Jurnal Andi Akhirah K
Jurnal Andi Akhirah K
Oleh:
ANDI AKHIRAH KHAIRUNNISA
NIM. 031111108
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015
1
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
DOSEN PEMBIMBING
PENYUSUN
IMAN PRIHANDONO,SH.,LL.M.,Ph.D.
NIP. 197602042005011003
Abstrak
Pertanggungjawaban HAM oleh korporasi multinasional terdapat beberapa hambatan. Secara
umum hambatan ini diakibatkan oleh dua hal yaitu status korporasi multinasional dan
instrumen HAM yang tidak mengikat korporasi multinasional secara langsung. Pertama,
berkaitan dengan status yang dimiliki oleh korporasi tersebut. Mengingat statusnya dalam hal
ini international legal personality masih menjadi perdebatan di dunia internasional. Kedua,
terkait dengan belum adanya instrumen yang mengikat korporasi multinasional di level
internasional dimana mengakibatkan pelanggaran HAM oleh korporasi multinasional seringkali
tidak terselesaikan dengan baik. Tulisan ini membahas dua isu yaitu : (1) Instrumen hukum
pertanggungjawaban HAM oleh korporasi multinasional di level internasional. (2) Mekanisme
pertanggungjawaban dan pemulihan terhadap pelanggaran HAM oleh korporasi multinasional.
Kata kunci: Hak Asasi Manusia; Korporasi Multinasional; Instrumen Internasional
Abstract
There are several obstacles concerning the human right responsibility of Multinational
Corporation. In general, these obstacles are caused by two things which are the status of the
Multinational Corporation and the human rights instruments which are not binding to the
Multinational Corporation directly. First, with regard to the status of the corporation since the
international legal personality of the corporations is still debatable. Second, with regard to the
absences of the legally binding instruments for the violation of human rights in international
level. This paper addresses two issues: (1) International instrument of the human rights violation
3
by the Multinational Corporation. (2) The responsibility and remedy mechanism of the human
rights violation by the Multinational Corporation.
Key word: Human right; Multinational Corporation; International Instrument.
Pendahuluan
Pada perkembangannya, dalam dunia internasional banyak terjadi kasus dimana
perusahaan melakukan pelanggaran HAM. Tindakan-tindakan perusahaan tersebut dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran prinsip-prinsip HAM sebagaimana yang tercantum dalam
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1, International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (ICESCR)
(ICCPR)3 serta beberapa prinsip Hak Asasi Manusia lainnya. Mengingat korporasi multinasional
sendiri belum memiliki legal personality dihadapan hukum internasional, hal tersebut
menyebabkan belum adanya instrumen internasional yang mengikat korporasi multinasional
secara langsung dalam hal pelanggaran HAM yang dilakukan. Tulisan ini mengulas dan
menjawab permasalahan mengenai bagaimana instrumen-instrumen hukum di level internasional
mengatur pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi multinasional dan bagaimanakah
mekanisme pertanggungjawaban serta pemulihan yang ada dalam instrumen-instrumen tersebut.
Tulisan ini membahas dan menjawab permasalahan mengenai keefetifitasan dan
implementasi instrumen HAM yang ada dalam pelanggaran HAM oleh korporasi multinasional
dan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban serta pemulihan apabila terjadi pelanggaran
HAM oleh korporasi multinasional.
UPAYA PERTANGGUNGJAWABAN HAM KORPORASI MULTINASIONAL
Korporasi multinasional merupakan entitas yang memiliki kekuatan unik dalam dunia
internasional, meskipun demikian korporasi multinasional tetaplah tidak menjadi bagian dari
1
subjek hukum internasional. Korporasi multinasional tidak termasuk dalam subyek hukum
internasional tapi dalam hal pembuatan kebijakan oleh sebuah negara, korporasi multinasional
memiliki peran yang sangat penting.4 Bahkan dalam beberapa aspek, korporasi multinasional
memiliki peranan dan pengaruh yang melebihi negara.5
Semakin meningkatnya peran korporasi multinasional dalam ranah publik mengakibatkan
pihak publik dalam hal ini pemegang saham, karyawan, konsumen, dan penduduk lokal
mendapat dampak lingkungan maupun sosial terhadap aktifitas yang dilakukan oleh korporasi
multinasional tersebut. Dampak-dampak tersebut berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya maupun hak-hak sipil dan politik. Negara merupakan elemen utama dalam hal
pertanggung jawaban HAM, namun dewasa ini pelaku pelanggaran HAM tidak hanya negara
tapi juga pihak lain yaitu dalam hal ini korporasi multinasional. Meskipun demikian, korporasi
multinasional tidak dapat disamakan dengan negara dalam hal pertanggungjawaban HAM.
