses pada 08 Mei 2015.
45
Ibid.
46
Steven Herz et al, Loc.Cit.
40

14

stakeholder lainnya misalnya pemerintah, badan peradilan, partai politik, dan lain-lain, tidak
terdapat pengaturannya terkiat HAM, mengingat isu-isu tersebut tidak dikategorikan sebagai isu
ketahanan lingkungan dan sosial dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan tindakan
korporasi tersebut tidak disebutkan dalam standard performance ini.

United Nations Global Compact (UNGC)


Global Compact pertama kali diusulkan oleh United Nations Secretary General pada
forum ekonomi dunia di Davos pada tahun 1999.47 Setelah mulai diberlakukan pada tahun 2000,
dengan cepat UNGP menjadi acuan dalam tanggung jawab korporasi dengan hampir 7000 bisnis
dan lebih dari 3000 anggota nonbisnis dari total 140 negara. 48 Di Indonesia sendiri terdapat 117
anggota yang terdiri dari perusahaan, UKM, Universitas, Sekolah, dan organisasi sosial. 49 UNGC
dapat juga disebut sebagai sebuah inisiatif multistakeholder yang menekankan korporasi dalam
mendukung sepuluh prinsip serta tujuan UN lebih luas, misalnya tujuan millennium development
goals.50 Untuk berpartisipasi dalam UNGC bersifat sukarela dan terbuka untuk semua korporasi
multinasional termasuk juga usaha kecil menengah dari berbagai bidang dan wilayah.51
Sejak tahun 2000 peluncurannya, UNGC telah dikritik dari beberapa sisi. Pertama terkait
keefktifitasan dari UNGC. UNGC dianggap tidak efektif karena tidak adanya sarana
pengawasan, sanksi serta aturan yang dapat dilaksanakan mengingat UNGC hanya memiliki
prinsip-prinsip saja.52 Keritikan selanjutnya terhadap UNGC adalah terkait prinsip-prinsipnya
yang dianggap kabur dan tidak jelas. Bahasa yang digunakan dalam prinsip-prinsip tersebut
terlalu umum dimana berpotensi menyebabkan korporasi yang tidak bertanggung jawab dapat
dengan mudah menyatakan bahwa mereka telah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam prinsip

47

George Kell, The Global Compact Origins, Operations, Progress, Challenges, Greenleaf Publishing,
2003, h. 36.
48
Andreas Rasche, Transnational Corporations How the UN Global Compact has Changed the Debate,
University of Warwick, h. 33.
49
Indonesian Global Compact Network, http://indonesiagcn.org/, diakses pada 9 Juli 2015.
50
Ibid.
51
Rasche, A., & Kell, G., The United Nations Global Compact: Achievements, trends and challenges.
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2010.
52
Nolan, J. (2005). The United Nations Global Compact with business: Hindering or helping the protection
of human rights? The University of Queensland Law Journal, 24, 445466.

15

tersebut tanpa melakukan apapun.53 Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut
kurang teliti dalam hal untuk memberi penjelasan terhadap para pihak peserta.54 Dapat
disimpulkan bahwa prinsip-prinsip UNGC merupakan sebuah code of corporate conduct yang
sangat minimalis.
Dengan adanya kritik tersebut menunjukkan bahwa diinginkannya pengaturan yang lebih
jelas dan spesifik terkait prinsip-prinsip yang ada, tetapi yang tetap harus diperhatikan adalah ide
utama dari UNGC itu sendiri yaitu sebagai jaringan pembelajaran jangka panjang yang
digunakan oleh pelaku bisnis dan nonbisnis untuk saling berbagi ide-ide inovatif dan praktikpratik terbaik dalam penerapan sepuluh prinsip yang ada. Pada intinya UNGC merupakan sebuah
instrumen pencegah.

