SEPSIS NEONATORUM
Disusun Oleh:
dr. Nieko Caesar Agung Martino
Pembimbing :
dr. Jeanne Rini P. Sp. A
dr. Emmy R.D. Sp. A
BAB I. PENDAHULUAN
15/03/16
08.30
3210 gr
16/03/16
08.30
3140 gr
A : - Neonatus CB hari ke 5
- Sepsis Neonatorum
- Ikterus Neonatorum Fisiologis
P : - Edukasi orang tua
- O2 nasal kanul - 1 lpm latih lepas
- Inj. Cefotaxime 160 mg/ 12 jam hari ke 2
- Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam hari ke 3
- IVFD D5 1/ 4 NS 240 cc/ 24 jam
- ASI 25cc / 3 jam/ OGT pantau residu
- Fototerapi 1x 24 jam on
19/03/16 S : Panas (-), reflek hisap (+), nafas cepat (+), menangis kuat,
08.30
BAB (+), BAK (+)
3190 gr O : Keadaan umum : cukup, kesan : compos mentis NPAT = 0
T = 36,9 C, HR = 138x/ menit, RR = 84 x/ menit,
SpO2 = 97 % dengan O2 lpm
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular
Pulmo : Retraksi (+), vesikuler +/+, ronkhi -/whezing-/Abdomen : Supel, Hepar Lien tak teraba
Ekstremitas : akral hangat, perfusi jaringan baik
A : - Neonatus CB hari ke 6
- Sepsis Neonatorum
- Ikterus Neonatorum Fisiologis perbaikan
P : - Edukasi orang tua
- O2 nasal kanul - 1 lpm latih lepas
- Inj. Cefotaxime 160 mg/ 12 jam hari ke 3
- Inj. Gentamicin 16mg/ 36 jam hari ke 4
- IVFD D5 1/ 4 NS 200 cc/ 24 jam
- ASI 30cc / 3 jam/ OGT pantau residu
- Stop fototerapi
- Menetek bila RR < 80x/ menit latih menetek dengan O2
Pada bayi berat lahir amat rendah ( < 1000 gram ) kejadian sepsis terjadi pada 26 /
1000 kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara
1000 2000 gram yang angka kejadiannya antara 8 9 perseribu kelahiran.
Demikian pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila
dibandingkan bayi cukup bulan.1
Sepsis merupakan respon inflamasi tubuh terhadap suatu infeksi. Infeksi
tersebut bisa berupa infeksi lokal maupun sistemik dan dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, parasit, ataupun jamur. Respon inflamasi yang ditimbulkan dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan organ yang merupakan penyebab kematian
dari sepsis. 2
2.2. Epidemiologi
Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu
1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%,
sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000
kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut
belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta, dalam periode Januari - September 2005, angka kejadian sepsis
neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%. 3
2.3. Faktor Resiko
Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya
faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis
neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.
Faktor risiko ibu:
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban
pecah lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1%
dan bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi
4 kalinya.
Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang
(septicwork-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat
meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien
sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.5
2.4. Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian
ini, hanya dibahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab
sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman,
walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis
neonatorum.
masing-masing klinik dan rumah sakit memegang peranan yang sangat penting.1,2
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah
diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun
1999 di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea
dan Gambia. Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang
tersering ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%),
Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang
terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram
negatif terutama Klebsiella sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain
bakteri Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli
biasa ditemukan pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada
usap vagina wanita-wanita di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya
diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di
atas, patogen yang sering ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan
Staphylococcus aureus.1,3
Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun
terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
pada tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah
Acinetobacter sp,Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti
Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%). 5
2.5. Patofisiologi
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan
mulai dari infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi
organ, dan akhirnya kematian.1
Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :
ATAU
Perlunya obat-obatan vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah
ATAU
2 dari hal berikut :
2. Acute
respiratory
distress
syndrome
yang
didefinisikan
dengan
di
negara
berkembang
termasuk
Indonesia,
mikroorganisme
nosokomial). Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira
10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan
Candida albicans merupakan penyebab utama SAL. 5
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena
sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab
infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh
dari lingkungan sekitar (SAL). 5
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,5
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur
dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit,
gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.
Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
prokoagulasi dan antikoagulasi.
1. Respon inflamasi
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor
4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi
makrofag.
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi
dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan
eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik
melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok
organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan
mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat
aktivasi makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel
dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan
meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi
koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga
berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik.
Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot
polos pembuluh darah.
2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi.
Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor
(TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik
dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan
jalur instrinsik.1,3,5
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur
ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari
mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan
jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah
pembentukan fibrin.1,3,5
3. Gangguan Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem
koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan
pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,3,5
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan
urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk
merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi
proteolisisfibrin. 1,3,5
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor
(TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.
1,3,5
kumulatif
kaskade
sepsis
menyebabkan
ketidakseimbangan
Infeksi fokal
Aktivasi endotel
Peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi endotel
Penurunan trombomodulin
Peningkatan plasminogen activator inhibitor
Trombosis dan antifibrinolisis
Hipovolemia
Kegagalan jantung dan vaskularisasi
Kebocoran plasma / cedera endotel
Acute Respiratory Distress Syndrome
Disseminated intravascular coagulation
Penurunan sintesis steroid
Syok
MODS
Kematian
Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
2.7. Pemeriksaan
2.7.1. Laboratorium
a. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena
hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan
dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah
dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun lanjut. 7
b. Pungsi lumbal
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi.
Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi
lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila
dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis
neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari
cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 2436 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan cukup
efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada
LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotikdan dosis. Dari penelitian, terdapat 15%
bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif. 7
c. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan
sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi
kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan
apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram
negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus,
pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah
sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam
2.8. DIAGNOSIS
Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan
prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan
hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis
pasien tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar
jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda
dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada
satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal
dalam diagnosis pasti pasien sepsis.
Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :
Faktor Resiko
Gambaran Klinik
Pemeriksaan Penunjang
Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus,
bayi kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarutlarut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau
infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor
resiko awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan
infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala
klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih
efisien pada sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan
morbiditas pasien.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis
awitan dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan
asfiksia, dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir
bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.
Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat
seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar
high pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun
gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu,
apneu, merintih, dan retraksi.
Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi
Gangguan organ
Kardiovaskular
Gambaran Klinis
Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut Jantung < 50 atau > 220/menit
Terjadi Henti Jantung
untuk
Sistem Hematologik
Hb < 5 g/dL
WBC < 3000 sel/mm3
Trombosit < 20.000
D-dimer > 0.5g/mL pada PTT > 20 detik
atau waktu tromboplastin > 60 detik
SSP
Gangguan Ginjal
Gastroenterologi
Hepar
2.9. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan
masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan
pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan
di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman
diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai
dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)
Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme
penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan
aktivitas antibakteri.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)
Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar
enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan
aminoglikosida lain.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan
penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida.
Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau
penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh
bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang
resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.
pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10
g/kg/hari dan lemak 1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat
dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis,
dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama.
Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.
2.10. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini
adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis
awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2 %). 5
DAFTAR PUSTAKA
1. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified
February 23rd, 2010. Page available at
http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu
Kesehatan
Anak, edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC,
2004,
hal 653-663.
3. Carl Kuschel : Antibiotics for Neonatal Sepsis. Page was last modified
October 20th, 2010. Available at
http://www.adhb.govt.nz/AntibioticsForNeonatalSepsis.htm
4. Claudio Chiesa et al : Diagnosis of Neonatal Sepsis : A Clinical and
Laboratory Challenge. Page was last modified July 1st, 2011. Page
available at http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279
5. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ). Page
was last modified June 20th, 2011. Page available at
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247
6. Kosim Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan kedua.
Sepsis Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2010, hal 170-187.
7. Mary T. Caserta, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified October
2009. Page available at
http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html
8. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph s Pediatrics, Buku
Ajar
Pediatri Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus.
Jakarta : EGC, 2006, hal 601-610.