Korporasi mempunyai dampak pada HAM dengan tiga cara yaitu kegiatan sendiri,
kontribusi langsung dan kontribusi tidak langsung,6 kegiatan sendiri yaitu dimana kegiatan
perusahaan menyebabkan pelanggaran HAM misalnya tidak adanya upah layak yang diberikan,
kontribusi langsung diartikan sebagai yang secara aktif mendorong rekan bisnis untuk melanggar
HAM.7 Sedangkan kontribusi tidak langsung adalah mengacu pada kontribusi dimana
perusahaan memasuki atau menjalin hubungan dengan rekan bisnis yang melanggar HAM
meskipun tindakan yang dilakukan tidak berpengaruh pada dampak yang lebih buruk.8 Untuk
kegiatan perusahaan sendiri, hal tersebut jelas bahwa pemulihan adalah tanggung jawab
perusahaan secara langsung, sedangkan kedua hal yaitu adanya kontribusi menjadi penting untuk
dibedakan mengingat penanganan atau pemulihan yang harus dilakukan, apabila kontribusi
langsung maka perusahaan yang bersangkutan bertanggungjawab untuk memulihkan kondisi,
sedangkan kontribusi tidak langsung, pelanggaran HAM bisa dihentikan melalui perubahan
perilaku rekan bisnis tersebut.
4
Addo, Michael K., (ed.) Human Rights Standards and the Responsibility of Transnational Corporations.
Kluwer Law International, 1999 h.4.
5
Cf. Henry J. Steiner, Organizational Irrationality and Corporate Human Rights Violations, Harvard
Law Review, 2009, h. 1931.
6
Global Compact Network Indonesia, Bagaimana Menjalankan Bisnis dengan Menghormati Hak Asasi
Manusia: Sebuah alat panduan bagi perusahaan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2014, h.27.
7
Ibid.
8
Ibid.
untuk
bertanggungjawab
dalam
pelanggaran
HAM
secara
internasional
mengakibatkan hukum nasional yang berlaku. Hal tersebut pada faktanya tidak berlaku efektif
9
untuk memberi efek jera terhadap perusahaan agar tidak melakukan pelanggaran HAM.
Mengingat penegakan hukum disuatu negara pun seringkali masih mudah untuk dipengaruhi
oleh kepentingan lainnya, khususnya dalam hal ini perusahaan sebagai pihak pemilik modal yang
memiliki peran besar dalam perkembangan ekonomi suatu negara.
10
Karl-Heinz Moder, Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and other Business
Enterprises with regard to Human Rights Background paper to the FES side event at the 60th session of the UNCommission on Human Rights, Program Officer FES Geneva, 2005, h. 1.
11
David Weissbrodt, Business and Human Rights (2005) 74 University of Cincinnati Law Review, h. 56.
12
Ibid.
13
Ibid.
meskipun negara tersebut tidak meratifikasi instrumen HAM yang mengatur kewajiban
tersebut.14
Sejak awal pembentukannya, dokumen ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak
khususnya pelaku bisnis termasuk organisasi15 mereka. Kritik tersebut berupa perlawanan
terhadap regulasi yang diatur, mekanisme monitoring, kerangka hukum baru yang akan mengikat
mereka, serta paksaan penegakan HAM atas instrumen yang telah mereka inisiasi terlebih
dahulu. Meskipun demikian ada beberapa negara yang mendukung UN Norms ini salah satunya
adalah Switzerland.16 International Trade Union dan ILO tidak menolak adanya norma ini, tapi
lembaga-lembaga tersebut ragu apakah dengan adanya norma tersebut bisa membantu
perkembangan korporasi dalam hal perlindungan HAM.17
Tidak hanya kritik yang didapat dengan adanya UN Norm ini, beberapa dukungan juga
didapat dari beberapa organisasi yang fokus di HAM. Organisasi-organisasi tersebut
menganggap bahwa dokumen ini merupakan solusi terbaik untuk menghilangkan celah yang ada
antara pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah, khususnya dalam hal perlindungan HAM.