ISO 26000
Pada September 2010, International Organization for Standardization (ISO), menyetujui
sebuah standar panduan internasional mengenai organizational social responsibility, atau dikenal
dengan ISO 26000 yang mana dipublikasikan pada November 2010. 55 ISO 26000 dibuat untuk
digunakan oleh segala jenis organisasi baik dalam bidang publik maupun privat, di Negara
berkembang maupun Negara maju.56 ISO 26000 akan membantu mereka dalam usaha untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat secara meningkat. ISO
merupakan voluntary guidance, tidak merupakan syarat sehingga tidak digunakan sebagai
standar sertifikasi sebagaimana ISO 9001 dan ISO 1400.57
Panduan dalam ISO 26000 menggambarkan praktik-praktik terbaik yang dikembangkan
oleh keberadaan sektor publik dan privat dalam tanggung jawab sosial. Hal tersebut sesuai
dengan dan sebagai pelengkap terhadap deklarasi-deklarasi dan konvensi-konvensi PBB dan
unsur-unsur pokoknya, khususnya ILO, dimana ISO telah menetapkan sebuah Memorandum of
53

Deva, S. (2006). Global Compact: A critique of the UNs publik-private partnership for promoting
corporate citizenship. Syracuse Journal of International Law and Communication,34, h. 129.
54
Bigge, D. M. (2004). Bring on the bluewashA social constructivist argument against using Nike v.
Kasky to attack the UN Global Compact. International Legal Perspectives,14, h. 621.
55
Halina Ward, The ISO 26000 International Guidance Standard on Social Responsibility: Implication for
Publik Policy and Transnational Democracy, Foundation for Democracy and Sustainable Development, 2010, h.1.
56
International Organization for Standardization, ISO 26000 Project Overview, 2010, h. 4.
57
Ibid.

16

Understanding (MoU) untuk menjamin konsistensi terhadap standar yang telah ditetapkan ILO.58
Selain itu ISO juga telah menandatangani MoUs the UNGC dan OECD untuk meningkatkan
kerjasama mereka terhadap pelaksanaan ISO 26000.59
Dapat dilihat bahwa ISO 26000 merupakan salah satu instrumen yang mendapatkan
perhatian khusus dalam dunia internasional mengingat ISO sendiri merupakan salah satu
organisasi yang akan meningkatkan kredibilitas sebuah korporasi apabila telah terpenuhinya
standar-standar dan prinsip-prinsip dalam ISO, khususnya ISO 26000 terkait tanggung jawab
sosial.

Organization for Economic Cooperation & Development Guidelines for Multinational


Enterprises 2011 (OECD Guidelines)
OECD adalah organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan yang didirikan
pada tahun 1948 setelah Perang Dunia II.60 OECD merupakan organisasi yang beranggotakan
negara-negara maju yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Eropa. OECD dibentuk sebagai
organisasi internasional yang ditujukan bagi negara-negara berkembang agar menerima prinsipprinsip demokrasi dan pasar ekonomi bebas yang saat ini beranggotakan 31 negara dan 8
Adhering Government.61
OECD Guidelines merupakan sebuah perjanjian internasional berupa deklarasi negaranegara anggota OECD mengenai investasi internasional dan perusahaan multinasional. 62
Pedoman ini memuat rekomendasi yang terdiri dari prinsip dan standar etika bisnis yang
bertanggungjawab yang ditujukan bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di dan atau
berasal dari negara pihak dalam OECD.

58

International Organization for Standardization, Op.,Cit., h. 8.


