Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

SEPSIS NEONATORUM

Disusun Oleh:
dr. Nieko Caesar Agung Martino

Pembimbing :
dr. Jeanne Rini P. Sp. A
dr. Emmy R.D. Sp. A

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MIMIKA


TIMIKA PAPUA
2016

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Laporan Kasus


a. Identitas pasien
Nama
: By. Ny. V.
Lahir
: 14 Maret 2016
Pukul
: 08.45 WIT
Umur
: 0 hari
Bayi Baru Lahir : Post Partus Spontan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Bayi Lahir : 3200 gram
Apgar Score
: 6-9
Air ketuban
: kuning keruh
Pada saat setelah lahir bayi langsung menangis kuat, beberapa menit
setelah lahir dilakukan perawatan di VK dan kemudian dilakukan vital sign, T
= 36,2 C, HR = 144x/ menit, RR = 80 x/ menit, SpO2 = 96 %.
Heteronamnesis orang tua :
Nama
: Ny. V
Umur
: 28 th
Alamat : Jl. Hasanudin
Pekerjaan : Karyawan swasta
Pada kehamilan Trimester I, pasien yang merupakan karyawan bank di
Tembagapura sering pulang pergi Timika Tembagapura secara rutin setiap
akhir pekan. Pada kehamilan Trimester II, pasien sering melakukan
perjalanan Timika - Jakarta untuk menjalankan tugas dari kantor. Pada
Trimester III, pasien pernah melakukan perjalanan ke tempat tinggalnya yang
berada di Makasar selama kurang lebih 8 jam perjalanan melalui jalur darat.
Ibu pasien menyatakan bahwa keluar cairan seperti kencing sudah sejak
tanggal 13 Maret 2016 pukul 05.00 WIT. Setelah itu baru dibawa ke RSUD
pada tanggal 14 Maret 2016 pukul 03.00 dengan keluhan kencang kencang
dan keluar lendir serta darah dari jalan lahir. Ibu pasien menyangkal terdapat
keluhan infeksi saluran kencing dan demam selama satu minggu sebelum
persalinan.
Follow up pasien
14/03/16 : O : Keadaan umum : cukup, kesan : compos mentis NPAT = 0
T = 36,2 C, HR = 144x/ menit, RR = 80 x/ menit,
SpO2 = 96 %.
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular
Pulmo : Retraksi (-), vesikuler +/+, ronkhi -/whez -/Abdomen : Supel, Hepar Lien tak teraba

15/03/16
08.30
3210 gr

16/03/16
08.30
3140 gr

Ekstremitas : akral hangat, perfusi jaringan baik


A : - BBLC , CB, SMK, Spontan + KPD 24 jam
- Sepsis Neonatorum
P : - Edukasi orang tua
- O2 nasal kanul - 1 lpm
- Thermoregulasi
- Rawat KBB
- IVFD D10 % 195 cc/24 jam
- Inj. Ampicilin 160 mg/ 12 jam
- Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam
- Pasang OGT cek residu / 3 jam, jika residu (-) ASI 3 cc/ 3 jam
- Cek DL, HJ, GDS
S : Panas (-), nafas cepat (+), menangis kuat, residu (-), BAB (+),
BAK (+), reflek hisap (+)
O : Keadaan umum : lemah, kesan : compos mentis NPAT = 0
T = 36,8 C, HR = 146x/ menit, RR = 72 x/ menit,
SpO2 = 96 %.
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular
Pulmo : Retraksi (-), vesikuler +/+, ronkhi -/whezing-/Abdomen : Supel, Hepar Lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat, perfusi jaringan baik
A : - Neonatus CB hari ke 2
- Sepsis Neonatorum
P : - Edukasi orang tua
- O2 nasal kanul - 1 lpm
- IVFD D10 % 220 cc/24 jam
- Inj. Ampicilin 160 mg/ 12 jam hari ke 2
- Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam hari ke 2
- OGT ASI 5 cc/ 3jam cek residu
S : Panas (-), reflek hisap (+), nafas cepat (+), menangis kuat,
residu diet (-), BAB (+), BAK (+), kuning (+)
O : Keadaan umum : cukup, kesan : compos mentis NPAT = 0
T = 36,5 C, HR = 115x/ menit, RR = 72 x/ menit,
SpO2 = 97 % dengan O2 lpm, ikterik kreamer 3
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (+/+)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular
Pulmo : Retraksi (-), vesikuler +/+, ronkhi -/whezing-/Abdomen : Supel, Hepar Lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat, perfusi jaringan baik
A : - Neonatus CB hari ke 3
- Sepsis Neonatorum
- Ikterus Neonatorum Fisiologis
P : - Edukasi orang tua