Selain itu banyak ahli yang menyambut dengan baik adanya norma ini, mereka menyatakan
bahwa dengan adanya norma ini maka akan mengakhiri pelanggaran HAM oleh korporasi.18
Diskusi berkepanjangan yang dilakukan beberapa negara, organisasi-organisasi,
perwakilan masyarakat terkait UN Norm ini tetap merupakan proses diskusi yang tidak jelas
sehingga dibandingkan dengan instrumen lainnya, UN Norm ini banyak pihak yang
menolaknya.19
14
Larry Cat Backer, Multinational Corporations, Transnational Law: The United Nations Norms on the
Responsibilities of Transnational Corporations as Harbinger of Corporate Responsibility in International Law
(2006) 37 Columbia Human Rights Law Review, h. 287 ; John Gerard Ruggie, Business and Human Rights: The
Evolving International Agenda (2007) 101 American Journal of International Law, h. 819&821.
15
International Organisation of Employers, International Chamber of Commerce dan lain-lain.
16
Karl-Heinz, Op.Cit. h. 4.
17
Ibid.
18
Surya Deva, UNs Human Rights Norms for Transnational Corporations and Other Business
Enterprises: An Imperfect Step in the Right Direction (2004) 10 ILSA Journal of International & Comparative Law,
h.493&497; Julie Campagna, United Nations Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and
Other Business Enterprises with Regard to Human Rights: The International Community Asserts Binding Law on
the Global Rule Makers (2004) 37 John Marshall Law Review, h.1205.
19
Karl-Heinz, Op.Cit. h. 4.
Upaya Pengaturan Bisnis dan HAM dalam United Nations Guiding Principle on Business
and Human Right (UNGP) 2011
Pada tahun 2003 awal disetujuinya UN Norms tetapi dianggap kurang kuat untuk
mendukung penegakan pelanggaran HAM oleh korporasi dikarenakan dianggap tidak adanya
legal standing.20 Sehingga pada 16 Juni 2011, United Nations Human Rights Council (UNHRC)
sepakat untuk mengesahkan UNGP sebagai implementasi kerangka PBB dalam protect, respect
dan remedy terhadap HAM.21
UNGP merupakan sebuah standar global yang berwenang untuk mencegah dan
menunjukkan resiko dari dampak merugikan dalam HAM dikaitkan dengan kegiatan bisnis.
UNGP juga berisi tentang seperangkat alat yang dapat digunakan oleh masyarakat, investor dan
lainnya sebagai langkah progress terhadap tanggung jawab mereka dalam menghormati HAM. 22
UNGP merupakan hasil dari enam tahun riset dan konsultasi yang dilakukan oleh beberapa
perwakilan khusus PBB dalam bisnis dan HAM yang terdiri dari Professor John Ruggie,
pemerintah dari beberapa negara, korporasi, asosiasi bisnis, masyarakat umum, investor hingga
individu ataupun kelompok yang sekiranya berpengaruh dari seluruh dunia.23
Sebagai standar global yang dapat diaplikasikan ke seluruh pelaku bisnis, UNGP
menyediakan konsep yang lebih jauh dan kejelasan operasional memperjelas apa yang diatur
dalam United Nations Global Compact. Hal tersebut dapat menjadi inti dasar kegiatan bisnis dan
investasi serta hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah terkait HAM.
UNGP diatur dengan tiga pilar yaitu kerangka protect, respect dan remedy yang telah ada
terdahulu.24 Pertama adalah kewajiban negara untuk melindungi segala sesuatu yang berlawanan
dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga termasuk pelaku bisnis melalui
kebijakan yang sesuai, Kedua adalah tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM,
20
Office of the High Commissioner for Human Rights, 2004/116: Responsibilities of transnational
corporations
and
related
business
enterprises
with
regard
to
human
rights,
http://www.businesshumanrights.org/Documents/UNNorms diakses pada 25 April 2015.
21
United Nations Office of The High Commissioner for Human Right, The UN Guiding Principles on
Business and Human Rights: Relationship to UN Global Compact Commitments, Juni 2014
22
Ibid.
23
Ibid.
24
John Ruggie, Presentation of Report to United Nations Human Rights Council, Geneva, 30 May 2011,
http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie-statement-to-un-human-rights-council-30-may2011.pdf diakses pada 25 April 2015.
maksudnya adalah pelaku bisnis harus melakukan tindakannya dengan ketentuan yang
seharusnya (due diligence) untuk mencegah pelanggaran HAM dan menyatakan dampak
terhadap hal yang mereka lakukan. Ketiga adalah kebutuhan untuk akses maksimal dalam
penyelesaian masalah yang dialami oleh korban akibat perbuatan korporasi yang berhubungan
dengan bisnis baik itu secara yudisil maupun non-yudisil.