Ibid.
60
OECD Guidelines for Multinational Enterprise 2011, http://dx.doi.org/10.1787/9789264115415-en
diakses pada 8 Juli 2015.
61
Ibid.
62
Ibid.
59

17

Negara pihak dalam mendukung pedoman ini akan membentuk National Contact Poin
(NCP) yang akan mempromosikan pedoman ini dan bertindak sebagai forum diskusi terkait
dengan segala hal terkait dengan pedoman ini.63 Ketika perusahaan melanggar pedoman ini,
serikat buruh atau setiap orang maupun individu yang terkena dampak dapat melaporkan
pelanggaran tersebut kepada NCP bekerjasama dengan serikat buruh tingkat nasional dan
internasional.64

MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN DAN PEMULIHAN TERHADAP


PELANGGARAN HAM OLEH KORPORASI MULTINASIONAL
Mekanisme Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO)
Dalam RSPO dikenal mekanisme komplain sebagai bentuk kesadaran RSPO terkait
potensi munculnya konflik atau sengketa antar stakeholders dan dibutuhkan solusi untuk
menyelesaikan hal tersebut melalui sebuah negosiasi dan dialog. Adapun yang dicari dalam
sistem komplain RSPO adalah memberikan sebuah keadilan, transparansi, proses yang tidak
berpihak dan memfasilitasi tindakan atau inisiatif yang akan meningkatkan kerjasama antara para
pihak.65 Komplain dapat terjadi antara anggota RSPO atau melawan sistem RSPO itu sendiri. 66
Sistem penyelesaian konflik di RSPO sendiri bersifat non-yudisial dan mengikuti kriteria-kriteria
mekanisme penyelesaian konflik secara non-yudisial sesuai yang ada dalam United Nations
Secretary Generals Special Representative on Business and Human Rights: Implementing the
United Nations Protect, Respect and Remedy Framework.67

63

Ibid.
Ibid.
65
Sophie Chao, The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) and Complaint resolution: Guidance on
submitting a Complaint for civil society organisations and lokal communities, Forest Peoples Programme, United
Kingdom, 2013, h.9.
66
Ibid.
67
Business
and
Human
Right
Resources
Center,
http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie/ruggieguidingprinciples21-mar-2011.pdf diakses pada
29 Juni 2015.
64

18

Prosedur pengumpulan komplain kepada RSPO diawali dengan mengajukan komplain


secara tertulis kepada sekertariat RSPO yang kemudian akan diarahkan kepada sistem komplain
RSPO.68 Setelah RSPO menerima semua komplain, kemudian sekertariat memberi notifikasi
kepada para pihak yang mengajukan tidak lebih dari sepuluh hari kerja dari hari penerimaan.69
Sekertariat memiliki hak untuk mengembalikan komplain tersebut kepada negara yang
mengajukan apabila komplainnya tidak lengkap dan dengan memberi penjelasan apa-apa saja
yang harus dilengkapi hal ini menjadi penting karena dibutuhkannya informasi yang lengkap
terkait komplain tersebut. Apabila komplain telah dilengkapi, maka negara yang bersangkutan
dapat mengajukan ulang.70 Adapun setelahnya sekertariat akan memilah-milah komplain yang
ada kemudian akan diklasifikasikan berdasarkan bagaimana cara penanganannya.
Adapun penggolongan tersebut adalah: komplain yang diselesaikan secara bilateral;
komplain yang harus diselesaikan melalui pihak ketiga pada proses nasional misalnya
pengadilan, komisi HAM dan lain-lain; komplain yang berkaitan dengan penyelenggaran
kegiatan negara anggota RSPO yang berhubungan dengan kriteria dan prinsip-prinsip RSPO;
komplain yang berkaitan dengan penyelenggaraan dan pengakuan badan sertifikasi RSPO;
komplain yang harus diselesaikan melalui mediasi, misalnya melalui Dispute Settlement Forum
RSPO; komplain yang berkaitan dengan pelanggaran lainnya misalnya pelanggaran Code of
Conduct RSPO. Disetiap awal penyelesaian konflik yang ada, sekertariat selalu memberi usul
untuk para pihak menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu namun apabila tidak diperoleh jalan
keluar, barulah sekertariat ikut campur tangan lebih jauh.
Apabila pihak pengaju komplian tidak puas dengan hasil yang telah ditentukan, maka
mereka memiliki hak untuk menaikkannya kepada Complaints Panel atau kepada Executive
Board (EB) apabila Complaints Panel telah menangani kasus itu sebelumnya. 71 EB kemudian
menetukan apakah berkehendak untuk menyelesaikan kasus tersebut, apabil berkehendak maka
akan diagendakan pertemuan selanjutnya.72 Semua kasus yang ditanganin, EB harus

68

Sophie Chao, Op.Cit. h.20.