O2 nasal kanul - 1 lpm latih lepas bila RR < 65x/ menit


Inj. Ampicilin 160 mg/ 12 jam hari ke 3
Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam hari ke 2
IVFD D5 1/ 4 NS 280 cc/ 24 jam
Latih menetek dengan O2 bila baik ASI ad lib
Fototerapi 12 jam on

14.35 : O : RR = 90x/ menit


P : Stop menetek, OGT ASI 10 cc/ 3 jam, cek residu.
17/03/16 S : Panas (-), reflek hisap (+), nafas cepat (+), menangis kuat,
08.20
residu diet (-), BAB (+), BAK (+)
3190 gr O : Keadaan umum : cukup, kesan : compos mentis NPAT = 0
T = 36,8 C, HR = 130x/ menit, RR = 70 x/ menit,
SpO2 = 99 % dengan O2 lpm, ikterik kreamer 1
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular
Pulmo : Retraksi (+), vesikuler +/+, ronkhi -/whezing-/Abdomen : Supel, Hepar Lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat, perfusi jaringan baik
A : - Neonatus CB hari ke 4
- Sepsis Neonatorum
P : - Edukasi orang tua
- O2 nasal kanul - 1 lpm
- Inj. Ampicilin 160 mg/ 12 jam hari ke 4
- Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam hari ke 2
- IVFD D5 1/ 4 NS 240 cc/ 24 jam
- Menetek bila RR < 80x/ menit, bila RR > 80x/ menit ASI 20cc
/ 3 jam/ OGT
- Fototerapi stop
14.35
O : RR = 90x/ menit
P : Advis dr. Emmy Sp.A
Stop menetek dan inj. Ampicilin
Inj. Cefotaxime 160 mg/ 12 jam
OGT ASI 20 cc/ 3 jam, cek residu.
18/03/16 S : Panas (-), reflek hisap (+), nafas cepat (+), menangis kuat,
08.30
BAB (+), BAK (+)
3180 gr O : Keadaan umum : cukup, kesan : compos mentis NPAT = 0
T = 36,5 C, HR = 130x/ menit, RR = 67 x/ menit,
SpO2 = 96 % dengan O2 lpm, ikterik kreamer 3
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (+/+)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular
Pulmo : Retraksi (+), vesikuler +/+, ronkhi -/whezing-/Abdomen : Supel, Hepar Lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat, perfusi jaringan baik

A : - Neonatus CB hari ke 5
- Sepsis Neonatorum
- Ikterus Neonatorum Fisiologis
P : - Edukasi orang tua
- O2 nasal kanul - 1 lpm latih lepas
- Inj. Cefotaxime 160 mg/ 12 jam hari ke 2
- Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam hari ke 3
- IVFD D5 1/ 4 NS 240 cc/ 24 jam
- ASI 25cc / 3 jam/ OGT pantau residu
- Fototerapi 1x 24 jam on
19/03/16 S : Panas (-), reflek hisap (+), nafas cepat (+), menangis kuat,
08.30
BAB (+), BAK (+)
3190 gr O : Keadaan umum : cukup, kesan : compos mentis NPAT = 0
T = 36,9 C, HR = 138x/ menit, RR = 84 x/ menit,
SpO2 = 97 % dengan O2 lpm
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular
Pulmo : Retraksi (+), vesikuler +/+, ronkhi -/whezing-/Abdomen : Supel, Hepar Lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat, perfusi jaringan baik
A : - Neonatus CB hari ke 6
- Sepsis Neonatorum
- Ikterus Neonatorum Fisiologis perbaikan
P : - Edukasi orang tua
- O2 nasal kanul - 1 lpm latih lepas
- Inj. Cefotaxime 160 mg/ 12 jam hari ke 3
- Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam hari ke 4
- IVFD D5 1/ 4 NS 200 cc/ 24 jam
- ASI 30cc / 3 jam/ OGT pantau residu
- Stop fototerapi
- Menetek bila RR < 80x/ menit latih menetek dengan O2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Insidensi
Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum terpecahkan
dalam pelayanan dan perawatan neonatus. Di Negara berkembang hampir
sebagian besar neonatus yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis
dan di negara berkembangpun sepsis tetap merupakan sebuah masalah. Selain itu
sepsis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam laporan
WHO yang dikutip Child Health Research Project Special Report : Reducing
Perinatal and Neonatal Mortality ( 1999 ), dikemukakan bahwa 42% kematian
neonatus terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan,
tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi gastrointestinal. Setelah tetanus
neonatorum, sepsis neonatorum merupakan penyakit dengan case fatality rate
tertinggi. Hal ini terjadi karena banyak faktor resiko infeksi pada masa perinatal
yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. 1
Angka Kejadian/insidens sepsis di negara yang sedang berkembang masih
cukup tinggi ( 1.8 18 / 1000 ) dibandingkan dengan negara maju ( 1 5 / 1000 ).
Pada bayi laki-laki resiko sepsis 2 kali lebih besar dari bayi perempuan. Kejadian
sepsis juga meningkat pada Bayi Kurang Bulan dan Bayi Berat Lahir rendah.