Tiga pilar ini menekankan kepada para stakeholder terkait sifat dasar isu ini dan
mencegah terjadinya kegagalan yang sama dengan UN Norms serta sebagai bentuk penekanan
terhadap tanggung jawab HAM dalam bisnis.25 Pendekatan ini diterima secara terbuka oleh
pelaku bisnis mengingat UN Norms sendiri dan tanggung jawab sosial korporasi membebaskan
pemerintah dari tanggung jawabnya.26
John Ruggie, Interim Report of the Special Representative of the Secretary-General on the Issue of
Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises, U.N. Doc. E/CN.4/2006/97 (2006).
26
Ibid.
27
A/HRC/4/35/Add.1 for a brief discussion of the other treaties, including ICERD and CEDAW.; Manfred
Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary (2 rev ed, 2005), para 38.
10
Pada General Comment 31 dinyatakan bahwa Negara harus bertindak dengan due diligence
untuk mencegah, menginvestigasi, dan menghukum serta memberi ganti rugi atas perbuatan
orang perorang atau entitas.28 Meskipun demikian tetap tidak menyebutkan secara eksplisit
terkait perbuatan oleh korporasi atau pelaku bisnis, dalam General Comment tersebut seringkali
menggunakan istilah private person, private entities, natural person, legal person, private
actors, private sectors dimana semua istilah tersebut secara luas mencakup pelaku bisnis.
Dari penjelasan dan pandangan yang terdapat dalam General Comment 31 dapat
diketahui bahwa yang memiliki kewajiban untuk mengatur, dan bertindak sebagai pengawas
dalam tindakan korporasi adalah Negara sebagai bagian dari kewajiban untku menghormati dan
menjamin HAM. Disebutkan juga dalam General Comment bahwa apabila negara gagal untuk
menghukum dan melakukan ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan oleh korporasi maka
dianggap melanggar kovenan ini.29
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa ICCPR tidak memuat ketentuan langsung
dalam pasal-pasalnya terkait kewajiban korporasi untuk bertanggungjawab menghormati dan
melindungi HAM. Tetap lah Negara yang memiliki kewajiban itu semua, sementara kegiatan
korporasi agar tidak bertentangan dengan HAM menjadi tanggung jawab negara untuk
melakukan pengawasan-pengawasan.
2015.
31
Fact Sheet No 16 (Rev.1), The Committee on Economic, Social and Cultural Rights
<http://www.unhchr.ch/html/menu6/2/fs16.htm> diakses pada 5 Juni 2015.
32
Pasal 1 ICESCR.
11
33
34
Ibid.
Werner Sengenberger, The International Labor Organization Goals, Functions and Political Impact,
Friedrich Ebert Stiftung, h.8.
35
12
secara efektif; larangan untuk diskriminasi tempat kerja; sebagaimana juga mandat untuk
menyetarakan perempuan dan laki-laki.
ILO memiliki beberapa konvensi-konvensi utama terkait perlindungan pekerja diseluruh
dunia, hal ini sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak dasar yang
dimiliki oleh para pekerja. Sama dengan instrumen-instrumen lainnya, konvensi-konvensi yang
dimiliki ILO pun mengikat negara sebagai para pihaknya, hal tersebut menunjukkan bahwa
negaralah yang bertanggungjawab setiap adanya pelanggaran HAM terhadap pekerja, dari situlah
negara yang bisa mengontrol tindakan pelaku bisnis tanpa bisa memberi tanggung jawab
langsung kepada para pelaku bisnis apabila mereka yang menjadi pelaku langsung pelanggaran
HAM tersebut.
13
yang dimaksud adalah komplain atau laporan terhadap pelanggaran prinsip, kriteria, dan aturan
RSPO lainnya.39
14
stakeholder lainnya misalnya pemerintah, badan peradilan, partai politik, dan lain-lain, tidak
terdapat pengaturannya terkiat HAM, mengingat isu-isu tersebut tidak dikategorikan sebagai isu
ketahanan lingkungan dan sosial dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan tindakan
korporasi tersebut tidak disebutkan dalam standard performance ini.
47
George Kell, The Global Compact Origins, Operations, Progress, Challenges, Greenleaf Publishing,
2003, h. 36.
48
Andreas Rasche, Transnational Corporations How the UN Global Compact has Changed the Debate,
University of Warwick, h. 33.
49
Indonesian Global Compact Network, http://indonesiagcn.org/, diakses pada 9 Juli 2015.
50
Ibid.
51
Rasche, A., & Kell, G., The United Nations Global Compact: Achievements, trends and challenges.
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2010.