Ibid.
70
Ibid.
71
RSPO, Compalints, www.rspo.org/members/Complaints diakses pada 29 Juni 2015.
72
Ibid.
69

19

mengeluarkan pernyataan tertulis terkait putusan berdasarkan alasan-alasan rasional yang ada.
EB dan melakukan investigasi lebih lanjut dan putusan yang dikeluarkan EB bersifat mengikat. 73
Adapun contoh kasus yang terjadi di Indonesia yang telah diajukan kepada komplain
sistem RSPO adalah sebagai berikut:
PT Kencana Alam Permai & PT Prima Sawit Andalan (Anggota RSPO subsidiary PT
Dharma Satya Nusantara)
Kasus ini terdaftar pada tanggal 03 Agustus 2013, pihak yang mengajukan komplain
adalah komunitas masyarakat Desa Sungai Buluh dan sebuah kelompok besar Suku Dayak di
daerah Tempunak-Sepauk. Perusahaan tersebut dituntut telah melanggar prinsip nomor 2 yaitu
terkait harus sesuai dengan hukum nasional dan prinsip nomor 5 terkait tanggung jawab
lingkunagan dan konservasi terhadap sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.74
Masyarakat yang mengajukan komplain, menyatakan bahwa perusahaan tersebut dengan
jelas telah menanam di tanah adat mereka yang terdapat di Desa Sungai Buloh di daerah
Tempunak-Sepauk. Namun pihak perusahaan menyatakan bahwa telah melakukan persetujuan
berupa MOU dengan beberapa perwakilan masyarakat yang ditandatangani pada tanggal 21
Januari 2013.75 Pihak perusahaan juga menyatakan bahwa masyarakat telah menerima kehadiran
mereka dan setuju dengan adanya kegiatan di tanah tersebut pada tanggal 14 Februari 2013.
Kemudian pada tanggal 24 Februari 2014, investigasi terkait komplain tersebut ditutup. Dengan
ditutupknya komplain tersebut, PT PSA memberi pernyataan bahwa akan melakukan prior
informed consent (FPIC) dengan masyarakat lokal, dan apabila masyarakat tidak setuju maka PT
PSA tidak akan menanam kelapa sawit disana. 76 RSPO mencoba untuk menyelesaikan segala
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria sebagai hal yang serius, tapi dalam
kasus ini belum ada solusi secara resmi dari Complaints Panel RSPO.77

73

Ibid.
RSPO, Members, http://www.rspo.org/members/Complaints/status-of-Complaints/view/41 diakses pada
29 Juni 2015
75
Ibid.
76
Official Explanation of PT Prima Sawit Andalan. http://www.rspo.org/file/Official%20explanation%20of
%20PT%20Prima%20Sawit%20Andalan%20(1)(1).pdf diakses pada 26 Juni 2015.
77
Willie Smits, Statement on Gunung Sarang alleged land clearance, http://www.rspo.org/file/Statement
%20on%20Gunung%20Sarang%20alleged%20land%20clearance(%20Willie%20Smits)(1).pdf diakses pada 29 Juni
2015.
74