Pada bayi berat lahir amat rendah ( < 1000 gram ) kejadian sepsis terjadi pada 26 /
1000 kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara
1000 2000 gram yang angka kejadiannya antara 8 9 perseribu kelahiran.
Demikian pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila
dibandingkan bayi cukup bulan.1
Sepsis merupakan respon inflamasi tubuh terhadap suatu infeksi. Infeksi
tersebut bisa berupa infeksi lokal maupun sistemik dan dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, parasit, ataupun jamur. Respon inflamasi yang ditimbulkan dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan organ yang merupakan penyebab kematian
dari sepsis. 2

2.2. Epidemiologi
Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu
1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%,
sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000
kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut
belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta, dalam periode Januari - September 2005, angka kejadian sepsis
neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%. 3
2.3. Faktor Resiko
Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya
faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis
neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.
Faktor risiko ibu:
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban
pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1%
dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi

4 kalinya.
Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),

kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.


Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Kehamilan multipel.
Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Faktor risiko pada bayi: 6
Prematuritas dan berat lahir rendah.
Dirawat di Rumah Sakit.
Trauma pada proses persalinan.
Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator,
kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal

Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek

imun, atau asplenia.


Asfiksia neonatorum.
Cacat bawaan.
Tidak diberi ASI
Pemberian nutrisi parenteral.
Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded
Buruknya kebersihan di NICU.

Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis


dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut
dalam risiko mayor dan risiko minor.4

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang
(septicwork-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat
meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien
sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.5
2.4. Etiologi

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian
ini, hanya dibahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab
sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman,
walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis
neonatorum.

Oleh karena itu pemeriksaan pola kuman secara berkala pada

masing-masing klinik dan rumah sakit memegang peranan yang sangat penting.1,2
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah
diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun
1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea
dan Gambia. Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang
tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%),
Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang
terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram
negatif terutama Klebsiella sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain
bakteri Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli
biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada
usap vagina wanita-wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya
diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di
atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan
Staphylococcus aureus.1,3
Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun
terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah
Acinetobacter sp,Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti
Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%). 5

Tabel perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun


waktu :

2.5. Patofisiologi
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan
mulai dari infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi
organ, dan akhirnya kematian.1
Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :

Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :

International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis


Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom
klinis yang terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi
SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu
abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal
1. Suhu > 38.5 C atau < 36 C
2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli
dari luar, obat obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang
menetap tanpa penjelasan selama 0.5 4 jam; ATAU pada anak anak < 1
tahun terdapat bradikardi persisten lebih dari 0.5 jam ( mean heart rate <
persentil 10 tanpa rangsangan vagal, obat-obatan, ataupun penyakit
jantung kongenital )
3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang
tidak terkait dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum
4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%
Sepsis : SIRS dengan infeksi yang terbukti
Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan 1 dari hal berikut :
1. Disfungsi kardiovaskuler
Meskipun diberikan IV fluid sebanyak > 40 mL/kg dalam satu jam,
terdapat hipotensi < persentil ke 5 untuk umur, tekanan darah sistolik < 2
SD dibawah normal untuk umur.