52
Nolan, J. (2005). The United Nations Global Compact with business: Hindering or helping the protection
of human rights? The University of Queensland Law Journal, 24, 445466.
15
tersebut tanpa melakukan apapun.53 Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut
kurang teliti dalam hal untuk memberi penjelasan terhadap para pihak peserta.54 Dapat
disimpulkan bahwa prinsip-prinsip UNGC merupakan sebuah code of corporate conduct yang
sangat minimalis.
Dengan adanya kritik tersebut menunjukkan bahwa diinginkannya pengaturan yang lebih
jelas dan spesifik terkait prinsip-prinsip yang ada, tetapi yang tetap harus diperhatikan adalah ide
utama dari UNGC itu sendiri yaitu sebagai jaringan pembelajaran jangka panjang yang
digunakan oleh pelaku bisnis dan nonbisnis untuk saling berbagi ide-ide inovatif dan praktikpratik terbaik dalam penerapan sepuluh prinsip yang ada. Pada intinya UNGC merupakan sebuah
instrumen pencegah.
ISO 26000
Pada September 2010, International Organization for Standardization (ISO), menyetujui
sebuah standar panduan internasional mengenai organizational social responsibility, atau dikenal
dengan ISO 26000 yang mana dipublikasikan pada November 2010. 55 ISO 26000 dibuat untuk
digunakan oleh segala jenis organisasi baik dalam bidang publik maupun privat, di Negara
berkembang maupun Negara maju.56 ISO 26000 akan membantu mereka dalam usaha untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat secara meningkat. ISO
merupakan voluntary guidance, tidak merupakan syarat sehingga tidak digunakan sebagai
standar sertifikasi sebagaimana ISO 9001 dan ISO 1400.57
Panduan dalam ISO 26000 menggambarkan praktik-praktik terbaik yang dikembangkan
oleh keberadaan sektor publik dan privat dalam tanggung jawab sosial. Hal tersebut sesuai
dengan dan sebagai pelengkap terhadap deklarasi-deklarasi dan konvensi-konvensi PBB dan
unsur-unsur pokoknya, khususnya ILO, dimana ISO telah menetapkan sebuah Memorandum of
53
Deva, S. (2006). Global Compact: A critique of the UNs publik-private partnership for promoting
corporate citizenship. Syracuse Journal of International Law and Communication,34, h. 129.
54
Bigge, D. M. (2004). Bring on the bluewashA social constructivist argument against using Nike v.
Kasky to attack the UN Global Compact. International Legal Perspectives,14, h. 621.
55
Halina Ward, The ISO 26000 International Guidance Standard on Social Responsibility: Implication for
Publik Policy and Transnational Democracy, Foundation for Democracy and Sustainable Development, 2010, h.1.
56
International Organization for Standardization, ISO 26000 Project Overview, 2010, h. 4.
57
Ibid.
16
Understanding (MoU) untuk menjamin konsistensi terhadap standar yang telah ditetapkan ILO.58
Selain itu ISO juga telah menandatangani MoUs the UNGC dan OECD untuk meningkatkan
kerjasama mereka terhadap pelaksanaan ISO 26000.59
Dapat dilihat bahwa ISO 26000 merupakan salah satu instrumen yang mendapatkan
perhatian khusus dalam dunia internasional mengingat ISO sendiri merupakan salah satu
organisasi yang akan meningkatkan kredibilitas sebuah korporasi apabila telah terpenuhinya
standar-standar dan prinsip-prinsip dalam ISO, khususnya ISO 26000 terkait tanggung jawab
sosial.
58
17
Negara pihak dalam mendukung pedoman ini akan membentuk National Contact Poin
(NCP) yang akan mempromosikan pedoman ini dan bertindak sebagai forum diskusi terkait
dengan segala hal terkait dengan pedoman ini.63 Ketika perusahaan melanggar pedoman ini,
serikat buruh atau setiap orang maupun individu yang terkena dampak dapat melaporkan
pelanggaran tersebut kepada NCP bekerjasama dengan serikat buruh tingkat nasional dan
internasional.64
63
Ibid.
Ibid.
65
Sophie Chao, The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) and Complaint resolution: Guidance on
submitting a Complaint for civil society organisations and lokal communities, Forest Peoples Programme, United
Kingdom, 2013, h.9.
66
Ibid.
67
Business
and
Human
Right
Resources
Center,
http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie/ruggieguidingprinciples21-mar-2011.pdf diakses pada
29 Juni 2015.
64
18
68
19
mengeluarkan pernyataan tertulis terkait putusan berdasarkan alasan-alasan rasional yang ada.