20

Mekanisme The Office of The Compliance Advisor Ombudsman (CAO) International


Finance Corporation (IFC)
CAO merupakan lembaga independen yang dibentuk oleh Bank Dunia dan badan-badan
sector swasta di dalamnya khususnya IFC dan Multilateral Investment Guarantee Agency
(MIGA).78 IFC dan MIGA mempromosikan penurunan kemiskinan melalui pembangunan sector
swasta di negara-negara seluruh dunia. Apabila masyarakat menganggap dan merasa mendapat
dampak negative dari proyek yang dilakukan IFC atau MIGA, maka mereka dapat mengajukan
komplain ke CAO.79 Dalam menyelesaikan sengketa yang ada, CAO bekerja sama dengan semua
pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam proyek tersebut.
Setiap individu, kelompok, masyarakat, atau pihak lain dapat mengajukan komplain
kepada CAO, komplain tersebut dapat diajukan atas nama individu yang terpengaruhi melalui
perwakilan atau organisasi.80 CAO memiliki tiga kriteria yang harus dipenuhi agar komplain
dapat diterima, yaitu: Komplain yang diajukan berkaitan dengan proyek IFC atau MIGA,
termasuk proyek yang masih dalam perencanaan; komplain berkaitan dengan isu-isu sosial
dan/atau lingkungan yang berkaitan dengan proyek-proyek tersebut; pihak yang mengajukan
komplain menyatakan bahwa mereka terkena pengaruh atau dampak isu-isu sosial dan/atau
lingkungan yang timbul dari proyek-proyek tersebut.81
CAO menyediakan penyelesaian sengketa alternatif yaitu berupa mediasi dimana terdapat
mediator yang memiliki pengalaman khusus sesuai dengan negara dan ahli dalam pemberian
solusi dan membangun konsesus di lingkungan proyek pembangunan.82
Dalam hal penyelesaian sengketa di ombudsman tidak menemukan solusi maka CAO
compliance akan mengambil alih kasus tersebut. CAO akan melakukan penaksiran dan apabila
audit diperlukan maka akan dibentuk panel untuk melakukan investigasi atas isu-isu tersebut. 83
Selanjutnya apabila panel menemukan fakta-fakta yang sesuai maka akan diperlihatkan ke publik
78

CAO Operational Guidelines h.1.


Ibid.
80
Ibid.
81
Ibid.
82
Ibid.
83
CAO Operational Guidelines,h.3.
79

21

kemudian CAO mengeluarkan rekomendasi yang harus dilakukan oleh perusahaan hingga
proyek kembali memenuhi syarat dan ketentuan IFC dan MIGA.84
Adapun contoh kasus yang terjadi di Indonesia yang telah diajukan kepada CAO adalah
sebagai berikut:

Wilmar Group-Sumatra
Wilmar Group merupakan sebuah kumpulan agribisnis besar yang fokus pada produksi
dan penjualan minyak kelapa sawit yang beroperasi di Asia, Eropa Timur dan Afrika. 85 Pada
tahun 2007 diajukan komplain berkaitan dengan proyek Wilmar Group yang mana memberi
dampak pada lingkungan dan sosial, hal tersebut antara lain: Tanah yang ada tanpa persetujuan
masayarakat dan sesuai dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL); adanya pelanggaran
peraturan nasional dan hukum serta protocol RSPO; kepatuhan yang tidak memadai prosedur
operasi IFC dan persyaratan uji tuntas.86
Adapun tindakan yang dilakukan CAO adalah memfasilitasi mediasi antara para pihak
dimana CAO memberikan bimbingan dan dukungan sebagai pengaman dalam proses, dalam hal
ini CAO tidak bertindak sebagai mediator, mediator tetaplah badan yang dipilih oleh para
pihak.87 Proses mediasi tersebut menghasikan perjanjian-perjanjian yang disepakati dan tetap
diawasi pelaksanaannya oleh CAO. Dengan demikian CAO menutup kasus tersebut bersamaan
dengan munculnya laporan penutupan Wilmar 2.88

84

Ibid.
CAO, Indonesia/ Wilmar Group-02/ Sumatra, http://www.cao-ombudsman.org/cases/case_detail.aspx?
id=79 diakses pada 7 Juli 2015.
85

86

Ibid.
87

Ibid.
88

Ibid.