ATAU
Perlunya obat-obatan vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah
ATAU
2 dari hal berikut :

Asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya > 5 mEq/L

Peningkatan kadar laktat arteri > 2 x batas atas normal

Oliguri < 0.5 mL/kg/jam

Capillary Refill Time yang menurun > 5 detik

Beda suhu akral dan tubuh > 3 C

2. Acute

respiratory

distress

syndrome

yang

didefinisikan

dengan

terdapatnya rasio PaO2/FiO2 300 mm Hg, infiltrat bilateral pada foto


thoraks, dan tidak terbuktinya gagal jantung kiri
ATAU
Sepsis disertai dengan kegagalan organ 2 atau lebih ( Respirasi, Renal,
Neurologi, hematologi, atau hepar )
Syok Sepsis : Sepsis yang disertai dengan kegagalan organ kardiovaskuler
Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Kegagalan organ yang tidak bisa
dipertahankan homeostasis tubuh tanpa bantuan obat-obatan.1,3,5
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis
awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode
pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran
atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD
adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli ,Klebsiella, dan
Pseudomonas aeruginosa Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes,
sedangkan

di

negara

berkembang

termasuk

Indonesia,

mikroorganisme

penyebabnya adalah batang Gram negatif. 5


Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72
jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi

nosokomial). Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira
10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan
Candida albicans merupakan penyebab utama SAL. 5
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena
sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab
infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh
dari lingkungan sekitar (SAL). 5
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,5
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau

Listeria dll.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi

kontaminasi kuman pada janin.


Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk
ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui
saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman
pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah

lebih dari 18-24 jam.


Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang
mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi
dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap
yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit,
gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.
Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
prokoagulasi dan antikoagulasi.
1. Respon inflamasi
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor
4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi
makrofag.
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi
dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan
eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik
melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok
organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan
mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat
aktivasi makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel
dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan
meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi

koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga
berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik.
Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot
polos pembuluh darah.
2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi.
Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor
(TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik
dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan
jalur instrinsik.1,3,5
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur
ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari
mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan
jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah
pembentukan fibrin.1,3,5
3. Gangguan Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem
koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan
pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,3,5
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan
urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk
merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi
proteolisisfibrin. 1,3,5
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor
(TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.
1,3,5

Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh


tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF- menyebabkan supresi
fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.
Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang
mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator
proinflamasi (TNF- dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin,
sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan
selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ
dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada
kasus yang berat dapat menyebabkan kematian. 1,3,5
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan
intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis.
Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi
perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis
mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi
dihubungkan dengan prognosis buruk. 1,3,5
Efek

kumulatif

kaskade

sepsis

menyebabkan

ketidakseimbangan

mekanisme inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap


anti inflamasi dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis,
memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan
kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat
menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. 1,3,5

Infeksi fokal

Superantigen atau toksin

Sel sel inflammasi teraktivasi

Aktivasi sistem komplemen

Aktivasi pertahanan inang

Aktivasi sistem koagulasi

Aktivasi endotel
Peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi endotel

Penurunan trombomodulin
Peningkatan plasminogen activator inhibitor
Trombosis dan antifibrinolisis

Pelepasan mediator inflamasi endogen


Sitokin pro-inflammasi
Sitokin anti-inflammasi
Platelet activating factor
Arachidonic acid metabolites
Substansi depresi miocardium
Opiat endogen

Hipovolemia
Kegagalan jantung dan vaskularisasi
Kebocoran plasma / cedera endotel
Acute Respiratory Distress Syndrome
Disseminated intravascular coagulation
Penurunan sintesis steroid