EB dan melakukan investigasi lebih lanjut dan putusan yang dikeluarkan EB bersifat mengikat. 73
Adapun contoh kasus yang terjadi di Indonesia yang telah diajukan kepada komplain
sistem RSPO adalah sebagai berikut:
PT Kencana Alam Permai & PT Prima Sawit Andalan (Anggota RSPO subsidiary PT
Dharma Satya Nusantara)
Kasus ini terdaftar pada tanggal 03 Agustus 2013, pihak yang mengajukan komplain
adalah komunitas masyarakat Desa Sungai Buluh dan sebuah kelompok besar Suku Dayak di
daerah Tempunak-Sepauk. Perusahaan tersebut dituntut telah melanggar prinsip nomor 2 yaitu
terkait harus sesuai dengan hukum nasional dan prinsip nomor 5 terkait tanggung jawab
lingkunagan dan konservasi terhadap sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.74
Masyarakat yang mengajukan komplain, menyatakan bahwa perusahaan tersebut dengan
jelas telah menanam di tanah adat mereka yang terdapat di Desa Sungai Buloh di daerah
Tempunak-Sepauk. Namun pihak perusahaan menyatakan bahwa telah melakukan persetujuan
berupa MOU dengan beberapa perwakilan masyarakat yang ditandatangani pada tanggal 21
Januari 2013.75 Pihak perusahaan juga menyatakan bahwa masyarakat telah menerima kehadiran
mereka dan setuju dengan adanya kegiatan di tanah tersebut pada tanggal 14 Februari 2013.
Kemudian pada tanggal 24 Februari 2014, investigasi terkait komplain tersebut ditutup. Dengan
ditutupknya komplain tersebut, PT PSA memberi pernyataan bahwa akan melakukan prior
informed consent (FPIC) dengan masyarakat lokal, dan apabila masyarakat tidak setuju maka PT
PSA tidak akan menanam kelapa sawit disana. 76 RSPO mencoba untuk menyelesaikan segala
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria sebagai hal yang serius, tapi dalam
kasus ini belum ada solusi secara resmi dari Complaints Panel RSPO.77
73
Ibid.
RSPO, Members, http://www.rspo.org/members/Complaints/status-of-Complaints/view/41 diakses pada
29 Juni 2015
75
Ibid.
76
Official Explanation of PT Prima Sawit Andalan. http://www.rspo.org/file/Official%20explanation%20of
%20PT%20Prima%20Sawit%20Andalan%20(1)(1).pdf diakses pada 26 Juni 2015.
77
Willie Smits, Statement on Gunung Sarang alleged land clearance, http://www.rspo.org/file/Statement
%20on%20Gunung%20Sarang%20alleged%20land%20clearance(%20Willie%20Smits)(1).pdf diakses pada 29 Juni
2015.
74
20
21
kemudian CAO mengeluarkan rekomendasi yang harus dilakukan oleh perusahaan hingga
proyek kembali memenuhi syarat dan ketentuan IFC dan MIGA.84
Adapun contoh kasus yang terjadi di Indonesia yang telah diajukan kepada CAO adalah
sebagai berikut:
Wilmar Group-Sumatra
Wilmar Group merupakan sebuah kumpulan agribisnis besar yang fokus pada produksi
dan penjualan minyak kelapa sawit yang beroperasi di Asia, Eropa Timur dan Afrika. 85 Pada
tahun 2007 diajukan komplain berkaitan dengan proyek Wilmar Group yang mana memberi
dampak pada lingkungan dan sosial, hal tersebut antara lain: Tanah yang ada tanpa persetujuan
masayarakat dan sesuai dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL); adanya pelanggaran
peraturan nasional dan hukum serta protocol RSPO; kepatuhan yang tidak memadai prosedur
operasi IFC dan persyaratan uji tuntas.86
Adapun tindakan yang dilakukan CAO adalah memfasilitasi mediasi antara para pihak
dimana CAO memberikan bimbingan dan dukungan sebagai pengaman dalam proses, dalam hal
ini CAO tidak bertindak sebagai mediator, mediator tetaplah badan yang dipilih oleh para
pihak.87 Proses mediasi tersebut menghasikan perjanjian-perjanjian yang disepakati dan tetap
diawasi pelaksanaannya oleh CAO. Dengan demikian CAO menutup kasus tersebut bersamaan
dengan munculnya laporan penutupan Wilmar 2.88
84
Ibid.