22

Mekanisme Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Guidelines


for Multinational Enterprise 2011
Apabila terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dalam pedoman OECD maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan komplain ke NCP, NCP harus melakukan penilaian awal untuk
menentukan apakah kasus tersebut patut untuk pemeriksaan lebih lanjut. 89 Dalam menentukan
apakah kasus tersebut memenuhi syarat untuk pertimbangan lebih lanjut, secara umum NCP
melihat identitas dan kepentingan dari pihak yang mengajukan komplain, kesesuaian kasus
dengan prinsip-prinsip dalam OECD dan khususnya NCP serta dilihat juga apakah kasus tersebut
akan memberi kontribusi terhadap tujuan dan keberlakuan efektif dari pedoman OECD.90
Siapapun pihak yang memiliki kepentingan dapat mengajukan komplain melawan
korporasi yang diduga telah melanggar prinsip-prinsip OECD. Komplain dapat diajukan kepada
korporasi multinasional atau korporasi nasional yang beroperasi di negara anggota
OECD,misalnya sebuah komplain melawan perusahaan Brazil yang beroperasi di Somalia, daam
hal ini karena Brazil merupakan negara pihak OECD maka komplain dapat diajukan.
Komplain dapat diajukan mengenai dugaan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang
terdapat di pedoman OECD yang terdiri dari 11 bagian substantif. 91 Komplain yang diajukan
dapat berupa pelanggaran yang sudah terjadi, sedang terjadi atau kemungkinan dikemudian hari
akan terjadi.92 Pada prinsipnya, komplain diajukan ke NCP dimana kejadian tersebut terjadi,
apabila host country tidak memiliki NCP disebabkan bukan negara pihak, maka akan diajukan ke
NCP dimana pusat dari korporasi tersebut.93 Tempat dimana komplain diajukan ditentukan oleh
beberapa faktor antara lain tujuan dari komplain tersebut apakah untuk memberi dampak
perubahan pada negara tempat beroperasi ataukah negara dimana perusahaan tersebut
didaftarkan. Tapi dalam kasus tertentu, NCP akan saling bekerjasama untuk menyelesaikan kasus
tersebut.94

89

OECD watch, Eligibility of a Complaint, oecdwatch.org diakses pada 8 Juli 2015.


Ibid.
91
Ibid.
92
Ibid.
93
Ibid.
94
Ibid.
90

23

Setelah proses pengumpulan komplain ke NCP dan diputuskan layak untuk peninjauan
lebih jauh, NCP akan memfasilitasi penyelesaian antara para pihak. 95 Apabila proses
menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak, NCP akan mengeluarkan pernyataan publik
terkait alasan-alasan baik yang harus dilakukan oleh kedua pihak. 96 Apabila meditasi yang
dilakukan gagal, NCP akan menawarkan sebuah forum untuk diskusi dan membantu komunitas
bisnis, pegawai, dan para pihak lainnya untuk menguraikan isu yang ada secara efisien,
berdasarkan waktu tertentu dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adapun contoh kasus yang terjadi di Indonesia yang telah diajukan kepada NCP-OECD
adalah sebagai berikut:
Individual vs. German manufacturing MNE in Indonesia
Kasus ini didaftarkan pada 17 September 2012, menyatakan bahwa warga negara
Indonesia mengajukan komplain atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi
multinasional Jerman terkait ketenagakerjaan dan hubungan industrial yang berlaku di
Indonesia.97 Pengadu menyatakan bahwa perusahaan telah meminta untuk menandatangi
perjanjian kerja dan perjanjian tersebut melanggar UDHR, ketentuan ILO terkait diskriminasi,
UUD, dan hukum tenaga kerja Indonesia.98
Pada 7 desember 2013 setelah dilakukannya investigasi dan penilaian lebih lanjut, NCP
menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi terjadinya pelanggaran terhadap pedoman dan prinsipprinsip HAM lainnya.99

95

OECD Watch, Guide to the OECD Guidelines for Multinational Enterprises Complaint Procedure:
Lesson from Past NGO Complaints, h.13.
96
Ibid.
97
OECD,
Individual
vs.
German
manufacturing
MNE
in
Indonesia,
http://oecdwatch.org/cases/Case_405http://oecdwatch.org/cases/Case_405 Diakses pada 8 Juli 2015.
98
Ibid.
99
Ibid.