Syok

MODS
Kematian

2.6. Manifestasi dan Gejala Klinis


Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala
klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan
respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan
menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai
Apgar rendah. Setelah lahir bayi akan tampak lemah. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan
susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang
terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan
kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis,akral dingin). Bayi dapat pula
memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan
respirasi (perdarahan,ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum,
waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan
retraksi). 7
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood
Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum
berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut : 7
Laju napas > 60 kali per menit
Retraksi dada yang dalam
Cuping hidung kembang kempis
Merintih
Ubun ubun besar membonjol
Kejang
Keluar pus dari telinga
Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin)
Letargi atau tidak sadar
Penurunan aktivitas /gerakan
Tidak dapat minum
Tidak dapat melekat pada payudara ibu
Tidak mau menetek.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan


Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah
Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini
gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori. Penegakan diagnosis
ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori : 5

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan


tanda- tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut : 5

Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai

sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini).


Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau

tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel).


Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori
B, atau dua tanda pada Kategori B.

2.7. Pemeriksaan
2.7.1. Laboratorium
a. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena
hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan
dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah
dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun lanjut. 7
b. Pungsi lumbal
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi.
Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi
lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila
dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis
neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari
cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 2436 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan cukup
efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada
LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotikdan dosis. Dari penelitian, terdapat 15%
bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif. 7
c. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan
sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi
kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan
apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram
negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus,
pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah
sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam

menentukan penggunaan antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan


hasil pemeriksaan kultur bakteri. 7
d. Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang
diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut : 7
Hitung trombosit
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum
dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/L), MPV
(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara
signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.
Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,
walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus
sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang
tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan
stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk
imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,
eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang
terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,
jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk
diagnosis sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu
penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat, serta perdarahan periventrikular dan
intraventrikular.

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis


neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang
dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama
kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada
60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan
dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh
karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar
diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.
Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit
dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi
oleh IL6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik
terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada
50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6
jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus
meningkat sampai proses inflamasinya teratasi. Nilai normal yang biasa dipakai
adalah < 5 mg/L. CRP sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi
untuk mengetahui respon antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya
infeksi. Faktor yang dapat memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur
kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan,
imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV,rotavirus, adenovirus, influenza).
Untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%,
spesifisitas 78,94%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk
sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah
98,7%.

Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular


berupa Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis
dini pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini
dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain
bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan
prognosis pasien sepsis neonatorum.
2.7.2. Pencitraan
Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya:
7

Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola


retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory
Distress Syndrome).

Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena


ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini
yang telah terbukti dengan kultur.

2.8. DIAGNOSIS
Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan
prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan
hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis
pasien tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar
jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda
dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada
satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal
dalam diagnosis pasti pasien sepsis.
Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :

Faktor Resiko
Gambaran Klinik
Pemeriksaan Penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena


salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan
diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis
yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama
kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk
melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini,
pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat
dalam lingkungan pasien.
Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :
1. Faktor ibu :
Persalinan dan kelahiran kurang bulan
Ketuban pecah lebih dari 18 24 jam
Chorioamnionitis
Persalinan dengan tindakan
Demam pada ibu ( > 38,4 C )
Infeksi saluran kencing pada ibu
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
2. Faktor bayi
Asfiksia perinatal
Berat lahir rendah
Bayi kurang bulan
Prosedur invasif
Kelainan bawaan
Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan
sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal
tidak banyak mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini.
Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi
karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien.

Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus,
bayi kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarutlarut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau
infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor
resiko awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan
infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala
klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih
efisien pada sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan
morbiditas pasien.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis
awitan dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan
asfiksia, dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir
bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.
Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat
seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar
high pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun
gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu,
apneu, merintih, dan retraksi.
Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi
Gangguan organ
Kardiovaskular

Gambaran Klinis
Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut Jantung < 50 atau > 220/menit
Terjadi Henti Jantung

pH darah < 7.2 pada PaCO2 normal


Kebutuhan
akan
inotropik

untuk

mempertahankan tekanan darah normal


Saluran Napas

Frekuensi napas > 90/menit


PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik

Sistem Hematologik

Hb < 5 g/dL
WBC < 3000 sel/mm3
Trombosit < 20.000
D-dimer > 0.5g/mL pada PTT > 20 detik
atau waktu tromboplastin > 60 detik

SSP

Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil

Gangguan Ginjal
Gastroenterologi

Ureum > 100 mg/d\


Creatinin > 20 mg/dL
Perdarahan gastrointestinal disertai dengan
penurunan Hb > 2g%, hipotensi, perlu
tranfusi darah atau operasi gastrointestinal

Hepar

Bilirubin total > 3 mg%

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam


menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu
pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan
khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu menegakan diagnosis.
Upaya inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini
pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas
tinggi sebagai indikator sepsis, belum ditemukann. Dalam penentuan diagnosis,
interpretasi hasil laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala
klinis yang terjadi.

Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit


ditegakkan apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja.
Untuk hal tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan
laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disbeut Septic
work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah yang merupakan
gold standard diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 5 hari untuk
diagnosis pastinya.
Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya
bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di
klinik tersebut. Selain itu hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan
pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman
nosokomial.
Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat
dapat dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis
kuman secara lebih spesifik.
Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan
komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat
ditemukan pada 10 60 % pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000
dan terjadi pada 1 3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan.
Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis
ketimbang hitung trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan
hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T )
sering dipakau sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T
ini 60 90 %, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan
gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang yang lain.

2.9. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan
masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan
pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan
di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman
diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai
dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)
Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme
penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan
aktivitas antibakteri.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)
Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar
enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan
aminoglikosida lain.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan
penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida.
Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau
penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh
bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang
resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.

Terapi suportif (adjuvant)


Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ
atau lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun.
Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen,
pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan
dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG),
pemberian tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GCSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar
(TT) dan lain-lain.
Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum
Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan
untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal.
Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti
memperbaiki status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki
respons terhadap katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat
diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Sebuah meta-analisis
memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari
secara signifikan.
Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan
metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi
insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi
meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase
akut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat
dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada
keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus
dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan

pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10
g/kg/hari dan lemak 1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat
dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis,
dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama.
Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.

2.10. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini
adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis
awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2 %). 5

BAB III. KESIMPULAN


Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum dapat
dipecahkan yang karena bersifat multifaktorial, mulai dari faktor ibu, janin,
maupun dari pelayanan rumah sakit. Sepsis neonatorum juga merupakan masalah
yang sulit didiagnosa karena pada neonatus, respon sistem imun tubuhnya tidak
selalu menimbulkan gejala seperti sepsis pada anak yang lebih besar. Umumnya
penatalaksanaan yang diberikan bisa terlambat bila tenaga medis tidak
memberikan perhatian yang cukup pada pasien.
Tanda dan gejala klasik sepsis pada neonatus mencakup takikardi,
takipneu, leukositosis atau leukopeni, dan hipertermi atau hipotermi. Selain itu
bila didapatkan sepsis berat dapat ditemukan disfungsi organ-organ tertentu,
seperti jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Ketika kegagalan organ
sudah mencapai derajat tertentu, akan menyebabkan terjadinya septik syok yang
dapat segera menyebabkan sindrom disfungsi multiorgan yang berakhir pada
kematian bila tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat.
Penatalaksanaan sepsis pada umumnya mencakup eradikasi infeksi
dengan antibiotika selektif, terapi adjuvant untuk mendukung status organ
neonatus, terapi kortikosteroid bila terdapat insufisensi adrenal, dan terapi nutrisi
yang adekuat untuk mempertahankan kesehatan bayi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified
February 23rd, 2010. Page available at
http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu
Kesehatan
Anak, edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC,
2004,
hal 653-663.
3. Carl Kuschel : Antibiotics for Neonatal Sepsis. Page was last modified
October 20th, 2010. Available at
http://www.adhb.govt.nz/AntibioticsForNeonatalSepsis.htm
4. Claudio Chiesa et al : Diagnosis of Neonatal Sepsis : A Clinical and
Laboratory Challenge. Page was last modified July 1st, 2011. Page
available at http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279
5. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ). Page
was last modified June 20th, 2011. Page available at
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247
6. Kosim Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan kedua.
Sepsis Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2010, hal 170-187.
7. Mary T. Caserta, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified October
2009. Page available at
http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html
8. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph s Pediatrics, Buku
Ajar
Pediatri Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus.
Jakarta : EGC, 2006, hal 601-610.

Anda mungkin juga menyukai