CAO, Indonesia/ Wilmar Group-02/ Sumatra, http://www.cao-ombudsman.org/cases/case_detail.aspx?
id=79 diakses pada 7 Juli 2015.
85
86
Ibid.
87
Ibid.
88
Ibid.
22
89
23
Setelah proses pengumpulan komplain ke NCP dan diputuskan layak untuk peninjauan
lebih jauh, NCP akan memfasilitasi penyelesaian antara para pihak. 95 Apabila proses
menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak, NCP akan mengeluarkan pernyataan publik
terkait alasan-alasan baik yang harus dilakukan oleh kedua pihak. 96 Apabila meditasi yang
dilakukan gagal, NCP akan menawarkan sebuah forum untuk diskusi dan membantu komunitas
bisnis, pegawai, dan para pihak lainnya untuk menguraikan isu yang ada secara efisien,
berdasarkan waktu tertentu dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adapun contoh kasus yang terjadi di Indonesia yang telah diajukan kepada NCP-OECD
adalah sebagai berikut:
Individual vs. German manufacturing MNE in Indonesia
Kasus ini didaftarkan pada 17 September 2012, menyatakan bahwa warga negara
Indonesia mengajukan komplain atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi
multinasional Jerman terkait ketenagakerjaan dan hubungan industrial yang berlaku di
Indonesia.97 Pengadu menyatakan bahwa perusahaan telah meminta untuk menandatangi
perjanjian kerja dan perjanjian tersebut melanggar UDHR, ketentuan ILO terkait diskriminasi,
UUD, dan hukum tenaga kerja Indonesia.98
Pada 7 desember 2013 setelah dilakukannya investigasi dan penilaian lebih lanjut, NCP
menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi terjadinya pelanggaran terhadap pedoman dan prinsipprinsip HAM lainnya.99
95
OECD Watch, Guide to the OECD Guidelines for Multinational Enterprises Complaint Procedure:
Lesson from Past NGO Complaints, h.13.
96
Ibid.
97
OECD,
Individual
vs.
German
manufacturing
MNE
in
Indonesia,
http://oecdwatch.org/cases/Case_405http://oecdwatch.org/cases/Case_405 Diakses pada 8 Juli 2015.
98
Ibid.
99
Ibid.
24
KESIMPULAN
a. Kegiatan usaha korporasi dapat memberikan dampak pada pemenuhan HAM. Sampai
saat ini telah terdapat beberapa instrumen-instrumen yang bertujuan untuk
pertanggungjawaban kewajiban HAM korporasi, namun belum ada satu instrumen
internasional yang mengikat korporasi secara langsung;
b. Instrumen-instrumen HAM yang ada saat ini hanya mengikat negara saja, dimana
hanya negara yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemenuhan ataupun
perlindungan terhadap HAM, namun seiring berkembangnya waktu, pelaku
pelanggaran HAM tidak hanya negara, ada entitas lain yaitu dalam hal ini korporasi
sebagai salah satu pemegang peran penting dalam sebuah pelaksanaan negara;
c. Sampai saat ini instrumen internasional terkait HAM tidak memiliki daya mengikat
yang kuat, mengingat tidak adanya sanksi ataupun cara-cara pemulihan lainnya yang
harus dilakukan apabila terjadi pelanggaran HAM.
Dengan demikian sebagai negara yang terdapat banyak korporasi di dalamnya, dan negara yang
mengakui HAM sebagai salah satu hal penting dalam kehidupan bernegara, Indonesia sebaiknya
ikut berperan aktif dalam organisasi PBB khususnya Dewan HAM untuk mendorong
dibentuknya instrumen tanggung jawab HAM yang mengikat korporasi secara langsung
25
DAFTAR BACAAN
BUKU
Addo, Michael K., (ed.) Human Rights Standards and the Responsibility of Transnational
Corporations. Kluwer Law International, 1999.
Andreas Rasche, Transnational Corporations How the UN Global Compact has Changed
the Debate, University of Warwick.
Cf. Henry J. Steiner, Organizational Irrationality and Corporate Human Rights
Violations, Harvard Law Review, 2009.
George Kell, The Global Compact Origins, Operations, Progress, Challenges,
Greenleaf Publishing, 2003.
Global
Compact
Network
Indonesia,
Bagaimana
Menjalankan
Bisnis
dengan
Menghormati Hak Asasi Manusia: Sebuah alat panduan bagi perusahaan, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2014,
Karl-Heinz Moder, Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and
other Business Enterprises with regard to Human Rights Background paper to the FES side
event at the 60th session of the UN-Commission on Human Rights, Program Officer FES
Geneva, 2005.