24

KESIMPULAN
a. Kegiatan usaha korporasi dapat memberikan dampak pada pemenuhan HAM. Sampai
saat ini telah terdapat beberapa instrumen-instrumen yang bertujuan untuk
pertanggungjawaban kewajiban HAM korporasi, namun belum ada satu instrumen
internasional yang mengikat korporasi secara langsung;
b. Instrumen-instrumen HAM yang ada saat ini hanya mengikat negara saja, dimana
hanya negara yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemenuhan ataupun
perlindungan terhadap HAM, namun seiring berkembangnya waktu, pelaku
pelanggaran HAM tidak hanya negara, ada entitas lain yaitu dalam hal ini korporasi
sebagai salah satu pemegang peran penting dalam sebuah pelaksanaan negara;
c. Sampai saat ini instrumen internasional terkait HAM tidak memiliki daya mengikat
yang kuat, mengingat tidak adanya sanksi ataupun cara-cara pemulihan lainnya yang
harus dilakukan apabila terjadi pelanggaran HAM.
Dengan demikian sebagai negara yang terdapat banyak korporasi di dalamnya, dan negara yang
mengakui HAM sebagai salah satu hal penting dalam kehidupan bernegara, Indonesia sebaiknya
ikut berperan aktif dalam organisasi PBB khususnya Dewan HAM untuk mendorong
dibentuknya instrumen tanggung jawab HAM yang mengikat korporasi secara langsung

25

DAFTAR BACAAN
BUKU
Addo, Michael K., (ed.) Human Rights Standards and the Responsibility of Transnational
Corporations. Kluwer Law International, 1999.
Andreas Rasche, Transnational Corporations How the UN Global Compact has Changed
the Debate, University of Warwick.
Cf. Henry J. Steiner, Organizational Irrationality and Corporate Human Rights
Violations, Harvard Law Review, 2009.
George Kell, The Global Compact Origins, Operations, Progress, Challenges,
Greenleaf Publishing, 2003.
Global

Compact

Network

Indonesia,

Bagaimana

Menjalankan

Bisnis

dengan

Menghormati Hak Asasi Manusia: Sebuah alat panduan bagi perusahaan, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2014,
Karl-Heinz Moder, Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and
other Business Enterprises with regard to Human Rights Background paper to the FES side
event at the 60th session of the UN-Commission on Human Rights, Program Officer FES
Geneva, 2005.
Rasche, A., & Kell, G., The United Nations Global Compact: Achievements, trends and
challenges. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2010.
Werner Sengenberger, The International Labor Organization Goals, Functions and
Political Impact, Friedrich Ebert Stiftung

26

JURNAL
Bigge, D. M. (2004). Bring on the bluewashA social constructivist argument against
using Nike v. Kasky to attack the UN Global Compact. International Legal Perspectives,14
David Weissbrodt, Business and Human Rights (2005) 74 University of Cincinnati Law
Review.
Deva, S. (2006). Global Compact: A critique of the UNs publik-private partnership for
promoting corporate citizenship. Syracuse Journal of International Law and Communication,34.
Halina Ward, The ISO 26000 International Guidance Standard on Social Responsibility:
Implication for Publik Policy and Transnational Democracy, Foundation for Democracy and
Sustainable Development, 2010.
International Organization for Standardization, ISO 26000 Project Overview, 2010
John Gerard Ruggie, Business and Human Rights: The Evolving International Agenda
(2007) 101 American Journal of International Law.
Julie Campagna, United Nations Norms on the Responsibilities of Transnational
Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights: The International
Community Asserts Binding Law on the Global Rule Makers (2004) 37 John Marshall Law
Review.
Larry Cat Backer, Multinational Corporations, Transnational Law: The United Nations
Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations as Harbinger of Corporate
Responsibility in International Law (2006) 37 Columbia Human Rights Law Review.
Nolan, J. (2005). The United Nations Global Compact with business: Hindering or helping
the protection of human rights? The University of Queensland Law Journal, 24.
Sophie Chao, The Roundtable and Sustainable Pam Oil (RSPO) and Complaint resolution:
Guidance on Submitting a complaint for civil society organization and lokal communities, Forest
People Program, United Kingdom
Steven Herz et al, The International Finance Corporations Performance Standards And
The Equator Principles: Respecting Human Rights And Remedying Violations?, World Resources
Institute, 2008
Surya Deva, UNs Human Rights Norms for Transnational Corporations and Other
Business Enterprises: An Imperfect Step in the Right Direction (2004) 10 ILSA Journal of
International & Comparative Law.
27

INTERNET

Business

and

Human

Right

Resources

Center,

http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie/ruggieguidingprinciples21-mar2011.pdf
CAO,

Indonesia/

Wilmar

Group-02/

Sumatra,

http://www.cao-

ombudsman.org/cases/case_detail.aspx?id=79 diakses pada 7 Juli 2015.


Fact Sheet No 16 (Rev.1), The Committee on Economic, Social and Cultural Rights
<http://www.unhchr.ch/html/menu6/2/fs16.htm>
Indonesian Global Compact Network, http://indonesiagcn.org/
International

Finance

Corporation,

About

IFC,

http://www.ifc.org/wps/wcm/connect/corp_ext_content/ifc_external_corporate_site/about+ifc
International Finance Corporation, http://www.ifc.org/policyreview,
John Ruggie, Presentation of Report to United Nations Human Rights Council, Geneva,
30 May 2011, http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie-statement-to-unhuman-rights-council-30-may-2011.pdf
OECD,

Individual

vs.

German

manufacturing

MNE

in

Indonesia,

http://oecdwatch.org/cases/Case_405http://oecdwatch.org/cases/Case_405
Office of the High Commissioner for Human Rights, 2004/116: Responsibilities of
transnational corporations and related business enterprises with regard to human rights,
http://www.businesshumanrights.org/Documents/UNNorms diakses pada 25 April 2015.
Official Explanation of PT Prima Sawit Andalan. http://www.rspo.org/file/Official
%20explanation%20of%20PT%20Prima%20Sawit%20Andalan%20(1)(1).pdf
RSPO,

Members,

http://www.rspo.org/members/Complaints/status-of-

Complaints/view/41
The Offfice of the United Nations for Commissioner of Human Right, ohchr.org

28

Willie

Smits,

Statement

on

Gunung

Sarang

alleged

land

clearance,

http://www.rspo.org/file/Statement%20on%20Gunung%20Sarang%20alleged%20land
%20clearance(%20Willie%20Smits)(1).pdf

INSTRUMEN INTERNASIONAL
International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (selanjtunya disebut ICCPR)
diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya disebut
ICESCR) diratifkasi oleh Indonesia pada tahun 2005.
John Ruggie, Interim Report of the Special Representative of the Secretary-General on the
Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises, U.N.
Doc. E/CN.4/2006/97 (2006).
United Nations Office of The High Commissioner for Human Right, The UN Guiding
Principles on Business and Human Rights: Relationship to UN Global Compact Commitments,
Juni 2014
Universal Declaration of Human Rights 1948 (selanjutnya disebut UDHR).

29

30

Anda mungkin juga menyukai