Rasche, A., & Kell, G., The United Nations Global Compact: Achievements, trends and
challenges. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2010.
Werner Sengenberger, The International Labor Organization Goals, Functions and
Political Impact, Friedrich Ebert Stiftung
26
JURNAL
Bigge, D. M. (2004). Bring on the bluewashA social constructivist argument against
using Nike v. Kasky to attack the UN Global Compact. International Legal Perspectives,14
David Weissbrodt, Business and Human Rights (2005) 74 University of Cincinnati Law
Review.
Deva, S. (2006). Global Compact: A critique of the UNs publik-private partnership for
promoting corporate citizenship. Syracuse Journal of International Law and Communication,34.
Halina Ward, The ISO 26000 International Guidance Standard on Social Responsibility:
Implication for Publik Policy and Transnational Democracy, Foundation for Democracy and
Sustainable Development, 2010.
International Organization for Standardization, ISO 26000 Project Overview, 2010
John Gerard Ruggie, Business and Human Rights: The Evolving International Agenda
(2007) 101 American Journal of International Law.
Julie Campagna, United Nations Norms on the Responsibilities of Transnational
Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights: The International
Community Asserts Binding Law on the Global Rule Makers (2004) 37 John Marshall Law
Review.
Larry Cat Backer, Multinational Corporations, Transnational Law: The United Nations
Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations as Harbinger of Corporate
Responsibility in International Law (2006) 37 Columbia Human Rights Law Review.
Nolan, J. (2005). The United Nations Global Compact with business: Hindering or helping
the protection of human rights? The University of Queensland Law Journal, 24.
Sophie Chao, The Roundtable and Sustainable Pam Oil (RSPO) and Complaint resolution:
Guidance on Submitting a complaint for civil society organization and lokal communities, Forest
People Program, United Kingdom
Steven Herz et al, The International Finance Corporations Performance Standards And
The Equator Principles: Respecting Human Rights And Remedying Violations?, World Resources
Institute, 2008
Surya Deva, UNs Human Rights Norms for Transnational Corporations and Other
Business Enterprises: An Imperfect Step in the Right Direction (2004) 10 ILSA Journal of
International & Comparative Law.
27
INTERNET
Business
and
Human
Right
Resources
Center,
http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie/ruggieguidingprinciples21-mar2011.pdf
CAO,
Indonesia/
Wilmar
Group-02/
Sumatra,
http://www.cao-
Finance
Corporation,
About
IFC,
http://www.ifc.org/wps/wcm/connect/corp_ext_content/ifc_external_corporate_site/about+ifc
International Finance Corporation, http://www.ifc.org/policyreview,
John Ruggie, Presentation of Report to United Nations Human Rights Council, Geneva,
30 May 2011, http://www.businesshumanrights.org/media/documents/ruggie-statement-to-unhuman-rights-council-30-may-2011.pdf
OECD,
Individual
vs.
German
manufacturing
MNE
in
Indonesia,
http://oecdwatch.org/cases/Case_405http://oecdwatch.org/cases/Case_405
Office of the High Commissioner for Human Rights, 2004/116: Responsibilities of
transnational corporations and related business enterprises with regard to human rights,
http://www.businesshumanrights.org/Documents/UNNorms diakses pada 25 April 2015.
Official Explanation of PT Prima Sawit Andalan. http://www.rspo.org/file/Official
%20explanation%20of%20PT%20Prima%20Sawit%20Andalan%20(1)(1).pdf
RSPO,
Members,
http://www.rspo.org/members/Complaints/status-of-
Complaints/view/41
The Offfice of the United Nations for Commissioner of Human Right, ohchr.org
28
Willie
Smits,
Statement
on
Gunung
Sarang
alleged
land
clearance,
http://www.rspo.org/file/Statement%20on%20Gunung%20Sarang%20alleged%20land
%20clearance(%20Willie%20Smits)(1).pdf
INSTRUMEN INTERNASIONAL
International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (selanjtunya disebut ICCPR)
diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya disebut
ICESCR) diratifkasi oleh Indonesia pada tahun 2005.
John Ruggie, Interim Report of the Special Representative of the Secretary-General on the
Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises, U.N.
Doc. E/CN.4/2006/97 (2006).
United Nations Office of The High Commissioner for Human Right, The UN Guiding
Principles on Business and Human Rights: Relationship to UN Global Compact Commitments,
Juni 2014
Universal Declaration of Human Rights 1948 (selanjutnya disebut UDHR).
29
30